🌼13. My Worst Fear is Losing You🌼

Playing multimedianya ya. 😞

Maximillian Brawijaya Lie berjongkok di depan toilet dan menangis sesegukan tanpa tertahan. Dia dan Arini baru kehilangan bayi mereka karena kelalaiannya. Max berpikir seandainya ia tidak meninggalkan Arini sendirian di mobil, selalu mengawasi sebelum kejadian itu, dan tidak membiarkan Arini didekati Jay, kejadian itu tak akan terjadi. Max merasa gagal sebagai suami dan sebagai dokter kandungan.

Dia tahu pada siang itu, Arini datang ke rumah sakit untuk mengantarkan baju ganti, tapi mereka tidak bertemu karena ia sudah keluar bersama dokter lain. Max baru tahu, ketika detektif itu mengirimkan foto Arini naik ke mobil bersama dengan Jay. Max langsung balik ke rumah sakit dan menunggu Arini di klinik, tapi istrinya tidak kembali. Biarpun begitu, Max masih percaya kalau Arini tak akan macam-macam dengan Jay. Karena itu, dia tidak menelepon istrinya. Malamnya, ia pulang dan membawa makanan kesukaan istrinya, bersikap mesra padanya lalu berjanji padanya kalau Max akan membawa Arini ke mana pun dia pergi. Max menyesalinya. Seandainya Arini tidak ikut, bayinya tidak akan kenapa-napa.

Max berdiri di depan cermin, wajahnya tampak tak karuan karena tidak tidur. Dibukanya kran air dan membiarkan air itu tumpah di atas kedua tangannya lalu dicipratkan ke wajahnya. Ia tidak ingin Arini melihatnya dalam keadaan begini. Max tidak boleh sedih di depan istrinya. Jika dia sedih, Arini akan lebih sedih lagi.

Namun ketika ia menemui Arini yang sudah pindah dari ruang biasa ke ruang UGD, istrinya tidak bisa bicara apa-apa, hanya menangis dalam diam. Ketika Max memeluknya, Arini tampak seperti batu. Air matanya mengalir tanpa suara, tanpa kata, tanpa bergerak. Nita Wijaya datang menjenguk, ibunya Max itu menangis sambil memeluk menantunya.

"Tidak apa-apa, Nak. Kau masih muda. Kau masih bisa hamil. Iya kan, Max?"

Arini tak menjawab, hanya menangis. Begitu juga ketika orang tuanya datang bersama Airin. Arini diam seribu basa, ditanya apa pun oleh Meri, dia diam. Hanya air matanya terus mengalir. Melihat keadaannya seperti itu, Max lebih suka melihat Arini teriak, marah, sedikitnya menunjukkan emosi. Max bahkan rela menjadi sasaran pukulan Arini jika itu membuatnya lega. Tidak dengan diam seperti patung. Dia tidak makan atau minum, hanya infus di tangannya. Jika Max menyuapinya makan, dia membuka mulutnya tapi makan seperti robot. Arini kehilangan jiwanya.

Arini diperbolehkan pulang tiga hari kemudian, Max berpesan pada semua keluarganya agar menganggap hari itu seperti hari biasa dan jangan menyambut mereka di rumah. Jadi ketika keduanya tiba di rumah, hanya ada Kiko yang menyambut mereka. Arini membelai bulu lebat Kiko ketika Husky itu menyalak, Max agak tenang setidaknya istrinya menunjukkan tanda kehidupan, walaupun matanya terlihat sedih.

"Kiko rindu Mama. Iya kan, Kiko?"

Air mata Arini berlinang lagi. Max memeluknya dan menepuk punggungnya dengan sayang.

"Jangan menangis, Sayang. Cukup aku melihatmu begitu. Mau mati rasanya!"

Arini masih menangis makin lama makin kuat. Dipukulnya bahu suaminya.

"Ini salahku! Ini salahku! Arini, maafkan aku. Ini salahku sampai bisa terjadi seperti ini. Pukul aku tapi jangan diam, Sayang. Jangan diam saja!" bentak Max. Selama sepuluh tahun ini, tinggal bertetangga, tidak sekali pun Max pernah membentak Arini. Max yang selalu baik meskipun pada awalnya Arini takut dengan keberadaannya yang selalu menatap gadis itu seolah mau menelannya hidup-hidup. Max menyesal telah membentak, disentuhnya wajah istrinya dengan lembut.

"Maaf..."

