🌼8. Dunia Bukan Milik Berdua🌼
Voted before read!
"Jawab!"
"Sudah, Ma'am. Pagi-pagi nggak usah bikin heboh!"
Arini yang baru memandikan Kiko buru-buru pergi ke ruang tamu dan melihat ibu mertua dan suaminya sedang ribut di sana.
"Mama, ada apa?"
Nita melihat Arini lalu buru-buru mendekati menantunya itu.
"Katakan pada Mama. Kau hamil, Nak?" tanyanya sambil memegang lengan Arini.
"Ma'am!"
Arini menatap Max, meminta tanda apakah ia harus menjawab atau mengelak. Max manyun sambil mengacak-acak rambutnya yang berantakan. Dia tidak tahu betapa seksi dirinya walaupun berpenampilan begitu. Baju singlet putih lusuh dengan celana training hitam, Arini sebagai istrinya saja sering merasa lemas kalau Max berpenampilan begitu. Apalagi kalau pria itu sedang berenang. Arini senang melihat suaminya pamer gaya kupu-kupu, otot bahu dan punggungnya sempurna. Karena ia takut suaminya akan jadi incaran wanita di club house, sekarang Arini ikut berenang bersamanya setiap pagi. Dia tidak sekuat Max yang bisa berenang sejam tanpa henti, Arini hanya ke sana untuk mengawasi suaminya.
"Ya. Arini hamil. Enough, Ma'am?"
Ibu mertua Arini memekik gembira lalu merangkul Arini dan mengajak menantunya itu duduk di sofa.
"Harusnya aku tau. Kau tidak minum kopi. Dia memberikan susu padamu. Maafkan Mama," ucap Nita sambil meraih jemari Arini dan menggenggamnya. Arini tampak merasa bersalah karena menutupi fakta kalau dia hamil bukan dengan Max.
"Kau baru tau kalo kau memang tidak peka, Ma'am!"
"Oh, shut up!" teriak Nita. Max terkekeh.
"Aku merasa telah menjadi ibu mertua yang buruk. Kau suka makan apa? Nanti, Mama bikin," tanya Nita perhatian. Tawa Max meledak.
"Kapan terakhir masak? Apa masih ada alat dapur di rumahmu?"
"Maximillian! Tak perlu memojokkan ibumu sampai begitu. Kau kira bagaimana adikmu bisa jadi kepala chef di kapal pesiar. Itu karena bakat keluarga!"
Setelah berkata demikian, Nita merenung tentang darimana bakat Max diturunkan. Bahkan suaminya Nita, tak pernah tertarik pada kedokteran.
"Mama tak perlu repot-repot masak buat Arini. Arini nggak pengen apa-apa," sahut Arini.
"Nggak ingin rujak aceh. Mama pintar bikin itu."
"Kalo itu, aku mau Ma'am!"
Nita mendelik pada anaknya.
"Arini yang hamil, kau yang ngidam!"
"Tidak ada itu ngidam! Itu cuma capernya istri."
"Tuh, mulai lagi teori ini. Dokter kandungan tenar!" sindir Nita pedas. Arini tertawa, merasa senang berada di antara perdebatan suami dan ibu mertuanya.
"Kiko! Eh, Mama belum selesai memandikanmu, ya. Kasihan..."
Arini tersentak. Dirinya baru ingat karena mendengar suara ribut, ia meninggalkan Kiko di kamar mandi. Kini, anjing berbulu lebat itu masuk ke ruangan dan mengadu pada Max. Wanita itu bangkit dan menggendong Kiko yang masih basah.
"Aduh! Maaf, Kiko."
Kiko menyalak kecil.
"Eh, ini Kiko. Max kesulitan cari-cari anak anjing Husky ini untuk hadiahmu. Katanya harus mirip Kiki. Mama ikut menemaninya mencari di semua pet shop yang ada. Akhirnya ketemu."
Arini menatap Max. Pria itu pura-pura sibuk mengoles selai di atas roti bakar. Arini tersenyum. Demi dirinya, Max selalu melakukan hal-hal yang manis. Seperti kata Donna, Arini sangat beruntung bisa menikah dengannya.
🌼Istri Pilihan Max🌼
Siang itu, Max menelepon Arini dan menyampaikan kalau mereka akan menghadiri pesta ulang tahun rumah sakit. Max bilang dia akan cepat pulang dan meminta istrinya agar siap-siap berdandan.
Max pulang pada jam lima sore setelah membantu kelahiran bayi kembar. Pria itu sempat mengirimkan foto bayi kembar itu kepada Arini sebelumnya.
