🌼12. Don't Leave Me🌼
Voted dululah!
Saya reshare, ya. Kalau di versi buku, ada extra parts-nya. Lebih dari satu.
Dia tahu suaminya sedang bicara dengan suara rendah di telepon. Arini mencuri dengar dari balik pintu tapi tidak dapat mendengar lebih jelas apa yang dibicarakan suaminya. Hanya dia tahu jelas kalau yang sedang bicara dengan Max adalah mantan istrinya. Arini sempat melirik nama di layar ketika ponsel itu berdering di dapur, ketika Arini sedang berberes piring-piring kotor sehabis makan malam. Max yang menjawab telepon langsung menghilang ke ruang kerjanya diikuti pandangan mencurigakan dari Arini.
Arini sengaja menyeduh teh dan mengulas apel lalu membawanya ke ruangan Max. Namun suaminya itu berdiri membelakanginya dan tetap sibuk bicara di telepon. Wanita itu berusaha mencari kesibukan lain seperti mencari buku-buku di rak agar dapat mendengar pembicaraan suaminya. Suara Max rendah dan seksi hanya menjawab, ya, baik, tidak. Arini pikir Max sengaja. Ketika suaminya membalikkan tubuhnya dan melihat Arini duduk di depannya, Max terkejut.
"Sejak kapan kau ada di sana?" tanyanya agak kurang senang. Arini agak syok karena Max tak pernah marah-marah begitu padanya. Dia menunduk dan bilang,"Aku hanya membawa teh. Maaf kalau mengganggu."
Lalu ia pun bangkit dari kursi dan meninggalkan Max. Arini terpaksa pergi dari ruang kerja itu, padahal dia ingin tahu apa suaminya masih melanjutkan percakapan di telepon dengan mantan istrinya.
Tengah malam itu, ketika Arini berusaha bersikap lembut pada suaminya, Max menerima telepon lagi dan dia pergi keluar. Max bilang itu telepon dari rumah sakit dan pasiennya mau melahirkan. Arini tahu harusnya dia percaya karena profesi Max sebagai dokter kandungan memang mengharuskannya begitu tapi dia mencurigai suaminya malam itu, untuk pertama kalinya.
"Tidur saja, ya Sayang. Tak usah menungguku," pesan Max sambil mengecup kening Arini. Arini memejamkan matanya dan pura-pura terlelap.
Ya, aku tidak tahu kau akan kembali atau tidak.
Max pergi dan meninggalkan Arini yang menangis dalam kamar gelap itu. Dia tidak bisa tidur sampai pagi karena menangis. Max bukannya tidak pernah pergi keluar malam hari, sering malah. Namun, Max tidak pernah bersikap emosional ketika Arini diam-diam mendengarkan pembicaraannya. Max bahkan pernah meminta istrinya untuk mengganggunya jika dia sedang gila kerja. Jadi Arini sedih karena Max berubah.
Dia duduk di sisi ranjang memandangi foto pernikahan mereka pada dinding yang menghadap ke arahnya. Dalam foto itu Max tersenyum memandangi dirinya, latar di mana pria itu bersandar adalah jam dinding. Suaminya sendiri yang memilih foto itu untuk diperbesar dan dipasang di kamar.
Hati Arini ngilu memandangi foto itu karena Max tak lagi memandangnya seorang atau bisa jadi suaminya memang tak pernah memandangnya. Mungkin Max menikahinya karena kasihan sebab Arini sudah dilihatnya sejak kecil. Max bisa jadi belum bisa melupakan mantan istrinya. Yang menggugat cerai pun bukan Max tapi mantan istrinya. Menurut Suster Mita, mantannya itu belum bisa melupakan Max.
Arini mengambil ponselnya, berniat ingin menghubungi suaminya. Namun, ia kuatir kalau Max juga sampai tidak mengangkat teleponnya, Arini akan merasa tertolak. Jadi dia hanya memandangi ponselnya, berharap Max yang akan menghubunginya. Ia terus menunggu sampai pagi datang, Max juga tak kunjung pulang.
