11

Bab 11


My wife: Maaf aku sibuk tidak sempat memberi kabar. Kamu apa kabar?

Me: Rahma sudah hamil. Dua minggu yang lalu baru diketahui.

•My wife: Baguslah.

•Me: Jangan menghilang terus. Setidaknya kabari aku jika kamu pindah tempat.

•Me: Tidak bisakah kamu pulang sebentar? Atau aku ke sana?

•My wife: Kamu sudah berjanji, Ibra. Aku janji akan mencari waktu untuk kamu, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Mengertilah.

Untuk pertama kalinya, Ibra malas membalas pesan Marrisa. Dia tertawa membaca setiap balasanya. Tetapi, kenapa terasa semakin jauh Marrisa untuk dia jangkau? Tidak mau keadaan semakin runyam, Ibra akan mulai belajar menjauhi Rahma. Tugas sudah di tengah jalan, Rahma sudah hamil. Menanti Marrisa pulang dan impian awal terwujud. Hidup bahagia dengan Marrisa.

Lalu Rahma? Bukankah dia sudah mendapatkan bayaran atas semuanya. Rahma bahkan sudah menerima semua yang dia minta sejak awal. Ibra berusaha kuat dengan hatinya. Semua akan berjalan seperti seharusnya.

***

"Iya, Bu, Rahma mungkin masih lama pulang ke Bali. Tahun pertama kerja nggak boleh banyak libur. Bagaimana di sana? Rahma senang kalau bangunan panti sudah aman. Rahma janji akan membantu lagi, mungkin mencari donatur yang lebih royal lagi." Rahma tertawa sendiri di dalam hati. Mau mencari siapa lagi? Atau mau berbuat nekat apa lagi?

"Ibu Rahma," panggil Bi Mirna kepada Rahma. Wanita tua itu tersenyum mendekati Rahma yang sedang duduk di depan kamarnya sendiri. Setelah menghubungi Ibu Suci setiap ada waktu, Rahma lebih memilih duduk sendiri di atas. Kehamilannya sudah memasuki bulan ketiga dan Rahma sungguh beruntung tidak terlalu dipusingkan dengan masa-masa awal kehamilan.

Rahma baik-baik saja dan tidak seperti kebanyakan wanita hamil lainnya. Rahma bersyukur, setidaknya sampai saat ini dia masih baik-baik saja secara fisik. Walaupun dalam hatinya ada rasa kehilangan dari tingkah Ibra yang mulai menjauh. Jelas mereka saling menjaga jarak.

Rahma memaklumi. Keputusan Ibra itu yang terbaik. Pria itu mencintai istrinya, Marrisa. Sementara dirinya hanyalah pendukung rumah tangga Ibra dengan Marrisa. Hanya sebagai pemberi anak untuk mereka.

"Tidak mau makan siang?" tanya Bi Mirna sopan. Rahma menggeleng lalu menatap kembali siaran televisi. Menyaksikan drama tanpa tahu jalan cerita yang sedang berlangsung. Pikiran Rahma memang sedang melanglang buana.

"Nanti saja, Bi. Aku belum lapar."

"Mau Bibi bawakan saja ke sini?"

Rahma menggeleng. "Nanti saja. Aku akan ke bawah."

Bi Mirna mengangguk lalu hendak berbalik. "Tadi Bapak kirim salam, Ibu sudah dua hari tidak bangun pagi sarapan bersamanya."

"Iya Bi, aku masih menikmati tidur. Rasanya malas untuk bangun." Tawa ringan Rahma membuat Bi Mirna mengangguk kembali. Dia segera berlalu ke bawah. Tidak mau mengganggu istri kedua dari majikannya.

"Dek, Papa kamu mencari Mama," bisik Rahma pelan, dia lalu mengusap perutnya sendiri. Belum terlihat membuncit tetapi Rahma bisa merasakan ada kehidupan di sana.

