9

Bab 9

 

"Tiga hari?" ucap Ibra sambil bersandar di kursi kantor. Matanya menerawang ke atas. Mencari jawaban atas keanehan hidupnya selama tiga hari ini. Keanehan atas keberadaan Rahma di sekitarnya. Dia merasa berbeda. Lebih lepas dan sering tersenyum. Bukan berarti saat bersama Marrisa dia tak bisa tersenyum. Hanya saja, kali ini berbeda. Ada perasaan nyaman yang tak bisa diutarakan secara lisan. Ibra masih mencari di mana letak nyaman itu berada. Di hati atau karena lingkungan mereka yang dipaksa berdekatan. Ibra kembali menggeleng sambil terus menatap ke atas. Cahaya lampu membuat penglihatannya samar tak jelas.

"Rahma, Amma." Ibra sadar, Rahma hanya bersikap baik kepadanya. Dia yang mengajak Rahma berteman dan Rahma menyambut. Rahma tidak juga tidak berjuang merebut perhatian Ibra, dia bertindak wajar. Dengan sendirinya, hati Ibra terbuka menyambut Rahma. Membiarkan Rahma mulai singgah di hatinya.

Jauh di lubuk hatinya, Ibra memang memimpikan kehidupan rumah tangga sederhana, dengan seorang istri yang benar-benar menjalankan perannya dengan baik. Mengurus rumah dan juga dirinya dengan tulus. Sekilas keinginan sederhana itu sedang diperankan oleh Rahma. Belum semuanya, tapi Rahma bisa melakukannya dengan sukarela. Dan Ibra merasa Rahma tulus melakukannya.

Seperti sekarang ini. Mata Ibra melirik meja di dekatnya. Sebuah kotak makanan baru saja datang atas kiriman Rahma yang dititipkan pada sopir untuk Ibra. Rahma tidak melupakan janjinya tadi pagi perihal membuatkan makan siangnya.

Kotak makanan itu seolah menertawakan dirinya akan satu hal. Di mana istrimu yang sebenarnya, Ibra? Dia hanya isti sementaramu. Istri cadangan, kasarnya.

"Marrisa," desah Ibra. Dia butuh dekapan Marrisa untuk mengusir rasa aneh ini. Dia butuh kekuatan cinta Marrisa agar mampu melewati masa sulit ini. Karena jujur, Ibra merasa khawatir akan keanehan ini. Rahma dikhawatirkan akan masuk ke hatinya jika terus berperilaku seperti ini.

Tidak, tidak boleh terjadi.

Ibra segera mengambil ponselnya. Dia butuh Marrisa. Di lihat dari waktu, mungkin Marrisa baru bangun atau mungkin masih terlelap. Ibra memilih mengirimkan pesan saja.

•Me: I miss you, Rissa. Sudah bangun?

Ibra tertawa menatap layar ponselnya. Dia lalu membuka kotak makanan. Sudah diberikan, sayang jika tidak dinikmati. Dia akan menghormati kebaikan Rahma. Ibra menikmati makanan itu penuh kekaguman. Masakan Rahma diterima di lidah Ibra. Ini seleranya.

•My wife: Aku baru bangun. Jadwalku padat. Bagaimana perkembangan kamu dengan Rahma? Sudah melakukannya?

Ibra membaca balasan dari Marrisa.

•Me: Belum, pekerjaanku juga banyak. Aku mudah lelah.

My wife: Aku harap secepatnya, agar dia bisa hamil. Dan aku akan reschedulle kontrak untuk next year.Usahakan keluarga tidak ada yang tahu.

Me: Kamu mau perpanjang kontrak? Lalu aku gimana?

My wife: Kamu kan, sudah janji Ibra, karierku yang utama. Oke, kamu mungkin nggak bisa hubungin aku selama satu bulan. Bye, my husband.

Ibra mengembuskan napas lelah. Ini risiko yang harus dia terima. Janjinya kepada Marrisa sejak awal adalah kebebaan Marrisa berkarier. Tapi apa salah dia berharap lebih? Setidaknya Marrisa bertanya kabarnya. Bukankah Ibra sudah sedikit memberikan petunjuk jika dia mudah lelah. Ibra hanya meminta sedikit perhatian Marrisa.

Sayang, yang dia terima adalah pertanyaan tanpa basa-basi perihal kelanjutan dirinya dengan Rahma. Ironis, istri pertama bertanya apakah istri kedua sudah berhasil hamil atau belum. Inilah risiko yang kau jalani, Ibra.