Hati Arini makin curiga, Max mungkin benar ada pasien yang melahirkan, tapi kemudian dia pergi ke tempat mantan istrinya. Kemudian, Arini menghibur diri dengan mengatakan pada dirinya sendiri kalau Sintya sudah bersuami, kecil kemungkinan kalau bersama Max sepanjang malam sampai pagi.
Bagaimana kalau ke hotel?
Call him!
Arini mengambil ponsel dan mencari nama Max di daftar telepon yang paling terakhir dihubungi. Arini menunggu telepon dijawab pria itu sambil menahan nafas. Sampai dering terhenti, Max tidak juga menjawab. Wanita itu menarik nafas panjang, sebab ia tak akan menelepon lagi. Ia hanya menunggu sampai suaminya pulang nanti siang atau sore. Max pasti pulang bahkan jika suaminya bersama perempuan lain, dia harus pulang untuk mengganti bajunya.
🌼Istri Pilihan Max🌼
Max tidak pulang, tidak juga menghubungi Arini, jadi wanita itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit pada siang harinya untuk mengantarkan baju ganti. Sejak kehamilannya masuk minggu kedelapan, Max tidak mengijinkan istrinya menyetir lagi, meskipun di garasi masih ada mobil yang menganggur. Biasanya Max meminta supir ibunya yang mengantar Arini ke mana pun ia mau. Namun karena Max tak bisa dihubungi, Arini memutuskan pergi ke rumah sakit dengan memesan mobil dari aplikasi.
Tetapi begitu tiba di klinik, suaminya tidak ada di sana. Arini bertanya kepada Suster Mita yang kebetulan masih berada di sana.
"Ibu, Dokter baru saja keluar. Mungkin kalo Ibu cepat, masih bisa nyusul ke parkiran," kata suster berambut pendek itu. Arini mengucapkan terima kasih dan buru-buru pergi ke parkiran.
Dia sampai di parkiran dan melihat mobil suaminya Lexus RX270 warna putih lewat di depannya.
"Max! Max, tunggu!"
Mobil mewah itu melaju, Max duduk di depan kemudi dan sedang tersenyum pada wanita di sampingnya. Dia sama sekali tak melihat Arini memanggilnya. Arini sadar kalau dirinya tak mungkin mengejar mobil Max, hanya bisa berharap pria itu melihat ke kaca spion dan menyadari Arini ada di belakang dan melambaikan tangan padanya. Namun ternyata usahanya sia-sia, Max tidak menyadari kehadiran Arini.
Arini sedih. Diliriknya paper bag berisi baju ganti Max. Suaminya bahkan tidak ingat berganti baju karena sibuk dengan wanita lain. Arini tidak tahu siapa wanita itu karena terlalu sibuk memanggil Max. Arini mundur kemudian bersandar pada dinding di sampingnya, menahan rasa sesak di dadanya. Kepalanya terasa dihantam oleh palu, hatinya sakit seperti tertusuk belati. Ada beberapa orang yang lewat tempat itu dan memperhatikannya tapi tak ada satu pun yang menanyakan keadaannya.
Tiba-tiba sebuah mobil pajero berwarna silver metalic berhenti di hadapannya. Pengemudinya menurunkan kaca mobil.
"Arini, kau kenapa?"
Arini melihat siapa pengemudi yang memanggilnya dan ketika ia tahu kalau Jay ada di dalam mobil, wanita itu membuang muka. Sementara itu, mobil di belakang mobil Jay yang merasa terhalang, sudah membunyikan klakson.
"Arini, naiklah sebelum semua orang melihat kita! Mukamu seperti hantu!"
Arini menggigit bibirnya dan tampak ragu.
"Ayo!"
Klakson itu terdengar lagi lebih panjang dan dibunyikan dengan tidak sabar. Arini menegakkan tubuhnya dan membuka pintu mobil Jay lalu masuk ke mobilnya.