Perhatian Ibra kepada dirinya masih ada, lebih tepatnya untuk janin yang sedang dikandung Rahma. Perhatian untuk calon keturunannya tidak pernah dibiarkan begitu saja. Dia akan menawarkan tanpa sungkan apa yang Rahma butuhkan, atau meminta Bi Mirna yang bertanya.

"Yang sehat yah, Dek," bisik Rahma lagi. Dia meneteskan air mata. Semua sudah terlambat. Dia melanggar janji.

Aku mencintai lelaki yang sangat perhatian denganku, dia begitu lembut dan sayang denganku. Setidaknya itu yang kurasakan. Selama dua bulan ini aku bagaikan putri yang berhasil menemukan pangeran impiannya. Dari segi mana pun Ibra sosok suami idaman. Dia sempurna di mataku. Dia pria yang sangat bertanggung jawab. Dan yang paling penting dia sangat mencintai istrinya hingga mau ikut dalam permainan ini.

Rasa yang tidak bisa dibendung Rahma ini terus bersemayam. Rahma mengakui, dia berbuat curang karena mulai mencintai Ibra. Terbawa suasana hanyalah dalih agar tidak terlalu merasa menyesal. Sekuat tenaga Rahma mengingat tujuan awal dia ada di sini. Kehamilan ini untuk rumah tangga mereka, Ibra dan Marrisa.

Rahma berjanji, buah hatinya ini akan dia berikan sebagai hadiah untuk Ibra. Rahma yakin, Ibra akan menyayangi tulus anak ini. Karena itu dia mau kuat dan menghilangkan segala rasa lemah yang ada di hati. Setelah ini selesai, Rahma akan melanjutkan hidup baru. Kembali ke Bali, bersama keluarga di panti asuhan. Bukankah itu rencana awalnya?

"Semangat Rahma."

***

"Selamat Ibu, jenis kelaminnya laki-laki."

Rahma masih mengingat ucapan dokter yang memeriksanya satu jam yang lalu. Kehamilan Rahma sudah memasuki bulan keenam dan semuanya berjalan baik.

Rahma sehat, kandungannya pun tak mengalami keluhan yang berarti. Mudah lelah tidak dianggap Rahma sebagai keluhan, banyak membaca seputar masalah kehamilan membuat Rahma tidak terkejut. Rahma memang menjaga kesehatan demi kandungannya. Dia terbiasa sendiri, dan kehadiran Bi Mirna di setiap waktu sedikit mampu mengatasi rasa kesepian ini.

Andai dia bisa jujur, sebenarnya Rahma merindukan Ibra di dekatnya. Menyentuhnya dan memeluknya. Seperti awal masa mereka dekat, sebelum kenyataan dia berbadan dua datang. Rahma sadar itu salah dan terlarang. Dia hanya bisa tertawa miris dalam hati. Sambil mengelus perut yang kian membuncit itu dengan pelan, penuh kasih sayang, selagi masih bisa menyentuhnya. Sehat selalu yah, Dek.

Rahma menyandarkan tubuhnya di kursi mobil. Ditemani Bi Mirna, Rahma segera pulang menuju rumah. Bi Mirna dan sopir yang menemaninya. Ibra seperti biasa hanya akan bertanya dan memberikan apa yang dibutuhkan Rahma. Untuk urusan memeriksa ke dokter, Ibra menugaskan Bi Mirna.

"Mau ke mana lagi, Bu?" tawar Bi Mirna. Ibra juga memperbolehkan Rahma pergi ke luar bersama Bi Mirna jika dia sedang bosan.

"Kamu boleh pergi jalan-jalan, kalau kamu bosan di rumah. Aku tidak melarang. Hati-hati saja kalau berjalan, jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan," 

Ucapan Ibra masih terngiang di kepala Rahma. Ibra perhatian kepada Rahma hanya karena dia membawa keturunan di dalam tubuhnya.

"Aku mau pulang saja, Bi. Ngantuk." Rahma sedang mengalami gejolak emosi yang tak bisa diobati. Ada rasa sensitif yang tak bisa dia utarakan.

