🌼1. Pelindung atau Perusak🌼

By the way! Kalian sombong, mau baca, taruh di library tapi ogah ngefollow.

"Apa jawabanmu?"

Maximillian masih berdiri di samping pintu kamar gadis itu sementara matanya yang sayu itu menatap lurus ke arah Arini yang duduk di atas ranjang. Wanita berusia 22 tahun itu ingin sekali melempar apa saja ke wajah dokter tampan itu tapi tak ada lagi yang bisa diambilnya. Sebelumnya ia sudah melemparkan semua bantal ke arah Maximillian karena telah berani mengungkapkan kalau dirinya hamil.

"Kau tidak memiliki pilihan lain, Arini. Satu-satunya pilihanmu adalah menikah denganku dan melahirkan anak itu."

Airmata Arini jatuh berderai. Andai saja dia tidak gegabah, andai saja ia mendengarkan semua nasehat orang tuanya, andai saja ia dengarkan juga nasehat Maximillian. Semuanya akan baik-baik saja. Ia tidak akan sampai hamil tanpa suami, tanpa ada yang mau bertanggung jawab.

Maximillian mendekat. Langkahnya pelan dan pasti. Ketika ia telah berada di dekat Arini, direngkuhnya bahu wanita itu dan dipeluknya.

"Menikah denganku tidak merugikanmu, Rini. Aku tampan dan kaya meskipun aku nggak muda lagi. Aku mau bertanggung jawab atas dirimu dan anakmu," bisiknya dengan suaranya yang khas. Mendengar penawaran seperti itu, Arini yang masih menangis sedih memukul bahu pria itu sementara itu Maximillian mengaduh dan tertawa. Dia yakin, pasti ia bisa membahagiakan Arini jika gadis itu menerima dirinya sebagai suami. Sebab sejak dulu, sejak Maximillian melihat Arini sepuluh tahun yang lalu, pria itu sudah menyukainya. Kenangan itu muncul kembali dalam benaknya seperti slide di dalam kepalanya.

Sepuluh tahun yang lalu.

Maximillian benci dengan segala keramaian ini. Dokter kandungan berwajah tampan dan berbadan tegap itu sebenarnya sudah mewaspadai kalau ibunya akan menyelenggarakan pesta menempati rumah baru. Ia bahkan sudah mewanti-wanti agar ibunya itu jangan mengundang siapa pun ke rumah barunya itu, apalagi mantan istrinya.

Max bisa mengerti dengan hubungan baik antara ibunya dengan Sintya. Pernikahannya dengan wanita itu memang direstui oleh Nita, ibunya Max karena pertemanannya dengan orang tuanya Sintya. Ibunya belum bisa menerima kalau akhirnya pernikahan putra sulungnya itu berakhir bahkan sebelum memberinya cucu. Jadi, sampai sekarang pun, ia masih berharap Max dan Sintya bisa rujuk. Bagi Max itu seperti merekatnya cangkir yang sudah pecah. Bekasnya akan selalu ada meskipun sudah diberi lem. Itu masalah utama dengan ibunya. Masalah nomor dua, masih ada.

"Max, coba ke sini dulu," panggil Nita, ibunya Max sambil melambaikan tangannya pada putra sulungnya itu. Pria itu berjalan menuju ibunya yang sedang berada di taman di depan rumah baru anaknya.

"Yes, Ma'am!"

"Mama mau kenalin ini kenalan Mama di klub membaca Mama."

Kalimat ibunya belum habis tapi Max sudah tahu ke arah mana pembicaraan ini. Tentu saja seorang ibu yang memiliki anak yang sudah duda, selain mengharapkan rujuk dengan mantan menantu, tidak menutup kemungkinan juga suka memperkenalkannya kepada gadis-gadis lain. Ibunya ingin menggendong cucu, inilah masalah nomor duanya. Jadi sekarang, karena rujuk dengan Sintya dinilai tak mungkin, ibunya mencoba cara ini.

Huh! dengkus Max sebal. Ia sudah bercerai lebih dari setahun dan kalau ibunya berpikir ia tidak pernah berkencan lagi, beliau itu pasti sudah salah menilainya. Max menyalami wanita yang dikenalkan oleh Nita demi kesopanan, kemudian mencari cara untuk meloloskan diri dengan alasan ia mau mencari anjing peliharaannya.

