MEMBASUH RINDU
Matahari menyongsong naik menyinari dunia. Felic membuka mata indahnya, tangan kanan meraba ranjang di samping kiri namun kosong.
Ini seperti nyata, batinnya.
Flashback
"Siapa yang suruh kamu hujan-hujanan?!"
Tubuh Felic seketika menegang dan jantungnya berdetak lebih kencang. Matanya terbelalak, dia tidak berani membalikan badan. Seluruh tubuhnya kaku. Dia melihat Wita sudah menunduk takut.
Felic melirik dengan ekor matanya. Lelaki tegap memayunginya dengat tatapan tajam.
"Mbak Wita, ambil payungnya!" suruh dia. Wita menuruti perintah lelaki itu. Sedangkan Felic masih berdiri kaku tidak berani menoleh. "Siapa yang menyuruhmu hujan-hujanan seperti ini?!" tanya lelaki itu dengan nada marah namun tersirat kekhawatiran yang begitu dalam.
Felic bergeming, bibirnya kelu, dan tubuhnya sulit digerakkan. Lelaki itu melepas jaketnya, sedangkan Wita sudah memayungi Felic. Dibalutkan jaket jeans hitam yang kebesaran di tubuh Felic.
"Mbak Wita, ajak dia masuk ke dalam mobil! Aku mau cari minuman hangat dulu!" perintah lelaki itu dengan tegas.
Wita hanya menurut dan tidak berani menatap wajah lelaki itu. Sepertinya lelaki itu benar-benar sedang marah.
"Ayo, Mbak," ajak Wita lembut membimbing Felic ke mobil yang pria tadi maksud.
Setelah beberapa saat menunggu di dalam mobil, akhirnya lelaki itu masuk ke dalam mobil. Wita bergeser duduk ke depan samping kemudi, sedangkan Felic dibiarkan duduk di belakang bersama pria itu.
"Jalankan mobil ke apartemen," perintah lelaki itu tegas pada sopir.
Felic tetap menunduk belum berani menatap wajahnya yang sedang marah. Lelaki itu mengeringkan rambut Felic dengan saputangannya.
"Ini diminum!" titah lelaki itu menyodorkan cup green tea yang masih mengepul usai mengeringkan rambut Felic.
Tangan Felic gemetar ketika ingin menerima cup. Lelaki itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kasar. Lalu dengan penuh perhatian dia meniupkan green tea yang masih panas lalu disodorkan di depan bibir Felic.
"Ini diminum dulu," ucapnya lembut setelah perasaannya terkontrol dan tenang.
Felic membuka mulutnya menyambut sodoran cup di bibirnya. Tatapan mata keduanya beradu dan terkunci. Debaran jantung mereka seperti usai berlari beribu-ribu kilometer. Bibir tipis itu mulai memucat. Lelaki itu tergoda dengan bibir tipis Felic. Didekatkan bibirnya di bibir Felic. Deru napas yang hangat menyapu permukaan wajah keduanya. Lelaki itu menempelkan bibirnya dengan lebut di bibir Felic. Dingin, kenyal, dan lembut dirasaan oleh lelaki itu saat bibir keduanya sudah tertaut.
Lelaki itu mulai melumat dan memagut, tidak ada perlawanan dari Felic. Justru lumatan itu dibalas oleh Felic. Dia mengulurkan cup green tea pada Wita yang duduk di jok depan tanpa melepas lumatan bibirnya. Tanpa menoleh Wita menerima.
Felic tak memerdulikan dunia luar, yang dia pedulikan saat ini adalah kehangatan dan ciuman itu. Lelaki itu mengangkat tubuh Felic ke atas pangkuannya. Mereka menikmati ciuman yang semakin menggila. Decapan menguasai ruang mobil. Ditekanlah tengkuk lelaki itu agar ciuman mereka semakin dalam. Dengan perlahan dan perasaan tidak rela lelaki itu melepas ciumannya. Deru napas yang memburu dari keduanya terdengar jelas. Lelaki itu menyentil sayang dahi Felic.
"Bandel!" katanya singkat memasang wajah marah.
Felic tak memerdulikan tatapan tajam lelaki itu. Dia segera memeluk erat yang sudah sangat rindukan selama tiga bulan terakhir ini.
"I miss you, pangeran burung besiku. I love you so much," ucapnya di dalam pelukan Al.
