4. Kedudukan Setara

4. Kedudukan Setara




SEBAGAI putra mahkota Kerajaan Asy-Syams, Arraf selalu mempersiapkan diri untuk pernikahan politik.

Bahkan kalau bisa, walau misal nanti dia menikahi gadis yang dia cinta, pernikahan itu wajib menguntungkannya dari segi politik. Kedudukannya dalam kerajaan atau di seantero negeri harus lebih kokoh oleh pernikahan itu.

Menikahi Mage memang tak pernah dia bayangkan atau sekadar mampir di mimpi terliarnya. Namun, melihat situasi yang dia alami, menikahi Riv jelas memberi begitu banyak keuntungan untuknya. Berani dia katakan bahwa Riv adalah kandidat paling kuat untuk dia persunting.

Andai saja Riv mau.

Melihat kepribadian Riv dari dua jam terakhir mengobrol, Arraf pikir dia akan mendapati Riv segera menolak atau minimal memelototinya. Namun, yang dia dapati justru suara tawa gadis itu.

Tawa Riv terdengar agak serak dan ringan. Bukan tawa merdu yang anggun. Gadis itu menyeka air mata yang sedikit keluar dari sudut matanya, menatap Arraf dengan geli. "Ya ampun, Agha. Menikah? Apa kau baru saja terpikirkan ide itu saat tahu aku adalah perempuan?"

Arraf mengiakan. "Posisimu justru akan lebih kuat jika kau menjadi ratu. Budaya Asy-Syams menjadikan seorang ratu benar-benar setara dengan raja. Raja pertama menguasai bagian Utara kerajaan, sementara Ratu memerintah bagian Selatan. Ada pula raja-ratu yang membagi pekerjaan alih-alih wilayah kekuasaan. Namun, tak semua raja berani memiliki ratu. Itulah kenapa raja-raja di Asy-Syams lebih sering memiliki selir tanpa ratu. Karena tak semua istri mereka bisa dijadikan rekan kerja pemerintahan yang ideal."

"Dan kau pikir aku ideal untuk jadi rekan kerjamu?"

"Kau dapat memimpin para penyihir," ujar Arraf. "Dan, aku memimpin para manusia."

Riv tertawa. Tawa sarkasme. "Kau tahu, Agha? Aku menyerahkan pimpinan tertinggi para penyihir ke tangan Baba Warzikh karena aku sadar aku tak memiliki bakat memimpin."

"Kau bisa belajar. Dan lagi pula," Arraf mengangkat telunjuknya, mengikuti gestur Riv, "kau tak mungkin dipilih sebagai Mage tanpa alasan. Posisi Mage diturunkan ketika seorang penyihir sudah mencapai usia belasan tahun, bukan ketika seorang bayi penyihir baru lahir. Dari ribuan penyihir, hanya ada satu yang dipilih menjadi Mage pada usianya yang kelima belas. Yang terpilih adalah yang dinilai paling bijak dibanding penyihir lainnya. Kau dipilih karena sebuah alasan."

"Itulah masalahnya. Aku tak yakin bahwa aku sebijak yang orang-orang pikir. Aku hanya mengembara untuk menghindari masalah."

"Atau menyelesaikan masalah?" tanya Arraf, tajam. Matanya menatap serius. Perlahan, dia memberanikan diri menyentuh pundak Sang Mage. "Kau mengembara bukan hanya untuk belajar buku-buku pusaka sihir. Kau juga belajar tentang manusia, tentang pemerintahannya, permasalahannya. Kau pasti ingin bisa membantu kami."

Mata Riv membola. "Dari mana kau tahu buku-buku yang kubaca?"

"Aku punya 'telinga-telinga' lain di beberapa tempat," jawab Arraf. "Sekarang.... apa yang kau inginkan, Mage? Terus mengembara dan membaca buku pusaka sihir tanpa bisa mengaplikasikannya? Tanpa bisa melihat apa pun yang kau inginkan untuk kebaikan penyihir dan manusia terealisasikan?"

Mata Riv membola, mengerjap-ngerjap. Lalu dia berkata, "Kau provokator yang andal. Aku harus belajar banyak darimu."

Arraf menahan geram. "Pernahkah pujianmu tak disertai sarkasme?"

"Itu tadi bukan sarkasme. Kau memang sedang melakukan provokasi, atau mungkin persuasi agar aku mengikuti keinginanmu. Aku belum mahir melakukannya ke orang lain."

Arraf mengibas tangan. Jengah karena motif dari usaha-usahanya terendus dengan mudah oleh Riv. "Baiklah, Mage. Begini saja. Di hidup kita yang fana ini, apa mimpi terbesarmu?"

Riv menimang, terlihat ragu. Bukan karena tak tahu apa jawabannya, melainkan ragu untuk membaginya dengan Arraf. Pada akhirnya, dia memilih mengakui, "Kedamaian, kebenaran, dan kemajuan zaman baik bagi manusia dan penyihir."

