🌼14. Us🌼

Maximers ayo voted!

Arini duduk di dapur memandang kosong pada ponsel milik Max yang tertinggal di atas meja granit di depannya. Max pergi terburu-buru sehingga lupa membawa ponselnya. Kata-katanya sebelum pergi masih terngiang-ngiang di telinga Arini.

Kau ingin pisah dariku?

Arini tidak dapat membaca wajah Max saat bertanya karena ia terlalu syok. Ketika sadar Max sudah pergi. Dia diam untuk waktu yang lama karena memikirkan alasan Max menanyakan hal itu padanya.

Pisah?

Arini tak pernah berpikir untuk berpisah dari Max. Waktu menikah dengan Max walaupun awalnya terpaksa karena keadaan dirinya hamil, ia tak pernah berpikir untuk berpisah dari Max setelah anaknya lahir. Max adalah suami yang baik, selalu menafkahi dirinya lahir dan batin, tentu ia pasti juga bisa menjadi ayah yang baik. Selama ini Arini bahagia sebagai istrinya. Kecuali saat dia gila kerja, tapi akhir-akhir ini Max mulai mengurangi kegilaannya itu. Dia mulai berpaling dari kerjaan ketika istrinya memanggil.

Max memang perhatian. Siapa pun yang melihat, pasti akan bilang dia sangat menyayangi istrinya. Sayang tapi bukan cinta. Waktu Max memintanya menikah dan menerima Arini tanpa syarat adalah dia bilang usianya sudah tua dan dia butuh istri. Max butuh istri dan kondisi Arini cocok untuk mengisi posisi itu.

Ponsel itu berdering. Deringan yang entah sudah berapa kali. Yang sebelumnya dari rumah sakit, mengabarkan ada pasien yang pecah ketuban, sedangkan Max sedang lari-lari di malam bergerimis. Arini menunggunya di teras dan Max pergi tanpa membawa ponselnya.

Arini melirik nama di layar.

Nyonya Pemilik Cafe calling...

Arini mengusap layar ponsel tapi diam. Ia tidak tahu siapa Nyonya Pemilik Cafe yang sedang mencari Max, bisa saja pasien Max, tapi juga tidak yakin karena biasanya kalau ada yang penting, pihak rumah sakit yang menghubungi.

"Halo, Lian!"

Arini terdiam, suara perempuan di seberang sana memanggil suaminya Lian.

"Halo, Lian?"

Arini ragu menjawab tapi akhirnya dia bersuara.

"Max meninggalkan ponselnya."

Lalu hubungan telepon seluler itu terputus. Arini memandangi ponsel itu dengan curiga kalau itu tadi adalah wanita selingkuhan suaminya sebelum akhirnya berbunyi lagi.

"Arini Putri? Aku Sintya Adinatan. Bisa kita bertemu?"

Arini tahu nama Sintya, dia adalah mantan istrinya Max. Mereka memang harus bertemu sebab Arini ingin bertanya apa mereka masih saling mencintai, dan sengaja mempermainkan perasaan Arini sebagai istri Max.

"Baik, di mana?"

"Tunggu saja di sana. Kujemput. Lian akan membunuhku jika dia tau, aku mengajakmu keluar malam-malam."

Tiga puluh menit kemudian, Arini duduk di mobil Honda Jazz merah yang dikendarai oleh mantan istri Max.

"Bagaimana kabarmu? Aku dengar kau keguguran?" tanya wanita bermata besar itu. Arini menilai Sintya itu memiliki wajah yang cantik, matanya besar bersinar cerdas, bibirnya penuh dan proporsional, jika usianya seperti Max, dia kelihatan awet muda. Arini merasa sangat terintimidasi.

"Kau tau... soal itu?" tanyanya. Sintya mengangguk pelan. Arini pun mulai merasa sedih dan kecewa pada Max. Kejadian dirinya keguguran ini sampai diceritakan pada Sintya. Dia mulai curiga kalau Sintya juga tahu kalau ayah bayi yang dikandungnya bukanlah Max. Arini membayangkan ketika suaminya menceritakan itu, Max dan Sintya tertawa-tawa lalu mengatakan Arini perempuan murahan. Jay benar soal itu, Arini perempuan murahan. Siapa pun yang melamarnya waktu itu pasti akan diterimanya karena dia butuh pria yang bisa dijadikan sandaran.

