Bab 5 : Tukeran Kamar
Malamnya aku dan Dona sedang asyik di kamar, kulihat istriku sedang sibuk di depan laptop. Aku tidak tahu dia sedang mengerjakan apa, yang kupahami dia itu punya usaha yang dijalani secara online selain menjadi penjaga konter.
“Sayang, aku boleh nanya sesuatu nggak?”
Dona menoleh dan melihatku sekilas. “Mas, aku tuh lagi senang muterin uang di online.”
“Ha? Muterin uang gimana maksud kamu?”
“Ya gimana caranya agar uang di tabunganku itu nggak habis. Apalagi Mama kamu suka pinjam, yang aku sendiri nggak tahu kapan baliknya.”
Aku tersentak mendengar ucapan Dona barusan. Baru kali ini bicaranya menjadi tegas lugas, dan tanpa melihat ke arahku sama sekali.
Dona, apa yang kamu lakukan? Apa kamu bermain judi online? Atau memutarnya dengan meminjamkan uang ke orang lain dan diberi bunga.
“Kamu main riba?” tanyaku langsung. “Aku nggak suka kalau kamu sampai main itu ya, apalagi kalau kamu sampai ikutan judi online.”
“Kepala aku pusing dengar ceramah kamu, Mas. Selama ini aku diam, aku selalu nurutin apa kata kamu dan Mama. Lalu, gimana dengan kamu? Apa kamu pernah peduli sama perasaan aku? Aku bukan mesin uang kalian ya. Kalau kamu sama Mama masih mau pinjam uang ke aku dengan jumlah banyak. Jangan pernah larang aku melakukan apa pun yang aku mau. Yang kalian butuh kan hanya uang,uang kan?”
Astaghfirullah. Aku mengelus dada pelan, demi menghidari pertengkaran. Aku lantas keluar kamar, duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi bersama Mama.
“Kenapa?” tanya Mama saat aku baru saja meletakkan bokongku di atas sofa.
“Nggak apa-apa.”
“istri kamu udah sembuh?”
“Alhamduliiah, mendingan tadi abis berobat, tidur siang, ya sekarang udah agak sehat.”
“Eh, Li. Kamu masih inget Syifa nggak? Anaknya Bu RT zaman dulu, ituloh yang adiknya pernah kamu tangisin. Inget nggak?” tanya Mama tiba-tiba.
Seraya mengingat siapa nama yang disebut tadi. Rasanya aku nggak ingat sama sekali.
“Kenapa, Ma?”
“Cantik banget dia, pake jilbab sekarang, trus udah lulus S2 kedokteran. Duuh, coba kamu belum nikah, Li. Mama jodohin deh sama dia.”
“Apaan sih, Ma. Kalau ngomong tuh suka ngaco. Dia S2 kedokteran, aku Cuma lulusan sarjana ekonomi, kerjaan masih serabutan, mana mau dia, lagian juga malu lah.”
“Ya, perempuan kan ikut suami, Li. Mau sekaya apa pun, setinggi apa pun gelarnya, ya harus nurut sama suami. Yang penting kan duitnya banyak.”
“Astaghfirullah, uang nggak dibawa mati, Ma. Mending banyakin ibadah deh, Ma.”
“Eh, Li. Mama tau duit nggak dibawa mati emang, tapinya, Mama kan malu kalo pas pergi kondangan, apa arisan gitu, pada pake baju bagus, tas baru, sepatu baru, emas pada berentet, masa punya mantu kaya nggak bisa ngasih apa-apa?”
“Kenapa Cuma istri aku yang Mama gituin, noh suaminya Mbak Amara sama Mbak Anggi, mintain juga dong.”
“Ya nggak bisalah, laki-laki masih ada tanggung jawab sama ibunya mereka, apalagi kebutuhan mereka lebih banyak, ada anak. Kamu kan sama Dona belum punya anak. Trus kalau nggak minta sama kamu anak laki-laki mama, mama minta ke siapa?”
Aku menghela napas pelan, niat keluar kamar mau menghindari ocehan istri, keluar malah dapat ocehan dari mama.
Aku merasa kalau mama sudah salah pergaulan kayanya. Karena dulu sebelum kenal medsos, dia ngga pernah peduli sama baju, tas, sepatu apalagi perhiasan. Entah kenapa, sekarang jadi berubah.
“Li, Li, main tik tak katanya bisa dapat uang ya, kamu ngerti nggak?” Mama mengambil ponselnya di atas meja, dan menunjukkan sebuah aplikasi ke hadapanku.
“Nih, dia live nih, ada yang kasih gift, katanya bisa diuangkan. Kalo Cuma joget-joget gitu Mama juga bisa.”