Max melihat betapa terlukanya mata itu. Dia ingat sore itu ketika Arini datang ke kliniknya dengan ragu-ragu, Max memiliki firasat buruk. Ia yakin kalau Arini tidak akan menemuinya di klinik kalau ia baik-baik saja. Max langsung tahu Arini hamil dan meminta dokter itu menggugurkannya yang ditolak oleh Max. Max tidak sudi menghilang satu nyawa baru. Bertahun-tahun dalam hidupnya, ia berusaha menyelamatkan ibu dan bayi, Max tak akan menghilangkan satu nyawa yang begitu berharga. Meskipun wanita yang dicintainya mengandung bayi pria lain, Max bisa menerimanya tanpa syarat. Demi Arini, demi bayi itu.

Arini masih menangis ketika suara bel menandakan ada tamu yang menunggu pintu dibuka. Max melepaskan pelukannya.

"Bentar ya, Sayang."

Max pergi ke depan dan membuka pintu. Wajah dari orang yang paling dibenci muncul di depan rumahnya. Max hampir membanting pintu itu di depan wajah Jay tapi pria itu berhasil menahan pintunya.

"Aku datang bukan untuk bertemu denganmu. Aku ingin minta maaf pada Arini," tukas Jay. Max memandang wajah yang babak belur itu karena dihajarnya tiga hari lalu, dengan penuh kebencian. Ingin rasanya membuat rusuknya patah atau membuatnya cacat seumur hidup, Max rela masuk penjara asal bisa melakukannya. Namun ia pikir kalau dengan Jay datang bisa membuat Arini menunjukkan tanda kehidupan, Max akan menerimanya.

"Masuk!"

Max menyingkir agar Jay bisa melangkah masuk. Arini masih duduk di lantai ruang tamu dengan posisi yang sama seperti ketika Max meninggalkannya. Jay pelan-pelan melangkah mendekatinya. Ia sendiri takut jika buru-buru mendekat, wanita itu akan meraung-raung ketakutan. Max juga kuatir akan hal itu, ia langsung mendekati Arini agar jika terjadi sesuatu, ia bisa langsung memelyk wanita itu.

Jay jongkok di depan Arini yang menatapnya kosong.

"Maaf, Arini. Sejak dulu sampai detik ini, aku selalu menyakitimu."

Arini diam. Tidak menatap pria itu, menatap kosong ke lantai. Max ingin masuk ke dalam pikirannya agar tahu apa yang sedang dipikirkan wanita itu.

"Aku tidak tau kau tidak menggugurkan bayiku. Kau bilang kau menggugurkannya dan menikah dengan dia...."

Air mata Arini mengalir lebih deras, lantai yang didudukinya sudah basah oleh air matanya. Kiko memandangnya seolah Husky itu tahu kalau pemiliknya sedang sedih. Jay meraih tangan Arini walaupun awalnya ia takut wanita itu akan menolak.

"Kenapa kau bohong, Arini? Kau tidak perlu berbohong karena itu anakku!"

"Itu bukan anakmu! Kau menghilangkan kesempatan itu ketika kau menolak Arini," sembur Max. Jay mengangguk dan menyalahkan dirinya. Rambutnya yang biasa rapi, tampak sangat berantakan sama berantakannya dengan isi otaknya.

"Aku kembali ke sini karena aku sadar aku kehilangan dirimu. Aku kira jika kita masih punya bayinya, aku akan bisa menyingkirkan dia. Bagaimana pun bayi itu mengikat kita," tukas Jay getir. Arini sesegukan, bahunya terguncang. Max memeluknya. Jay benci melihat pemandangan itu. Ia masih menggenggam tangan Arini dan wanita itu dipeluk suaminya.

"Tapi ketika kau bilang bayinya sudah tidak ada, kesempatanku hilang. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi apalagi aku melihat kau sangat mencintainya. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain memaksamu. Aku khilaf, Arini," katanya sungguh-sungguh menyesal. Kejadian itu kembali berputar dalam ingatannya. Bagaimana ia mencoba memperkosa Arini dan wanita itu mati-matian menolaknya sampai suaminya datang dan menghajar Jay, lalu ia melihat darah. Darah dari darah dagingnya. Ia telah menjadi seorang pembunuh pada malam itu.

"Maafkan aku. Aku tidak berniat membunuh anakku sendiri," tukasnya dengan suara yang penuh penyesalan. Lelaki keras seperti Jay menitikkan air mata di depan orang lain, tidak akan terjadi lagi di sepanjang hidupnya.

"Aku mencintaimu, Arini. Maaf, aku membuatmu sampai begini..."

Max mengeraskan rahangnya dan menatap Jay dengan penuh kebencian.

"Kami akan menuntutmu secara hukum," tukas Max tenang. Arini bergerak dalam pelukannya.

"Ya, aku terima," jawab Jay tenang.

"Aku pastikan kau akan masuk penjara!"