Sementara itu, jarak beberapa mobil di belakang mobil Jay, Pak Suryo baru mengirimkan foto Arini yang baru naik mobil pajero itu.
"Kau kenapa?" tanya Jay pada Arini sambil menyetir keluar dari parkiran rumah sakit. Arini merasa sesak tapi tak mau menatap Jay. Ia melihat ke sisi kirinya di mana ada pohon-pohon rindang di sepanjang jalan.
"Arini, jawab! Kau kenapa?" teriak Jay. Arini menelan ludahnya. Dia tidak sudi menjawab pertanyaan Jay, sekalipun pria itu adalah orang terakhir di dunia yang bersedia mendengarkannya, Arini tidak mau menceritakan kalau dirinya baru melihat suaminya pergi dengan wanita lain.
Jay mencengkram lengan Arini dengan tangan kirinya yang bebas dari kemudi lalu menggoncangnya.
"Arini, jawab!"
"Aku turun di sana, dekat warung nasi itu," pinta Arini lemah. Jay melotot.
"Tidak boleh!"
"Aku lapar, mau makan di sana," jawab Arini. Dia tahu kalau bilang mau makan di warung nasi di jalan, Jay tak akan ikut turun. Jayson Malvin pria aristokrat sombong itu, tidak akan makan di warung nasi seperti itu.
Mobil Jay berhenti tepat di samping warung nasi dan Arini melompat turun. Hanya ia tak menyangka, Jay ikut turun. Pria itu berjalan di sisinya masuk ke warung dengan tenda.
"Ngapain kau ikut?" teriak Arini pada pria itu. Jay menyentuh perut ratanya sambil meringis.
"Aku lapar, Chagi. Aku juga perlu makan," jawabnya dengan nada memelas. Arini diam, dia tak ingin makan dan tak selera makan apalagi makan bersama Jayson. Ia hanya ingin sendirian untuk berpikir apa yang harus dilakukannya terhadap suaminya tanpa harus melihat Jay.
"Yuk, Chagiya. Kau mau bengong sampai pingsan? Meskipun aku tak keberatan menggendongmu!"
"Bangsat!"
Dengan hati yang mendongkol Arini terpaksa berjalan masuk ke warung tenda itu dan memesan nasi sayur dengan lauk seadanya. Sang ibu penjual terlihat memandang Jay dengan tatapan aneh. Sosok yang tampak tidak cocok dengan warung nasi pinggir jalan karena Jay terlalu angkuh untuk berada di sana. Dengan sepatu pantofel mengkilat, baju kemeja putih yang agak kusut di bagian punggung dan celana panjang lurus yang pasti kelihatan terlalu mahal, warung nasi itu tampak terbanting dengan penampilannya. Untungnya, Jay ingat untuk membuka jas kerjanya ketika turun dari mobil. Pasti lebih aneh kalau ia mengenakannya.
"Bapak pesan apa?" tanya ibu penjualnya.
"Seperti yang dipesan Nona Cantik itu," tukas Jay sambil menunjuk Arini. Si ibu tersenyum.
"Pacarnya, ya Pak?" goda si ibu. Arini mendengar pertanyaan itu dan pura-pura tak dengar. Ia menyuap nasi dengan satu suapan besar agar cepat habis dan mengakhiri kebersamaannya dengan lelaki itu.
"Dulunya iya. Sekarang sedang berjuang!"
Arini tersedak oleh jawaban Jay. Pria jangkung itu lalu menepuk punggungnya yang terus ditepis oleh Arini.
"Jangan sentuh aku!"
Si ibu penjual nasi tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengira kedua tamu ini adalah pasangan kekasih yang sedang bertengkar dan itu mengingatkannya akan masa mudanya.
Jay mengantarkan Arini ke sebuah mall sehabis mereka makan siang di warung nasi. Pria itu sebenarnya ingin menemani Arini tapi langsung ditolak.
"Aku mau menemui suamiku. Kau mau ikut?"
"Tidak sudi!" balas Jay sambil menggertakkan giginya. Arini mengangguk.
