MEMANG HARUS BEGINI
Semoga keputusannya benar. Hatinya hancur. Ini bukanlah yang dia harapkan dan bayangkan sebelumnya. Menjadi istri kedua? Di belahan dunia mana pun jika seorang wanita disuruh memilih tidak akan ada yang mau menjadi istri kedua. Felic menerima Andrian untuk dijadikan istri keduanya, karena semata-mata ingin membalas budi Zahra dan Rakha. Dia ingin menebus rasa bersalahnya pada Bella.
Pernikahan sirih itu bertujuan untuk mendapatkan anak dari darah daging Andrian dan Bella. Sudah seminggu pernikahannya dengan Andrian dan selama itu juga Felic memutuskan komunikasi dengan Al. Dan sebagai istri simpanan yang tidak boleh diketahui media untuk menjaga nama baik Andrian dan Bella, Felic menuruti mereka agar tetap bersembunyi di dalam apartemennya. Hidupnya sekarang hampa tanpa pangeran burung besi yang dulu selalu ada mewarnai hari-hari Felic.
Flashback
Al mendatangi rumah orang tua Felic. Sudah tiga hari dia tidak mendapat kabar dari bidadari burung besinya itu. Al mendengar kabar mengejutkan, Felic pengunduran diri dari maskapai tempat mereka bekerja. Dia semakin tidak tenang dan bingung, mengapa Felic mengambil keputusan sendiri tanpa mengajaknya berdiskusi? Ini aneh dan Al tahu betul ini bukan Felic-nya. Segala apa pun, Felic selalu mengajaknya berunding, tapi kali ini Al sangat kesal dan merasa disepelekan Felic.
Sesampainya di rumah orang tua Felic, Al mendapat kejutan yang sungguh menghancurkan hidupnya seketika itu. Kabar pernikahan wanita tercintanya dengan lelaki lain yang Al tahu betul jika Felic sama sekali tidak mencintai kakak iparnya itu. Orang tua Felic, Andrian dan Bella menjelaskan tujuan Felic menerima pernikahan itu.
Al POV
Terus apa artinya yang sudah selama sebulan belakangan ini kami lakukan? Felic selalu mengajakku bercinta dan kami selalu menikmati hal itu. Aku pikir dia melakukan itu untuk mengikatku, agar aku tidak berpaling darinya. Rencana pernikahan yang sudah aku dan Felic impikan pupus sudah. Semua tinggal mimpi belaka. Orang tua Felic mengizinkanku untuk menemuinya di kamar.
Aku berjalan gontai menaiki tangga. Tubuhku terasa lemas, hatiku hancur berkeping-keping. Aku membuka pintu kamarnya. Kumelihat dia sangat kacau, tidak serapi biasanya saat selalu bersamaku. Pandangannya kosong ke depan melihat ke luar jendela. Felic duduk di kursi menghadap ke jendela, menaikkan kedua kaki dan dia peluk. Hatiku sakit melihatnya dengan kondisi seperti itu.
"Ehem." Aku berdehem menyadarkannya.
Dia menoleh ke arahku. Kulihat wajahnya kacau, mata sembap, lingkaran hitam di area matanya sudah mirip mata panda, hidung merah dan bekas air mata tampak jelas di wajah serta mata indahnya. Dia berdiri mematung menghadapku dengan jarak kami sekitar 1 meter. Aku merentangkan tanganku agar dia memelukku.
Benar saja dia berlari dan dengan cepat memelukku erat. Tangisannya pecah di dalam pelukanku. Isakan darinya menyayat hatiku. Perih dan pedih hatiku mendengar tangisannya. Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa aku menanggulanginya. Semakin aku tahan tangisku, dadaku semakin sesak.
"Maaf, maafkan aku," katanya berat dalam tangisnya.
Aku semakin mengeratkan pelukanku. Aku rasakan dia juga mengeratkan pelukannya. Tuhan jika aku boleh meminta hentikan waktu saat ini. Biarkan aku selalu mendekap bidadari burung besiku ini. Aku terlalu takut menjalani masa depanku tanpa dia. Dia adalah jantungku, Tuhan. Bagaimana aku bisa hidup tanpa jantungku?