Jay mengangguk. Dia rela masuk penjara untuk menebus kesalahan dan dosa-dosanya. Orang tuanya memang tidak akan membiarkan seperti itu menimpa putranya, tapi ia akan membuat mereka mengerti kalau Jay memang layak dipenjarakan. Seandainya dia tidak memaksakan kehendaknya malam itu, ia tidak minum-minum bersama teman-temannya yang kemudian mereka mengoloknya kalau pacarnya sudah menikah dengan tua bangka, dan ia tidak kembali ke rumah sakit untuk mengambil mobilnya yang diparkir di sana, ia tidak melihat Arini sendirian di mobil dan kejadian itu tak akan terjadi. Bayinya masih ada, dia masih punya kesempatan merebut wanitanya. Kini, bukan hanya kesempatannya hilang, dia juga menjadi seorang pembunuh.

"Aku tidak akan kabur, Dok. Anytime..."

"Good! Tunggu saja!"

"Ja...ngan Max."

Max ingin mendengar suara Arini melebihi apa pun selama 3 hari ini, tetapi kata pertamanya kepada Max adalah untuk mencegah makhluk bangsat itu masuk penjara. Max menatap istrinya dengan perasaan sedih. Dia tahu hati Arini hancur karena kehilangan bayinya, tapi Max juga hancur mendengar Arini membela pria itu. Max mulai kacau dan berpikir kalau Arini masih mencintai pria itu.

"Pergiii dari kami! Jangan pernah muncul lagi."

"Itu maumu, Arini Putri Primarastri? Kau sangat membenciku sampai kau tak sanggup lagi melihatku?" tanya Jay pilu. Hatinya teriris begitu perih. Tangannya makin kuat menggenggam tangan Arini. Arini menatap Max dengan tatapan memohon.

"Usir dia!"

Max mengangguk. Setidaknya biar Arini tidak ingin Jay masuk penjara, tapi dia juga tidak ingin melihat wajah pria itu lagi. Max masih bisa mempertahankan pernikahan mereka. Lalu ia melepaskan pelukannya dan bangkit.

"Pergilah! Dia tak ingin melihatmu."

Jay enggan melepaskan tangan Arini tapi Max tampak sudah tidak sabar ingin dirinya pergi.

"Selamat tinggal, Arini. Aku mencintaimu," ucap Jay melepaskan tangan Arini kemudian berbalik dan meninggalkan ruang tamu rumah Max dengan langkah gontai dan kepala tertunduk.

Kalimat aku mencintaimu terus mengiang-ngiang di telinga Max.

🌼Istri Pilihan Max🌼

Max menemani Arini sampai wanita itu tertidur. Dia tahu kalau sejak malam itu, Arini sulit tidur, kadang Max memberinya obat tidur supaya istrinya dapat beristirahat. Namun setelah itu, dirinya yang menderita insomnia. Yang dia lakukan kalau tidak bisa tidur adalah meninggalkan kamar tidurnya dan pergi ke ruang kerja untuk membaca buku-bukunya. Kadang ia harus keluar malam untuk membantu persalinan, Max meminta ibu mertuanya untuk datang menemani Arini. Lalu setelah tugasnya selesai, ia buru-buru pulang untuk mengecek keadaan istrinya.

Sejak kejadian Arini keguguran, Max tak pernah lagi tidur di kamar yang sama dengan istrinya. Dia takut untuk menyentuh wanita itu karena merasa gagal sebagai suami dan dokter. Bukannya ia tidak mencintai istrinya lagi, Max hanya takut. Bayangan istrinya hampir diperkosa oleh Jay membuatnya trauma. Sebagai dokter, Max sadar kalau dia butuh konsultasi tapi terlalu malu untuk menceritakannya. Namun, ia juga merasa kuatir, tidak ada bayi lagi yang menghubungkan mereka, Arini bisa kapan pun meninggalkannya karena tidak ada yang membebaninya lagi. Alasan wanita itu menjadi istrinya adalah karena hamil tanpa suami.

Jayson Malvis, setelah malam itu meminta maaf kepada Arini, mengundurkan diri sebagai General Manager rumah sakit. Max dengar kalau dia kembali ke Singapura. Orang tuanya sangat marah karena mereka berharap Jayson-lah orang yang bisa mewarisi bisnis mereka. Max tak pernah lagi mendengar kabarnya sejak itu.

Max masih menganggap Arini masih mencintai pria itu karena itu istrinya mencegahnya untuk menuntut Jay. Jika Arini memaafkannya, bukan tak mungkin suatu hari nanti, mereka akan bersatu.

"Max..."

"Ya, Sayang," Max pura-pura sibuk membaca buku di depannya dan tak mau menatap Arini yang masuk ke ruangannya. Dia berharap wanita itu segera mengatakan apa maunya lalu pergi tanpa mengganggunya. Max takut kalau Arini menyentuhnya, ia ingin melakukan lebih dan lebih lagi.

