#5 - Eccedentesiast
I stay up all night
Tell myself I'm alright
Baby, you're just harder to see than most
(Sasha Alex Sloan - Dancing With Your Ghost)
https://youtu.be/Qzc_aX8c8g4
***
Hal tersulit dilakukan di dunia ini adalah harus tersenyum lebar di saat hati tengah meraung-raung penuh kesedihan. Dan beberapa jam terakhir, Ayu melakukannya. Terlebih saat dia teringat akan perkataan Juang mengenai pernikahan mereka.
Mata Ayu terbuka lebar-lebar. Kegelapan malam langsung menyergap. Perlahan dia menduduki sofa kecil yang baru saja dia tiduri. Kemudian, memperhatikan sekitar.
Malam ini, dia sengaja menawarkan diri untuk menjaga Yulia. Mama mertuanya itu tengah tidur di ranjang rumah sakit, sementara dirinya di sofa kecil tepat di bawah jendela. Meskipun tidak nyaman tidur di sini, mengingat badan besarnya bahkan tak bisa bergerak leluasa, hanya saja tidur di sini jauh lebih baik daripada tidur sekamar dengan Juang dan sikap dingin pria itu.
Lambat-lambat Ayu menoleh ke jendela. Ruang rawat inap Yulia ini berada di lantai tiga dan menghadap ke taman rumah sakit. Menjadikan pemandangan yang dia dapatkan di sini cukup menyenangkan mata.
Sayangnya, kesenangan itu tak bertahan lama. Juang lagi dan lagi memenuhi kepalanya, berikut peraturan dalam pernikahan mereka. Sejak dulu, Ayu selalu berdoa untuk memiliki pernikahan yang langgeng selayaknya kedua orang tuanya. Sayangnya, pernikahan yang dia miliki seolah telah memiliki akhir yang pasti, bukan akhir bahagia, melainkan perpisahan.
Tanpa bisa dicegah, air mata Ayu menitik. Sosok Ibunya muncul di kepala. "Ayu kangen Ibu."
Sejak kepergian Ibunya beberapa bulan yang lalu, tidak sedetik pun Ayu melupakan sosoknya. Setiap malam, dia selalu memutar ulang kenangannya dengan Ibunya. Namun, sejak menikah, bukan hanya kenangan dengan Ibunya saja yang berputar di kepala, tapi juga banyaknya pertanyaan mengenai Juang yang butuh dijawab oleh ibunya.
"Nduk." Sebuah panggilan sukses menghentikan isakan lirih Ayu.
Refleks, Ayu menoleh. Mata wanita itu melebar saat menemukan Yulia tengah duduk di atas tempat tidur sambil menatapnya. "Mama ...."
"Kamu nangis, Ayu?"
Buru-buru Ayu menghapus air matanya. Kemudian, memasang senyum palsu di wajah. "Enggak. Tadi kelilipan, Ma. Kok Mama bangun? Haus? Ayu ambilkan minum ya?"
Yulia mendengkus, lalu menggeleng. "Nggak usah, Yu. Mama emang dari tadi juga belum tidur, cuma merem aja. Jadi, Mama tau lah kamu nangis sambil bilang kangen ke Ibumu. Kamu kangen sama Ibumu atau sebenarnya ... Juang yang bikin kamu nangis?"
Seketika kedua mata Ayu melebar. Terkejut karena Yulia menebak tepat pada sasaran. Sampai-sampai dirinya tak sanggup berkata-kata. Dia merindukan Ibunya sekaligus merana karena perlakuan Juang.
"Mendekatlah, Yu. Biar Mama bisa ngobrol sambil rebahan."
Tanpa membantah, Ayu segera menuruni sofa. Menyeret salah satu kursi plastik untuk dia taruh tepat di samping ranjang. Diraihnya tangan Yulia untuk dia genggam erat-erat. Sambil sesekali dia usap untuk menyalurkan semangat.
"Mama kenapa nggak tidur? Besok kan ada operasi besar," tanya Ayu, sengaja untuk mengalihkan topik.
"Ya karena besok ada operasi besar makanya Mama nggak bisa tidur. Deg-degan." Mama mertuanya terkekeh, lalu tahu-tahu saja menerawang jauh menatap langit-langit. "Kamu ingat nggak, Yu, pas kamu dulu dirundung anak-anak nakal di kompleks dan Juang datang buat lindungin kamu?"
Memori lain kembali muncul di kepala Ayu. Masa sekolah dasarnya yang mengenaskan, tapi saat pulang ke rumah Yulia dan bertemu Juang, sekolah dasarnya jadi tidak terlalu buruk.
Ayu mengangguk. "Ingat, Ma."
