Bab 9 : Kena Batunya

( POV AUTHOR )





Ali dengan bersemangat membawa kopernya yang diletakkan di Bagian depan motor metiknya tersebut. Ia bergegas untuk menyusul sang istri dan tinggal bersama.



Dalam perjalanan itu, Ali sudah tidak lagi peduli dengan sang mama yang selalu mencegahnya untuk pergi. Baru kali ini dirinya berani melawan mamanya tersebut.



"Ternyata enak juga terlepas dari ocehan Mama. Kira-kira kalau kaya gini aku termasuk anak durhaka bukan si?" gumamnya.



"Enggak kali ya, karena aku juga punya tanggung jawab pada istriku,Dona. Mama kan di rumah ada bibi, Mbak Anggi, sama suaminya. Kalau kesepian ya nggak mungkin, dua ponakanku kan pasti bisa jadi hiburan tersendiri buat Mama."



Ali tersenyum kecil, dan tanpa sadar dirinya sudah hampir tiba di depan counter handphone milik sang istri yang berada di ruko-ruko komplek perumahan.



Hanya counter milik Dona yang besar dan lengkap, selain menjual kartu perdana, paket internet, sofecase, gantungan handphone, dompet, semua pernak-pernik ada. Bahkan tas anak-anak, perlengkapan sekolah juga tersedia di toko tersebut.



Ali melihat dari kejauhan istrinya sedang menutup toko. Dan duduk di depan tokonya, lalu tersenyum menyambut kehadirannya.



"Assalamualaikum." Ali turun dari motor dan menghampiri sang istri.



"Waalaikum salam." Dona mencium tangan suaminya, meskipun hatinya masih sedikit panas dengan postingan mama mertuanya itu.



"Kontrakannya di mana? Jauh nggak dari sini?" tanya Ali.



"Ya lumayan sih, Mas. Kan dekat sama kantor kamu. Yaudah, koper Mas masukin mobil aja. Nanti Mas ikutin aku dari belakang ya."



"Iya, Sayang."



Ali mengikuti arahan sang istri untuk memasukkan koper dan tas miliknya ke dalam mobil. Lalu setelah itu, Dona mulai melajukan mobilnya perlahan keluar dari komplek ruko diikuti suaminya dari belakang.



Ali merasa memang lumayan juga perjalanan dari ruko ke rumah kontrakan tersebut. Berarti memang Dona sudah memperhitungkan dengan matang tempat sesuai kantornya.



Karena selama ini dirinya selalu mengeluh capek, dan mahal ongkos perjalanan karena jauh dari kediaman sang mama.



Dua puluh lima menit, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah.Di mana Dona memarkir mobilnya di halaman. Rumah berpagar hitam itu bahkan ada yang membukakannya. Ali sampai takjub dibuatnya, rumah sang mama yang ada art saja, dia buka sendiri pagarnya.



Rumah itu memang tidak tingkat, hanya satu lantai, di perumahan nan asri. Tapi, Dona bilang hanya ngontrak, entah berapa lama sang istri menyewa kontrakan tersebut.



"Ayo, Mas." Dona mengajak suaminya untuk masuk.



"Oh iya, tas koper kamu."



Dona membuka pintu bagasi mobilnya, menurunkan koper milik sang suami. Sementara Ali tersenyum dengan seorang wanita paruh baya yang ada di balik pagar, wanita tersebut yang membukakan pintu pagar rumahnya tadi.



"Ibu kamu di sini, Sayang?"



"Enggak, tadi pagi pulang. Soalnya kan aku kerja. Masuk, Mas.Nih kamar kita di sini."



Dona menunjukkan sebuah kamar di bagian depan dekat dengan ruang tamu. Kamar minimalis yang sudah terisi dengan kasur busa, lemari, dan juga meja kerja tersusun rapi.



"Nah ada kamar satu lagi di belakang." Dona kembali menunjukkan sebuah kamar, yang bisa ditempati siapa saja yang mau menginap. Hanya ada satu tempat tidur dan lemari plastik.



"Ruang makannya ala bar gitu, lucu kan, Mas?" tanya Dona memperlihatkan ruang makan mirip di bar, dengan dua kursi tinggi.



"Kamu bisa duduk di sini?" tanya Ali yang tak yakin akan kekuatan kursi berkaki besi, yang ukuran untuk menampung bokong kecil. Sementara tubuh istrinya kan lumayan makan tempat kalau duduk.



"Ya enggak, Mas. Aku makan duduk di depan tivi selonjoran. Hahaha."