Arini diam dan hanya duduk di hadapannya. Max tetap mendiamkannya. Dia merasa dilema. Mendiamkan Arini sungguh sangat menyiksa, tapi Max juga tak bisa menyentuhnya bila teringat kejadian itu.

"Berapa lama kau akan bersikap begitu padaku?" tanya Arini ketika Max membalikkan lembaran bukunya untuk yang kesekian halaman.

"Eugh!" jawab Max tetap membaca. Arini memukul meja.

"Kau jijik padaku!"

Tatapan Max beralih dari buku kepada Arini yang sudah berdiri di depannya. Istrinya berdiri menantang, Max tak bisa memalingkan matanya dari wajah cantik Arini.

Siapa yang jijik?

"Kau kenapa, Max? Dulu kau tak begitu? Apa sejak kejadian itu, kau begitu membenciku?" tanya Arini. Max menaikkan alisnya, bibirnya cemberut maju beberapa centi.

"Bukannya kau yang masih mencintai pria itu?" tanya Max sinis. Matanya dingin menatap Arini lurus. Arini syok mendengar pertanyaan Max. Ekspresi Arini malah membuat Max yakin kalau benar istrinya masih mencintai pria itu.

"Terserah padamu, Oom!"

Arini kesal dan membalikkan badannya berniat meninggalkan Max tapi panggilan Oom itu telah memprovokasi emosinya. Max berdiri dan menarik lengan istrinya sampai menghadap ke arahnya. Arini balas menantangnya seakan dia lupa kalau ia hampir pernah diperkosa. Max tidak lupa pada kejadian mengerikan itu, karena itu ia buru-buru mencium istrinya dengan kasar meskipun panggilan Oom itu telah memicunya. Pria itu menunduk mencium Arini di bibirnya. Arini mendesah pelan. Max masih bergerak pelan, bibirnya bergerak turun ke leher. Tangannya menelusuri kaki Arini lambat.

"Kenapa kau tak pernah menyentuh lagi, Max?"

Max tidak menjawab, tangannya sibuk membuka kancing piyama Arini pelan-pelan. Wajah Arini menengadah menatap wajah Max.

"Siapa wanita itu, Max?" bisik Arini ketika Max mencium bagian belakang telinganya.

"Tidak ada," jawabnya sambil menggigit telinga Arini. Wanita itu terkikik geli. Matanya terpejam perlahan.

"Aku melihatmu, aku berkali-kali mendengarmu menerima telepon darinya," desah Arini. Max meninggalkan gigitan di bahu Arini.

"Aku bilang tidak ada, Sayang," bisiknya parau.

"Siapa...."

Mulutnya dibungkam oleh lidah Max yang menyapu bibirnya dengan lahap. Didesaknya Arini sampai rebah di atas meja.

"Kau tak pernah menyentuhku lagi seperti ini..."

Tangan Arini terangkat ingin memeluk Max tapi pria itu menangkup tangan istrinya dan menciumnya dari jemarinya, lalu lengannya pindah ke bahu dan lehernya. Arini melengkungkan punggungnya agar Max lebih bebas menyentuhnya.

"Kau ingin aku menyentuhmu di mana? Di sini?"

Tangan Max menyentuh perut wanita itu.

"Max..."

Max salah langkah, seharusnya ia tak perlu menyentuh daerah itu. Itu hanya membuat Arini teringat kalau ia kehilangan bayinya.

"Arini..."

Istrinya kembali mengancingkan baju piyamanya, sementara Max mengacak-acak rambutnya. Padahal tadinya ini merupakan awal yang bagus tapi Max sendiri yang mengacaukannya. Kelihatannya ia memang harus berkonsultasi dengan ahlinya. Max marah pada dirinya sendiri dan berjalan keluar dari rumah. Ia bermaksud keliling kompleks untuk menghilangkan emosinya yang berlebihan dan hasrat yang tak terlampiaskan. Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi ketika Max mulai berlari di kompleks itu.

Dia lari sebanyak 10 putaran lalu ketika kembali badannya basah kuyup dan Arini menunggunya sambil mondar-mandir di teras.

"Telepon dari rumah sakit. Pasienmu pecah ketuban!"

Wanita itu telah mempersiapkan handuk dan baju ganti, tas Max juga sudah ada di mobil. Ketika Max naik ke mobil, ia membuka kaca dan bertanya, "Kau ingin pisah dariku?"

Arini diam dan mobil putih itu melaju, menghilang bersama hujan rintik-rintik.

🌼Istri Pilihan Max🌼

Noted :

Aku nulis part ini sambil berlinang air mata kayak dulu nulis akhir part A Star Lover.

Puas Maximers?

Puas, komenlah 😬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top