"Aku sangat mencintaimu. Tubuh ini hanya milikmu dan cuma kamu yang boleh menyentuhnya. Maafkan aku. Ini aku lakukan untuk menebus rasa bersalahku pada Kak Bella dan dengan cara ini aku membalas budi orang tua yang sudah membesarkan dan memberikanku kasih sayang yang tulus seperti anak kandungnya," jelasnya terisak-isak di dadaku.
Memanglah Felic bukan anak kandung Rakha dan Tante Zahra. Felic adalah anak adik Tante Zahra. Orang tua Felic meninggal karena kecelakaan pesawat. Ayah Felic seorang pilot dan ibunya seorang pramugari. Saat usia Felic masih balita orang tuanya selalu menitipkan Felic pada kakaknya, Tante Zahra. Kebetulan mereka ditugaskan dalam satu penerbangan ketika kecelakaan terjadi.
Mereka menceritkan semua hal tentang Felic termasuk statusnya di keluarga ini, ketika kami berkumpul pertama kalinya di rumah ini. Aku sangat bahagia saat Om Rakha mau ngatakan jika dari kecil Felic bercita-cita ingin menjadi pramugari dan menikah dengan pilot, seperti ayah dan ibunya. Itu tandanya aku mendapat lampu hijau untuk melanjutkan perjalananku membawa Felic masuk ke duniaku.
Aku meregangkan pelukan kami dan aku tangkup pipinya. Mata kami saling bertemu. Dengan air mata masih membanjiri pipi kami aku berucap, "Aku sangat mencintai kamu. Sampai kapan pun aku akan selalu ada buat kamu. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun. Aku akan mencoba mengerti. Tetaplah tersenyum karena aku sanggup melewati ujian ini. Biarkan aku tetap berjuang untuk cinta kita. Jangan merasa sendiri karena aku selalu ada di hatimu selamanya."
Air mata Felic semakin banjir.
"Berjanjilah untuk selalu ada untukku? Kamu adalah hidupku. Kamu belahan jiwaku," pintanya menengadahkan wajah, menatapku sendu dan menggenggam lenganku erat.
"Ya. Aku janji!" Lalu aku memeluknya lagi. "Aku akan pergi sementara untuk menata hatiku, agar aku lebih siap menjadi tiang untukmu. Tapi aku janji akan datang menemuimu saat hatiku sudah dapat menerima semua ini."
Aku melihat dari sorotan matanya, dia tidak suka dengan kata-kataku. Tapi aku butuh waktu untuk sendiri. Menata hati dan hidupku lagi tanpa dia. Aku melepas pelukannya dan aku kecup sangat lama kening Felic. Turun kedua matanya dan berakhir di bibir tipisnya. Apa ini adalah ciuman terakhirku dengannya, Tuhan?
Aku lepas tubuhnya dan membalikkan badan ingin melangkah, namun Felic memelukku dari belakang membuat langkahku sangat berat meninggalkannya. Isakannya menyayat hatiku. Dengan perlahan aku melepas pelukannya. Tanpa menoleh dan berbalik badan aku berkata, "I love you so much, my life."
Dengan berat aku melangkah pergi. Aku melirik dari ekor mataku, kulihat tubuhnya merosot tersungkur di lantai dengan tangisan memilukan. Hatiku seperti tersanyat ribuan pisau mendengar tangisnya. Dia memanggil namaku berulang-ulang. Tapi aku berusaha tak mendengarnya.
Aku menuruni tangga sambil memakai kacamata hitam. Kulihat Om Rakha berdiri sambil merangkul pinggar Tante Zahra yang sudah menangis sesenggukan. Aku melirik Bella yang juga dipeluk Andrian dari samping menunduk. Aku rasa dia juga menangis entah karena apa.
"Maaf." Hanya kata itu yang aku dengar dari mulut Om Rakha. Aku berusaha memberi senyum yang kupaksakan.
"Saya pulang dulu. Permisi," pamitku melangkah ke luar rumah. Mereka mengantarku sampai pelataran.
Ketika tanganku ingin membuka pintu mobil, aku rasakan pelukan sangat erat dari belakang. Aku tahu siapa pemilik tubuh ini. Aku membiarkan dia memelukku. Aku hanya diam mematung mendengar tangisannya. Kurasakan langit mengetahui kesedihan kami. Hingga ia juga ikut menangis bersama kami.
