Bab 1.

Semua orang yang hadir saling bekasak-kusuk. Pasalnya mereka membicarakan CEO yang akan dilantik hari ini. CEO yang sudah dikenal arogan oleh para bawahannya.

Gedung sidang sebuah perusahaan yang baru berdiri sejak dua tahun lalu, siang itu tampak dihadiri oleh para management dan direksi perusahaan. Ada juga para ketua tim dari masing-masing divisi juga turut menghadiri acara penobatan CEO baru perusahaan itu.

Acara dimulai. Satu persatu susunan acara dibacakan oleh pemandu. Semua orang yang awalnya gaduh dengan penyebaran gosip kini hanya terdiam mendengarkan sang moderator menyampaikan susunan acara.

Acara inti tiba. Saat seorang pria muda berjas dan bercelana dengan warna senada serba hitam menaiki mimbar dan berdiri tepat di depan mikrophon. Dia mendapat tepuk tangan yang sangat meriah. Tentu saja dibarengi dengan desas-desus gosip tentang dirinya.

“Terima kasih,” ucapnya dengan suara lantang. Membuat tepuk tangan berhenti seketika, dan ruangan itu kembali tenang.

“Saya adalah Sarga Dwi Wijaya. Saya menjabat CEO baru di perusahaan ini.” Suara Sarga terdengar sangat tegas. “Saya berharap, kita semua bisa maju bersama perusahaan, meningkatkan kualitas produk perusahaan, dan disiplin kerja.” Sarga mendapat tepuk tangan yang meriah. Pidatonya berakhir dan kembali dia mendapat tepuk tangan.

Sarga menempati kursi kosong di barisan paling depan yang sudah disiapkan untuknya. Hingga acara selesai, semua orang meninggalkan aula itu. Kecuali Sarga dan sekretaris pribadinya, juga seorang laki-laki paruh baya yang memiliki lebih dari empat ajudan yang berdiri di belakangnya. Dia adalah Kusuma Wijaya, ayah dari Sarga.

Wajahnya terlihat sangat bangga melihat anaknya bisa menjabat sebagai CEO di perusahaan yang sudah dia rintis dari bawah.

“Selamat!” ujarnya dengan suara tegas. “Setelah ini kamu harus menikah,” ucap Kusuma.

Sarga tentu saja terkejut. Dia membulatkan dua bola matanya. Bagaimana bisa ayahnya membahas masalah pernikahan, tepat dihari di mana dia sudah dilantik.

“Ayah, bukankah tidak tepat mengatakan itu hari ini?” ujar Sarga ketus. Wijaya hanya tersenyum.

“Benar. Tapi, sudah saatnya kamu menikah,” kata Kusuma tegas.

“Ayah!” Sarga tak terima. Namun, perlakuannya segera dicegah oleh sang sekretaris pribadi. Hal itu bertujuan untuk mencegah pertengkaran dari kedua pria itu.

“Aish,” umpat Sarga kesal. Dia mengembuskan napas kasar dan memilih untuk pergi.

Langkahnya penuh dengan kekesalan.
“Hari ini, ada acara makan siang dengan Gisela,” kata Dean dengan cepat. Sarga menghentikan langkahnya.

“Oh iya. Hampir aja aku lupa,” kata Sarga. Dean hanya tersenyum.

“Oke, kalau begitu. Kamu bisa istirahat sekarang. Aku akan mengemudi sendiri,” kata Sarga.

“Tapi ...” Dean berusaha memprotes. Tapi, tangan Sarga mengisyaratkan dirinya untuk diam dan menurut perkataannya.

“Baiklah,” kata Dean menyerah.
Sarga tersenyum dan kembali melanjutkan langkahnya. Mendengar nama Gisela jiwanya kembali bersemangat.

Kota Jakarta siang itu begitu panas. Terik matahari begitu terpancar tanpa penghalangan. Sarga keluar dari mobilnya. Kaca mata hitam masih menempel di wajahnya. Parkiran sebuah restoran bergaya Korea itu tampak sepi pengunjung. Bukan karena makanannya tak enak, tetapi karena memang pengunjung yang datang adalah orang yang berstatus ekonomi golongan atas. Selain tempatnya yang unik dan mewah, harga makanannya pun terbilang fantastis.

Restoran itu memang sudah menjadi langganan Sarga dan Gisela. Sarga sangat tahu makanan kesukaan Gisela ada di sana.

Laki-laki itu mengendurkan sedikit letak dasinya. Dia berjalan masuk sembari tangannya melepas kacamata yang masih dipakai.

Seorang wanita berparas cantik, berpakaian seksi dan juga sangat elegan melambaikan tangan ke arah Sarga. Tentu saja lambaian tangan itu disambut senyum lebar dari sang kekasih.

Sarga mengambil posisi duduk di depan Gisela. Dia menatap kekasihnya penuh cinta.