"Sudah siap dandan?" tanya Max ketika melihat Arini di depan meja rias. Dia mengerti kalau wanita memang perlu waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan diri ke pesta. Arini masih berusaha memasang bulu mata palsu.
"Perlu bantuan?"
Arini melengos.
"Kau dokter atau make up artist? Kalo masih dokter, diam saja!"
Max menjentik hidung istrinya dan mengecup keningnya. Arini mau saja walaupun Max belum mandi. Ia menyukai harum lelaki yang menguar dari tubuh suaminya. Dipeluknya pinggang suaminya.
"Kangen?" bisiknya dengan suara rendah.
"Biasa saja," jawab Arini datar membuat Max terkekeh.
"Ya sudahlah, kalo begitu. Aku mandi dulu. Lalu mau baca bahan seminar. Nanti kalo sudah siap, panggil ya."
Arini melepaskan pelukannya dan mengangguk.
Tiga puluh menit kemudian.
Arini telah selesai berdandan. Ia agak bingung memutuskan gaun yang akan dikenakannya. Karena itu dicarinya Max. Pria itu sedang berada di ruang kerjanya di lantai dasar. Ruang yang sebenarnya adalah kamar tidur tapi difungsikan sebagai perpustakaan mini dan ruang kerja. Ruangan itu dikelilingi oleh lemari buku dan ada meja kerja Max di sana.
"Max, bantu aku memutuskan baju yang akan kupakai," pintanya sambil membawa dua helai baju.
"Eugh! Ya."
Max menjawab tapi tidak mengangkat wajahnya untuk menatap istrinya. Matanya tertuju pada kertas yang ada di tangannya.
"Dengan riasan seperti ini, lebih cocok gaun yang kupakai ini, atau jumpsuit hitam ini, atau cheongsam (baju khas china) putih ini?"
"Ehm, semuanya bagus," jawab Max masih tak menatap Arini.
"Yang ini terlalu sempit kayaknya, ya? Pinggangku sudah tampak gede!"
"Ah, perasaanmu saja! Semuanya bagus, kok!" balas Max sambil membenarkan letak kacamatanya. Arini mulai kesal dengan jawaban Max. Dilemparkannya semua gaunnya di depan meja untuk mendapatkan perhatian suaminya. Namun, Max masih lebih tertarik pada kertasnya.
Tiba-tiba Arini punya ide untuk mengalihkan perhatian Max dari bahan seminar. Ia duduk di atas meja kerja Max, kakinya dinaikkan ke atas paha suaminya. Ia menggesekkan jari kakinya lembut di mulai dari kaki Max lalu naik ke paha dilanjutkan ke perut dan dada. Jari kakinya bahkan sampai masuk melalui celah antar kancing kemeja hitam suaminya. Max awalnya mengabaikannya, ketika mulai terganggu, ia berusaha menyingkirkan kaki Arini sampai benar-benar merasa terganggu. Max lalu tertawa geli sebelum menurunkan kertas dari pandangannya dan mengangkat kepalanya. Namun Max terbelalak ketika ia memandang Arini.
"Itu.... apa belahannya tak terlalu tinggi dan apa itu?! Apa bagian depannya itu memang kurang jahitan?!" pekiknya sambil melotot. Dilepaskannya kacamatanya.
Arini terkikik. Kaki mulus dan panjang itu menggoda pinggang suaminya dan kakinya itu langsung ditangkap oleh Max.
"Usaha bagus, Sayang!"
Arini merenggut sebal.
"Dari tadi aku berusaha menarik perhatianmu!"
"Sekarang berhasil. Ya, ada apa? Gaun? Pakai yang hitam itu saja. Yang merah ini untuk nanti, waktu nggak ke mana-mana," tukas Max. Arini menarik kakinya lalu melompat turun dari meja kerja suaminya, berniat segera mengganti gaun merahnya dengan jumpsuit hitam tapi Max tampak menjatuhkan semua lembaran yang tadi terus dibacanya.
"Mau ke mana?" raungnya.
"Ganti baju," jawab Arini.
"Eugh! Tidak bisa! Kau sudah mengalihkan perhatianku."
Persetan dengan seminar! pikir Max. Tangannya memeluk pinggang Arini dan kembali mendudukkan dia ke atas meja.
"Mau apa?"
Max tertawa lebar.
"Kita bisa telat!"
"Kita quickie saja, Sayang!"