Tangisnya tumpah di sela-sela leher Al. Al menciumi pucuk kepala Felic berulang-ulang.
"I miss you too, bidadari burung besiku. I love you more." Al lebih mengeratkan pelukannya, seakan tidak rela melepaskannya lagi.
Keduanya telah larut dalam dunianya sendiri. Melepas rindu yang teramat dalam. Tak memerdulikan ada orang lain di dalam mobil itu.
Flashback off
Felic kembali memejamkan mata, dia mengeratkan bed cover berwarna putih sebatas leher. Posisi tidur miring, menghadap kaca besar berlambu transparan yang memperlihatkan kota. Dia menangis sesenggukan. Terdengar pintu kamar mandi terbuka. Al yang mendengar Felic menangis segera menghampiri dan berjongkok di samping ranjang menghadapnya.
"Hei, kenapa menangis? Buka mata kamu?" pinta Al lembut sambil menyisihkan anak rambut yang menutupi wajah Felic.
"Nggak mau!" tolak Felic kukuh memejamkan mata.
"Kenapa?" Al mengelus-elus rambutnya sayang.
"Karena aku nggak mau bangun dari mimpi indahku ini?" jawab Felic takut membuka matanya.
"Mimpi indah?" tanya Al mengerutkan dahinya bingung.
"Iya. Ini mimpi indahku. Bertemu dengan pangeran burung besiku. Aku nggak mau membuka mataku. Biar aku hidup dalam mimpiku saja." Al terkekeh mendengar cerocos Felic yang masih memejamkan mata tak mau melihatnya.
Al mencium kedua mata Felic. "Masih terasa mimpi?" tanya Al lembut. Felic menjawab dengan anggukan.
Al mencium ujung hidung mancung Felic.
"Kalau yang ini?" Felic masih mengangguk.
Al mencium pipi kanan Felic yang bebas tak terhalang.
"Yang ini?" Lagi-lagi Felic menganggukkan kepala.
Al menghela napas lelah. Lalu dia mencium tepat di bibir ranum Felic dan langsung melumat habis bibir yang membuat candu bagi Al. Namun masih saja Felic memejamkan matanya. Al mengacak rambutnya frustrasi. Tiba-tiba Al memiliki ide jahil. Dia menggelitiki Felic hingga wanitanya kegelian dan menggelinjang, akhirnya Felic membuka mata. Tawa lepas memenuhi kamar itu.
"Ampuun, udaaah Al," pinta Felic di sela tawanya.
"Masih nggak percaya aku ada di hadapan kamu?" tanya Al masih menggelitiki pinggangnya.
"Iya, yaaa."
"Iya apa?"
"Iya aku percaya."
Al menghentikan gelitikannya dari pinggang Felic. Dia menatap Al lekat, meraba wajah Al dari dahi turun ke kedua matanya, Al memejamkan mata merasakan sentuhan yang dia rindukan selama tiga bulan terakhir ini, jari Felic turun ke hidung mancungnya dan berakhir di bibir merah Al. Pemilik bibir itu sedikit membuka bibir, jari Felic meraba setiap inci bibir merah itu. Al membuka matanya dan menatap Felic jahil.
"Rindu sama bibir merah ini?" Al menaik turunkan kedua alisnya tersenyum lebar.
"Apa ini beneran kamu?" tanya Felic masih belum percaya bahwa lelakinya itu ada di hadapannya.
"Iyaaa, Felic cintanya Al. Ini aku nyata dan benar, kamu melihat pangeran burung besimu. Apa yang harus aku lakuin biar kamu percaya?"
"Peluk aku," pintanya manja.
Dengan senang hati Al memeluk Felic dan menggulingkan tubuhnya di ranjang hingga Felic berada di atasnya.
Selimut tebal yang menutupi tubuh Felic sedikit menyibak hingga memperlihatkan punggung mulusnya. Felic merasa dingin ketika kulit telapak tangan Al menempel di punggungnya.
"Al, dingin," rengek Felic pada Al, membuat Al semakin mengeratkan pelukannya. "Kita sekarang di mana?" lanjut Felic menempelkan pipi kirinya di dada bidang Al yang polos.
"Di apartemenku." Felic mengangkat kepalanya menatap Al heran.
"Sejak kapan kamu punya apartemen di sini?" tanya Felic.