"Yu, saat Mama dan Ibumu pertama kali lihat Juang melindungi kamu dari anak-anak nakal itu, kami langsung memikirkan perjodohan ini." Yulia menepuk punggung tangan Ayu. "Kamu pengen tahu nggak alasan kenapa Mama setuju sama usulan perjodohan dari Ibu kamu, selain biar sahabat terus sama Ibu kamu?"
"Alasan ... apa?" balas Ayu lambat-lambat.
Yulia mendesah panjang. "Setiap kali Juang habis bela kamu di depan anak-anak nakal itu, pasti selalu ada bagian tubuhnya yang terluka. Entah wajah, tangan, ataupun kakinya. Kemudian, kamu di rumah bawa kotak P3K buat bantu obatin luka-luka Juang. Detik itu, Mama tahu, kamu adalah sosok pelengkap untuk Juang, saat dia terluka, maka akan ada kamu yang mengobatinya."
Mendadak bibir Ayu keluh. Terlebih saat kenangan itu satu per satu muncul dalam ingatannya seperti rentetan adegan-adegan film pendek. Dia ingat, kala itu dia selalu di sana, tidak mau Juang kecil semakin menderita dengan luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya.
"Ayu," panggil Yulia. Membuyarkan lamunan Ayu. "Mama tahu pernikahan kalian nggak mudah, terlebih sama-sama baru berjumpa setelah bertahun-tahun berpisah. Kamu sabar ya, Yu, tunggu Juang yakin bahwa kamu satu-satunya yang terbaik. Witing tresno jalaran soko kulino, nduk."
Ayu hanya bisa mengangguk. Kemudian, memeluk erat-erat Yulia. Mengusap punggung mama mertuanya, bersikap seolah dia mengerti harapan Yulia. Menutup rapat-rapat bahwa keduanya sudah menentukan seperti apa akhir kisah mereka.
***
Baru saja keluar kamar mandi, Ayu menemukan Juang sudah berada dalam kamar inap Yulia. Hari ini, hari terakhir suaminya itu cuti. Jadi ketika mendatangi mamanya, pria itu mengenakan pakaian santai; kaus polos lengan pendek berwarna biru tua dan celana jeans.
Keduanya tengah mengobrol seru sambil bersenda gurau. Namun pagi ini, tak ada sarapan yang bisa Juang bawakan untuk Yulia karena Mamanya itu harus menjalani puasa sebelum akhirnya operasi siang nanti.
"Mas," sapa Ayu basa-basi.
Seandainya bisa kabur atau masuk kembali ke kamar mandi dan mengunci ruangan itu rapat-rapat, maka Ayu dengan senang hati melakukannya. Hanya saja Yulia sudah terlanjur melihat kemunculannya.
Juang menoleh sambil mengangguk canggung. "Ayu."
Mereka tak lagi berbasa-basi. Juang kembali mengajak Yulia berbincang, sedangkan Ayu berdiri di sudut ruangan dekat kamar mandi. Dia sedang berusaha mengeringkan rambut panjang sepunggungnya dengan handuk, sebelum mengenakan jilbabnya.
"Kamu sudah sarapan, Juang?" tanya Yulia pada Juang. Ruang rawat inap ini tidaklah besar, jadi sekalipun Ayu berdiri sejauh mungkin dari ranjang, dia tetap bisa mendengarkan percakapan mereka.
Juang mengangguk. "Udah, Ma."
"Ayu belum sarapan loh, Leh."
"Lalu?"
Tiba-tiba Ayu mendengar suara pukulan keras. Refleks, dia menoleh. Seketika matanya terbelalak saat menemukan Yulia memukul lengan Juang hingga pria itu mengadu kesakitan.
"Ma, sakit!" rengek Juang sambil mengusap lengannya.
"Kamu tuh antara nggak peka atau emang nggak peduli sama istri kamu sih, Juang?"
Juang terdiam. Saat mendapati Yulia siap memberikan Juang pukulan sekali lagi, buru-buru Ayu menginterupsi. "Ma."
"Kenapa, Yu?"
Ayu menggeleng, berbohong. "Ayu nggak pernah sarapan. Mas Juang tau itu kok, kemarin Ayu cerita."
Kening Mama mengernyit. "Kamu bukannya punya maag akut ya?"
Seketika Ayu merasa bodoh karena dia lupa bahwa penyakitnya satu itu tidak mendukung alasannya. Mendapati dirinya yang hanya diam, Yulia menggeleng-gelengkan kepala.
"Udah deh! Sekarang Juang temani Ayu cari sarapan. Jangan sampai maagnya kambuh karena telat makan. Cepat, cepat!" perintah Yulia. Tangannya mengibas, mengusir terang-terangan.