🌼Istri Pilihan Max🌼
Pesta ulang tahun rumah sakit tempat Max praktek dihadiri oleh rekan dokter, pemilik, dan tim manajemen diselenggarakan di hotel berbintang. Diawali dengan acara makan yang kemudian acara hiburan. Max kelihatannya agak menyesal memilihkan jumpsuit hitam itu dipakai istrinya karena gaun itu memamerkan bahu indah Arini. Dia selalu curiga jika ada yang menatap istrinya lebih dari empat detik.
"Pulang, yuk!" ajak Max ketika acara baru dibuka oleh kata sambutan oleh pemilik rumah sakit yang hanya disambut Arini dengan tertawa. Max tak akan bisa pulang secepat itu karena masih ada acara foto-foto dan ucapan terima kasih.
"Ada ibu mertuamu di situ!" tukas Max memberitahukan Arini kalau Nita ada di antara para tamu. Orang tua datang ke pesta itu sebagai tamu dari salah seorang pemilik. Ayahnya Max, Herman Wijaya Lie yang telah berusia 70 tahun tampak tetap gagah dengan baju batik Sekar Jagad berwarna dengan warna dasar merah. Sedangkan Nita mengenakan gaun dengan rok yang melebar dengan warna merah. Yang membuatnya tampak memukau adalah topi baret yang dipakainya. Secara keseluruhan ibu mertua Arini itu menjadi pusat perhatian dalam pesta itu sehingga Max sendiri susah mendekati orang tuanya. Keduanya bagai artis yang tengah dikerubuti fans dan wartawan.
"Tak usah memandang ibu mertuamu dengan tatapan mengagumi begitu, Sayang. Dia memang ratunya pesta. Kalau dia sampai tau kau kagum padanya, kepalanya tak bisa melewati pintu keluar," bisik Max sambil mengedipkan sebelah matanya. Arini menyikut suaminya. Namun begitu, ia tetap mengagumi penampilan ibu mertuanya. Arini berharap kalau ia sudah mencapai usia seperti Nita, dirinya masih mempunyai semangat seperti wanita itu.
"Apa kau tidak mau menyapaku dan Papamu sendiri?"
Max kesetrum. Ibunya yang baru saja dia katakan Ratu Pesta ada di belakangnya. Pria itu memasang wajah penuh senyuman sebelum berbalik menghadap Nita.
"Mama, maafkan kami."
"Aku tau kau menikmati semua pujian terhadap dirimu, Ma'am. Kurasa kau tak butuh satu lagi dari kami," sindir Max tajam.
"Kurang ajar!"
Teriakan Nita terhenti karena dipeluk oleh menantunya. Bukan berarti dia tidak sayang pada istrinya Michael tapi karena yang lebih sering ditemuinya adalah Arini, otomatis hubungan mereka lebih dekat.
"Terima kasih kiriman rujak aceh-nya. Arini suka, Ma."
Mata Nita berbinar. Max tersenyum. Arini sangat pintar mengambil hati ibunya walaupun rujak aceh buatan Nita, belum disentuh wanita itu.
"Max."
"Malam Pak Tua. Masih rajin jalan pagi, kan?" sapa Max pada ayahnya. Herman tertawa dan itu menyadarkan Arini kalau suara tawanya mirip dengan suara Max. Banyak yang tidak diketahui Arini ternyata seperti Max tak pernah memanggil kedua orang tuanya dengan sopan. Arini mengira hanya pada Nita, Max bersikap begitu, tapi ternyata pada ayahnya juga begitu. Ia tidak bisa membayangkan suaminya itu sewaktu remaja, pastilah sangat susah diatur.
"Jangan bengong, Menantuku yang cantik. Kau heran mengapa suamimu selalu kurang ajar? Dari dulu selalu begitu. Kurasa dia tertukar sewaktu aku melahirkannya di rumah sakit," tukas Nita tanpa basa-basi. Ayah mertuanya terkekeh.
"Aku sih nggak ragu Max anakku, Ma. Sifatnya menurun darimu!" sahut Herman. Nita tertawa tapi Arini diam. Begitu juga Max.
Karena ucapan Nita, tiba-tiba saja Arini teringat akan janin yang dikandungnya, bukanlah anak Max. Anaknya tidak akan mirip suaminya, lalu semua orang akan tahu kalau bayi itu bukan milik Max. Arini mulai berpikir yang tidak-tidak. Matanya kosong menatap Max. Max tampak membaca situasi dan merangkul pinggang istrinya.
"Capek ya, Say. Kalian berdua ngomong terus," protes Max pada Nita. Ibunya tampak kuatir karena baru disadarinya kalau wajah Arini memang pucat. Dipukulnya lengan anaknya.
"Kau tak menjaga gizinya! Dokter macam apa kau?!" hardiknya kesal.
"Ma'am!"