Ibra tertawa miris. Tidakkah Marrisa merasa sedih suaminya menjamah wanita lain? Kenapa hanya Ibra seorang yang merasa bersalah saat ingin memulai berhubungan dengan Rahma?

Sekali lagi suara ponsel kembali berbunyi. Ibra membuka pesan itu dengan malas.

Amma: Kamu sudah terima makan siang dariku? Berhenti dulu bekerja, sempatkan makan siang. Asupan makanan menghasilkan energi, jadi kamu bisa konsentrasi bekerja. Aku sudah siapkan makan malam untuk kamu juga. Selamat bekerja, suamiku.

Me: Terima kasih, istriku.

Ibra kembali tertawa membaca pesan yang dikirim Rahma. Lagi-lagi Rahma mengambil alih tugas yang seharusnya dilakukan Marrisa. Ini yang ditakutinya, Ibra mudah luluh jika terus diperlakukan seperti ini.

Ibra harus bisa bertahan, dulu saja dia bisa bertahan. Menolak kehadiran wanita selain Marrisa. Lalu kenapa sekarang dia takut tidak bisa seperti sebelumnya? "Karena dia dekat sekali," ucap Ibra dalam hati. Hatinya sedang bertikai sendiri mencari cara agar bisa yakin akan cintanya hanya untuk Marrisa. Walaupun keberadaan Rahma akan selalu dekat di sekitarnya.

Mampukah Ibra mempertahankan kemantapan hatinya untuk Marrisa yang jauh di sana?

***

Tiba di rumah, Rahma menyambut Ibra dengan riang. Seharian ini Rahma menggunakan waktunya untuk membuat Ibra senang. Memasak dan merapikan rumah, dan terakhir menyambut kepulangan Ibra dengan mencium tangan seperti tadi pagi. Layaknya istri yang menghormati suami setelah kelelahan mencari nafkah untuk keluarga.

Ibra seolah lupa dengan janjinya untuk bisa menahan diri. Senyuman Rahma sayang untuk dibiarkan begitu saja. Mendadak Ibra merasa senyuman Rahma mampu menghilangkan rasa lelahnya. Munafik kau, Ibra.

"Kamu belum makan? Aku buatkan minuman segar, yah? Oh iya, aku masak iga bakar untuk makan malam kita. Bi Mirna bilang itu makanan kesukaan kamu. Kamu mandi dulu. Atau mau makan?" tanya Rahma bertubi-tubi. Ibra menggeleng, sedikit terkekeh. Rahma yang ramai sudah terlihat.

"Kamu sedang wawancara?"

Rahma hanya cekikikan. "Sorry, abis aku bingung sendirian dari tadi. Tembok saja pusing dengar aku berbicara." Gaya bahasa Rahma terdengar santai dan Ibra menyukainya.

"Untung aku nggak sempat dengar," ledek Ibra.

"Sudah, mandi sana. Aku siapkan makan malam."

Ibra menuruti perintah Rahma. Dia masuk kamar dan membersihkan diri. Segar dan perasaan baru kembali datang. Selesai berpakaian, Ibra menatap tubuhnya melalui cermin. Dia baru menyadari, jika sejak tadi ekspresi wajahnya tak lepas dari senyuman. Sepertinya Ibra menikmati peran yang sedang diperlihatkan Rahma. Sebagai istri sesungguhnya. Aku memang suami yang sah baginya. Kenapa perasaan ini semakin sering menggangguku?

Ibra berjalan ke luar kamar dengan tenang. Dia harus bisa mengendalikan diri. Malam ini harus bisa dia lalui dengan baik.

Ibra melihat Rahma sedang merapikan makanan di meja makan. Tampaknya sudah selesai dan siap untuk dinikmati. Ibra memperhatikan, Rahma begitu menguasai ruangan itu. Marrisa saja belum pernah mempergunakan ruangan itu sebaik-baiknya, lagi-lagi Ibra mulai tak konsentrasi.

Sekarang malah membandingkan.

"Ayo duduk, Ibra," sambut Rahma. Ibra sendiri seperti tersihir. Aroma masakan Rahma menggugah selera. Dia lapar dan butuh pelampiasan.

"Mari makan." Ibra tanpa malu-malu menikmati masakan Rahma.

Ada yang bilang cara menaklukkan pria itu cukup dengan menarik perhatian selera lidahnya. Dan sepertinya itu benar, Ibra benar-benar terpesona dengan masakan Rahma. Dia mau setiap hari menikmati masakan Rahma. Kalau perlu selamanya.

