🌼3. Kebakaran di Dapur🌼
Udah voted kamu?
Max duduk di sebuah ruang tunggu besar sambil membaca buku kedokteran yang dipesannya dari toko buku online. Akhir-akhir ini, ia sering tak ada waktu membaca karena pasiennya bertambah. Namun ia meragukan hal itu. Ia kurang membaca karena lebih banyak menghabiskan waktunya merencanakan pernikahannya dengan Arini. Bisa saja ia meluangkan waktu sebelum tidur, tapi bahkan di saat itu pun, Max tidak bisa mengusir sosok gadis itu dalam pikirannya.
Setelah sepuluh tahun, akhirnya Arini Putri Primarastri akan menjadi miliknya. Dulu, Max bahkan tidak berani memikirkan itu. Max menganggap dirinya menderita kelainan karena perceraiannya. Berkali-kali dalam hidupnya di masa lalu, ia ingin menyentuh Arini ketika melihat gadis itu sendirian tanpa pengawasan orang tuanya. Max dikuasai keinginan untuk menjadikan gadis kecil itu miliknya. Namun di saat-saat akhir, Max kembali pada akal sehatnya. Ketika pikiran itu muncul lagi, ia segera pergi mandi dengan air dingin agar tetap sadar. Max juga pernah menemui psikolog dan menceritakan kegilaannya. Ia mencurahkan kegundahannya kalau ia mungkin memiliki kelainan suka pada anak kecil. Namun psikolog itu meyakinkan dirinya kalau dia bukan pedofil karena hanya tertarik pada Arini, dan tidak pada anak-anak lainnya. Itu obsesi. Namun obsesi pada anak yang belum cukup umur tetap saja abnormal. Akhirnya, Max berusaha mengalihkan perhatiannya dari Arini dengan berkencan dengan psikolog-nya, yang juga memiliki ending yang berantakan.
"Dok!"
Max kembali pada kesadarannya ketika dipanggil. Pegawai butik baju pengantin itu mengejutkan Max dan ia lebih terkejut melihat Arini berdiri di hadapannya dengan gaun pengantin berwarna putih gading memamerkan bahu yang terbuka. Payudaranya yang montok terekpos, pinggangnya mungil. Max sampai ragu kalau gadis itu sedang hamil.
Sialan!
Max memaki dirinya sendiri dalam hati. Di usia yang sudah tidak muda lagi, ia begitu gampang bernafsu. Puber kedua. Andai saja, tidak ada pegawai butik, Arini pasti akan ditariknya ke sofa dan ditindihnya.
"Bagaimana?"
Max mengusap-usap rahangnya.
"Ganti!" sahutnya tegas. Lalu ia pura-pura membaca bukunya lagi tapi matanya melirik Arini yang tampak cemberut. Gadis itu menghentakkan kakinya dan berbalik menuju ruang ganti.
Arini tidak jelek dengan gaun itu. Gadis itu sangat cantik. Hanya saja Max tidak suka kalau wanitanya mengenakan gaun yang bisa membuat pria lain tertarik dan memandangnya lama. Max tidak sudi.
"Tapi... kau boleh membelinya kalau kau mau. Hanya tidak untuk kau pakai di hari pernikahan kita."
Arini tidak menjawab, hanya buru-buru menarik tirai yang memisahkan ruang ganti dan ruang tunggu dengan kasar.
Dia pasti marah, pikir Max.
Berulang, kejadian seperti itu terjadi beberapa kali. Arini memilih gaun yang terlalu terbuka, Max tidak suka tapi juga tidak bilang alasan ketidaksukaannya. Dia cuma menggeleng dan melanjutkan bacaannya. Pegawai butiknya tahu kalau Max adalah dokter tenar, tidak berani berkomentar sebab sudah dipesan oleh pemilik butik kalau harus melayani Max dengan baik. Kalau Max sampai tidak jadi menyewa gaun di butik itu maka pegawai butik itu pasti kehilangan pekerjaannya.
"Tidak apa-apa, Dok. Kita cari sampai ada yang cocok," katanya. Max mengangguk tanpa menoleh.