“Udah lama nunggu?” tanya Sarga.
“Maaf, aku terlambat,” katanya menyesal. Gisela menggelengkan kepala.

“Enggak. Baru aja sampe.” Gisela berkata manja. “Ah, selamat atas pelantikan CEO baru,” kata Gisela.
Sarga tersenyum. “Terima kasih,” kata Sarga.

“Maaf, aku harus mengajak makan di luar di hari penting seperti ini. Aku muak makanan rumah sakit,” kata Gisela manja.

Sarga menggelengkan kepala. “Enggak. Aku seneng banget karena bisa ketemu kamu,” kata Sarga. Gisela mengangguk.

Mereka menikmati makan siang dengan hikmat. Gisela menghabiskan semangkuk penuh Jajangmyeon yang dia pesan. Itu adalah makanan favorit dia. Sedangkan Sarga hanya memakan separuhnya saja.

“Selalu aja nggak abis,” protes Gisela. Sarga tersenyum tipis.

“Aku nggak boleh terlalu kenyang. Tau sendiri, kerjaan banyak di kantor. Kalau ngantuk nanti gimana?” tanya Sarga. Gisela mengerucutkan bibirnya manja.

“Alasan!” pekiknya.

Sarga memang sangat menghargai Gisela. Dia tak begitu suka dengan Jajangmyeon, namun selalu memakannya jika itu bersama Gisela.
Setalah hampir satu jam mereka duduk, makan, ngobrol, dan menikmati suasana restoran.
Akhirnya, mereka beranjak. Setelah tadi sang pelayan mengantarkan bil makanan ke meja mereka serta membayar. Mereka pun pergi.
Namun, baru beberapa langkah, terjadi keributan. Seseorang menabrak Sarga tanpa sengaja. Dia menjatuhkan kopinya tepat di depan Sarga.

“Hati-hati dong kalau jalan!” ujar Sarga sedikit dengan nada tinggi.

“Maaf, aku sedang buru-buru,” kata seorang perempuan yang menabrak Sarga tadi.

“Eh! Kalau kopi kamu kena baju pacar saya, bisa kotor!” Gisela ikut campur. Perempuan itu tersenyum.

“Maaf sekali lagi,” kata perempuan bernama Serli.

“Senyum? Eh, minta maaf kamu itu nggak tulus!” kata Gisela.
Sarga segera memegang tangan Gisela.

“Udahlah, lagipula nggak kena baju aku.” Sarga berbisik.

“Tapi dia songong! Udah nabrak! Masih bisa senyum?” Suara Gisela kini menjadi pusat perhatian di restoran. Pengunjung yang hari itu berada di tempat kejadian, kini menoleh ke arah mereka.
“Maaf, aku benar-benar nggak sengaja,” ucap Serli sopan namun tegas.

“Enggak! Kamu harus tanggung jawab!” Gisela ngotot.

“Udah lah, Sel. Beneran nggak apa-apa. Aku ada rapat penting, jadi harus buru-buru.” Sarga berbisik lagi.
Gisela mengembuskan napas kasar. Dia melirik Serli dengan tatapan super tajam. Serli hanya menggelengkan kepala tak habis pikir, sembari dia melihat sepasang kekasih itu keluar dari restoran.
Serli melanjutkan niatnya datang ke restoran. Dia melihat sang kakak yang sedari tadi memperhatikannya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya laki-laki berdasi warna biru.

Serli hanya mengangguk. “Cuma jadi penonton! Harusnya bantuin adiknya diperlakukan kaya tadi,” protes Serli.
Aldan tersenyum. “Kamu kan cewek kuat, buat apa Kakak bantu,” kata Aldan sekenanya.

“Aish,” gerutu Serli. “Ada apa ajak aku ketemuan, di tempat ini,” tanya Serli sedikit kesal. “Aku sibuk! Kenapa nggak lewat telpon aja,” protesnya.

“Lewat telepon itu susah, belum lagi sinyal yang jelek, suara putus-putus. Lagipula kita belum ketemu seminggu,” kata Aldan.

“Biasanya nggak Ketu sebulan, setahun, seabad aja nggak masalah.” Serli menyeruput minuman yang sudah dipesankan oleh Aldan.

Aldan tersenyum. “Oh ya, Papa mau ketemu sama kamu katanya,” kata Aldan. Serli mengerutkan kening.

“Ada apa? Tumben?” tanyanya tak percaya. Aldan mengangguk.

“Ada yang penting katanya.” Aldan membuat Serli begitu penasaran.

“Apa itu? Warisan? Jabatan? Atau pernikahan?” tanya Serli dengan suara nyaris tak terdengar. Aldan tertawa. Serli sudah hapal dengan tabiat ayahnya.

Serli menghela napas. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi yang dia duduki.

“Apa lagi kalau bukan itu yang dia bahas,” kata Serli lemas.