Max berjalan ke garasi, pura-pura memanggil nama anjingnya, Kiki padahal dia tahu kalau anjingnya itu ada di dalam kamarnya. Kiki adalah anjing Siberian Huski, sudah ikut Max sejak dirinya bercerai dengan Sintya. Max butuh teman yang bisa diajak bicara tanpa memberi jawaban, itulah sebabnya ia memelihara Kiki. Kiki juga membantunya di masa sulit ketika is kesepian ditinggal istrinya jadi baginya Siberian Huski itu adalah sahabatnya.

Lelaki berkaki panjang itu akhirnya berhenti memanggil anjingnya dan menyandarkan tubuhnya ke mobil yang terparkir di garasi. Matanya terpejam sebab ia merasa lelah. Andai saja ia bisa pindah kota agar tak perlu bertemu dengan ibunya, andai saja ia tak memikirkan semua kerja kerasnya selama ini sehingga memiliki banyak pasien. Max capek dengan kelakuan ibunya yang tak kenal lelah ingin menjodohkan anaknya saking ngebetnya ingin jadi nenek.

"Maaf, permisi!"

Max membuka matanya pelan. Didorongnya tubuhnya dengan bokong agar ia bisa berdiri tegak. Ia lalu mencari asal suara itu. Dirinya merasa aneh, ketika semua tamu berada di taman menikmati hidangan yang disediakan ibunya, ada seorang anak perempuan kira-kira berusia 15 tahun berada di garasi. Anak itu berambut panjang bergelombang, menatapnya dengan mata bulat besarnya.

Max harus menoleh ke belakang dan samping untuk meyakinkan kalau anak remaja itu memang bicara padanya. Sampai ia yakin kalau tidak ada orang lain di antara mereka. Keduanya hanya berjarak dua langkah.

"Ehm, ya?"

Damn!

Suaranya bergetar. Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. Sakit tenggorokan atau karena tekanan demi tekanan oleh ibunya terhadapnya membuat dirinya bereaksi seperti itu pada anak ini.

"Apakah Oom pemilik dari anjing ini? Dia lari ke rumahku dan tak tau jalan pulang."

Kiki, anjing berbulu putih dan abu-abu itu berdiri di samping anak remaja itu. Tampaknya Kiki sudah akrab dengannya sehingga mengabaikan kehadiran pemiliknya sendiri.

Max menggangguk semata-mata tidak tahu harus berkata apa, sementara Kiki juga tak mendekat padanya.

"Oom penghuni baru?" tanyanya. Lagi-lagi Max menggangguk. Kehilangan kata-kata dan hanya menatap anak itu.

"Oh..."

Anak itu berbalik berniat meninggalkan Kiki, rambut panjangnya terkibas tepat di saat Max melangkah ke arahnya dengan tangan terangkat hendak melambai pada Kiki. Ujung rambut panjang itu terkait pada arloji milik Max. Pemiliknya terkejut, begitu juga dengan Max.

"Aaw!"

Gadis itu menarik kepalanya agar bisa melepaskan diri tapi gerakan itu justru makin membuatnya sakit.

"Jangan bergerak, Manis!" bisik Max dengan suara parau.

Tidak berhasil, ucapan itu membuat anak itu tetap bergerak. Ia tampak syok. Ditariknya lagi ujung rambutnya yang otomatis, tangan Max ikut tertarik sampai ia sendiri tersudut ke dinding dan tangan Max memerangkapnya.

Dia mungil sekali, pikir Max.

"Aduh!"

"Sstt! Jangan gerak lagi."

Kacau!

Suaranya makin parah. Namun tangannya yang bebas itu berusaha membuka uraian rambut di jam tangan itu. Max sadar kalau tangannya gemetaran dan dia tidak tahu kenapa bisa begitu. Ketika untaian itu terlepas, anak perempuan itu saking syoknya langsung buru-buru meninggalkan Max tanpa menoleh, meskipun begitu pria itu melihat dengan jelas kalau rumah yang dimasukinya adalah tepat berada di sisi kanan rumahnya.

Bibir Max tersenyum lalu menggeleng pelan. Pastilah beban pekerjaannya terlalu berat sampai ia kacau begitu. Mungkin ia memerlukan cuti untuk bisa pergi berlibur.

