6. Percakapan Suatu Malam
6. Percakapan Suatu Malam
"AKU tak meragukanmu saat kau berkata si Mage itu cantik, 'Amiri."
Sambil berkuda di belakang kuda Riv, Arraf tersenyum mendengar perkataan Lyanth. Pagi-pagi setelah Arraf dan yang lain berdiri di depan rumah Riv, mereka sempat memasuki rumah gadis itu dan melihatnya tanpa penyamaran. Mereka baru memasuki kawasan hutan setelah seharian berkuda. Kini, hari sudah berganti malam. Mereka memasang tenda untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan lagi esok hari.
Lyanth mendirikan tenda bersama Arraf. "Ah, seandainya saja dia bukan Mage, aku pasti mau menjadikannya kekasihku."
Arraf mendengus. "Maksudmu, salah satu dari kekasihmu?"
"Dia bukan kekasih biasa, dia eksklusif."
"Salah satu dari kekasih eksklusifmu, kalau begitu." Arraf memutar bola mata. Menarik salah satu tali untuk membuat tendanya kokoh. "Takkan kubiarkan. Dia akan jadi calon ratu Kerajaan Asy-Syams."
"Belum tentu juga kau direstui hewan suci untuk jadi suaminya."
"Setidaknya aku bisa mencoba." Arraf kini membuka kain untuk alas bagian dalam tendanya. Matanya menatap ke arah tenda lain yang sudah berdiri dari lima menit yang lalu.
Dalam perjalanan tadi, Arraf tak melihat Riv membawa tenda. Gadis itu bahkan hanya membawa dua 'tas'; satu berupa buku sihir tertutup bahan kulit dan terlihat seperti tas sampir biasa, satu lagi adalah tas selempang mungil seukuran saku. Saat di perjalanan, Arraf baru paham kenapa bawaan Riv sangat sedikit. Sebab semua kebutuhan Riv sudah tersimpan dalam buku sihirnya.
Tadi pun, Riv hanya membuka buku sihir, merapal sesuatu, lalu muncullah sebuah tenda di depannya.
Sementara Arraf dan yang lain harus membuat tendanya sendiri seperti rakyat biasa.
"Di kehidupan lain, aku jadi ingin dilahirkan sebagai penyihir," ujar Lyanth sambil melihat Riv yang masih belum keluar dari tendanya. "Katanya, penyihir bisa lebih kuat jika membantu manusia, bukan? Maka vitalitas tubuhku akan meningkat seiring aku membantu menghangatkan ranjang para manusia perempuan."
Arraf mengerjap, spontan terbahak. "Cuci otakmu itu, Lyanth!
"Apa? Aku tak salah," kilah Lyanth. "Itu kan memang termasuk membantu manusia... dalam meraih puncak kenikmatan mereka."
"Berhentilah bicara kotor," ujar Jafar yang baru datang dari mencari kayu bakar. "Aku tak ingin Mage mendengar ucapanmu dan menganggap rombongan Asy-Syams tak lebih dari tiga pria mesum."
"Tak mungkin. Obrolan kita di sini tak mungkin terdengar olehnya," ujar Lyanth. Menyelesaikan tenda buatannya dan Arraf. "Apa kau tak ingin mengajak calon ratumu itu keluar tenda untuk makan malam bersama kita, 'Amiri?"
"Ya, sebentar," ujar Arraf, selesai membuat tenda dan berjalan mendekati tenda Riv. Dia dari tadi memang sudah berencana untuk memanggil perempuan itu makan bersama.
Ketika dia ingin buka suara untuk memanggil Riv, Arraf justru terdiam karena mendengar suara Baba Warzikh. Dia melotot, spontan mengintip dari celah tenda Riv. Matanya menangkap ada wajah Baba Warzikh yang sedang bicara, terlihat berada di dalam sebuah portal yang terbentuk dari debu-debu bercahaya kehijauan.
Oh, apa ini yang dimaksud Riv tentang sihir komunikasi? pikir Arraf, memerhatikan. Mungkin karena ini juga dia jadi tak keluar-keluar tenda sedari tadi.
Beberapa detik kemudian, portal itu melesap dan menghilang. Meninggalkan Riv sendiri di tendanya. Kala itu, barulah Arraf berani berdeham dan memanggil nama Riv.
Riv yang mendengarnya pun membuka pintu tendanya. "Ah, maaf aku tadi tak membantu memasang tendamu," ujar Riv. "Apa tendamu sudah selesai? Ada yang bisa kubantu?"
