prolog
Assalamualaikum, ini cerita baru aku.
Mohon dukungannya yaaaa.
Jangan lupa love juga komennya.
Yang belum follow boleh juga follow mee
Makasih 🥰
"Mama nggak setuju kamu nikah sama si Donat. Emang kamu nggak takut ketelen apa pas malam pengantin nanti?"
"Iya, Li. Lihat muka kamu ganteng, badan tegap, kerjaan bagus, masa pilih calon istri kaya buntalan kentut begitu. Mbak juga nggak setuju."
"Kamu tuh kalau bercanda jangan kelewatan gini,bisa-bisa sekeluarga jantungan lihat kamu nikah sama dia. Kamu nggak takut apa pelaminannya rubuh kalau didudukin dia, eh emangnya muat apa satu bangku berdua?"
"Ya ampun, Mama, Mbak Anggi, Mbak Amara. Kalian kan udah kenal Dona dari aku kecil, dia teman main aku sedari kecil, kalian tiap hari terima dia datang ke sini. Fine-fine aja, kenapa pas aku bilang mau nikahin dia kalian pada nolak sih?"
"Ya Mama hanya terima dia jadi sahabat kamu aja, bukan menantu. Kaya nggak ada perempuan lain aja."
Aku menghela napas pelan mendengar ocehan keluargaku yang sejak tadi tak henti menghina fisik Dona.
Dona Septianingsih adalah teman mainku sejak kecil. Rumah kami hanya berjarak tiga rumah ke belakang, di memang sering main ke rumahku. Tapi,dia main bukan bersamaku, melainkan dengan kedua kakak perempuanku.
Aku tak menyangka tanggapan mereka seburuk ini pada Dona.Padahal kupikir dengan menikahinya, mereka akan semakin akrab kan, karena sudah terbiasa bermain dan ngobrol bersama.
“Memang apa salahnya sama badan Dona sih, Ma? Kan nanti kalau diet bisa kurus,” kataku mencoba mencari alasan.
“Heh, itu dia masih gadis aja badan udah kaya truk sampah.Gimana nanti kalau nikah, hamil, nggak bisa bayangin badan dia makin kaya buldoser kali,” jawab Mbak Ammara.
“Kita ini nggak ada keturunan badan segitu gedenya, Ali. Dia itu nggak bisa jaga badan, nggak sehat badannya dia tuh.” Kali ini Mama menambahkan.
“Tapi aku cinta sama dia.”
“Halah, nanti Mama Carikan yang cocok dan pantas buat kamu,Li.”
“Aku maunya sama Dona. Lagian, yang bikin badan Dona gedekan Mbak Ammara sama Mbak Anggi.”
Kedua kakakku menoleh. “Enak aja,” sahutnya berbarengan.
“Ya kalian kan kalo jajan, ngerujak, beli makanan Ngga khabis, trus manggil Dona buat bantu habisin. Iya kan?” tanyaku mulai kesal.
“Assalamualikum.”
Sebuah suara salam dari luar terdengar, aku mengenal suara itu.
Tak lama kulihat gadis berjilbab bertubuh gembul itu tersenyum di tengah pintu rumah kami yang terbuka.
“Halo semuaaa, lagi pada ngapain nih?” sapanya ramah.
Bahkan dia nggak tahu kalau sejak tadi kami membicarakannya.
“Haloo, Dona. Kamu dari mana, Don? Apa mau ke mana, kok rapih banget?” tanya Mbak Anggi dengan ekspresi ramahnya.
Lah, tadi ngatain, sekarang kenapa ramah banget ya?
“Iya, Mbak. Abis nganterin Ibu ke pasar.”
“Nganterin? Naik apa? Bukannya kamu nggak bisa naik motor?”
“Oh, nganterin sampe depan jalan aja sih, heheh.”
“Trus ibunya naik apa?”
“Ya naik angkot,” jawabnya sambil cengengesan.
Aku pun tertawa kecil, itu yang membuatku tertarik pada sosok Dona. Dia ceria, dia juga lucu, celetukannya selalu membuatku tertawa.Bahkan keluargaku juga ikut bahagia mendengar dia kalau sedang bercerita.
Herannya kenapa mereka nggak setuju aku nikah sama Dona,hanya karena alasan tubuhnya yang gendut sih?
“Don, kamu udah tahu belum, kalau Ali udah punya pacar?” tanya Mbak Anggi lagi.
Aku melotot dan menggeleng ke arah Dona yang sedang berusaha duduk di lantai dengan kesusahan, karena mungkin perutnya mengganjal jadi susah untuk duduk.
“Waaah, Ali udah punya pacar? Siapa? Katanya nggak mau pacaran sampe halal, boong niiih. Siapa hayooo.”
Laaah malah girang dia, emang dia nggak ada rasa cemburu apa sama aku kalau punya cewek? Nih anak apa emang nggak punya perasaan sama aku?
Aku dan Dona emang nggak pacaran, Cuma temenan tapi aku sayang sama dia, lebih bahkan. Makanya setiap kali dia tanya siapa pacarku, ya aku bilangnya nggak mau pacaran. Maunya langsung nikah aja gitu sama dia.
Kulihat Mama menggeleng lalu masuk kamar. Aku tinggal berempat saja di ruang tamu.
Mbak Ammara sibuk dengan ponselnya, dan Mbak Anggi masih berbincang dengan Dona.
Aku melihat mimik wajah gadis di depanku, yang makin hari makin manis saja. Apalagi kalau lagi senyum gitu, dukuh rasa pengen gigi pipinya, gemes.
“Udah makan belum, Don?” tanyaku.
“Belum sih, Ali mau beliin Dona makanan?”
“Kamu mau makan apa?”
“Apa ya, mie ayam bakso sama es teler enak tuh. Soalnya tadi Dona udah makan nasi uduk, pisang goreng, bakwan tiga. Jadi makan itu aja kalo Ali mau beliin.”
Aku menelan ludah, bilang belum makan, itu apaan kalau nggak dimakan? Dilepeh?
Mbak Anggi tertawa sambil menutup mulutnya.
“Diem lu, Mbak!” kataku kesal menyenggol tubuhnya.
“Minta yang banyak sama Ali, ya, Don. Porotin aja duidnya,mumpung abis gajian. Hahaha.” Kali ini Mbak Ammara ikutan.
Syalan, bukan nggak mau beliin. Tapi kalau nanti kubeliin lagi yang dia mau makan. Gimana tuh badan bisa kurus?
“Emang kamu makan itu jam berapa, Don?” tanyaku biar ada jarak makan berat gitu.
“Belum lama sih, sejam yang lalu,” jawabnya tanpa beban.
Buseet nangis gue dengernya.
Perut apa toren air ya?
Gapapa, aku tetep cinta ko.
.
Bersambung.
taun baruan yg di rumah aja, sini ngumpul heheh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top