Hujan lebat tidak kami hiraukan. Dia tetap memelukku dengan posisi seperti itu. Hingga cukup lama posisi ini aku rasakan. Tubuhku mulai menggigil dan kurasakan keram pada perutku yang menahan dingin. Aku membalikan badan memegang kedua lengannya. Kami masih saja menangis namun air mata tersamarkan oleh air hujan yang turun sangat deras.
Aku mengisyaratkan Bella agar membawa Felic masuk. Bella menghampiri Felic dan ingin mengajaknya masuk, namun dia memberontak hingga Bella kualahan. Dengan berat hati aku yang masuk ke dalam si merahku. Aku melajukan mobilku pelan, aku lihat dari kaca spion lagi-lagi dia menangis tersungkur di tanah dengan guyuran hujan yang sangat lebat. Dalam hatiku sebenarnya tidak tega melihatnya seperti itu. Tapi apa boleh buat ini keputusannya dan aku hanya bisa menghargainya.
Flashback off
Felic POV
Ketika aku menerima kesepakatan sebulan lalu dengan orang tuaku, aku berniat mengisi rahimku lebih dulu dengan benih Al. Agar aku tidak bisa menerima benih orang lain di dalam rahimku. Namun aku sudah menunggunya dan berusaha, Tuhan tidak juga menumbuhkan benih yang Al tanam di rahimku. Rasa kecewa berkecamuk di hati.
Sudah dua hari aku merasa tidak enak badan. Setelah hujan-hujanan bersama Al tiga hari yang lalu. Tubuhku lemas dan demam. Aku tidak selera makan. Bagaimana keadaan Al sekarang? Apa dia baik-baik saja? Atau dia sama kacaunya seperti aku? Tuhan tolong jaga dia. Aku sangat mencintainya.
Aku mendengar decitan pintu kamarku terbuka. Aku melirik, Kak Andrian yang datang. Saat dia datang selalu saja membawakanku bunga mawar merah. Apa dia tidak tahu jika aku hanya menyukai mawar putih bukan mawar merah.
"Ini aku bawakan bubur buat kamu, aku suapin ya?" ucapnya lembut sembari meletakkan bunga di nakas.
Selembut apa pun sikapnya padaku, dia tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Al di hatiku. Aku hanya terdiam ketika dia mulai menyuapiku. Inikah rasanya menjadi istri simpanan? Saat sedang sakit saja dia hanya datang membawakan bubur setelah itu pergi.
Saat menghadiri pesta dan di depan publik, istri pertama yang dibawa-bawa. Aku hanya mengelus dada, bersabar menerima takdir ini. Jika saat bersama Al dulu, saat aku sakit, hanya tidur di pelukannya saja sudah membuatku merasa nyaman dan tenang, jadi semua penyakitku mental jauh pergi dan tidak kembali lagi. Aku merindukan pelukannya.
"Apa kamu tidak ada niat untuk merenofasi apartemenmu?" tanya Kak Andrian di sela menyuapiku.
Aku mengernyitkan dahiku menatapnya tak suka. Dia salah tingkah menggaruk pelipisnya.
"Mmm...maksudku, biar aku carikan orang jika kamu ingin merenofasinya. Aku punya teman arsitek banyak," ucapnya gelagapan.
"Nggak! Makasih!" jawabku singkat dan ketus.
"Apa kamu tidak ada niat menurunkan figura-figura yang terpajang di kamar ini?" Dia bertanya dengan sangat hati-hati. Mungkin dia takut jika aku akan marah atau tersinggung.
"Nggak!" jawabku ketus.
"Apa pantas di dalam kamar seorang istri terpajang foto lelaki lain?" Dia mulai cerewet dan berani mengaturku.
"Kalau lo keberatan, silakan keluar dari kamar ini. Gue nggak pernah maksa lo untuk masuk ke kamar dan melihat koleksi mesra gue dengan orang yang gue sangat cin-ta," ucapku dengan menekan kata 'cinta' agar dia tahu kalau cuma Al seseorang yang sudah mengisi seluruh ruang hatiku tanpa ada celah sedikit pun!