♥️Istri Pilihan Max♥️

Sekarang.

"Aku tahu kau punya banyak pacar. Aku tidak sudi jadi istri yang kau duakan!" cetus Arini. Wajahnya masih sedih tapi Max ingin tertawa melihatnya. Arini tidak punya pilihan yang lebih baik selain menerimanya tapi ia masih bisa memikirkan soal Max yang flamboyan.

"Okay!"

Wanita itu menatap Max, matanya menyiratkan dirinya tidak mengerti arti kata okay yang diucapkan lelaki itu.

"Okay?"

Max gemas, bukan dalam artian dia ingin memukul Arini karena keangkuhannya tapi karena rasa sayangnya. Ditariknya Arini dalam pelukannya, kepala wanita itu bersandar di dadanya dan bisa mendengar detakan jantungnya.

"Aku tidak muda lagi, Manis. Aku perlu seorang istri dan juga anak. Biarlah anak itu menjadi anakku. Orang tuamu tak perlu tahu ada masalah apa sampai kau tidak berniat melanjutkan kuliah lagi. Cukup kita berdua yang tahu apa yang terjadi," bisik Max.

"Itu tidak adil bagimu!" balas Arini tajam. Max tertawa. Tawanya keras membahana, tapi memang seperti itulah suara tawanya sejak dulu. Itu salah satunya yang membuat Arini takut padanya.

"Tidak ada yang tidak adil, Sayangku. Aku selalu mendapatkan segala yang kumau!"

Betul, pikir Arini.

Ia merasa entah sudah berapa kali pernah memergoki Dokter ini pulang ke rumah dengan wanita yang berbeda sampai dirinya merasa Max pasti menjadi duda yang paling diminati wanita dan mereka pasti setiap harinya bermimpi untuk dilamar olehnya. Namun, tidak sekalipun keluar dari bibirnya kalau ia akan menikah lagi. Ia memiliki segalanya, tidak diragukan lagi.

"Oom..."

"Panggil aku apa?" tanya Max dengan nada marah.

"Dari dulu aku memanggilmu dengan sebutan Oom!"

"Kau pernah memanggilku, Max!"

"Kapan?"

Max menyeringai tajam.

"Kau yakin, ingin aku membantumu mengingatnya?" tanyanya. Ada kenakalan tersirat di sana. Usia Max sudah 42 tahun tapi dia tetap saja pria yang memiliki nafsu normal.

♥️Istri Pilihan Max♥️

Max mencari-cari sosok mungil itu di ruang tamu dan ruang keluarganya tapi nihil. Arini Putri tak ada di mana pun.

Mungkin gadis itu tidak datang, pikirnya galau.

Padahal satu-satunya alasan ia mengijinkan ibunya menyelenggarakan pesta ulang tahun untuknya adalah untuk melihat gadis itu. Ia ingin meyakinkan dirinya kalau perasaanya salah waktu mereka bertemu di garasi. Sebab tidak mungkin kalau pria berpengalaman seperti dirinya yang sudah pernah kawin-cerai bisa menganggap gadis itu something.

Max baru tahu dari ibunya Arini kalau gadis itu baru berusia 12 tahun, masih SMP kelas 7. Namun di usia yang masih belia itu tampaknya Arini sudah banyak disukai oleh teman lawan jenisnya. Terbukti kalau di malam Minggu, Arini sering mendapat tamu. Kalau kebetulan teman-teman Arini datang ketika Max mau keluar, rasanya ia ingin mengurungkan niatnya dan duduk diam di teras rumah sambil mengawasi anak itu.

"Max, jangan minum terlalu banyak," pesan ibunya cerewet ketika ia menyambar gelas berkaki dan menelan isinya dalam satu tegukan. Tidak ia hiraukan omelan ibunya. Padahal ibunya tahu kalau bagaimana pun ia menasehati, Max tidak akan mengikuti pesannya. Lalu ia segera meninggalkan ruang tamu menuju garasi. Tempat itu telah menjadi favoritnya sejak tragedi rambut dan jam tangan. Garasi itu memiliki pintu sambung ke rumah. Kandang Kiki juga ada di sana.

"Kiki, sendirian saja? Duh, kasihan."