"Ayu bisa cari sarapan sendiri, Ma. Sementara Ayu cari makan, biar Mas Juang yang nemenin Mama. Masa Mama ditinggal sendirian."
Yulia mendelik. "Mama itu masih baik-baik aja, nggak butuh orang lain buat melayani. Jadi, pergi kalian berdua! Lagian Papa kalian juga mau datang."
"Iya, Mama sayang, aku sama Ayu keluar bentar."
Pada akhirnya, Juang pun beranjak. Memberikan kecupan di pipi Yulia sekilas, sebelum akhirnya berjalan menuju pintu. Ayu yang agak panik buru-buru menyisir rambutnya yang setengah kering, lalu mengenakan kerudung secepat kilat.
Juang memutuskan untuk pergi ke kantin rumah sakit yang berada di lantai dasar. Pria itu berjalan mendahului, sementara Ayu mengikuti di belakang dengan sedikit susah payah. Keduanya tak saling berbicara, bahkan terkesan memasang jarak. Ayu yakin, tak ada seorang pun yang percaya bahwa mereka baru menikah dua hari lalu.
Hingga sampai di kafetaria, barulah Juang bersuara, "Mau pesan apa?"
"Eh?" Ayu bingung. Matanya dengan cepat mencari menu makanan yang ada di sini. Dipilihnya yang tulisannya paling besar. "Nasi goreng."
"Duduk aja."
Tanpa banyak membantah, Ayu segera menduduki salah satu meja terdekat. Matanya tahu-tahu saja memperhatikan setiap gerak-gerik Juang di kejauhan. Pria itu tinggi dengan badan atletis. Sempurna. Sayang sekali, dia harus menjalani pernikahan yang tidak membuatnya bahagia. Terlebih memiliki istri seperti dirinya yang tak menarik dan hanya membuat batinnya tersiksa.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Juang mendatangi mejanya. Membawa satu nampan berisi nasi goreng dan teh hangat serta segelas kopi untuk dirinya sendiri. Selama makan itu, keduanya diam-diaman saja.
"Ayu?"
Panggilan dari kejauhan sontak menghentikan Ayu. Refleks, dia menoleh. Cukup terkejut menemukan Rizky, salah seorang pelanggan tetap di perpustakaan tempat dia bekerja. Mereka sering mengobrol mengenai buku-buku, jadi cukup kenal.
Ayu segera beranjak. Tersenyum lebar sambil menyapa, "Rizky, kok di sini?"
Rizky terkekeh. "Jenguk teman sebelum berangkat ke kantor." Matanya melirik Juang sekilas, lalu kembali pada Ayu. "Sama siapa, Yu?"
"Oh ini ...." Ayu menoleh pada Juang. "Dia—"
"Sepupu. Saya sepupunya Ayu," jawab Juang cepat.
Hati Ayu kembali remuk redam mendengar penuturan Juang, terlebih Rizky percaya saja dengan suaminya itu. Sepertinya Juang serius ingin merahasiakan pernikahan mereka.
Perhatian Rizky kembali berpusat pada Ayu. "Kamu sendiri, Yu, kenapa di sini? Nggak mungkin cuma numpang sarapan, kan?"
Ayu meringis, mengikuti kebohongan yang Juang lakukan. "Tante operasi nanti siang. Aku ... nemenin jaga."
"I see." Rizky manggut-manggut. "Kalau gitu, aku pergi dulu ya. Sampai ketemu di perpustakaan. Dan semoga operasi tante kamu lancar, Ayu."
Keduanya saling melambaikan tangan, sebelum akhirnya Rizky beranjak dari kantin rumah sakit.
Baru saja Ayu duduk, tahu-tahu saja Juang menatapnya. Ekspresi pria itu membuat Ayu mengernyitkan kening. Terlalu banyak bergaul dengan buku, membuatnya kurang memahami manusia.
"Saya rasa Rizky menyukaimu, Yu."
Seketika Ayu mengangah. Matanya mengerjap pelan beberapa saat. Sebelum akhirnya, tawanya meledak. "Mas Juang, kata-kata kamu barusan itu kayak orang lagi nungguin hujan permen, mustahil."
Tak ada balasan apa pun dari Juang, menjadikan Ayu yakin bahwa argumennya benar. Ternyata Ayu benar-benar tidak menarik, bahkan suaminya pun setuju akan hal itu. Mengenaskan.
***
Surabaya, 6 Desember 2021
Hai hai, kuharap kalian masih terus nungguin kisah Ayu dan Juang ini ya. Terima kasih juga sudah voment dan menyukainya. Love you!
COMING SOON hanya di Hipwee premium! Kira-kira baca judul Buy Me A Boyfriend bikin kalian kepo nggak isi ceritanya? haha
Love,
Desy Miladiana❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top