Bab 7 : Mbak Anggi Minjam Duit
Aku tidak bisa menyusul istriku yang pergi dari rumah. Aku benar-benarnggak tahu harus gimana. Di satu sisi aku membutuhkan Dona, tapi di sisi lain aku juga nggak mungkin ninggalin Mama di sini.
Aku tahu kalau Mbak Anggi ada menemani Mama. Tapi, Mama tetap menahanku untuk tidak ikut ke mana istriku pergi.
Kulihat jam di dinding sudah menunjuk pukul 23.00. aku nggak tahu istriku sekarang ada di mana. Dia nggak bisa dihubungi, dia juga nggak ngasih tahu di mana kontrakannya yang baru itu.
Aku nggak bisa tidur sama sekali, sesekali melihat ponsel barangkali Dona akan menghubungiku dan dia merubah pikirannya.
Atau aku melihat ke bawah, halaman rumah, barangkali Dona akan kembali pulang ke sini.
Tapi, sama sekali tak ada tanda akan kehadirannya.
Aku bosen dan memilih keluar kamar, ya kamar Mbak Anggi yang kutempati sekarang karena tukeran.
Aku pergi ke dapur mengambil gelas dan membuat teh manis hangat.Biasanya kalau malam aku nggak bisa tidur, Dona akan mengajakku membuat mie rebus tiga, dua porsi dengan dua telur untuknya, sedangkan aku satu porsi.
Itu pun suka ngumpet-ngumpet dari Mama, kalau sampai ketahuan aku hanya kasihan Dona yang pasti akan dibully Mama.
Aku menyesap teh perlahan, sambil menikmati malam sendiri.
“Belum tidur, Li?” sebuah suara mengejutanku.
Aku menoleh melihat Mama baru saja keluar dari kamar dan berjalan mendekatiku sambil menguncir rambutnya.
“Gimana, istri kamu balik nggak?”
Aku menggeleng.
“Ya udah, nggak usah dipikirin. Emang perempuan dia doang apa? Yang lebih dari dia tuh banyak, Li. Besok Mama kenalin anak teman Mama deh.”
“Mama ngomong apa sih? Aku ini sama Dona masih suami istri,ngaco banget mau ngenalin aku ke cewek lain. Apa pikiran mereka nanti ke aku,dipikir aku bukan suami yang benar.”
“Ya kan bukan salah kamu, salah istri kamu, kenapa dia ninggalin kamu hanya karena Mama. Memang Mama ngapain dia? Anggap aja uang yang dia kasih itu sama kaya uang dia tinggal di sini. Ini kan rumah Mama, dia juga nggak bayar listrik sama air kok. Perhitungan banget sih istri kamu tuh.”
Aku menarik napas dalam, dan membuangnya dengan kasar. Ngga tahu lagi harus gimana melawan ucapan Mama. Mau ngelawan takut dosa, kalau didiemin kasihan Dona.
“Mama maunya apa sih?” tanyaku pada akhirnya.
“Mama mau kamu pisah sama Dona.”
“Terus, kalau aku udah pisah sama Dona, Mama mau apa lagi?”
“Kamu nikah lagi, sama perempuan yang yah minimal sepadanlah sama kamu. Kamu kan ganteng, badan bagus, kerjaan juga lumayan. Mama kadang malu kalau ada teman main ke sini. Trus nanya gini, itu siapa? Istrinya Ali subur banget ya. Malu Mama.”
“Kenapa Mama dulu ngerestuin aku sama Dona? Mama tuh udah nyakitin hati istri aku.”
“Eh, Mama pikir dia itu mau berubah, harusnya dia tahu diri.Punya suami ganteng, diet kek.”
“Kalau dia diet, jadi cantik, Mama bisa terima dia?”
“Bisa dong, dengan senang hati.”
“Tapi, Dona itu pintar masak, Mah, pinter cari duit juga,dia juga selalu nurut sama aku, sama Mama.”
“Ya kan itu memang kewajiban dia sebagai seorang istri,gimana sih kamu.”
Aku lagi-lagi menghela napas, ya memang sepertinya apa yang dilakukan istriku itu tidak ada yang benar di mata Mama. Bahkan meskipun Dona sering meminjamkan uangnya, tetap saja tidak dianggap sebagai menantu yang baik.