"Pulang saja, yuk, Say," ajak Max yang langsung disetujui oleh Nita.
"Iya, pulang saja. Ah, Mama mau bilang, jangan bilang Mama cerewet, ya."
Nita menunjuk sepatu hak tinggi yang dipakai Arini saat itu. Sepatu hitam tali yang ujungnya runcing dengan tinggi 9 cm.
"Jangan pakai sepatu begini lagi selama hamil. Bilangin Max. Bahaya!"
"Yes, Ma'am!" jawab Max patuh.
Max dan Arini pamit tanpa menunggu acaranya selesai, tapi beberapa tamu yang kenal Max mencegatnya dan mengajaknya ngobrol atau sekedar berfoto. Arini dengan sabar menunggunya. Wanita itu tidak mengerti bahan obrolan para dokter itu, berdiri di sisi Max dan tersenyum. Ia mulai merasa kalau ibu mertuanya benar soal sepatunya yang tidak cocok dipakai oleh wanita hamil dan memikirkan rencana berjalan ke tempat parkir tanpa alas sepatu. Sampai tiba-tiba, ia melihat seseorang berjalan melewati tempatnya berdiri. Orang yang tampak familiar. Bermata tajam, bibir tebal, dengan kulit gelap dan jangkung. Arini diam di tempatnya. Berharap orang itu tak menyadari kehadirannya. Kejadian itu begitu tiba-tiba.
"Putra salah seorang pemilik. Bapaknya ingin dia magang di rumah sakit tapi tak tahu di bagian apa," tukas seorang teman Max.
"Putranya Pak Malvistan, kan?"
"Iya."
"Say! Kenapa? Bengong! Capek, ya. Pulang, yuk!" ajak Max. Wajah Arini pucat pasi makin membuat suaminya kuatir. Max pun pamit pada semua teman dokternya dan membimbing istrinya keluar dari hotel berbintang lima itu. Arini berjalan pelan, pikirannya sampai ke mana-mana.
Putra Malvistan!
Jayson Malvis.
Arini masih berharap dia salah lihat. Dia, pria yang menghamilinya dan menolak bertanggung jawab sampai akhirnya wanita itu berencana menggugurkan kandungannya. Jayson Malvis kembali ke kota ini dan magang di rumah sakit. Itu artinya akan ada banyak kemungkinan Arini bisa bertemu dengan pria itu. Bukan berarti Arini suka bertemu dengannya. Dia cuma takut kalau Max akhirnya jadi tahu kalau Jayson adalah pria yang menghamilinya. Sampai saat ini, Max tak pernah bertanya tentang pria yang telah membuatnya hamil. Max menerimanya dengan janin yang dikandungnya tanpa syarat, tanpa mengorek-ngorek masa lalunya. Hatinya gundah.
"Sayang... kakimu sakit?"
Arini menghentikan langkahnya padahal sebelumnya jalannya juga sudah lambat. Karena Jayson Malvis, dia lupa rencana semulanya untuk jalan tanpa alas sepatu. Arini berhenti melangkah. Dibukanya sepatunya satu persatu dan dijinjingnya sepatu serta tas tangannya.
Namun, Max malah jongkok membelakanginya.
"Naik! Kugendong sampai ke mobil!"
Arini terdiam, memandangi punggung kekar suaminya. Max tidak menunggu lebih lama lagi, memaksa Arini naik ke punggungnya dan mengangkatnya.
"Max!"
Max tertawa. Arini masih protes. Takut jatuh tapi yakin kalau pria itu tak akan membiarkannya jatuh. Apa pun akan bisa dilaluinya dengan Max di sisinya.
"Jangan banyak bergerak! Suamimu bisa patah tulang!"
Gantian Arini yang tertawa.
"Kau tidak setua itu. Nanti sepuluh tahun lagi, aku tampak lebih tua darimu," kilah wanita itu. Max meringis.
"Aku akan menantikannya," janjinya. Arini tersenyum mendengar janji itu. Sejenak dia melupakan apa yang sebelumnya jadi beban pikirannya, tentang Jayson. Beberapa orang di parkiran yang melihat Max membawa Arini di punggung tersenyum melihat keduanya tapi pria itu tidak merasa malu.
"Apa mereka tidak pernah lihat orang seperti ini?" gerutunya.
🌼Istri Pilihan Max🌼
🌼Author's noted :
Komen! Curhat pun boleh di sini. Setelah Jayson kusembunyikan beberapa hari. Ganteng dia! Nggak niat pindah fans club kalian? 😂
Nggak komen, part 9 kukekepi sampai tahun baru Kiko.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top