"Mau nambah lagi?" tawar Rahma. Ibra sempat terdiam sejenak. Selama makan pikiran Ibra seperti melayang. Masakan Rahma seperti memakai tambahan penyedap rasa. Rasa akan hatinya yang mulai luluh. Ibra, bahasamu.

"Sudah cukup. Aku mau ke ruang kerja saja. Sengaja aku bawa pekerjaan ke rumah." Setelah minum, Ibra segera berdiri dan bergegas meninggalkan ruangan. Lama di sana membuat pikirannya kacau tak karuan.

Ibra memasuki ruangan kerjanya sambil berdiri gelisah. Kenapa susah sekali bersikap wajar dengan tingkah Rahma. Rahma tidak sedang menggodanya, tetapi dia merasa tergoda sendiri.

Alihkan dengan memeriksa pekerjaan!  Ibra mulai melanjutkan pekerjaan yang tertunda dan memang sengaja dia bawa ke rumah.

Saat sedang berkutat memeriksa laporan-laporan kerja, Rahma mengetuk pintu dan masuk sambil membawa puding dan segelas susu. Ibra hanya melirik tanpa bertanya.

"Ini aku buatkan susu hangat, biar kamu tidur nyenyak." Rahma meletakkan satu piring kecil puding dan susu itu di atas meja. Lalu mengangguk dan berbalik tanpa menunggu reaski Ibra.

Ibra sendiri tidak berniat menahan, dia tak mau terbawa suasana kembali. Menatap camilan dan segelas susu itu saja sudah membuat pikirannya kembali buyar.

Ibra meraih ponselnya. Mencari salah satu pesan dari Marrisa beberapa waktu yang lalu. Perihal proses menghamili Rahma. Haruskah malam ini?

Ibra pria dewasa, dia juga butuh penyaluran hasrat. Dan kenyataannya sekarang, di rumahnya tinggal seorang wanita yang halal untuk dia sentuh juga. Ibra memejamkan mata. Cepat atau lambat dia memang harus menyentuh intim Rahma. Menggaulinya demi mendapatkan sebuah keturunan. Anaknya.

Setelah menyelesaikan pekerjaan, Ibra berniat menyambangi Rahma. Dia melihat jam dinding. Pukul sepuluh malam lebih sembilan menit. Ibra merenggangkan tangan sambil menatap piring kotor dan gelas susu. Seulas senyum kembali hadir.

Ibra memutuskan untuk kembali tidur bersama Rahma. Diakui Ibra, sejak semalam tidur di samping Rahma mempunyai efek berbeda. Ibra sempat tersadar saat dini hari, menatap Rahma tertidur sedikit membelakangi dirinya. Secara sadar Ibra menarik Rahma agar menghadapnya. Wajah polos dan lugu Rahma menemani dirinya untuk kembali lelap. Dan sekarang Ibra ingin menatap wajah lugu itu, lalu sekilas wangi lembut Rahma juga ingin dia rasakan kembali. Aku sudah mulai gila, tapi dia istriku juga.

Saat sudah menaiki tangga, Ibra melihat Rahma tertidur di ruang televisi yang terletak di depan kamarnya. Rahma sudah berganti pakaian. Dia mengenakan piama bermotif bunga yang manis. Ibra memuji dalam hati.

Pelan, Ibra mematikan televisi dan dengan kesadaran penuh dia menggendong Rahma menuju kamar. Membaringkan tubuh Rahma dengan hati-hati. Menatap wajah lelapnya. Ibra ikut bergabung di samping Rahma. Memiringkan tubuhnya, menahan dengan sikunya. Dia ingin menatap lekat wajah manis Rahma.

Wajah istri keduanya sungguh alami. Dia mirip Marrisa, hanya saja ada beberapa bagian yang berhasil mengungguli dibandingkan Marrisa. Penuh kedamaian tanpa riasan palsu. Ibra terus saja bermain dengan hatinya.

Tanpa sadar, Ibra mendekatkan wajahnya. Mengecup pipi Rahma pelan. Lalu menatap bibir mungil Rahma. Awal perkenalan, bibir itu sungguh ketus menyambutnya, sekarang saat sudah dekat, sepertinya bibir itu mampu menghasilkan keriangan karena kosakata yang dikeluarkan membuat Ibra senang. Lalu, apa sekarang mampu juga menimbulkan getaran?

Ibra mengusap bibir itu. Dia mau mengecup bibir itu saat si pemiliknya sadar. Lama menggoda Rahma dengan sentuhan di wajah, membuat Rahma menggeliat tersadar. Mata sayup itu terbuka pelan. Rahma membalas dengan senyuman.

