Bab 6 : Nyalon
(POV DONA)
Aku tersenyum puas melihat wajah mama mertuaku itu. Selama ini aku memang hanya diam, diam dan diam. Karena aku merencanakan semuanya,untuk pergi dari rumah ini.
Aku capek, hanya menjadi sapi perah keluarga Mas Ali. Apa karena tubuhku yang tidak ideal, wajah pas-pasan, lalu mereka bisa memperlakukanku seenaknya saja.
Bukan aku juga dulu yang meminta untuk dnikahkan.Jelas-jelas anaknya yang ingin sekali menikah denganku, tapi kusadar kalau mama mertuaku menyetujui pernikahan kami hanya karena ingin aku menjadi donatur kehidupannya.
Kalian pikir aku akan mati kalau tanpa Mas Ali?
Justru kalian yang nanti akan kelimpungan kalau nggak ada aku di sini.
“Ayo, Mas. Kita pergi.” Aku menarik koper keluar dari rumah tanpa menyalami orang-orang yang ada di situ.
“Heh, Dona. Tunggu dulu! Mama belum izinkan kalian untuk keluar dari rumah ini.” Mama menghentikan langkahku.
“Izin? Mama bisa bilang aku dan Mas Ali untuk izin. Tapi,Mama nggak minta Mbak Anggi untuk izin memakai kamar kami kan?”
Aku tersenyum miring, semua kata-kata mertuaku kali ini akan kukembalikan.
“Berani kamu dengan mama mertuamu, Don. Kalau bukan karena uangmu, Mama juga nggak pernah setuju kamu menikah sama anak saya.”
“Oh, yaudah, kalau Mama nggak setuju nggak masalah. Mama minta saja Mas Ali kembalikan saya ke rumah orang tua saya. Dan, besok pagi saya akan bawa bon hutang Mama selama dua tahun belakangan ini. Kalau Mama nggak bisa melunasinya dalam jangka waktu tiga hari, saya akan laporkan ke polisi. Tentang kasus penipuan pernikahan.”
Kulihat wajah mertuaku semakin memerah. Aku nggak peduli,saatnya aku berontak, muak sudah aku tinggal di sini.
“Sekarang terserah Mas, mau ikut aku atau Mama.” Aku melangkah keluar menuju ke mobil hitam milikku yang sudah siap mengantar ke kontrakan baru.
Kumasukkan koper ke dalam bagasi, beberapa barang pribadi juga sudah jauh hari kukemas, jadi memang semu sudah siap tinggal nunggu waktu yang tepat saja aku pergi agar ada alasan.
“Sayang, duh, aku gimana dong? Aku nggak enak sama Mama,”ucap Mas Ali yang menghampiriku.
“Terserah kamu, Mas. Kamu pilih aku atau Mama kamu. Aku juga selama ini nggak pernah minta macam-macam kan sama kamu, sama keluarga kamu. Aku juga dulu nggak pernah maksa kamu buat nikahin aku kan?”
“Iya, aku tahu, aku nggak bisa kalau nggak ada kamu. Tapi aku juga nggak mungkin bisa ninggalin Mama sendirian.”
Seketika aku menatapnya, “Sendirian? Mas nggak lihat tadi,itu Mbak Anggi datang sama keluarganya, Mama nggak sendiri. Mas.”
Enak saja, kalau aku masih di rumah Mama. Bisa-bisa aku juga yang ketumpuan menghidupi biaya anaknya Mbak Anggi nanti. Apalagi suaminya juga nggak kerja.
“Iya, aku tahu, tapi tolong jangan dadakan gini, Sayang. Kan aku juga belum bilang Mama.”
“Ya kamu tinggal bilang aja, bisa kan? Semua baju sama barang-barang kamu juga udah aku kemasin. Kamu tinggal bilang, aku ikut Dona,Ma. Bisa kan? Masa kamu nggak bisa sih, kamu kan jago ngerayu, ngerayu aku buat minjemin uang ke Mama kamu terus.”
“Iya, Sayang, iya, aku minta maaf, aku bakalan ganti nanti uang kamu yang dipinjam sama Mama. Kamu tenang saja, ya, kamu sabar.”
“ini sudah bukan masalah sabar lagi, Mas. Kurang sabar apa aku selama ini? Mama kamu hina badan aku, Mama kamu juga bilang aku mandul,Mama kamu bilang juga kalau bukan karena uang dia nggak setuju kamu nikahin aku.Tapi, dia manfaatin uang aku. Aku diem loh, Mas. Salah kalau aku sekarang pergi? Aku hanya ingin bahagia, aku mau kita tinggal hanya berdua tanpa bayang-bayang mama kamu.”