Mendengar suara itu membuat Max berjengit. Tahulah ia, mengapa tak bisa menemukan Arini di dalam pesta, karena ternyata gadis itu sedang bersama Kiki. Seketika Max merasa Siberian Huski itu sungguh beruntung. Diteguknya isi minuman dari botolnya langsung tanpa suara. Ia tak ingin mengejutkan Arini.

"Kiki bilang Oom punya pacar baru, ya? Iya, Rini juga lihat kemarin. Pacarnya mungkin ada di dalam. Makanya Rini di sini karena..."

Apa?

Karena apa?

Max masih menempel di mobil Honda-nya hanya untuk mendengarkan curhatan hati Arini. Anak bau kencur ini mungkin saja telah jatuh cinta padanya dan ia tahu kalau dirinya tidak boleh membiarkan itu terjadi. Ia bisa saja memanfaatkan gadis yang belum cukup umur itu.

Tidak, pikirnya.

Kalau Arini mencintainya itu pasti karena saatnya puber. Ia bisa jatuh cinta pada siapa pun yang baik terhadapnya. Termasuk pada Max. Sedangkan bagi Max, berkali-kali ia meyakinkan dirinya di saat sadar ia sedang menatap gadis remaja itu dari jauh kalau ini hanya sekedar perhatian paman terhadap keponakannya. Dia tidak memiliki keponakan. Itu saja. Namun kejadian itu terus terjadi berulang-ulang kali. Melihat Arini berenang sendiri ke club house di komplek rumah, Max mencari segudang alasan untuk muncul di sana meskipun begitu, ia membawa wanita lain.

"Ki, apa Oom suka padaku, ya? Nggak ah! Oom serem. Rini nggak suka!"

Bagus, pikir Max. Ia tak perlu susah-susah menjelaskan kepada Arini kalau Max terlarang baginya. Namun begitu, ia merasa marah karena Arini tidak menyukainya. Diteguknya minuman alkohol itu lagi.

Gluk!

Ketika ia meletakkan botolnya secara sembarangan karena kemarahannya, botol itu jatuh walau tak sampai pecah. Hanya bergulingan ke arah Arini dan Kiki. Kiki menggonggong dan tahu kalau tuannya ada di balik mobil.

Arini mendelik saking terkejutnya. Ia menduga kalau semua curhatan hatinya didengar oleh dokter muda itu.

Tak bisa mundur untuk menyembunyikan dirinya lagi, Max muncul dengan senyum sinisnya.

"Kelihatannya Kiki sangat menyukaimu."

Suara Max terdengar seperti sindiran. Ia sendiri tak mengerti mengapa harus menyindir seorang gadis seperti itu.

"Maaf, Oom! Itu anu...."

Gadis itu tampak serba salah. Diselipkan rambut panjangnya di belakang telinga hanya untuk menghilangkan kecanggungannya. Bibirnya yang berwarna pink lembut digigitnya.

"Anu... Oom aku masuk dulu."

Arini berjalan cepat-cepat tapi untuk masuk ke dalam rumah, ia harus melewati Max dulu. Sementara Max tak menunjukkan tanda-tanda akan memberi jalan kepadanya. Ia mulai ragu kalau melalui pintu sambung itu adalah jalan terbaik.

"Ini hari ulang tahunku. Kau belum bilang selamat padaku!"

"Oh!"

Max mengedikkan bahunya.

"Oh, selamat ulang tahun, Oom. Semoga sukses dan lekas dapat jodoh!"

Ucapan yang terlalu provokatif membuat Max menarik lengan gadis itu dan memerangkapnya dengan tubuhnya. Tidak ada yang menghalanginya lagi. Max melupakan batasan usia yang terpaut jauh dan ia bisa saja terkena kasus pelecehan seksual, tidak ada batasan kalau seharusnya ia menjaga Arini. Tidak juga rasa ingin melindunginya. Setan-setan jahanam itu menang. Max menunduk, mencium bibir mungil itu. Kasar pada awalnya sebagai pelajaran kepada Arini kalau ia tidak boleh berkata seperti itu. Kelak, ia akan menyesalinya. Nanti ketika kepalanya sudah tidak seperti dihantam palu, ia akan menyalahkan alkohol karena perlakuan kasarnya pada Arini.