"Oh, tidak." Arraf mengangkat tangan. "Tendaku sudah selesai. Aku hanya ingin mengajakmu makan malam bersama kami."
"Aku ikut. Biar kuambil makananku dulu." Riv masuk kembali ke dalam tenda sejenak dan membawa bungkusan kertas cokelat dan air minumnya. Dia dan Arraf lalu berjalan ke arah api unggun yang sudah dibuat oleh Jafar.
"Nona Mage yang cantik," panggil Lyanth sambil mengangkat minumannya. "Kau mau makan malam bersama kami?"
"Tentu. Aku juga bawa makanan." Riv duduk di sisi sekitar api unggun yang masih kosong, tepatnya duduk di sebelah Lyanth. Dia mengangkat bungkusan berbahan kertas cokelatnya itu, lalu mengambil sesuatu dari dalamnya. "Ini untuk kalian," ujarnya sambil membagikan roti isi daging dan sayur kepada tiga lelaki di sekitarnya.
"Ah, terima kasih," ujar Lyanth sambil mengedipkan satu mata. "Ternyata tak hanya cantik, tetapi kau juga cukup murah hati untuk berbagi dengan kami."
Riv tertawa. "Terima kasih, Agha. Tapi, aku jauh dari kata murah hati. Aku adalah Mage yang arogan."
"Oh, ya? Apakah lebih arogan dari Putra Mahkota Asy-Syams?"
Riv tertawa lebih keras. Dan Arraf tak suka melihat Riv tertawa karena Lyanth.
"Rayuan tak bermutu," ujar Arraf kepada Lyanth, segera mengisi area kosong antara Lyanth dan Riv, memisahkan dua orang itu, lalu memberikan tatapan penuh peringatan pada kawannya.
Lyanth hanya mengangkat bahu tak acuh.
Arraf mendengus, lalu menoleh pada si Mage. "Maaf kau jadi harus mendengar rayuan sampah kawanku ini."
"Hei!" ujar Lyanth tak terima. "Kalau kau menganggap rayuanku sampah, coba tunjukkan rayuan berkelas itu seperti apa!"
"Aku tak perlu menunjukkannya kepada lelaki yang selalu menggoda wanita yang dia temui," balas Arraf.
"Aku tidak menggoda semua wanita, 'Amiri," bela Lyanth. Matanya pun menatap ke arah Riv. "Hanya wanita yang cantik saja."
Riv hanya terkekeh sambil makan roti isi dagingnya. Sementara Arraf memelototi Lyanth yang cengengesan.
Jafar tersenyum. "Nona Mage, apa kau hanya mengembara sendirian selama ini?"
"Oh, iya. Aku mengembara sendirian," jawab Riv, menggigit rotinya. "Aku lebih suka fokusku saat mempelajari buku-buku pusaka tak terganggu, jadi aku sengaja tak membawa teman."
Arraf mengangkat alis. "Bukannya kau bisa minta tolong teman-temanmu untuk tak menganggu?"
"Tak semudah itu. Kadang ada temanku yang justru mengajakku berpetualang membaur dengan orang-orang sekitar daripada mendekam dengan buku-buku. Itu memang menyenangkan, tetapi memperlambatku dalam mempelajari buku-buku pusaka."
Jafar melirik Lyanth. "Temanmu itu kedengaran seperti temanku di samping ini."
Lagi, Riv terkekeh. "Kalau begitu, kalian pasti teman akrab."
"Aku, Jafar, dan 'Amiri memang sudah berteman dari awal-awal remaja," ujar Lyanth. "'Amiri ini adalah anak paling angkuh di sanggar berpedang. Semua orang takut akan kemampuan berpedangnya. Tapi, 'Amiri sendiri akan ketakutan jika melihat kumbang."
"Itu tidak benar," bantah Arraf. "Aku biasa saja dengan serangga."
"Oh, ya? Biasa saja sampai kau hampir menangis karena digigit?"
"Itu masa lalu, Lyanth. Saat itu aku masih dua belas tahun." Arraf memakan roti isi pemberian Riv. "Kau sendiri masih mengompol di usia tiga belas."
"Hei, itu tidak sengaja!" seru Lyanth. "Sejak itu aku tak pernah mengompol lagi!"