Aku mendengar embusan berat napas Mas Ali. Lalu dia menggaruk kepalanya, aku melangkah menuju pintu samping kemudi.
“Aduh! Keinjek, Don,” teriak Mas Ali.
“Maaf, Mas. Sengaja!” kataku kesal, punya suami ganteng sih,baik juga, tapi plin plan nggak bisa ambil keputusan dan nggak pernah belain istrinya.
Aku langsung masuk mobil, menghidupkan mesinnya dan menginjak gas perlahan. Kutinggalkan Mas Ali di halaman rumahnya. Biar saja, biar dia berpikir malam ini, mau ikut denganku atau tetap tinggal bersama mamanya itu.
.
Aku menikmati perjalanan malam seorang diri, sudah lama sejak menikah dengan Mas Ali hidupku hanya habis di rumah dan di tempat kerja saja.
Rasanya aku ingin memanjakan diri sendiri, kayanya enak kalau ke salon muslimah, meni pedi, creambath, nggak ada salahnya kan aku mempercantik diri. Walaupun tubuhku nggak seperti perempuan lain, tapi wajah kayanya harus glowing deh.
Aku mau ke salon dulu lah, sebelum pulang, habis itu tidur nyenyak deh tanpa gangguan suara dengkur Mas Ali dan ocehan mama mertua.
Aku mengarahkan mobil ke sebuah mol, untuk masuk ke salon kecantikan. Aku tahu dari temanku katanya di sana bagus, dan harganya juga bersahabat karena sedang ada promo setelah lebaran.
Setelah memarkir mobil, aku turun membawa tas kecilku menuju ke lobi utama mol. Mencari lokasi salon tersebut yang katanya ada di lantai dua paling pojok kanan.
Ternyata benar, di sebelah sana ada dua orang perempuan yang berdiri di depan stan bertuliskan Modis Beauty. Dengan senyum mengembang kedua perempuan itu menyambut kedatanganku.
“Silakan, Bu. Salon kami sedang ada promo hari raya. Boleh dilihat-lihat dulu ada beberapa paket produk perawatannya.” Seorang wanita menghampiriku dan mengajakku duduk di sofa. Lalu memberikan brosur, aku mengambil satu paket perawatan dari tubuh dan juga wajah. Pokoknya semuanya, aku nggak takut juga kalau harus bayar mahal.
Setelah aku memilih produk pelayanan tersebut. Aku diminta untuk menunggu sejenak, sampai akhirnya aku dibawa ke sebuah ruangan untuk terapi pijat terlebih dahulu. Lumayan lah ya, pijat sekalian luluran.
Hampir dua jam aku dimanjakan di salon tersebut, tanpa sadar ternyata sudah malam.
Aku tiba di kontrakan baruku tepat pukul 22.00, bentuk kontrakannya adalah rumah tinggal. Bukan kontrakan petakan, aku sengaja memang mengontrak di sini karena selain harganya terjangkau, bersih, lingkungannya juga enak.
“Ya Allah, Nduk, kamu tuh dari mana saja sih, ibu sama Bapak nungguin kamu dari tadi, ditelpon nggak bisa-bisa.”
Aku kaget saat turun dari mobil, Ibu dan Bapak ternyata sudah duduk di teras rumah. Mana lampu belum hidup pula, dan kunci rumah aku juga yang bawa.
“Maaf, Bu. Aku lupa kalau hapeku lowbeth. Aku tadi nyalon,heheh.”
“Bocah dtungguin malah cengengesan, mana suamimu?” tanya Bapak.
“Nggak ikut, Pak, biasa anak mama, manja, kalau nggak bobo di ketek mamanya mana bisa,” kataku sambil membuka pintu rumah dan menghidupkan lampu. Barulah setelah Ibu dan Bapak masuk, aku kembali ke mobil menurunkan barang-barang.
Bapak membantuku membawakan koper juga barang lainnya masuk ke dalam.
Namun, satu yang membuatku geli ketika kulihat tas kecil yangterbawa olehku. Yakni tas khusus yang berisi daleman Mas Ali di sini semua. Kalau dia mau kerja, besok pasti kebingungan nggak pake daleman. Wkwkw. Mana dia nggak tahu lagi aku tinggal di mana.
Ah bodoamat, kan dia bisa beli di pinggir jalan yang sepuluh ribu dapet tiga. Sekali-kali lah beli semvak pake duitnya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top