"Sudah siap jika malam ini kita melakukannya?" tanya Ibra tanpa basa-basi. Rahma semakin melebarkan matanya. Ibra memaklumi jika Rahma terkejut. Wajar.

Tanpa menunggu jawaban, Ibra langsung mengecup bibir Rahma. Menatap kembali wajah terkejut Rahma. Kali ini lebih melebarkan mata. Dia belum siap. Ibra kembali mendekatkan bibirnya, melumat lembut penuh kehati-hatian. Menikmati dengan tenang penyatuan ini. Dan Ibra mulai sadar akan satu hal, amatirnya Rahma dalam menyambut sentuhan Ibra.

"Ini ciuman pertama kamu?" tanya Ibra menatap Rahma bingung. Rasanya berbeda saat dia beradu kemesraan dengan Marrisa. Istrinya itu begitu mendominasi, berbeda dengan istrinya yang sekarang sedang menatapnya dengan wajah merah yang tak bisa ditutupi.

"Kamu nggak pernah berciuman sebelumnya?" Pertanyaan Ibra membuat Rahma salah tingkah.

Memangnya salah tidak pernah berciuman?

"Iya, memangnya kenapa kalau ini pertama? Biasa saja lihatnya." Rahma memalingkan wajah. Dia merasa dikuliti oleh tatapan tajam Ibra yang meneliti wajah dan seluruh tubuhnya. Aku gugup.

"Jangan bilang kamu masih perawan?"

Rahma semakin geram dengan pertanyaan yang lebih mirip pernyataan. Lakukan saja yang mau dilakukan! Jangan banyak bertanya.

"Kenapa bertanya seperti itu?" tanya Rahma balik. Masih tetap memalingkan wajah.

Ibra menarik wajah Rahma agar wajah mereka saling menatap. "Amma, aku akan merasa bersalah jika itu benar. Kelak, suami kamu yang sesungguhnya yang paling berhak." Rahma melihat mata Ibra. Kejujuran dan ketulusan baru saja diutarakan Ibra.

Rahma sudah berjanji untuk pasrah malam ini. Dengan kikuk dia menarik wajah Ibra agar semakin dekat dengannya, membisikkan sesuatu di telinga Ibra. "Kamu suami aku, Ibra."

Gayung bersambut, Ibra tidak membuang waktu. Dia sudah merasa bergairah sejak tadi dan sekaranglah saatnya. Menyentuh Rahma seutuhnya, dan Rahma pasrah dengan segala sentuhan Ibra.

Ibra dengan sopan menyentuh setiap jengkal tubuhnya. Menghormati rasa sakit ini dengan serentetan kata penenang bagi Rahma. Ibra tahu ini yang pertama untuk Rahma. Terlihat dari bahasa tubuh Rahma dan bukti yang tercetak di sana.

"Aku mau segera terbentuk anak kita," bisik Ibra lembut, masih mengecup pipi Rahma. Ringisan itu sudah mulai berpendar menjadi senyuman asing. Rahma belum pernah mengalami pengalaman ini sebelumnya.

"Aku tidak mau ada paksaan saat melakukannya. Aku mau anak ini lahir karena orangtuanya mencintainya untuk hadir di dunia."

Rahma mengangguk sambil meneteskan air mata. Dia sudah sah dimiliki Ibra, suaminya. Dan semoga setelah ini kehidupan baru muncul.

"Aku akan mencintai anakku. Maaf, anakmu," suara Rahma terbata. Ada rasa takut dan sesal saat dia mengatakannya.

Maafkan aku, Rahma. Menatap kesenduhan di wajah Rahma membuat Ibra merasakan sesak. Mungkin ini tindakan kejam yang pernah Ibra lalukan kepada seseorang, dan dia tak bisa berbuat apa-apa.

Ibra mengecup pipi Rahma dengan maksud menenangkan. Hanya itu mungkin yang bisa dilakukan Ibra, mengingat pengorbanan Rahma untuknya. Ibra berjanji akan bersikap baik seterusnya untuk Rahma, istri keduanya.

Mereka menyelesaikan ritual itu dengan saling terdiam. Dalam keheningan saling menatap, lalu saling berpelukan. Melupakan sejenak akan hari esok. Mereka lelah dan butuh rehat sejenak. Setidaknya rasa sesak di hati ini bisa terbagi satu sama lain.

"Tidur yang nyenyak, Amma. Aku akan menemanimu," bisik Ibra, tanpa ragu mengecup kening lalu memeluk erat tubuh polos Rahma.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top