"Sejak kamu dibawa Andrian dan Bella ke sini. Maaf uang tabungan yang seharusnya untuk kita menikah aku buat beli apartemen ini. Karena aku nggak bisa jauh dari kamu."
"Kok kamu tahu sih aku disembunyikan di sini?"
"Karena aku selalu ada buat kamu, Sayang. Aku selalu menjagamu. Di mana pun kamu berada, aku selalu tahu dan selalu menjagamu dari jauh. Ada dan tidak adanya aku, kamu harus tetap kuat dan tegar menghadapi masalah ini. Aku akan selalu menunggumu."
"Kenapa kamu nggak nemui aku langsung aja sih?"
"Aku butuh waktu dan strategi untuk bisa bertemu denganmu."
"Strategi apa?"
"Strategi agar tidak ketahuan Andrian dan Bella. Aku mengirim malaikat pelindung di sekitar kamu. Jadi aku nggak khawatir kalau ninggalin kamu kerja."
"Malaikat pelindung?" Felic bertanya sambil memiringkan kepalanya ke kanan menatap Al menuntut penjelasan.
"Iya, Sayang. Salah satunya Mbak Wita. Aku sengaja mengajukan Mbak Wita saat Andrian dan Bella berencana mencari seorang TKI lewat agen Indonesia. Mbak Wita itu asisten rumah tangga Bunda di Surabaya. Bunda yang menyuruh Aku buat ngajuin Mbak Wita. Bunda khawatirin keadaan kamu, dia nggak mau jika Andrian salah pilih orang menemani dan menjaga kamu. Bunda udah jelasin semua ke Mbak Wita," jelas Al sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Felic.
"Jadi Mbak Wita udah tahu tentang kita?"
Al mengangguk. "Mbak Wita melaporkan semua tentang kamu ke aku. Dia bilang kamu susah makan, minum vitamin males-malesan, minum susu hamil juga jarang. Dan lagi, kamu juga suka bergadang dan nangis sendiri. Kenapa begitu? Nggak kasihan sama nih malaikat kecil di dalam perut kamu?"
"Aku nggak semangat aja. Andai yang sekarang aku kandung anak kita, betapa bahagianya aku."
"Kamu nggak boleh bicara seperti itu. Dia anugerah Tuhan. Kamu harus menjaganya baik-baik. Aku nggak mau tahu, mulai sekarang kamu harus melakukan sewajarnya ibu hamil. Anggap saja ini anak kita."
"Tapi aku maunya kamu yang nemenin aku," rajuk Felic manja.
"Iya, aku akan selalu ada buat kamu dan mendampingi kamu."
"Nurutin ngidamnya aku?"
"Iya."
"Kalau aku minta markobar di Indonesia, kamu mau beliin?"
"Iya, Sayang. Everithing for you," ucap Al lantas mencium bibir Felic singkat. "Asal kamu mau janji sama aku, buat jaga malaikat kecil ini baik-baik sampai dia lahir di dunia dengan selamat," sambung Al.
"Iya aku janji, mulai hari ini aku akan lebih semangat jalanin hidupku, asal kamu selalu ada di sampingku. Oh iya kenapa nomor kamu nggak bisa aku hubungi? Aku tersiksa tahu tak diacuhin kamu," ucap Felic dengan nada manja. Jarinya bermain di dada Al.
"Aku sengaja matiin, biar kamu nggak bisa hubungi aku. Ujian kesabaran buat kamu dan ujian biar kamu tidak terlalu tergantung sama aku." Al bercanda sambil menurunkan Felic dari tubuhnya ke samping.
"Kok kamu gitu sih jahat!!" Felic mencebikan bibirnya sampai Al melihatnya gemas dan terkekeh.
"Ya begitulah hidup, Sayang." Al beranjak dari ranjang berjalan ke arah lemari.
Semenjak Al membeli apartemen itu, dia jauh-jauh hari sudah menyiapkan segala keperluannya dan Felic. Apartemennya berada satu tingkat di atas apartemen Bella. Sunggu langkah Al sangat rapi hingga tak tercium kecurigaan dari Andrian dan Bella. Hingga Al menyelundupkan Wita di tengah mereka, Andrian tidak mencurigainya sedikitpun. Benar-benar kerja yang rapi.