"Bagus!"
"Ceraikan dia! Kau tak berhutang padanya! Kalau soal bayi yang kaugugurkan, aku memaafkanmu," tukas Jay lirih.
"Oh terima kasih dan tidak, aku tidak mau menceraikan suamiku," balas Arini. Sampai sekarang, Jay percaya kalau bayinya sudah tidak ada, tetapi Arini akan tetap membiarkan lelaki ini berpikiran begitu. Itu akan lebih baik bagi semua pihak.
"Dulu, itu salahku... aku belum mapan..."
"Bye, Jay. Terima kasih untuk makan siangnya dan tumpangannya. Lain kali, kau tak perlu makan siang di tempat seperti itu."
Arini tak mau lebih lama lagi bersama Jay, ia langsung melompat turun dari mobil meskipun daerah drop off masih lumayan jaraknya. Jay terkejut ditinggal begitu saja, ia masih ingin bicara banyak pada wanita yang pernah dekat dengannya itu, tapi Arini sudah pergi dengan cepat. Jay menarik nafas panjang dan menyalahkan dirinya karena dulu tak berpikiran panjang dengan menolak bertanggung jawab atas kehamilan Arini sampai gadis itu kembali ke tanah air dan menikah dengan pria lain. Itu pun setelahnya, Jay belum juga sadar dan menjalin hubungan dengan teman Arini, yang tidak lebih dari sebulan. Setelah itu, Jay merasa hampa. Bertahun-tahun hidupnya di negeri orang baru terasa berwarna ketika Arini hadir. Dia mencoba menghubungi gadis itu tapi tak pernah dijawab, dari info teman-temannya Arini, mereka bilang gadis itu telah menikah dengan seorang dokter. Dia kembali ke kota kelahirannya untuk memastikan hal itu. Jay hanya tak menduga kalau pernikahan Arini adalah bayaran karena menggugurkan bayinya. Lalu keluarganya mencegahnya kembali ke Singapura dan memintanya bekerja pada salah satu bisnis mereka. Dia tak menyangka kalau suami Arini adalah salah satu dokter di sana.
Damn!
Dia benci sekali pada Max. Dia pernah mendengar dokter itu bicara tentang menjaga idealisme profesi dokter dengan teman-teman seprofesinya dan Jay hampir muntah mendengarnya.
Idealisme taik!
Jay tidak akan membiarkan Arini berada lama dalam cengkraman tua bangka itu. Jay akan merebutnya secepatnya. Lalu ia akan membawa Arini meninggalkan kota ini dan kembali ke Singapura.
Tunggu sebentar ya, Chagiya.
Jay melirik kursi yang baru ditinggalkan Arini lalu menyadari kalau wanita itu meninggalkan paper bag di mobil. Jay mau saja menghubungi Arini tapi dia ingat kalau wanita itu sudah memblocked nomor ponselnya. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah menyerahkannya pada Max di rumah sakit. Jay benci harus berada di ruangan yang sama dengan dokter tua bangka itu.
🌼Istri Pilihan Max🌼
Max tidak menghubungi Arini sepanjang hari, tetapi ketika ia pulang malam harinya, pria itu membawa cake jadul Tip Top yang disukai istrinya. Saat itu, Arini sedang berada di dapur dan membuat jus buah untuk dirinya sendiri. Max memeluknya dari belakang karena Arini tidak menyadari kepulangannya.
"Malam, Sayang," bisiknya di telinga Arini. Wanita itu terkejut dan menoleh ke samping. Max mengecup pipinya.
"Kangen?"
Bau khas Max membuat Arini merasa nyaman. Ia begitu menyukai harum khas itu, meskipun kadang Max belum mandi tapi berada di dekatnya dan memeluknya membuat Arini tenang.
"Kangen!"
Max mendekatkan hidung mancungnya ke wajah istrinya lalu menggosok pipi istrinya.
"Kau ke rumah sakit tadi?"
"Ya."