"Dia tidak bilang apa-apa. Jangan salah paham. Aku kebetulan bertemu dengan ibu mertuamu. Kau tau kan, kalau hubungan keluarga kami baik? Aku lihat ibu mertuamu sedang belanja untuk keperluanmu dan tampak kuatir. Mama bilang ketika aku bertanya. Dan maaf... aku masih memanggil ibu mertuamu dengan panggilan Mama. Beliau yang memintaku. Waktu kami cerai dulu, Mama pesan, ketika lukaku sudah sembuh, aku tetap akan menjadi putri yang tak pernah dimilikinya," tukas Sintya lirih. Matanya menatap lurus ke jalanan dan masih fokus menyetir.

"Jadi hubungan kalian masih baik?" tanya Arini tak bisa menyembunyikan rasa cemburu. Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan kepala oleh Sintya.

"Kenapa kau membiarkannya menikahiku kalo begitu?"

Sintya mendadak menginjak rem dan mobilnya berhenti. Arini hampir terantuk ke dashboard tetapi ada selt belt yang menahannya.

"Aku tidak ingin dia menikah, Arini. Kalo bisa aku ingin dia menyesal seumur hidupnya karena telah menyia-nyiakan aku. Tetapi...." Sintya tidak melanjutkan kalimatnya tapi menggigit bibirnya. Sakit, itulah yang dia rasakan. Dia tidak ikhlas melepas pria itu dulu, ketika kata cerai diucapkan, ia masih terlalu emosi sampai Max mengabulkannya dan ia menyesal setelahnya. Setelah lewat beberapa tahun, Max masih betah menduda, ia merasa puas. Setidaknya Max tidak dapat menemukan wanita yang lebih baik dari dirinya. Sebelum akhirnya ia mendapat kabar dari Nita Wijaya kalau Max akan menikah dengan gadis yang masih sangat muda. Pria itu tidak bilang apa-apa padanya hanya untuk menjaga perasaannya.

"Tetapi aku lihat dia terlihat berbeda dengan Maximillian yang sebelumnya. Dia lebih manusiawi, lebih hidup, lebih normal. Aku memilih menyukai dia yang begitu. Kau sangat beruntung tau!"

Arini tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Sintya, ditatapnya wanita itu. Sintya meletakkan tangannya di atas kemudi kemudian mengetuk-ngetuk jarinya.

"Kalian masih saling menghubungi. Dia marah padaku ketika aku mendengar percakapan kalian!" pekik Arini. Sintya tertawa getir sampai mau menangis.

"Kau gadis bodoh! Kau tidak tau?"


Arini memang merasa bodoh karena tidak tahu bagaimana hubungan Max dengan wanita yang sedang bersamanya ini. Mereka menikah, cerai, kemudian masih saling mencintai dan sama-sama punya pasangan hidup. Sekarang, mantan istri suaminya memakinya bodoh. Arini memandang wanita itu sengit. Ia ingin menjambak rambut Sintya kalau bisa sampai botak, tapi Arini tak ingin tampak lebih bodoh lagi karena bertengkar karena suami yang tak pernah mencintainya.

"Setiap pembicaraan kami, itu semua berisi dirimu!"

Arini terhenyak.

"Kau bohong!"

Sintya menghela nafas dan menatap Arini, wanita yang membuatnya iri karena berhasil membuat Max melangkah.

"Ada manfaatnya kalo aku bohong. Aku benci padamu, Arini. Tapi aku tidak sanggup membohongi hati nuraniku kalo aku bahagia karena Lian bahagia."

Arini diam, menatap Sintya. Ada banyak manusia berhati busuk di dunia ini, tapi Sintya bukan salah satunya.

"Dia menyimpan nomor teleponmu di ponselnya dengan nama Nyonya Pemilik Cafe!"

Sintya tertawa terbahak-bahak sambil memukul stirnya.