Aku mendengar dia menghela napas beratnya dan pergi meninggalkanku sendiri. Air mataku lolos saat dia keluar dari kamarku. Bukan karena aku keberatan dia meninggalkan
ku, tapi aku sangat merindukan Al. Aku sangat membutuhkannya saat ini. Dia tidak pernah meninggalkanku walau hanya sejengkal pun saat aku sakit seperti ini. Air mataku selalu meleleh saat teringat tentang Al. Dia benar-benar berpengaruh besar dalam hidupku.
Author POV
Di rumah orang tuanya, terlihat Al benar-benar kacau. Terbaring lemah di atas tempat. Dengan handuk kecil menempel di dahi. Sepulangnya dari rumah Felic, Al mengambil cuti tahunannya dan pulang ke rumah orang tua di Surabaya. Dia menceritakan semuanya tanpa mengurangi dan melebihi kepada bundanya.
Maya merasa iba pada nasib anaknya. Dia mengerti dan memahami situasi Al dan Felic. Dengan kembali ke rumah, Al bisa melepas sedikit beban dalam dirinya. Dia butuh dekapan bundanya. Ikatan batin Al dan Felic memang sudah terbentuk dengan seiring berjalannya waktu ketika mereka bersama. Perasaan kacau dan kondisi yang sama dengan Felic yang Al alami sekarang.
"Al," desis Maya mengelus dahi Al lembut.
Al perlahan membuka mata sayu. Dia melihat senyuman bundanya yang selalu dapat membuatnya nyaman dan tenang selain senyum Felic. Al tersenyum paksa membalas senyum Maya.
"Makan dulu ya?" tawar Maya halus.
Al tidak ingin mengecewakan bundanya. Ia mengangguk dan menerima suapan dari Maya. Mata Al memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Tiba-tiba pandangannya mengabur seiring keluarnya air mata dari dalam mata tajamnya itu. Maya yang melihat keterpurukan Al hanya bisa mengelus dada.
"Bun, andai Felic hamil anak Al apa Bunda tetap mau menerimanya?" tanya Al lirih membuat Maya memgerutkan dahi.
"Apa maksud kamu, Al?" tanya Maya terkejut.
Al memeluk ibundanya. Dia menangis dalam pelukan Maya.
"Maafin Al, Bun. Al sudah melewati ambang batas normal sewajarnya orang pacaran. Al lakukan itu karena kita sama-sama menginginkannya. Aku sangat mencintainya, Bun," jujur Al membuat hati Maya hancur.
Maya menegakan tubuh Al dan ditatapnya manik mata Al. Dia mencari kebohongan dari mata putranya. Bukan kebohongan yang dia dapat, namun justru kejujuran dan luka yang teramat dalam dari sorotan mata sayunya. Lalu Maya memeluknya erat.
"Percaya takdir, Sayang. Kalau Felic jodoh kamu, Tuhan akan menyatukan kalian lagi. Jika memang Felic sampai mengandung anakmu, kamu berhak mempertahankannya. Jika kamu tanya Bunda, apa mau menerimanya? Dengan senang hati Bunda akan menerimanya. Karena itu darah dagingmu berarti itu cucu Bunda."
Meski dalam hati kecewa, tapi Maya menghargai kejujuran Al.
"Aku cuma berharap benih yang aku tanam dalam rahimnya bisa tumbuh berkembang, Bun. Aku ingin memiliki keluarga yang lengkap bersamanya. Ada aku, Felic dan anak-anak kami. Itu yang setiap kali kami bayangkan dan harapkan selama ini. Apa aku masih bisa seperti itu Bun? Hidup bahagia bersamanya?" Air mata Al beruraian tak terbendung.
"Kita hanya manusia biasa, kita bisa merencanakan namun semua kembali pada Tuhan. Hanya dia yang dapat memutuskan. Jangan bosan kamu memohon pada-Nya," nasihat Maya tulus untuk Al. Hati Al kini merasa lebih baik berkat bundanya.
#######
Al memang gentleman. Urusah begituan aja sampai berani jujur sama bundanya. Dan kira-kira anak siapa yaaaa yang dikandung Felic entar? Al or Andrian? Ah bingung!!!!!
Jangan coba-coba racunin otak author yang lagi labil karena bingung mikirin anak yang dikandung Felic. Hihihi
Makasih vote dan komentarnya ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top