Namun memang agak sulit memuaskan calon mempelai yang tidak memberikan deskripsi apa pun dan hanya memberikan mimik wajah kakunya.
"Aku rasa aku akan telanjang pada hari pernikahanku," desis Arini sengaja terdengar oleh Max. Lelaki itu bereaksi, disingkirkan buku tebalnya itu ke sofa dan ia berdiri.
"Kau yakin gaun paling mahal di butik ini sudah ada di sana semua?" tanya Max pada prgawai butik sambil menunjuk rak gantung di dekat ruang ganti. Pegawai itu mengangguk beberapa kali karena terintimidasi dengan gaya angkuh Max. Max mengangguk. Dengan wajah yang sedikit meremehkan ia berjalan ke arah rak itu.
"Biar aku yang pilih! Rasanya aku terlalu banyak menghabiskan waktu dengan menunggu di sofa itu."
Tangan Max terulur mencari-cari gaun yang sesuai kemauannya. Tidak terbuka, tidak ketat, tidak terlalu cerah. Sebenarnya dia sudah tahu gaun yang pas untuk Arini sejak awal tapi ia sengaja diam. Cukup menyenangkan baginya melihat gadis itu bolak-balik berganti baju untuk menyenangkannya seorang. Aktivitas yang diakuinya membosankan tetapi memuaskan ego laki-lakinya.
Max menarik keluar gaun putih itu. Gaun lengan panjang dengan pinggang yang melebar. Mirip dengan gaun kerajaan Inggris dan Arini langsung mencebik melihat modelnya.
"Apa ini?" pekiknya. Gaun itu tampak polos, hanya di bagian lengannya yang panjang itu dijahit dengan kain renda. Namun pegawai butik itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan kalau gaun itu ternyata bisa sesuai dengan selera Max, langsung membujuk Arini untuk mencobanya.
"Dicoba dulu. Itu modelnya hampir sama dengan yang dipakai Duchess of Cambridge, Kak."
Mungkin karena iba dengan pegawai butiknya, Arini akhirnya mau mencobanya walau dengan wajah cemberut. Sementara Max kembali ke sofa dan mengambil buku tebalnya. My Life as an Ob Gyn.
Max membalikkan selembar. Membacanya.
The embarrasing reason why we had to cancel a circumcision.
Max tersenyum.
"Dok!"
"Eugh!"
Ketika kepala dokter itu terangkat, matanya terpaku pada wanitanya. Arini mengenakan gaun pengantin yang sederhana itu tapi dengan potongan yang simple itu malah membuat gadis itu makin menonjolkan kelebihannya. Rambutnya yang tebal jatuh ke pinggang seperti halo yang membingkai tubuhnya, matanya yang besar itu makin bersinar cemerlang. Bibir merah muda itu cocok dengan warna putih gaunnya.
Kedua orang itu, Max dan Arini sama-sama diam, dan rasanya semua sistem tata surya juga diam karena mereka.
"Dok!"
Max melemparkan bukunya ke sofa dan berdiri.
"Okay!"
Arini tampak curiga dengan kata okay dari calon suaminya itu.
🌼Istri Pilihan Max🌼
Malam itu, sehabis dari klinik, Max mengetuk jendela kamar Arini yang memang terletak berhadapan dengan jendela kamarnya. Kepala gadis itu muncul tak berapa lama kemudian.
"Ada apa?"
"Kangen!"
"Sudah. Aku mau tidur!"
"Tunggu! Ke sini, dong. Sepuluh menit lagi. Aku tunggu, ya."
"Nggak mau!"
"Datang! Kalau tak datang, aku akan terus ganggu!"
Arini menutup jendelanya dan menarik tirainya sehingga Max tidak dapat memiliki akses melihat ke arahnya lagi. Sedangkan dokter itu menatap jendela yang sudah tertutup dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Dia kangen Arini, meskipun rumah mereka bersebelahan, tetap saja ia merasa rindu. Meskipun baru bertemu, tetap saja ingin bertemu lagi. Kalau tidak bertemu, ia merasa tidak tenang dan tidak bisa tidur padahal dulu tidak begini. Ketika Arini mulai kuliah di kota lain, ia memang merasa kangen tapi tidak menggila seperti saat ini.