"Kau tahu, Riv? Lelaki ini bahkan tega tak membantu kami di Hutan Byzantine saat menghadapi para penyihir." Arraf menyeringai ke arah Lyanth. Lalu menatap Riv. "Tahu masalahnya karena apa? Hanya karena dia ketiduran saat bermalam di rumah seorang gadis yang baru saja dia temui."
"Tapi, kalian pada akhirnya tidak disakiti oleh penyihir Byzantine, bukan? Kami sudah membuat kesepakatan untuk tak menyerang manusia kecuali jika mereka berniat mencelakai kami," ujar Riv.
"Ya, aku dan Jafar syukurnya tak apa-apa." Arraf meminum airnya. Dia pun mengambil tas berisi makanan, memberikan roti kepada Riv. "Ini, makanlah. Itu roti madu dan keju."
"Oh, terima kasih." Riv menerimanya, meletakan roti madu itu di pangkuan sambil menyelesaikan makan roti isi dagingnya. "Omong-omong, berapa usia kalian? Jafar sepertinya sudah menikah, ya?" Riv menduganya dari cincin di jari manis Jafar.
"Iya, aku sudah menikah," jawab Jafar. "Usiaku 26 tahun, Lyanth 24, sementara Arraf 25 tahun."
"Wah. Kau tua juga, ya," komentar Riv.
Lyanth bertanya, "Memang berapa usiamu?"
"Aku 20 tahun," jawab Riv. "Sebentar lagi menuju disebut 'tua'."
Mereka tertawa. Di negeri Farsi, orang yang berusia 15 tahun sudah dianggap dewasa. Sehingga orang-orang berusia di atas 20 tahun dianggap tua. Mereka lalu mengobrol tentang berbagai hal, terutama tentang kehidupan di Kerajaan Asy-Syams.
"Agha, jika aliansi antarkerajaan yang kau tuju ini berhasil, apa yang selanjutnya akan kau lakukan?" tanya Riv setelah meminum airnya. Makanannya sudah habis.
"Aku akan memimpin aliansi dan Kerajaan Asy-Syams sebaik-baiknya, berusaha memajukan peradaban." Sesaat kemudian, Arraf menambahi, "Mungkin juga bermain dengan anak-anakku, atau bulan madu dengan istriku."
Riv meninggikan alis. "Apa kau punya istri?"
Arraf memutar bola mata. "Tentu saja tidak. Kalau aku sudah punya istri, aku tak akan melamarmu."
"Kau bisa saja menjadikan istrimu selir."
"Itu keputusan gegabah jika aku menginginkan istriku menjadi ratu," ujar Arraf dengan serius. "Sebab jika aku memiliki ratu dan mengangkat selir, maka ratuku juga berhak memiliki haremnya sendiri. Raja dan ratu di Asy-Syams itu setara, ingat? Dan aku ini egois, tak sudi ratuku disentuh-sentuh oleh pria lain. Jadi jik aku tak mau ratuku membuat harem, maka aku juga takkan membuat haremku sendiri."
Riv manggut-manggut. "Masuk akal. Aku suka sistem ini."
"Tertarik untuk mencoba?"
"Memiliki harem? Tidak. Itu merepotkan."
Arraf tertawa. Dia pun memberi kode kepada Lyanth dan Jafar untuk undur diri duluan ke tenda mereka.
"Kau tidak ikut tidur dengan mereka?" tanya Riv, mengedik ke arah tenda Arraf dan dua kawannya.
"Nanti aku akan menyusul. Aku masih ingin mengobrol denganmu."
Riv hanya menanggapi keterusterangan Arraf dengan sedikit meninggikan alisnya. Lalu dia menenggak air dari botol minumnya.
Arraf sendiri sengaja terus terang, sebab dia tak terlalu suka menyembunyikan intensinya jika dia tertarik dengan seseorang. "Jadi, kau bilang kau suka sistem di Asy-Syams. Apa ini berarti kau tertarik untuk jadi ratunya?"
Riv tertawa datar. "Usahamu kurang bagus untuk persuasi agar aku ingin jadi ratu."
"Usahaku masih panjang perjalannya, Mage. Aku takkan menyerah begitu saja."
Riv tertawa. "Kau kukuh sekali, Agha. Kau tak bisa menerima penolakannya, ya?"
"Silakan menolak dan tanggung risikonya sendiri." Arraf tersenyum. "Dan jangan panggil aku 'Agha'."
"Lalu kau mau dipanggil apa? 'Amiri? Aku belum mau melayani kerajaanmu."