"Lian takut kau cemburu tapi dia ingin kau cemburu. Pria aneh! Sungguhkah? Dia menyimpan namaku Nyonya Pemilik Cafe? Dasar gila!"

Arini mengeluarkan ponsel Max dari dalam tas tangannya. Ia sengaja membawanya karena Sintya bisa menghubunginya lewat ponsel itu.

"Lihat!"

Arini menekan nomor pin ponsel Max dan mencari nama Nyonya Pemilik Cafe lalu menghubungi Sintya. Ponsel Sintya berdering beberapa detik kemudian.

"Dasar gila!"

Sintya tertawa, begitu juga Arini. Wanita itu lupa kalau sebelumnya ia sangat ingin menjambak Sintya. Mantan istri Max itu ternyata orang yang sangat menyenangkan.

"Ponselnya ketinggalan?"

Arini mengangguk. Tiba-tiba ia ingat, Max membuat nomor pin untuk ponselnya dan Arini bisa membukanya karena nomornya adalah ulang tahun Arini. Diulanginya memasukkan tanggal lahirnya. Terbuka.

Arini menatap Sintya, wanita itu juga menatapnya heran.

"Kenapa?"

"Ini tanggal lahirku!" pekiknya. Sintya memberinya tatapan ya ampun! Kau baru nyadar sekarang? Diketoknya kepala Arini karena kesal tapi wanita itu malah sibuk membuka aplikasi foto di sana. Dia tidak pernah memeriksa ponsel Max, jika benar suaminya seperti yang dikatakan Sintya, ponselnya akan mengatakannya.

Foto!

Foto terakhir di ponsel Max adalah Arini yang sedang memberi makan Kiko, itu beberapa hari lalu. Arini menggeser lagi. Lagi-lagi fotonya. Ia bahkan menemukan foto dirinya naik ke mobil Jay artinya Max tahu kejadian itu dan memutuskan untuk tidak bertanya pada Arini, menanggap itu tak pernah terjadi. Pada malam itu, Max berjanji untuk membawa Arini ke mana pun ia pergi, di saat seharusnya pria itu marah karena istrinya pergi dengan pria yang bisa mengancam kehidupan pernikahannya. Itu artinya, Max tak ingin berpisah darinya.

Arini syok. Namun masih belum bisa menerima kenyataan. Digesernya lagi foto-foto itu sampai foto yang paling lama. Itu fotonya sepuluh tahun yang lalu. Arini bersama Kiki di depan rumahnya, sama sekali tidak tahu kalau ada yang mengambil fotonya.

"Ini foto kapan? Kau masih remaja!"

Arini tertawa kemudian menangis.

"Sepuluh tahun yang lalu dan aku tidak tahu dia mengambil fotoku," jawab Arini. Air matanya mengalir.

"Gila dia! Sepuluh tahun yang lalu, ya? Kutebak! Baru pindah rumah? Gila dia! Dia jatuh cinta pada bocah."

Arini mengangguk-angguk dan menepuk dadanya berkali-kali. Dia bahagia mendapati fakta kalau ponsel Max berisi foto-fotonya yang Arini sendiri tidak tahu pria itu diam-diam mengambil fotonya.

"Sudah kubilang, kan? Coba cek lagi chatting-nya yang lain. Cek, Arini. Semua akan menunjukkan betapa Lian mencintaimu. Kau masih mencurigai kami pula. Cek, Arini. Bila perlu cek juga chatting-an kami!" tukas Sintya komat-kamit. Arini melakukannya. Chattingan dengan Sintya, dengan Suryo yang baru diketahui Arini kalau orang ini adalah detektif swasta yang disewa suaminya untuk membuntutinya. Pantas kalau Max punya foto waktu Arini naik ke mobil Jay, tapi suaminya tidak langsung menuduhnya berselingkuh.

"Sudah? Sudah percaya, kan? Sudah percaya Lian mencintaimu?"

Arini menutup wajah dengan tangan setelah melempar ponsel Max ke pangkuannya. Dia sangat bahagia sampai ingin teriak rasanya.

Kau ingin pisah dariku?