Arini meronta tapi suaranya pasti tak akan terdengar sampai ke dalam karena kebisingan dalam ruang tamu itu.

"Lepaskan aku, Maximillian!"

Ia memukul Max dengan kuat bahkan berusaha menamparnya. Namun kalah kuat, segala pukulannya tak pernah sampai melukai pria itu.

"Harusnya kau tak perlu bilang begitu," tukas Max. Ia tidak melepaskan tubuh Arini. Arini menangis.

"Aku benci padamu!"

"Bagus! Benci aku sampai ke tulang sumsummu. Jauhi aku! Jangan berada di ruangan yang sama denganku. Karena kau tau Arini, aku ini pria bangsat. Jangan sampai kau jatuh cinta padaku!"

Arini mendorong Max dengan sekuat tenaga lalu ia lari dari pintu depan. Ia ketakutan. Seharusnya ciuman pertama rasanya indah tapi ini sama sekali jauh dari kata indah. Ini kasar dan rampokan.

Berhari-hari Arini menangis di kamar, orang tuanya heran dan mengira kalau putrinya patah hati karena cinta monyet terhadap teman sekelasnya. Mereka tidak menyangka kalau yang membuat putrinya seperti itu adalah dokter muda tampan, tetangga mereka.

Arini menghindari Max sejak hari itu, tak pernah mengunjungi rumah dokter itu meskipun ada acara apa pun. Namun itu tak menghalangi Max untuk terus memandangi gadis itu dari jauh. Sekali dua kali bila mereka berdua tak sengaja bertemu, Max bersikap seolah kejadian itu tak pernah terjadi. Arini beranggapan kalau pria itu pasti kena amnesia.

♥️Istri Pilihan Max♥️

Sekarang.

"Sudah ingat?" tanya Max.

"Kenapa kau menciumku?"

"Kau memintaku menciummu sekarang?"

"Oom! Kenapa kau menciumku waktu itu?"

Max menarik nafas panjang dan menepuk-nepuk punggung Arini selagi wanita itu dalam pelukannya.

"Karena aku menginginkannya," jawabnya lirih.

"Oom bersikap seolah itu tak pernah terjadi!" seru Arini.

"Karena aku takut kalau itu berkelanjutan, Manis. Kau kira gampang menghalangi hasratku padamu di saat usiamu baru belasan!"

"Oh!"

"Jadi, kita nikah, kan?"

Arini mendongak menatap dokter tampan itu. Andai saja lamaran ini terjadi beberapa bulan sebelumnya, di saat ia belum mengenal si brengsek itu. Andai saja, Max memintanya menjadi istrinya tidak di saat ia sedang berbadan dua dari benih lelaki lain, Arini pasti menjadi wanita yang paling berbahagia.

Namun segala kondisi ini, membuat Arini menjadi orang yang paling egois jika menerima Max. Pria itu pantas mendapatkan yang lebih baik darinya. Ia sudah rusak, biarlah Arini sendiri yang menanggungnya. Bila perlu, ia akan pergi dari rumah ini, dari kota ini supaya orang tuanya dan adiknya Airin tidak perlu menanggung malu.

"Oom, terima kasih. Tapi tidak! Rini nggak bisa menjadi istri Oom dengan kondisi seperti ini."

"Sudah kuduga."

"Arini! Selamat ya! Mama baru dengar dari adikmu kalau kau sudah menerima lamaran Dokter. Aduh, Dokter! Kita bertetangga dan Ibu nggak nyangka kalo Dokter jadi mantunya Ibu. Duh, Ibu bahagia sekali!"

Arini tampak syok melihat ibunya masuk ke kamarnya dan mengucapkan hal yang tidak masuk akal. Sementara itu Max tampak menyeringai.

Tentu saja, pikir Arini.

Dia selalu mendapatkan apa yang dia mau. Max pasti sudah merencanakan ini sejak ia tahu Arini hamil.

♥️Istri Pilihan Max♥️

Author's Noted :

🌻 Saya belum selesaikan 🌸Mengejar Jodoh🌸 tapi tiba-tiba punya ilham gara-gara nongkrong di grup Karos.

🌻Suka, nggak dengan Max? Kalau suka, like, komen, share ya.

🌻Kiranya bagaimana kisah dokter tampan yang sudah tidak muda lagi itu, ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top