Arini melepaskan pelukan suaminya dan membalikkan badannya. Max telah berganti pakaian dengan pakaian yang dibawanya ke rumah sakit hanya dia lupa meninggalkan paper bag itu di mana.
"Suster Mita bilang kau membawakan bajuku. Makasih ya, Sayang."
Arini menggigit bibirnya sambil berpikir apakah sebaiknya ia menanyakan dengan siapa suaminya pergi ketika jam makan siang itu. Ketika ia masih galau, Max mencium bibirnya lembut dan lama. Menariknya lebih dekat dan menekan tubuh Arini dengan tubuhnya. Tangan Max menelusuri punggung istrinya kemudian jatuh ke pinggangnya. Arini memeluk leher Max dan melupakan hal-hal yang tadinya membebaninya. Kalau Max pulang ke rumah, semua masalah tidak ada, semua lenyap dengan sendiri. Asal dia pulang.
"Kalau aku begitu dirindukan, aku tak akan meninggalkanmu lagi. Kalau ada kejadian mendadak seperti kemarin malam, aku akan membawamu. Kau mau kan, ikut ke mana pun aku pergi?"
Arini mendongak dan matanya berbinar menatap suaminya. Bibirnya tersenyum.
"Kalau pasienku ada yang mendadak pecah ketuban malam hari, aku harus pergi..."
"Aku mau ikut, Max. Jangan tinggalkan aku sendiri di rumah tanpa kabar. Aku lebih baik pergi bersamamu," isak Arini. Max memeluknya sambil membelai kepalanya dengan lembut.
"Iya, maaf Sayang. Aku terlalu sibuk tadi. Kelak, jam berapa pun aku pergi, kau akan ikut. Kau bisa istirahat di klinik ketika aku membantu persalinan. Okay?"
Arini mengangguk-anggukan kepalanya dalam pelukan suaminya.
🌼Istri Pilihan Max🌼
Telepon itu berdering di malam hari lagi. Max bangkit dan mengangkatnya. Ia lalu membangunkan Arini yang tidur di sisinya dengan kecupan lembut.
"Bangun, Sayang. Ada bayi yang sudah tak sabar ingin bertemu ibunya. Ayo!"
Arini tidak langsung bangkit tapi malah mengaitkan kakinya pada pinggang suaminya dan memeluk lehernya.
"Jangan, Sayang. Kasihan ibunya," bisik Max. Padahal dia mau saja melanjutkan aktivitas seru itu. Arini cemberut tapi membuka kelopak matanya. Max menariknya untuk bangkit. Lalu ganti baju dengan cepat. Dalam kegiatannya berganti baju, Arini pun masih sempat memeluk punggung suaminya.
"Pakai mantel, Sayang," tukas Max sambil melepaskan tangan Arini dan menarik mantel dari lemari pakaian istrinya.
"Yaaa..."
Max mengemudikan Lexus RX270 karena mobil itu yang paling dikeluarkan sementara Arini duduk di sampingnya sambil memejamkan matanya. Tangan kiri Max menggenggam jemari istrinya. Butuh 20 menit dari rumah mereka ke rumah sakit karena jalanan yang sepi di malam hari. Max memarkirkan mobilnya dan dilihatnya mata Arini masih terpejam.
"Aku turun, Sayang. Kau mau menunggu di mobil atau di klinik?" tanya Max sambil mengusap rambut ke pipi Arini.
"Tunggu di sini saja," jawab Arini. Max mengangguk dan menyambar tas dokternya. Sebelum turun, ia berpesan, "Kunci pintunya. Jika kau bosan, tunggu aku di klinik."
Arini terlalu mengantuk untuk menjawab. Max pergi dengan tergesa-gesa tapi sempat mengecup kening Arini.
Wanita itu tertidur di dalam mobil sambil menunggu suaminya. Sampai ia sayup-sayup mendengar suara pintu dibuka. Arini pikir itu pasti suaminya. Dia menarik nafas agar dapat merasakan harum jantan yang menguar dari tubuh Max, tapi dirasakan bau minuman keras. Ia merasakan bau nafas itu berhembus di wajahnya. Dibukanya matanya perlahan. Arini mendelik karena bukan suaminya yang ada di sampingnya tapi Jay!