“Kamu harus nikah, Ser.” Aldan memberi tahu. Serli langsung menatap Aldan dengan tajam.

“Apa? Nikah? Kak, bahkan Bisnisku baru aku mulai. Lagi pula kalaupun aku nikah, aku bakal pilih calon suami sendiri! Bukan pilihan Ayah!” Serli memprotes. “Aku nggak bisa pernikahanku itu diselubungi dengan bisnis dan masa depan perusahaan Ayah. Aku mau pernikahan yang ...” Belum juga Serli melanjutkan. Aldan sudah mengangkat tangannya.

“Stop!” ucapnya. “Kalau mau protes di depan Ayah. Jangan di depan aku. Percuma!” kata Aldan. Serli mengembuskan napas berat.
Untuk kesekian kalinya, Serli dihadapkan dengan perjodohan. Memang Serli berhak menolak. Tetapi sepertinya kali ini dia akan gagal. Karena semua alasan sudah dia gunakan saat terjadi penolakan.
Serli hidup terpisah dari orang tuanya. Dia memilih untuk tinggal di sebuah apartemen bekas Aldan. Karena Aldan sudah menikah dan memilih tinggal di rumah yang dia bangun sendiri.

“Temui Ayah, dia nggak bakal gigit kok. Tadi dia bilang, kamu harus datang ke rumah. Makanya aku ngomong langsung. Berarti itu hal yang penting.” Aldan menjelaskan.

“Penting apanya. Aish.” Lagi-lagi Serli menggerutu.

Serli perlu menimbang banyak hal untuk datang menemui ayahnya. Apa yang harus dia siapkan adalah sebuah alasan.

“Apa kira-kira?” tanyanya. Kakinya tak berhenti di satu titik saja. Kamar apartemen terasa lebih sempit menurutnya sekarang.

“Aish,” gumamnya lagi. Dia tak menemukan satu alasan pun yang keluar dari kepalanya.

“Kenapa harus hari ini?” tanya Serli. Dia membuka pintu balkon apartemen. Berharap ada angin segar yang masuk dan menyapa dirinya yang tengah galau.

Sore itu sepertinya tak ada angin. Bahkan keringat yang menyambangi tubuh Serli belum juga hilang, hasil tadi dia pulang dari butik miliknya.

“Apa perlu aku bilang udah punya pacar? Tapi, siapa?” tanya Serli pasrah. Dia mengacak rambutnya.

“Ayah!” umpatnya kesal. “Bahkan ini bukan jaman Siti Nurbaya, kenapa harus dijodohkan?” tanya Serli tak mengerti.

Langit berubah warna menjadi jingga. Tanpa angin, pemandangan itu sangat indah di mata Serli. Namun, perempuan itu hanya mengerucutkan bibirnya. Dia lebih memilih menatap pintu kaca apartemennya yang masih terbuka.

“Daripada Ayah yang datang ke sini, mending aku yang ke sana.” Serli bertekad. Dia berpikir, setidaknya di rumah dia masih ada ibunya yang akan membantu mencarikan jawaban atau alasan, tentu saja dengan semua isyarat dari Serli.

Pukul enam lewat empat puluh lima menit, Serli segera keluar dari apartemennya. Pakaiannya tak terlalu rapi. Karena dia hanya harus menemui ayahnya.

Sendal selop favoritnya menjadi teman berjalan malam itu. Serli bergegas menstater mobilnya. Dia melakukannya meninggalkan parkir bawah tanah apartemen itu.

Serli memutar musik untuk mengusir kekhawatirannya. Dia selalu panik saat akan menemui ayahnya. Serli adalah anak yang paling takut berinteraksi dengan sang ayah. Bukan karena apa-apa. Namun, sikap ayahnya yang tegas membuat Serli sedikit menjaga jarak.

Sebelum itu. Serli menepikan mobilnya. Dia memarkirkan mobilnya di depan sebuah mini market. Dia harus meminum minuman yang bisa mengusir rasa gugupnya.

Eskrim. Itu adalah makanan yang selalu dia makan ketika gugup. Dia mengambil empat buah eskrim yang berbeda bentuk dan rasa. Dan meletakkannya di meja kasir.
Untung saja hari itu tak banyak pengunjung yang datang. Jadi, dia segera membayar. Tiga eskrim yang lain masih di dalam plastik, dan yang satunya dia lahap sembari berjalan keluar. Saking asiknya dia makan eskrim, dia membuka pintu terlalu keras, sehingga saat dia keluar, pintu itu langsung kembali mendorong tubuhnya. Tentu saja dia hampir terjatuh. Tapi, nahasnya dia menabrak seseorang dan membiarkan eskrim jatuh tepat di kemeja putih yang masih dibalut dengan jas itu.

Serli membulatkan kedua matanya. Mulutnya spontan menyebutkan kata kamu.

“Kamu!” katanya ragu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top