Padahal kalau dibanding dengan kedua kakak iparku yang lain,harusnya mereka juga diperlakukan yang sama dong. Minimal diingetin lah gitu,masa suami nganggur malah ditampung, dikasih kamarku pula. Lama-lama kalau begini aku juga yang pusing.
.
Pukul 05.00 aku terbangun karena suara alarm handphone. Aku bergegas untuk sholat Subuh dan mandi. Bersiap ke kantor, walaupun kali ini aku menyiapkan semua keperluan kerjaku sendiri tanpa disiapkan oleh Dona.
Selesai mandi, aku membuka koperku untuk mencari pakaian ganti. Baju kerja dan celana sudah aku temukan, begitu juga kaos dalam juga kolor. Tapi, ke mana celana dalamku? Apa di tas yang berbeda?
Aku mencoba mencari tas lain, tapi tak kutemukan sarung burungku.Duh, gimana ini, masa gundal gandul nggak ditutupin. Nggak enak kalau hanya pakai kolor tanpa semvak, bisa lecet ujung helmku kena gesekan.
Duh, Sayang, bisa bisanya kamu nyiksa aku kaya gini.
Aku bergegas kembali ke depan kamar mandi, mengambil celana kemarin. Kuangkat ke atas, dan kuhirup perlahan. Nggak begitu bau sih, Cuma agak lembab, untung nggak mimpi basah. Masih bisa dipakai lah buat hari ini. Nanti pulang kerja aku beli di toko untuk beberapa hari sebelum aku bisa menemukan Dona beserta sarung burungku.
Aku keluar kamar setelah rapi memakai pakaian kerja. Sudah pukul 06.45 dan di ruang makan sudah kumpul semua untuk sarapan.
“Loh, Li, kirain aku kamu ikut Dona semalam?” tanya Mbak Anggi.
“Nggak.” Aku duduk dan mengambil selembar roti tawar dengan selai coklat, entah malas makan nasi, padahal biasanya yang bikin semangat makan itu kalau pas lihat Dona lagi makan.
Pokoknya kalau lihat istri makan tuh jadi ikutan nafsu aja mau makan. Tapi, kalau istri lagi diem, nafsu juga, yang lain. Heheh.
“Mah, ada duit nggak? Pempers abis sama susu.” Mbak Anggi dengan entengnya minta uang pada Mama padahal ada suaminya depan mata.
“Kenapa minta Mama sih, Lu, Mbak. Kan ada laki lu,” kataku.
“Kan lu tahu laki gue nggak kerja, mana ada duitlah dia.”
“Iya, Mama ada. Nanti kita beli ke toko,” jawab Mama. “Pinjem uang kamu dulu ya, Li.”
Aku melotot. “Ali nggak megang duit, Ma. Duit aku dikasih Dona semua buat bayar hutangnya Mama.”
“Pelit banget sih, Li. Sama keponakan sendiri juga. Lu belum nngerasain sih kalau posisi kaya gue gini.”
“Dih, jangan sampe deh gue ngrasain. Amit-amit.”
“Maah, Ali tuh nasihatin, masa anak laki kaya gitu sama kakaknya.” Mbak Anggi mulai merengek.
Sumpah, aku kesel banget sekarang. Pokoknya hari ini aku harus cari Dona sampai ketemu.
“Li, masa kamu nggak pegang uang sama sekali sih? Ada kali sejuta mah,” ujar Mama.
“Sejuta? Mah, utang Mama aja berapa ke Dona? Aku megang sebulan aja Cuma dua ratus ribu, aku irit-irit buat bensin, kadang aku masih suka dikasih sama Dona. Buat pegangan.”
“Ya itu, masih ada kan pegangan?” Mama masih saja tak gentar.
“Masih, nih Mbak Anggi pegang, hape ini bisa dijual buat beli susu sama pempers.” Aku mengambil ponsel iphone Mbak Anggi dari hadapannya dan kuletakkan tepat di depan Mama.
Lalu aku beranjak dari duduk setelah menyesap kopi manis yang rasanya pahit melihat kedua perempuan di depanku.
“Ali, selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan harap kamu bisa balik lagi,” ucap Mama.
“Iya, Ali nggak mau balik!” kataku tegas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top