Bab 1 : Mama Pinjam Uang



“Li, bilangin istrimu ya, Mama pinjam uang lagi nanti dua juta buat bayar arisan.”

Aku yang baru saja duduk di ruang makan seketika hilang rasa lapar mendengar ucapan Mama barusan.

“Mah, uang yang bulan lalu saja belum dipulangin, gaji aku belum turun bulan ini. Udah dong, Ma, jangan pinjam Dona terus. Kan kasihan dia,” kataku membela istri.

“Gimana sih kamu, dulu perjanjiannya gimana? Mama ngerestuin kalian nikah kan karena Dona mau jadi sumber keuangan kita. Lagipula orang tuanya dia kan kaya raya, dia juga anak semata wayang, warisannya banyak, Ali.Udah deh, pokoknya Mama nggak mau tahu, nanti sore uangnya harus sudah ada.”

Kulihat Mama beranjak dari duduknya setelah menyelesaikan sarapannya. Bahkan Mama meninggalkanku sendiri. Karena Dona sedang tidak enak badan gara-gara kemarin pulang kerja kehujanan.

Aku harus bilang apa sama dia, masa ngutang terus. Dona memang sangat baik, dia bahkan nggak pernah perhitungan dengan sikap Mama yang selalu pinjam uangnya itu.

Tapi, kalau tidak dituruti Mama pasti akan memintaku untuk menceraikannya. Dengan alasan Dona tidak bisa memberikanku keturunan.

Sudah jalan dua tahun sejak aku berhasil mempersunting Dona dengan berbagai bujuk dan rayuan. Akhirnya aku bisa meyakinkan keluargaku kalauDona adalah istri yang baik dan bisa membuatku bahagia.

Jelas, tak hanya bahagia lahir bathin awalnya. Tapi juga materi keluargaku, seolah kami adalah benalu bagi hidup Dona.

Dona tak pernah marah, dia bahkan tetap melayaniku setiap saat. Dari aku bangun tidur, sampai mau tidur lagi.

Biasanya kalau sarapan gini, dia dengan senang hati mengambilkanku nasi dan lauknya, juga mengambilkan minum untukku.

Sekarang istriku sedang terbaring di kamar, dan aku harus gantian melayaninya.

Awalnya aku lapar, karena semalam sepulang kerja aku ngantuk dan tak sempat makan malam. Namun, karena ucapan Mama tadi, rasa lapar yang sejak malam kutahan seketika hilang. Berganti dengan bayangan akan tumpukan hutang selama setahun lebih yang dipinjam Mama pada istriku.

Bagaimana cara Mama membayarnya nanti coba? Sedangkan usahanya di pasar sedang sepi, karena kalah saing dengan pedagang online lainnya.

Mama yang berjualan pakaian muslim di pasar tradisional harus kehilangan banyak pelanggan. Mereka beralih ke pedagang online dengan alasan, tidak perlu jalan ke pasar, nawar, dan harga biasanya lebih murah,belum lagi ditambah dengan gratis ongkir.

Sementara pekerjaan istriku hanya penjaga konter handphone.Tapi, entah mengapa aku merasa kalau uangnya tidak pernah habis.

Aku menyiapkan makan untuk Dona, dia pasti suka sekali dengan sarapan pagi kali ini. Ada nasi goreng dan telor ceplok, juga acar.

Kuambilkan tiga centong nasi seperti biasa, dan dua telor di atasnya. Lalu kuberikan acar di pinggir piring, dan taburan kerupuk warna warnidi atasnya.

Melihat makanan di piring yang kubawa saja aku sudah kenyang. Huft.

Aku melangkah menuju kamar membawa piring dan gelas berisi air.

Kubuka pintu kamar perlahan dengan mendorongnya. Kulihat Dona sedang duduk sambil bermain handphone.

“Kamu sudah bangun, Sayang?” tanyaku seraya duduk di tepi ranjang.

Dona menggeser tubuhnya. “Udah, waaah ini kayanya enak banget deh,” ucapnya dengan wajah semringah.

“Kamu udah sehat?” tanyaku lagi, dan aku mencoba untuk menyentuh keningnya, tapi tangan Dona menepisku.

“Masih pusing, Mas. Nanti tolong belikan aku obat di apotik ya, inget jangan yang sirup, nggak boleh katanya.”

Wajah yang tadi riang, berubah menjadi manja. Memang sih masih tampak pucat, tapi aku tetap mengangguk untuk membelikannya obat nanti sepulang kerja.

“Yaudah, kamu makan yang banyak ya. Kalau kurang nanti bisa minta tolong Bi Asih untuk ambilkan. Mas kerja dulu, udah siang.”

“Iya, Mas. Makasih ya.”

“Eum, oh iya, Dek. Mas mau ngomong sesuatu, tapi kamu jangan marah ya,” kataku mencoba untuk memulai bicara masalah Mama tadi.

Dona menyuap nasinya dengan cepat, kulihat isi piring tinggal setengah. Sebelum menjawab pertanyaan dariku, ia pun mengambil gelas dari tanganku, dan minum dengan cepat.

“Mau ngomong apa, Mas?” tanyanya dengan tatapan seolah dia tahu apa maksudku.

“Eum, kamu ada uang dua juta nggak?” kataku ragu dengan jantung berdebar, takut dia akan menolak dan bilang nggak ada. Lalu nanti malam aku kena ceramah Mama panjang lebar.

“Kalau nggak ada ya nggak apa-apa, aku nanya doang,”sambungku lagi.

Entah mengapa setiap kali aku bicara demikian, rasanya seperti sedang mempertaruhkan nyawa di medan perang saja.

“Cuma dua juta? Ada kok, butuh kapan? Pasti buat Mama kan?”tanyanya dengan nada datar, dan seketika dia tak lagi menatapku.

Makannya sangat cepat, bahkan aku juga jadi serasa ingin dilahapnya. Dia meletakkan piring yang sudah kosong itu ke atas nakas, lalu mengambil ponselnya.

Sebuah suara pesan masuk terdengar dari ponselku. Aku menelan ludah, lalu merogoh saku celana dan melihat notif pesan WhatsApp dari wanita di hadapanku.

Sejumlah uang yang kuminta pun sudah ditransfer saat itu juga oleh Dona. Ya Allah, kamu sungguh baik, Sayang. Bahkan aku sampai bingung gimana harus membalas kebaikanmu itu.

“Sudah kan, Mas? Sekarang Mas bisa kerja dengan tenang.Nggak sampai malam uangnya sudah aku transfer. Sekarang aku mau istirahat dulu.” Dona kembali berbaring.

“Ma-makasih, Dek. Aku janji akan .....”

“Nggak usah kebanyakan janji, Mas. Aku capek dengarnya,”ucapnya tiba-tiba dan membuat hatiku mencelos.

Sejak kapan Dona berani membantah ucapanku?

Ini semua gara-gara Mama. Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa lepas dari jeratan hutang Mama? Sementara aku nggak mau pisah sama Dona. Aku pula anak laki-laki satu-satunya yang harus menjaga Mama.

.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top