Lima menit memandangi jendela yang tertutup itu, Max memutuskan untuk segera mandi. Ia tidak mau jika Arini tiba, dokter itu masih bau apalagi tadi siang ia membantu pasiennya bersalin. Max mandi di kamar mandi dalam kamarnya. Ia juga keramas dan menyadari kalau rambutnya sudah mulai panjang. Pria itu mengingatkan dirinya sendiri agar segera memotong rambutnya sebelum hari pernikahan. Tak sudi rasanya tampil kurang tampan dalam acara pernikahannya sendiri.
Belum selesai mandi, ia mendengar suara Arini memanggilnya dari lantai dasar. Segera ia keluar dari kamar mandi dengan melilitkan handuk di pinggangnya, meskipun rumahnya tidak dikunci dari dalam, Max kuatir kalau wanita itu akan segera pergi karena tak melihat Max ada di depan menyambutnya.
"Dok!"
"Ya, Sayang!"
Max tahu ketika Arini berbalik memandangnya, wanita itu syok karena pria itu bertelanjang dada dan hanya handuk yang menutupi bagian vitalnya. Itu juga tetap terekspos.
"Kenapa? Belum pernah liat laki telanjang?"
"Harusnya aku nggak perlu datang kalo dikasih pemandangan gini!"
"Oh gitu!"
Dia berjalan dengan langkah lebar dan mendekati Arini kemudian mengangkat tubuh mungil itu sampai duduk di atas pantry island. Karena itu antara sengaja atau tidak, lengan Arini bertumpu pada bahu lelaki itu. Max sadar kalau posisi seperti itu sangat berbahaya karena bisa saja ia bercinta sampai puas dengan Arini di pantry island. Itu akan menjadi suatu pengalaman pertama yang sangat tidak lucu untuk diingat.
"Mau pindah ke kamar tidurku?" tanya Max. Dia gemetar. Antara berharap dengan jawaban ya dan tidak. Ia ingin Arini bilang iya tapi jika memang itu yang diinginkan gadis itu, Max tak bisa mundur lagi.
"Kau kira aku tak pernah melihatmu shirtless?" tanya Arini.
"Eugh! Pernah?"
Max ingat memang pernah tapi pura-pura tidak ingat agar dia bisa menurunkan hasratnya yang terlalu menggebu-gebu.
"Jendela kamar kita seperti itu. Tentu saja aku bisa melihatmu ganti baju. Tapi kurasa kau memang sengaja buka baju di sana."
"Miss, itu kamarku. Aku bebas berbuat apa saja."
"Ya. Harusnya aku memang harus pindah kamar karena...."
Arini menelan ludah.
Max diam. Dia sengaja buka baju, itu benar. Hanya ingin membuat gadis kecil itu ketakutan. Ia terganggu karena jendela kamar Arini berhadapan dengan kamarnya. Namun ia tidak bisa seenaknya menyuruh orang pindah kamar padahal itu bukan rumahnya. Jadi, ia bukan tidak tahu Arini sering melihatnya bertelanjang dada.
"Aku juga pernah melihatmu bersama wanita itu."
Lima tahun yang lalu.
Arini tersenyum melihat kotak berukuran besar yang masih terbungkus dengan kertas kado warna ungu lembut. Kotak itu adalah hadiah dari Max untuk ulang tahunnya yang ke17.
Orang tuanya menyelenggarakan pesta ulang tahunnya di rumah, mengundang semua teman putrinya. Max datang membawa hadiah tapi tak lama. Dia bilang ada urusan lalu buru-buru kembali ke rumahnya. Namun itu saja cukup membuat Arini senang. Sehabis pesta itu, Arini membawa kotak itu ke kamarnya. Perlahan dibukanya selotipnya satu persatu karena tidak tega merobek kertasnya. Agak memakan waktu tapi begitu kotaknya terlihat, ia tersenyum.