Arini tersentak. Max tanya apa Arini ingin pisah dan ia tak menolak. Dia marah pada dirinya sendiri karena diam. Diam yang artinya iya. Arini mencengkram lengan Sintya yang berada di atas setir.

"Antarkan aku ke rumah sakit!" pintanya dengan nada memohon.

"Sekarang? Sudah malam!"

"Tolong, aku harus bertemu Max."

Sintya mengangguk melihat betapa seriusnya permintaan Arini. Dikemudikannya Honda Jazz itu menuju rumah sakit. Selama perjalanan itu, Arini hanya diam memikirkan pernikahannya yang baru seumur jagung dengan Max tapi suaminya itu mencintainya sejak dulu. Dia tidak menyadarinya. Max pernah mencuri ciuman pertamanya yang membuatnya takut bertemu dengan dokter itu. Arini juga baru teringat kalau Max sering mengusir teman-teman laki seusianya dan bilang kalau dia masih belum boleh pacaran, itu bukan nasehat seorang paman kepada keponakannya, tapi itu tanda kalau pria itu memberi tanda bahwa pada suatu hari dia akan memiliki gadis itu. Max juga menyatakan keberatan ketika orang tua Arini meminta pendapatnya ketika mau melanjutkan kuliah ke negara lain. Max bilang kalau Arini bisa kuliah di sini saja dan masih dalam pengawasan orang tua.

Mobil Sintya berhenti di depan pintu masuk rumah sakit. Wanita cantik itu bilang ia tidak perlu menemani Arini karena urusan mereka sudah beres.

"Terima kasih sudah mengantarku," ucap Arini sambil meloncat turun dari mobil.

"Arini tunggu!"

Arini berbalik dan harus memirinkan badannya agar dapat melihat Sintya dari kaca mobil. Sintya menggigit bibirnya dan kelihatan agak ragu.

"Aku akan menjaga jarak dengan Lian. Tidak baik dilihat kalo aku dan dia tetap berteman. Kau saja curiga, apalagi orang lain. Suamiku juga bisa curiga," tukasnya. Arini mengerjapkan matanya.

"Tapi... Max..."

Sintya menelan ludah. Sebuah keputusan yang sulit baginya. Menikah, bercerai, berteman baik dan dia masih menyimpan rasa untuk mantan suaminya padahal dia sudah bersuami. Ia dekat dengan Max, juga bukan ingin mantannya itu pisah lagi dengan istrinya. Sintya harus berpikir untuk kebaikan semua orang.

"Menjaga jarak bagus untuk kita semua, Arini. Aku senang mengenalmu. Kau orang yang baik, tapi kita tak bisa berteman karena kondisi kita tak memungkinkan. Maaf karena selama ini membuatmu berpikiran yang tidak-tidak."

Arini mengulurkan tangannya, ia hanya ingin melakukannya untuk membuat Sintya merasa lebih baik. Sintya menyambut tangannya dan menggenggamnya sebentar.

"Sampai jumpa!"

Lalu mobil merah itu melaju pelan meninggalkan pintu depan rumah sakit. Sintya melirik kaca spion dari dalam. Dilihatnya Arini masih berdiri di tempat ia meninggalkan wanita itu. Sintya menarik nafas lega dan tersenyum.

"Sekarang, semua tinggal tergantung padamu," bisiknya lirih.

🌼Istri Pilihan Max🌼

Max masih berada di ruang operasi karena ada pasien dengan bayi posisi sungsang, menurut Suster Mita. Jadi Arini menunggunya di ruang tunggu operasi. Suster Mita memintanya menunggu di klinik tapi Arini menolak karena ia ingin menjadi orang yang ditemui Max ketika pria itu keluar dari ruang operasi.

"Tapi nggak tahu kapan selesai, Bu," beritahu suster itu. Arini mengangguk mengerti.

"Tidak apa-apa," jawabnya. Suster Mita mengantarkannya ke ruang tunggu.

Tidak apa-apa aku menunggu sejam, dua jam, tiga jam. Dia sudah menungguku selama sepuluh tahun.