"Panggil saja 'Arraf'."
Riv menggeleng. "Itu terlalu akrab."
"Aku memang mau akrab denganmu."
Riv tertawa lagi, menimbulkan senyum di wajah Arraf. "Usaha yang bagus. Tapi, aku setuju. Mari kita saling mengakrabkan diri. Siapa tahu kita jadi sahabat karib."
Arraf memutar bola mata. Aku mengajakmu untuk jadi istri, bukan untuk berteman saja, batin Arraf. "Kau akan menjadi ratu yang baik. Kalau kau takut tak bisa memimpin, aku akan membimbingmu."
"Aku ingin belajar banyak darimu," ujar Riv. "Tapi, aku tak perlu jadi istrimu untuk bisa belajar darimu, bukan? Jadi teman pun juga bisa."
"Lebih leluasa jika kau jadi istriku, sebenarnya."
Riv geleng-geleng kepala. "Ambisimu untuk jadi penguasa agak-agak mengerikan. Sampai sebegini agresifnya kau mendekatiku demi kedudukan yang lebih kuat."
Arraf mengangkat bahu. "Aku ingin jadi pemimpin dan aku yakin aku bisa menjadi pemimpin yang baik. Jika aku yakin aku bisa jadi pemimpin yang baik, lantas kenapa aku harus berdiam diri menyerahkan tampuk kekuasaan kepada orang lain yang belum tentu bertanggung jawab? Aku harus melakukan sesuatu jika tak ingin dunia dikuasai orang-orang tak bertanggung jawab."
Tertegun, Riv pun mengamati Arraf yang matanya memandang ke arah api unggun. Dalam hati, dia merasa takjub sekaligus ngeri kepada Arraf. Takjub karena usaha Arraf tak main-main, dan ngeri karena ambisinya untuk berkuasa juga tak kalah serius. "Apa sudah ada orang yang bilang bahwa dia takut sekaligus kagum kepadamu?" tanya Riv.
Senyum kecil Arraf terbit. "Belum ada. Tapi, aku yakin banyak yang merasa demikian. Hanya saja mereka tak berani mengatakannya langsung."
"Kalau begitu, aku yang akan pertama mengatakannnya terang-terangan," ujar Riv, menghadap dan menatap Arraf. "Kau membuatku kagum sekaligus membuatku takut. Aku kagum dengan dedikasimu, tetapi juga takut jika suatu saat kau tenggelam dalam keinginan untuk berkuasa lebih."
Senyum Arraf berubah agak miris. "Kalau begitu, kita mengkhawatirkan hal yang sama."
Anggukan Riv menandai persetujuan. Matanya memandangi api unggun bersama Arraf. Hutan sunyi dan hanya menemani dengan desau angin, gemerisik dedaunan, dan suara jangkrik.
"Apa kau tahu kalau dunia terdiri dari dua tipe orang?" tanya Riv, masih sambil menontoni api unggun. Kayu bakar yang tersisa sudah mulai habis.
Arraf memandang sekilas ke arah Riv. "Banyak versi tentang dua tipe orang ini. Versi yang kau maskud versi yang mana?"
Riv pun menoleh kepada Arraf. Jari telunjuknya terangkat. "Tipe pertama, yang suka mencari-cari kesalahan. Dan tipe kedua, yang suka memperbaiki kesalahan. Orang-orang yang kutemui berkata bahwa jangan jadi tipe pertama, karena orang yang lebih suka mencari-cari kesalahan orang lain sudah banyak. Bagaimana pendapatmu?"
Arraf terdiam sejenak, berasumsi Riv sedang mengujinya. "Mereka tidak salah."
"Ya, mereka tidak salah." Senyum Riv melebar. "Menurutmu, aku tipe yang mana?"
Arraf mengernyit saat berpikir. "Tipe yang... kedua? Kau mencari-cari solusi untuk permasalahan penyihir dan manusia."
Riv tersenyum, kemudian menggeleng. "Bukan. Aku adalah manusia tipe pertama. Aku lebih terbiasa mencari-cari kesalahan suatu hal," ujar Riv, memandangi api unggun. "Aku menyadari hal ini, lalu berusaha agar aku juga mencari cara untuk memperbaiki kesalahan yang kutemukan. Sehingga jika aku menemukan suatu kesalahan, aku tak hanya sibuk menunjukkannya, tetapi juga bisa memperbaikinya."