Kotak itu berwarna pastel, berasal dari rumah boneka teddy. Isinya adalah teddy bear ukuran 18. Arini segera memeluk boneka itu yang mengenakan pakaian dokter lengkap dengan stetoskop. Dipeluknya boneka itu, diangkatnya tinggi-tinggi lalu dipeluknya lagi.
Arini membuka jendela kamarnya lalu berkata pada teddy bear-nya, "Itu Oom Peri-mu!"
Pada saat itu, Arini bisa menangkap sosok di jendela kamar Max yang memang tak tertutup. Dokter itu half naked.
Arini tak bisa memalingkan wajahnya dari Max. Dia tahu Max bisa saja melihatnya. Namun ia mengambil resiko ketahuan.
"Kau di sini, Sweetheart..."
Ada sosok lain di kamar itu. Seorang wanita karena lampunya dimatikan, Arini hanya melihat siluetnya.
Entah kenapa Arini menangis. Ditutupnya jendelanya dengan pelan karena takut ketahuan Max dan pacarnya. Dilemparkannya boneka hadiah Max ke tong sampah padahal sebelumnya ia sangat menyukai teddy bear itu.
Itu adalah hadiah ulang tahun ke17-nya yang terlalu berkesan.
🌼Istri Pilihan Max🌼
Sekarang.
"Eugh! Aku tidak ingat itu."
Max ingat setiap detilnya. Dia menanggalkan bajunya waktu itu karena kepanasan melihat gadis kecilnya yang sudah berumur 17 tahun itu mengenakan pakaian yang terbuka. Teman-teman lelaki sebayanya ada di sana. Max tidak suka tapi tak bisa berbuat apa-apa. Jadi ia hanya bisa memandangi jendela kamar itu sampai pestanya usai. Sedangkan wanita itu, mungkin adalah salah satu wanita yang pernah dekat dengannya. Max lupa siapa. Hanya tidak ada yang terjadi malam itu di kamarnya karena wanita itu pinjam toilet dan kebetulan toilet di lantai satu sedang diperbaiki.
"Tapi ngaku, kau sering membawa wanita-wanita ke sini?"
"Cemburu?"
"Nggak!"
"Pengen?"
"Apaaa?"
Max terkekeh melihat gadis itu mendelik sampai matanya yang sudah besar itu seakan mau meloncat keluar.
"Bilang saja kalo pengen. My pleasure, Miss!"
Max menyelipkan rambut Arini ke telinga agar bisa melihat wajah itu lebih jelas.
"Bilang kalo cemburu supaya aku tau."
"Terus?"
"Tidak ada wanita-wanita lain lagi, Sayang. Cukup kau saja. Puas?"
Meskipun manyun, Arini mengangguk.
"Jadi kapan mau main ke kamarku?"
Arini tertawa geli.
"Apa sih?"
Max menempelkan hidungnya ke pipi wanita itu sementara Arini masih tertawa geli.
"Jangan, Max."
Jangan apa? Jangan berhenti.
Suara Arini terdengar lemah jadi Max merasa diterima. Apalagi dilihatnya wanita itu memejamkan kedua matanya. Dia mulai mengecup bibir Arini. Tidak pelan tapi terburu-buru. Direngkuhnya tubuh wanita itu agar lebih mendekat ke tubuhnya. Ia yakin akan terbakar sekarang bersama Arini. Wanita itu mengucapkan nama Max pelan memberi kesempatan lidah pria itu memasuki mulutnya. Dihirupnya oksigen Arini, nafasnya memburu. Arini dikendalikan rasa ingin lebih, dikaitkan kedua kakinya di pinggang ramping calon suaminya itu. Merasakan sesuatu yang keras di antara kedua kakinya.
"Max! Arini! Apa yang kalian lakukan malam-malam begini!"
Teriakan suara ibunya Arini membuat keduanya memisahkan diri. Hasrat Max turun sampai titik minus. Sialnya, handuknya hampir terlepas membuat calon ibu mertuanya itu berteriak kencang.
Mati!