"Apa Ibu ingin sesuatu? Bapak berpesan Ibu boleh jalan-jalan. Saya dan Deny akan selalu menemani." Bi Mirna menatap iba atas diamnya sang majikan.

"Iya, Ibu mau pergi ke mana akan saya antarkan." Sopir bernama Deny itu juga ikut bersuara. Rahma menggeleng sopan. Mereka berdua yang selalu Rahma ajak bicara di rumah saat sepi melanda. Terlebih, akhir-akhir ini Ibra pulang selalu larut.

Sesuai informasi, masih dari Bi Mirna, suaminya itu memang sedang banyak pekerjaan. Kalau tidak salah resort baru di Lombok akan segera dibuka. Ibra benar-benar sibuk.

"Pulang saja," jawab Rahma pelan. Dia mencoba memejamkan mata.

Dering suara ponsel milik Bi Mirna terdengar. Dan Rahma seolah tahu siapa yang menghubungi, dia memilih tetap memejamkan mata. Itu pasti suaminya yang menanyakan kabar dirinya melalu Bi Mirna. Apa susahnya bertanya langsung? Bukankah dia juga punya nomor ponsel Rahma? Ingin rasanya Rahma berteriak seperti itu. Setidaknya sebuah pesan singkat bisa membuat Rahma tenang. Sayang, Ibra hanya berbicara jika memang sedang berpapasan. Selebihnya, melalui Bi Mirna.

"Iya, Bapak. Sudah. Selamat Pak, laki-laki," ujar Bi Mirna, Ibra pasti bertanya perihal kandungannya, tebak Rahma yakin.

"Kandungannya baik, sehat. Ibunya? Ibunya juga baik, Pak. Sekarang sedang tertidur menuju rumah."

Rahma hanya mendengarkan sambil memejamkan mata.

Dia juga bertanya keadaanmu, Rahma. Jangan bersedih lagi. Lupakan rasa rindu ini. Tapi mungkin saja bayi ini menginginkan pelukan ayahnya. Jangan munafik, kamulah yang merindukan kehangatan suami terlarangmu itu.

Hingga malam, Rahma lebih memilih berdiam diri di kamar. Bi Mirna yang membawakan makanan untuknya. Rahma sedang mendengarkan musik klasik sambil mencoba memejamkan mata. Sisa hari ini memang membuatnya malas untuk melakukan aktivitas.

Kegundahan ini tak bisa dia tutupi. Tapi tak bisa dia luapkan.

Samar dia mendengar suara pintu yang terbuka. Berpikir jika itu Bi Mirna yang akan bertanya dan menawarkan sesuatu. Kemungkinan Bi Mirna membawa segelas susu dan kudapan lainnya. Rahma kembali memejamkan mata. Dia benar-benar sedang malas berbicara.

Benar saja, Rahma merasakan seseorang melangkah mendekat ke arah tempat tidurnya. Meletakkan sesuatu di nakas. Dan suara helaan napas yang berbeda membuat Rahma yakin jika seseorang yang berada di kamarnya ini bukan Bi Mirna.

Ini Ibra, suaminya. Rahma mengenal suara ini, bahkan sangat merindukan suara menggoda Ibra.

Rahma tak berani membuka matanya. Takut jika reaksi Ibra akan menyakiti hatinya. Ibra dengan wajah datarnya sudah cukup dia terima selama enam bulan ini. Diam untuk saat ini adalah pilihan Rahma.

Rahma merasakan tangan Ibra mengusap pipinya lembut. Embusan napas Ibra terasa sangat dekat di wajahnya. Dan sebuah kecupan mendarat di pipi Rahma. Lalu tangan Ibra turun merambat ke perut buncit Rahma. Mengusapnya pelan dan penuh kelembutan. Rahma tetap bertahan menahan segala rasa yang membuncah di hati. Ingin rasanya Rahma berteriak merayakan kebahagiaan kecil ini. Membuka mata lalu menghambur dalam pelukan Ibra. Tapi seandainya itu dia lakukan, mungkin Ibra akan menolaknya. Menjaga jarak lagi. Rahma tidak mau.