"Oh, iya iya. Heheh."



Ali ikutan tertawa, dia senang bisa melihat kembali keceriaan istrinya itu. Berharap di rumah tersebut dirinya bisa membangun rumah tangga seperti yang diharapkannya selama ini, tanpa campur tangan orang tuanya.



"Yaudah, Mas mau aku siapin air hangat buat mandi? Apa mau makan dulu? Aku masakin."



"Kamu mau masak apa emangnya?"



"Tadi subuh aku ngungkep ayam sih, mau aku bakar, trus nyambel deh. Mau?"



"Boleh, aku mandi, kamu masak ya. Nggak usah pakai air hangat,gerah."



"Oh yaudah, aku siapin handuknya dulu." Dona melangkah ke kamar diikuti oleh sang suami.



"Oh iya, semvak kamu di sini semua loh." Dona tertawa kecil mengambil tas berisi pakaian dalam suaminya.



"Iya, kamu nih parah, aku nggak ganti dari kemarin."



"Iyuuuh baunya pasti bacin banget. Nih buruan deh mandi." Dona menyerahkan handuk pada suaminya.



"Iya, Sayang. Kamu masak yang enak ya."



Dona mengangguk, lalu melepas jilbabnya dan pergi ke dapur untuk masak makan malam mereka.



.



Di kediaman Sania, mamanya Ali. Anggi dan sang suami asyik makan Indomie rebus di ruang makan. Kedua anaknya sudah terlelap.



"Tadi kamu seharian kerja apa aja, Mas?"



"Kata kamu yang penting aku pulang bawa uang kan?"



"Iya sih, tapi lumayan juga kamu sehari bisa dapat tiga ratus ribu. Sebulan aja kamu dapat segitu terus, kaya kita. Trus pindah deh dari rumah Mama."



"Ya kamu doain aja, biar rezeki suamimu ini lancar."



"Iya, apapun deh yang kamu kerjain, aku sebagai istri Cuma bisa dukung aja."



"Nah gitu dong."



"Oh iya, Mas. Kalau kamu dapat lebih, kasih Mama ya. Biar nggak ngomel dia."



"Iya, mudah-mudahan besok dapatnya lebih banyak."



"Nah gitu dong jadi suami, nggak apa-apa nggak kerja kantoran,kalau tiap hari dapat duit kan sama aja, nggak nunggu gajian tiap bulan malah."



Agus hanya tersenyum, dia senang akhirnya sang istri nggak marah.Uang yang ia dapatkan tadi cukup membuatnya bisa tidur nyenyak di rumah sang mertua.



"Eum, enak banget kalian makan di sini." Suara Sania mengejutkan keduanya.



"Mamah, iya, Ma. Aku lapar, aku kan nyusuin, jadi perlu makan banyak." Anggi mengusap perutnya sambil nyengir.



"Baru tinggal sehari aja makan kalian udah sebanyak ini. Mana gratis pula."



"Ya maaf, Ma. Besok deh kalau Mas Agus ada uang, kita kasih ke Mama. Mas Agus baru dapat kerjaan, jadi belum bisa kasih uang ke Mama."



"Oh jadi kamu udah dapat kerja? Di mana? Jadi apa?"



"Eum, di ruko, Ma. Satpam," jawab Agus bohong.



"Yaudah, bagus deh minimal kamu nggak nganggur. Tapi pake maskerya kalo kerja, biar nggak dikenalin. Malu saya kalau ada yang tahu menantu saya Cuma satpam."



Agus menunduk dan mengangguk, entah hatinya seperti sudah mati kalau mendengar kata-kata yang tidak mengenakkan dari ibu mertuanya itu.



Dulu ketika dirinya masih bisa memberi uang gaji, memang selalu dipuji, dan dibandingkan dengan menantu satunya. Tapi, kalau nggak punya uang ya tetap dicaci maki dan direndahkan.



Wanita paruh baya itu pun pergi ke dapur hendak membuat teh hangat.



"Sabar, ya, Mas."



"Iya, Sayang."



Tak berapa lama terdengar sebuah suara dari dapur.



"Aw, aduh aduh panas."



Anggi dan suaminya segera menghampiri arah suara. Sang mama tampak mengibaskan tangan kirinya sambil ditiup-tiup.



"Kenapa, Ma?"



"Pake nanya, kesiram air panas nih."



Agus tersenyum miring dalam hati ia merasa senang melihat mama mertuanya menderita. "Rasain," bathinnya.















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top