Arraf memandangi Riv sejenak dengan senyum tipis. "Mimpi yang besar. Dan kau pasti tahu hal itu bisa terlaksana jika penyihir dan manusia kembali hidup berdampingan, saling bekerja sama."

"Ya... Seandainya memang bisa semudah itu."

"Tak ada yang bilang ini mudah. Yang ada, orang-orang akan berkata ini misi yang tak mungkin terlaksana."

"Dan kenapa kau bisa yakin bahwa ini akan berhasil?"

"Karena aku yakin semua manusia itu sama saja, Mage. Kita semua selalu ingin kemudahan dalam hidup. Kerja sama antara penyihir dan manusia dapat memenuhi keinginan itu. Yang jadi tugasku adalah meyakinkan mereka bahwa mereka lebih menginginkan kemudahan hidup itu daripada memikirkan sensitivitas terhadap kejadian masa lampau antara penyihir dan manusia."

"Manusia mungkin masih ada yang menyimpan rasa takut kepada penyihir, dan penyihir menyimpan dendam kepada manusia. Bagaimana kau bisa menyelesaikan masalah itu?"

"Dengan membuktikan bahwa ada penyihir dan manusia yang bisa hidup berdampingan dengan damai dan harmonis." Arraf bersimpuh di hadapan Riv, meraih tangan sang gadis, menatap tanpa gentar. "Menikahlah denganku. Berikan bukti kepada semua orang bahwa kita bisa hidup berdampingan dan saling menguntungkan satu sama lain."

"Agha-yeh Al-Faridi," panggil Riv, melepas diri dari tangan Arraf. "Kita bisa bekerja sama dengan cara selain menikah, seperti usulku untuk membuat posisi baru dalam kerajaan bagi penyihir. Posisi yang berkedudukan setara raja."

Dengan mata terpejam, Arraf mendesah. "Begini, Mage." Dia membuka matanya. "Manusia di negeri ini sangat terbuai dengan... kisah cinta." Arraf berkata dengan hati-hati. "Apabila mereka tahu bahwa ada sepasang kekasih rela melawan dunia demi memperjuangkan cinta, mereka akan lebih mudah empatik dan menyukai sepasang kekasih ini, bahkan memuja-muja kisah cintanya. Hal-hal seperti romansa ini jauh lebih bisa mengetuk pintu hati orang-orang dibanding sekadar kerja sama biasa antara manusia dan penyihir. Jadi, aku ingin—"

"Kau ingin kita bersandiwara agar semua orang empatik terhadap kita berdua? Sehingga jauh lebih mudah bagi mereka untuk menyetujui keinginanmu?"

"Keinginan kita, Mage," ralat Arraf dengan senyum spontan tersungging. "Yang memainkan sandiwara ini nantinya bukan hanya diriku."

Riv menipiskan bibir. Dia tahu bahwa manusia memiliki sisi gelapnya sendiri. Namun, dia tak bisa memperediksi akan sekaget apa rakyat Asy-Syams jika tahu bahwa putra mahkotanya sangat oportunis, sangat tak mau rugi, sangat... manusiawi. Selalu melakukan segala cara agar tujuannya tercapai. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Agha?" tanya Riv, sungguh penasaran, tetapi wajahnya tetap tenang. "Terlepas dari statusmu sebagai putra mahkota, sebagai pangeran atau bangsawan, apa yang sebetulnya kau inginkan?"

Senyum Arraf tersungging. Terlihat jujur. Menyiratkan hangat. "Sama seperti apa yang kau inginkan. Kebenaran, kedamaian, kemajuan zaman."

Riv terlihat skeptis. "Sungguh?"

"Tentu. Seorang pemimpin yang baik pasti menginginkan kesejahteraan juga untuk rakyatnya, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Itulah kenapa aku sudah menghapus kewajiban memberi upeti dari rakyat kepada raja, menggantinya dengan pajak sesuai pendapatan mereka."

Terdiam, Riv memandangi sepatunya sejenak untuk berpikir. "Aku butuh waktu," dia berujar. "Hal seperti ini harus kubicarakan dulu dengan Baba Warzikh dan Konselor Penyihir. Keputusanku untuk menerima atau menolak akan kuberikan setelah aku kembali ke Hutan Byzantine."

Arraf berdiri dari posisinya yang bersimpuh. Mengangguk, memahami ucapan Riv. "Kalau begitu, aku dan dua temanku akan mengikutimu ke sana. Kami juga ingin bertemu dan berbicara dengan Konselor Penyihir. Kapan kau akan berangkat?"

"Besok malam. Aku yakin kalian juga butuh istirahat."

"Ah, ya." Arraf teringat dia dan dua kawannya baru datang beberapa jam yang lalu dan belum tidur. "Tapi, bagaimana aku bisa memastikan bahwa kau takkan kabur duluan?"

Riv menatapnya datar, menghela napas, lalu menarik tangan Arraf. Gadis itu membuat telapak tangannya bersentuhan dengan tangan Arraf, lantas memejamkan mata. Sebuah sinar biru pun muncul dari kedua tangan mereka selama beberapa detik.