"Mau ap..."
Jay membungkam mulutnya dengan ciuman kasar. Arini memukul bahkan mencakar wajah lelaki itu. Lelaki itu baru saja menegak minuman beralkohol sampai kesadarannya hilang. Jay menurunkan sandaran kursi agar bisa memaksa Arini menerimanya. Wanita itu berusaha melepaskan diri dengan berteriak dan menendang tapi parkiran memang sepi dan kebetulan mobil Max jauh dari CCTV.
"Lepas!"
Makin Arini memukul dan menendang, Jay makin beringas. Dirobeknya piyama Arini. Wanita itu syok dan menangis. Berharap suaminya cepat datang dan menyelamatkannya dari tangan kotor ini. Tangan itu menyentuh bagian dadanya yang sudah terbuka. Arini menangis sekuat-kuat. Ketika lelaki itu mulai menindihnya, dia menendang ke segala arah.
"Jangaaaaann! Jangannnn sentuh akuuuu!!"
Jay tertawa seperti setan dan melumat bibir Arini. Arini menamparnya sampai wajah lelaki itu berdarah tapi si iblis itu tak juga melepaskannya.
"Max akan membunuhmuuuu! Pergiiiii!"
Air matanya mengalir. Arini ingin mati sekarang juga, ia tidak sudi kehormatannya sebagai istri Max ternodai.
"Kau perempuan murahan! Kau menikah dengan si tua itu karena dia kaya? Sekarang kita lihat kalau kau sudah seperti ini, apa dia masih menginginkanmu!"
Jay merobek celana dalam Arini. Arini teriak sekuat-kuatnya berharap siapa pun bisa mendengar.
"Kau bangsaatttt!"
Dia berteriak sambil menangis. Menendang sambil memejamkan matanya. Bau alkohol itu begitu menusuk. Dia tahu kalau Jay sudah menurunkan celananya. Arini hanya ingin mati jika Jay memperkosanya, ia tidak mau hidup menanggung malu.
"Setan!"
Jay ditarik keluar dari mobil. Arini terlepas dari cengkramannya. Dilihatnya Max ada di luar mobil dan menghantam wajah Jay dengan tinjunya. Jay sempoyongan, hidungnya berdarah. Dia menghalus darah dengan tangannya lalu memasang kuda-kuda ingin membalas tapi karena di bawah pengaruh alkohol, pukulannya kosong, tak mengenai sasaran. Max masih melepaskan pukulan upper cut beberapa kali sampai pria itu muntah darah. Satu side kick membuay Jay tersungkur.
"Max..."
Arini merasa kram di perutnya. Rasa nyeri menyerang daerah panggulnya. Arini merintih. Ia berusaha keluar dari mobil Max.
"Max... tolong..."
Max buru-buru menghampiri Arini dan melihat kalau selangkangannya mengeluarkan darah.
"Jangan bergerak, Sayang!"
Arini mengikuti sarannya dengan bersandar di mobil tapi ia bisa merasakan kalau darah terus mengalir.
"Nafas pelan-pelan, Sayang. Jangan menangis. Tidak apa-apa."
Arini makin menangis. Max langsung menggendongnya menuju Unit Gawat Darurat meninggalkan Jay yang baru menyadari kalau tetes darah di selangkangan Arini itu artinya selama ini wanita itu berbohong kalau dia sudah menggugurkan bayinya.
🌼Istri Pilihan Max🌼
🌼Author's Noted
Kalau nggak banyak yang komen, Arini dan Max kugantungkan. 😖 Biar makin penasaran kalian sama mereka berdua.
Tega nian yang baru baca, kasih voted di akhir saja. Sedih aku tuh. Apalagi makin ke sini, aku ngetik sambil nangis baper.
Aku selalu ingat nama yg komen dan voted dari awal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top