Senyum Arraf muncul. Dia sempat berpikir barangkali Riv akan berkata dia menghindari menjadi orang tipe pertama. Nyatanya, Riv punya perspektif lain. Arraf suka kagum dengan orang-orang yang mau mengakui kelemahannya sekaligus tahu cara menanggulanginya. "Bijak juga. Sebab untuk menanggulangi kelemahan, kita juga harus menyadari dan menerima kelemahan kita itu," ujar Arraf. "Kalau menurutmu, aku tipe yang mana?"
"Kau tipe kedua," ujar Riv, yakin. "Kalau kau menemui masalah, kau selalu langsung mengambil keputusan. Bukan mencari-cari lagi apa kesalahan yang ada. Seperti saat kau baru tahu bahwa aku adalah perempuan, kau langsung ambil keputusan untuk menikahiku karena itu bisa menguntungkanmu secara politik. Kau tak mencari-cari lagi apakah ada lagi kekeliruan prediksimu terhadapku."
Arraf tersenyum lebar. "Kalau begitu kita pas." Tubuh Arraf mendekati Riv. "Kau dapat mencari-cari kesalahan, sementara aku akan memperbaikinya. Aku jelas takkan bisa memperbaiki sesuatu jika sedari awal aku tak awas bahwa ada kesalahan yang terjadi."
Riv mengangguk setuju. "Ya. Kita bisa menjadi rekan kerja yang cocok."
"Bukan cuma itu, Riv. Kau juga bisa menjadi ratu yang cocok untukku."
Riv segera menarik diri menjauhi Arraf, tak menyangka Arraf malah membahas masalah itu lagi. "Bukan itu maksudku, Agha."
"Bukan Agha." Arraf mengingatkan. "Tapi, 'Arraf'. Panggil aku dengan namaku."
Riv menghela napas. "Baiklah. Sebagai tanda bahwa kita bisa menjadi sahabat karib, Arraf."
Arraf mendengus, memutuskan tak merespons pada perkataan itu. Matanya pun memandangi Riv. Mengamati wajah sang Mage yang disinari cahaya api unggun. Bayangan-bayangan di wajahnya jadi makin kentara. Matanya yang berwarna kelabu terlihat lebih berpendar kekuningan. Arraf jadi penasaran bagaimana penampakan Riv di bawah temaram lampu kamar pribadinya. "Katakan, Riv. Apa kau menentang pernikahan?"
"Tentu tidak. Itu adalah hak tiap orang."
"Apa kau tak ingin menikah?"
"Aku ingin menikah... tapi bukan dalam waktu singkat."
"Hm." Arraf mengangguk. "Lalu, minimal berapa lama waktu yang kau butuh sebelum kau mau menikah?"
"Beberapa bulan."
"Dua bulan, cukup?"
"Euh, tidak. Lagi pula dua bulan pun belum tentu berkenalan tiap hari."
"Kalau begitu, aku akan terus mengenalimu tiap harinya. Sampai kita berdua sama-sama bosan pun, aku akan tetap melakukannya."
"Kenapa?"
"Karena kau akan jadi ratuku. Kita harus terbiasa dengan satu sama lain."
Riv melotot, tetapi cepat mengontrol diri. "Agha, kalau-kalau aku tak salah ingat, aku tak pernah bilang aku mau jadi ratumu."
Arraf menyeringai. "Kau takkan punya pilihan jika aku mendapat restu Morq-e Amin untuk menikahimu."
Riv membuka mulut. Menatap Arraf agak ngeri. "Astaga. Kau benar-benar tak bisa menerima penolakan, ya?"
"Kau tidak menolak tawaranku. Hanya berkata kau butuh waktu untuk mengambil keputusan."
"Aku hanya membiarkan segala pilihan terbuka!"
"Bagus. Itu memperbesar kemungkinanku untuk menjadikanmu ratu, dan mempermudahku untuk menjalankan rencana." Arraf berdiri, menepuk-nepuk pakaiannnya agar terlepas dari debu yang menempel. "Malam, Mage. Semoga istirahatmu nyaman," ujar Arraf sebelum berlalu ke tendanya. Meninggalkan Riv yang masih sempat terbengong karena sikap Arraf.
[ ].
A/N
Sebab di kehidupan lain, Arraf tetap jadi Arraf yg gas tros rem blong, sementara Riv tetap jadi Riv yang tipe "Selow aja, let it flow bosqu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top