"Mama kenapa masuk rumah orang tanpa mengetuk?" tanya Arini malah menyalahkan ibunya. Ibunya menatapnya dengan sangat marah.
"Kalau Mama tidak datang tepat waktu, apa yang akan kalian lakukan?!"
Ibu Arini berusaha menenangkan diri.
"Mama sebenarnya mau mengantar kue bolu untuk Max tapi tidak jadi!" katanya sengit.
Max menelan ludah dan berusaha untuk tetap tenang. Salah ucapan, dia bisa batal menikah padahal Max sangat menginginkan pernikahan itu.
"Maaf, Bu."
"Segera pakai bajumu. Ibu tunggu di rumah. Kita harus bicara!"
"Iya, Bu."
Ibunya Arini mengangkat dagunya tinggi dan berbalik meninggalkan rumah Max tapi kemudian ia balik lagi dan berkata pada putrinya, "Kau juga. Pulang! Kau mau melanjutkan kebakaran di sini, ya?"
"Mama!" pekik Arini. Ia menatap Max dengan ragu tapi pria itu mengangguk dan memberi kode agar Arini tetap tenang dan mengikuti keinginan ibunya.
"Tunggu aku!"
🌼Istri Pilihan Max🌼
Kehadiran Max sudah ditunggu oleh kedua orang tua Arini di ruang tamu. Arini duduk bersama mereka. Max sudah berpakaian rapi dengan baju t-shirt berwarna hitam dan celana training senada. Rambutnya yang acak-acakan sebelumnya sudah disisir rapi.
"Duduk, Nak," tukas ayahnya Arini. Dulu ia selalu memanggil Max dengan panggilan Dok tapi sejak pria itu melamar Arini, Beliau memanggilnya dengan sebutan Nak.
Max duduk di samping Arini. Calon ibu mertuanya masih tampak emosi sehingga tidak mau menatap Max.
"Maafkan kami khilaf, Bu."
Ibunya Arini mendengkus kesal.
"Ma, Nak Maxim minta maaf, tuh."
Max menunduk bukan karena ia menyesal telah menghidupkan api di dalam diri Arini. Dia tidak menyesal karena dengan itu, ia jadi tahu kalau gadis itu juga bergairah padanya. Pelan-pelan ia bicara.
"Ini salahku, Bu. Aku yang meminta Arini datang ke rumahku. Anak Ibu terlalu cantik."
Dipuji memiliki anak cantik membuat ibunya Arini sedikit melunak. Kini, ia mau menatap Max.
"Toh, kalian sudah akan menikah bulan depan. Tidak sampai empat minggu lagi. Kenapa tidak bisa menahan diri?"
Max berdiri dan bersimpuh di hadapan orang tuanya Arini. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan, matanya sayu menatap kedua orang tua Arini. Namun sekarang ia punya alasan untuk segera mengurangi rasa gundahnya karena mesti menunggu 4 minggu.
"Ini salahku. Aku sudah terlalu lama memendam perasaanku pada Arini. Jika kuatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan, kenapa kita tidak memajukan tanggalnya saja?"
Arini bengong untuk waktu yang lama.
"Pak, Bu, ijinkan saya. Daripada kami melakukan dosa," pinta Max dengan wajah memelas.
Orang tua Arini saling bertukar pandang. Sama bingungnya. Sebulan dan seminggu, tidak ada bedanya.
"Ma..."
Ibunya Arini menarik nafas panjang. Dia bukan tidak menyukai Max. Pria itu dokter dan sudah menjadi tetangga mereka selama sepuluh tahun. Ia hanya minta Max tidak melakukan hal-hal aneh sebelum pernikahan. Namun pandangan Max juga tidak salah. Daripada mereka melakukan dosa memang lebih baik tanggalnya dimajukan. Semua persiapan sudah selesai.
"Ya sudah. Terserah kalian berdua. Tapi pastikan kau merapikan rambutmu sebelum harinya."
🌼Istri Pilihan Max🌼
Author's Noted :
Panas banget dah di sini! Gimana cara potongnya buat layak dipajang di KBM? Pusing!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top