"Siap tidak siap kita harus siap kehilangan. Takdir Tuhan siapa yang tahu sih, Yang. Mungkin kamu bukan takdirku di dunia ini, tapi jika Tuhan mentakdirkan kita di dunia selanjutnya akan lebih baik karena itu akan lebih kekal abadi, tidak seperti saat ini, hidup yang sesaat." Al membawakan Felic piyama dan memakaikannya.
Selesai Al memakaikan piyama, Felic memeluknya erat. "Aku takut kehilangan kamu dan aku nggak kuat hidup jauh dari kamu."
"Apa yang kamu rasakan itu juga aku rasakan, Sayang. Udah ya kita keluar sekarang?" ajak Al membantu Felic berdiri.
Al memakai kaus oblong putih lantas ingin menggandeng tangan Felic ke luar kamar. Namun Felic tetap berdiri mematung.
"Ayoo! Kita keluar. Mbak Wita udah masakin. Kamu harus makan." Al membentangkan tangan mereka.
"Gendoooong," pinta Felic manja.
Al tersenyum, akhirnya dia bisa melihat senyum bidadari burung besinya lagi dan mendengar rengekannya. Al bejongkok agar Felic naik di atas punggungnya.
"Ayo naik!" titah Al.
Felic dengan gembira menaiki punggung Al. Al menggendong Felic ke luar kamar. Sedangkan di ruang makan, Wita sedang menyiapkan makan malam. Dia melihat Al yang ke luar kamar sambil menggendong Felic tampak khawatir.
"Aduhhh... owalah Mbak Felic kenapa lagi itu?" tanya Wita menghentikan pekerjaannya yang sedang menata piring di meja makan.
"Biasa Mbak, kumat manjanya," jawab Al sambil menurunkan Felic di kursi.
"Owalah. Saya pikir kenapa. Ya wes kalau kumat manjanya." Wita ingin melenggang ke dapur tapi Felic mencegahnya.
"Mbak Wita! Kamu hutang penjelasan sama aku!" seru Felic datar dengan tatapan tajam.
Wita tersenyum nyengir, dia tahu maksud dari perkataan Felic.
"Duduk sini!" pinta Felic sambil menggeser kursi di sampingnya.
Al yang duduk di sebelah Felic terkekeh melihat wanitanya sekarang lebih galak dan sensitif.
"Sekarang jelaskan!" peeintah Felic dengan nada galak dan wajah dibuat sok marah, yang justru membuat Al semakin gemas dan ingin menggulingkan tubuh wanitanya itu di atas ranjang.
"Anu Mbak ... begini ...." Wita gelagapan dan bingung ingin menjelaskan dari mana.
"Apa?! Cepet!" gertak Felic dibuat sok galak menatap Wita tajam.
"Saya disuruh keluarga Mas Al, buat jagain Mbak Felic dan melaporkan semua tentang keadaan dan kondisi Mbak Felic pada Bunda Maya dan Mas Al. Sebelum saya berangkat ke Malaysia, Mas Al menemui saya di Jakarta. Dia memberi tahu tugas-tugas saya. Mas Al juga kasih pesangon untuk saya," jelas Wita menunduk tak berani menatap Felic.
Felic melipat kedua tangan di depan dadanya.
"Oooh... jadi Mbak Wita ini sering kepoin barang-barang dan apa aja tentang aku, buat ngasih laporan sama Al dan Bunda?! Huh! Aku merasa dipermainkan kalian!" Felic membuang muka, melengos tidak mau menatap Al, dan ngambek.
"Maaf Sayang, nggak bermaksud mempermainkanmu. Ini aku lakuin juga buat kebaikan kamu. Sudah jangan dibahas lagi ya? Kita makan. Kamu dari tadi pagi belum makan kan? Habis hujan-hujanan tidur keenakan sih." Lerai Al agar Felic tidak memperpanjang persoalan itu.
"Iyalah, orang ada yang melukin. Udah tiga bulan ya Say, aku tidur sendiri nggak nyenyak dan kedinginan." Felic melirik Al dengan bibir cemberut.
"Iya, ya Sayaaang. Maaf." Al mengecup ujung bibir Felic.
Kita yang melihat langsung beranjak dari ruang tamu memberikan waktu mereka melepas kasih sayang yang tertahan.
#######
Untuk cerita pangeran burung besi dan There Someone For Someone 2 akan aku next setelah lebaran.
Makasih yang udah setia sama Istri Kedua dan atas vote dan komentarnya.
Muuuuaaaccchhh
Cium jauh dari aku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top