"Selamat tidur, Sayang. Sehat yah, di dalam sana."

Rahma tahu Ibra sedang mengajak bicara calon putranya. Menahan gejolak saat sebuah kecupan Ibra berikan di sekitar perut buncit Rahma.

Dek, Papa menyapa kamu.

"Selamat tidur, Amma," ucap Ibra pelan, sambil merapikan selimut Rahma yang sebelumnya hanya menutupi kakinya. Tidak ada suara beberapa detik sebelum langka Ibra semakin menjauh dan hilang dari dalam kamar.

Rahma membuka mata. Ibra telah pergi. "Dia datang, Dek," bisik Rahma, menangis sambil tertawa miris.

"Janji yah, kita harus sehat." Rahma mengelus perutnya dan mencoba memejamkan mata. Sentuhan Ibra sudah lebih dari cukup. Jangan berharap lebih.

***

"Bi, mulai sekarang aku mau makan sayuran lebih banyak setiap harinya, agar asiku keluar banyak. Bantu aku ya, Bi?" Rahma sedang duduk sarapan sendiri. Ibra mungkin sudah pergi berangkat bekerja. Dia tak mau tahu, lagi pula ini sudah pukul sembilan. Ibra biasa berangkat pukul delapan.

"Baik, Bu. Saya akan siapkan sayuran dan daging."

"Walaupun porsi yang sekarang sudah pas, tapi aku mau yang terbaik untuk dia." Rahma mengelus lagi perutnya.

"Setelah melahirkan, aku akan memberikannya asi yang banyak," ucap Rahma. Bi Mirna hanya mengangguk.

"Andai Ibu kenal dengan Nyonya Nadira. Saya yakin, Nyonya akan memberikan perhatian sebagai seorang ibu." Rahma hanya diam sambil tersenyum. Ibra pernah bercerita tentang beliau.

Mama menginginkan cucu dariku. Tahun depan kalau kamu benar melahirkan, dia akan senang melihat cucu yang dia inginkan. Marrisa akan cocok menjadi ibu.

Rahma mengingat ucapan itu. Awalnya dia tak peduli, tetapi sekarang kenapa rasanya berat sekali. Ini darah dagingnya. Anak kandungnya.

"Bi, mungkin saat aku sudah pergi setelah melahirkan, aku tidak akan pergi jauh dalam waktu dekat. Selama asiku keluar, aku mau putraku menikmatinya. Bibi janji jangan beri tahu siapa pun." Bi Mirna menatapnya bingung.

"Kenapa pergi, Bu? Saya merasa Bapak tidak akan membiarkan itu terjadi."

Rahma menggeleng. "Bibi tahu kan, perjanjian kami? Aku harus menepati janji." Rahma kembali menikmati sarapan. Dia harus sehat dan bisa menghasilkan banyak asi. Ini untuk nutrisi putranya kelak.

Selesai sarapan, Rahma duduk di bangku taman. Sambil memegang ponselnya. Dia baru saja mendapat kabar dari Ibu Suci, jika panti asuhan sudah selesai diperbaiki. Bantuan yang Rahma berikan terpakai sesuai kebutuhan. Walaupun masih banyak kekurangan, setidaknya Rahma sudah bisa membantu. Kegilaan ini terasa tidak sia-sia.

Rahma masih asyik menatap taman kecil di rumah. Menghirup udara segar dengan tenang. Tiba-tiba nama pengirim pesan di ponsel membuat dia diam tak berkutik. "Ibra?"

•Ibra: Aku sudah mengirimkan uang lima puluh juta di rekening kamu. Itu hadiah karena kamu akan memberikan aku seorang putra. Maaf, dalam satu bulan ini aku akan menetap di Lombok. Resort akan segera dibuka. Hati-hati dan jaga kandungan kamu.

"Jadi semalam dia mau pamit?" Tanpa sadar Rahma kembali mengeluarkan air mata. Kehamilan membuat naluri sensitifnya mendominasi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top