Dalam hati wanita itu bertanya-tanya, kapan Max mulai mencintai dirinya. Pada hari dia menempati rumah itu, ketika Arini mengantarkan Kiki pulang. Husky yang dibilang Max sedang berusaha memperkenalkan seorang bocah yang akan dinikahi pemiliknya. Kejadian yang lucu jika diingat lagi. Arini tanpa sengaja mengaitkan rambut panjangnya pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan Max seolah itu adalah pertanda kalau mereka sudah terkait secara emosional.

Max pasti sudah mencintainya sebelum mencuri ciuman pertamanya pada malam di pesta ulang tahun yang tak ingin dihadiri Arini. Gadis itu tak ingin datang, dia takut pada Oom Dokter itu yang suka menatapnya diam-diam. Arini kecil tidak tahu apa arti tatapan Max, tapi juga segan untuk bertanya pada ibunya. Jadi ia lebih memilih menghindari tempat di mana ia hanya bersama dengan Oom Dokter.

Namun Oom Dokter itu mencuri ciumannya sehingga Arini membuatnya makin takut pada Max. Pada malam itu, meski takut, ia merasa bahagia karena telah menjelma dari seorang bocah menjadi seorang gadis. Akhirnya, Max melihatnya sebagai seorang perempuan. Berhari-hari Arini menghindari Max karena malu dan takut. Takut kalau ia hanya mimpi. Benar saja, Max menganggap semuanya tak pernah terjadi. Arini menduga karena pria itu mabuk maka ia tidak sadar pernah mencium Arini sebab dirinya pernah mendengar Max bilang begitu pada salah satu pacarnya ketika mereka bertengkar.

Hanya karena seorang pria memelukmu, bukan berarti dia mencintaimu.

Arini pun terbangun dari mimpinya kalau Max tak akan mungkin melihatnya sebagai seorang perempuan. Pria dewasa yang sudah pernah kawin cerai tak akan pernah tertarik padanya. Arini pun menutup kisah itu bahkan sebelum dimulai. Apalagi Max selalu membuatnya kecewa bahkan tanpa dia sadari. Memberi Arini hadiah di ulang tahunnya lalu menorehkan luka di hati gadis berusia 17 tahun itu.

Sepuluh tahun ini, dia tak pernah membicarakan kalau ia pernah jatuh cinta pada Max, Oom Dokter adalah pria pertama yang menciumnya sebagai perempuan. Ia berusaha melupakan Max dengan lebih banyak berteman dengan pria yang sepadan dengannya dan tak pernah berhasil. Sampai Arini meninggalkan kota kelahirannya, ia cukup senang karena mendengar Max mencegahnya. Bahkan ketika Kiki sakit dan meninggal, Max juga menghubunginya, hanya sekedar itu. Max tak pernah menghubunginya untuk hal lain. Sampai Jay menguasai hatinya. Max tergantikan.

Arini tak memiliki maksud apa-apa ketika dia pulang dalam keadaan berbadan dua. Dia ingin menghilangkan bayinya kemudian melanjutkan hidup. Hanya saja Max terlalu baik dan mau menikahi Arini tanpa syarat. Meskipun dia hamil, Max tetap akan menerima bayi itu sebagai anaknya.

Max mencintainya. Apalagi kalau bukan cinta. Dia sanggup melakukan apa pun untuk Arini. Arini yakin itu cinta. Walaupun tak pernah terucap tapi itu memang cinta.

Arini menghapus air matanya yang mengalir di pipinya. Bila Max tidak pernah bilang, Arini yang akan bilang dia mencintai pria itu. Bila Max tidak pulang, Arini yang akan mencarinya. Selama Max masih suaminya.

Kau ingin pisah dariku?

Itu pertanyaan bukan pernyataan. Max bertanya dan menyerahkan keputusan di tangannya. Bukan Max yang ingin pisah. Ketika Max keluar dari pintu ruang operasi itu, Arini harus menjawab pertanyaan itu, kalau dia tidak ingin berpisah dari suaminya. Kisah mereka yang dimulai sepuluh tahun lalu, akan terus berlanjut sampai mereka menua, seperti janji Max.

Menua bersama!

🌼Istri Pilihan Max🌼

🌼Author's Noted :

Kalau rame, langsung kushare part ending 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top