Aku makin melongo melihat tingkah Mama yang tiba-tiba meniru jogetan di aplikasi itu. Sumpah, kalau sampai mama mengupload videonya ke medsos, lalu viral, ini sama saja menjatuhkan harga diri keluarga.
Aku mengambil ponsel Mama, kulihat gerakan Mama terhenti dan dia kembali merebut ponselnya dari genggamanku.
“Kamu apa-apaan sih, Li. Ganggu kesenangan Mama aja.”
“Ma, Mama inget umur dong, nggak pantas tau joget-joget gitu.Katanya Aku tanggung jawab ke Mama, aku nggak akan biarin Mama joget di sosmed kaya gitu, dosa.”
“Mama nggak joget telanjang, Ali. Dosanya di mana coba, Cuma hiburan doang kok.”
Mama terus saja mengelak mencari pembenaran. Ya memang tidak joget sambil telanjang, tapi kita nggak pernah tahu penonton yang menonton nanti hanya menonton atau pakai syahwat. Kan bahaya, meskipun Mama sudah berumur, tapi memang tubuh dan kulitnya masih sangat terawat.
Tok. Tok. Tok.
“Assalamualaikum.”
Suara ketukan pintu dan salam terdengar dari luar. Aku bergegas menuju pintu depan dan melihat siapa yang datang.
Keningku mengkerut melihat kakak keduaku datang membawa koper besar, beserta kedua anaknya yang masih balita. Yang satu masih bayi mungkin dua bulan, satunya setahun setengah digendong sama bapaknya.
“Kenapa lu, Mbak? Diusir?” tanyaku.
“Mama mana? Maaaa... Mamaaaa.”
“Kenapa, Mas?” tanyaku pada kakak ipar yang duduk di sofa ruang tamu dan membaringkan putranya di sana.
“Ya Allah, cucu Mama kenapa ini?” tanya Mama yang melihat ke depan keadaan anak, menantu juga cucu kesayangannya itu.
“Tuh Mas Agus nggak bisa bayar kontrakan, kita nunggak tiga bulan. Akhirnya diusir.” Suara Mbak Anggi menahan tangis.
Kasihan juga sih, sampai anaknya terlantar kaya gitu.
Mama mengusap bahu Mbak Anggi pelan. “Ya udah, kalian kan bisa tinggal di sini, lagian dari dulu Mama udah bilang, nggak usah ngontrak,kita hidup bareng-bareng di sini susah senang, sayang duitnya buat bayar kontrakan. Ujungnya begini kan.”
“Aku capek nih, Ma. Mau tidur, kasihan Nisa nih.” Mbak Anggi menunjuk bayinya yang bernama Nisa itu.
“Yaudah, ke kamar kamu sana. Nggak ada yang nempatin juga di atas. Tiap hari dibersihin kok sama bibi. Ajak suamimu.”
“Nggak mau, aku mau tukeran sama kamar Ali aja, Ma. Capek kalau harus naik turun. Apalagi punya anak kecil. Ali, Mbak tukeran kamar ya, kamu sama Dona di atas. Yaah, itung-itung Dona biar sekalian olah raga gitu.”
“Ah, nggak mau. Kamar Mbak Anggi sempit, gedean kamar aku di bawah.” Aku menolak dengan tegas, enak aja, semua interior kamar aku kan aku yang dekor. Banyak barang berharganya juga, bisa hancur sama anaknya kalau ditempatin dia.
“Ali, ngalah dong sama mbaknya, kamu nggak kasihan tuh ponakan kamu.” Mama menunjuk ke arah dua bocil di depanku.
“Mbak Anggi pakai saja kamarnya Mas Ali, kita mau pindah kok. Aku udah dapat kontrakan yang dekat sama kantornya Mas Ali.” Suara Dona tiba-tiba saja membuatku dan yang lainnya menatap ke arahnya.
“Kamu mau ngontrak?” tanya Mama sambil berdiri.
“Iya, memang Mas Ali nggak ngomong, Ma? Ayo, Mas. Aku uda kuat kok bawa mobil. Baju, dan barang-barang kamu udah aku masukin koper semua.Di sana rumah kontrakannya gede, satu rumah, ada dua kamar, jadi Ibu aku bisa nginep, dapurnya gede, ruang tamu luas, ada garasi juga, ada satpam 24 jam,dijamin aman. Mama nggak usah khawatir ya sama anak laki-laki kesayangannya.”
Aku menelan ludah berkali-kali, kulihat kedua mata Mama memerah bagai kilatan amarah yang hendak keluar.
Gawat nih, Dona ternyata berani juga ya manas-manasin Mama.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top