Arraf berusaha berpikir positif bahwa dia bukan disihir dengan sihir yang merugikannya.

"Sekarang, kita terikat sihir Rantai Jarak," ujar Riv, membuka mata. "Semakin jauh jarak kita, kita berdua akan sama-sama tahu dari angka ini," Riv menunjukkan angka '0 meter' yang seketika terbentuk dari debu cahaya biru di pergelangan tangan mereka.

Arraf melihat pergelangan tangannya kini ada suatu borgol dari debu-debu biru yang bercahaya. Borgol itu terikat dengan borgol di tangan Riv. Sihir tingkat rendah kalau dilihat dari cahayanya yang berwarna biru, pikir Arraf. Tapi, aku tak pernah tahu ada sihir seperti ini. "Apa ini... sihir yang jarang dipakai, Mage?"

Riv mengernyit. "Semacam itu. Kenapa?"

"Aku tak pernah tahu ada sihir seperti ini."

Alis Riv meninggi. "Kau membaca buku sihir?"

"Ya, sebagai salah satu pelajaran bagi Putra Mahkota untuk menyerang atau berlindung dari para penyihir." Arraf memutar pergelangan tangannya, melihat-lihat sihir itu. "Atau bisa jadi, aku lupa sudah pernah membaca bahwa ada sihir seperti ini."

"Ini sihir baru," balas Riv. "Aku menciptakan mantra-mantra baru selama mengembara."

Arraf membeliak, menurunkan tangannya. "Kau bisa melakukan itu?"

"Tentu. Aku seorang Mage." Riv berbalik, pergi ke sofa depan yang terlihat butut untuk merapikan barang-barang berserakan di sana, membuat angka Rantai Jarak di pergelangan tangan mereka berubah jadi '2 meter'. "Yah, walau mungkin belum ada Mage yang mencoba menciptakan sihir rendahan seperti ini. Semua hanya fokus menciptakan mantra baru untuk sihir tingkat tinggi. Padahal, sihir tingkat tinggi hanya bisa dilakukan oleh sebagian penyihir saja. Sementara sihir tingkat rendah bisa dilakukan oleh semua penyihir dan kalau tepat menggunakannya, bisa jadi membantu peradaban para penyihir dan manusia karena semua penyihir bisa menggunakan sihir tingkat rendah."

Arraf terdiam, tetapi merasa cukup kagum dengan dedikasi Riv yang sesuai dengan keinginan hidupnya. Sebelum bertemu Riv, dia sudah tahu sang Mage memang seorang pengembara yang berusaha mencari solusi untuk permasalahan manusia dan penyihir. Dan ketika mengetahui dedikasi seperti ini, Arraf makin yakin Riv adalah orang yang tepat untuk diajak bekerja sama. "Benar kan, tebakanku? Kau memikirkan nasib para manusia dan penyihir. Tak mungkin kau terpilih sebagai Mage tanpa alasan."

Senyum kecil Riv muncul. "Terima kasih."

"Sama-sama." Arraf lalu mengangkat tangannya yang terborgol Rantai Jarak. "Apakah yang lain juga bisa melihat Rantai Jarak ini?"

"Tidak. Hanya orang-orang yang terikat saja."

"Begitu." Arraf mengangguk. "Apa kau sudah banyak menciptakan sihir baru?"

"Iya, lumayan." Riv mendekati Arraf. "Agha, rasanya menyenangkan mengobrol denganmu. Tapi, sebaiknya kau pulang dan beristirahat. Kau pasti belum beristirahat semenjak datang ke Thaqiran."

Arraf membisu, merasa pipinya menghangat saat Riv bilang dia merasa mengobrol dengannya terasa menyenangkan. Dia sendiri juga merasa senang menghabiskan waktu mengobrol dengan gadis itu. Ingin dia meneruskan obrolannya, tetapi Riv benar, dia butuh istirahat. Lagi pula, sepertinya dia sudah meninggalkan Jafar dan Lyanth cukup lama. "Kalau begitu, aku akan menemuimu di sini besok pukul sembilan pagi," ujar Arraf, menundukkan kepala dengan hormat. "Selamat malam, Khanoom."

"Malam." Riv berjalan mengikuti Arraf hingga lelaki itu keluar, lalu Riv tersenyum sebelum menutup pintunya.

Arraf ikut tersenyum. Merasa lega karena sudah menuntaskan salah satu misinya.

Ketika dia kembali ke Kharabat yang masih ramai, orang-orang di sana sudah banyak yang mabuk karena minum-minum arak atau minuman beralkohol lainnya. Matanya mencari sosok Jafar dan Lyanth, dan menemukan dua orang itu masih terjaga di meja yang tadi mereka tempati. Tengah mengobrol dengan pelayan yang tadi digoda Lyanth. Arraf pun mendekat.

Jafar segera meminta pelayan itu pergi, dan Lyanth yang pertama membuka suara, "Kau tadi tak memberikan aba-aba apa pun kepada kami untuk mengikutimu dengan si jawara perjudian itu."

"Memang tidak," jawab Arraf. "Aku sudah mendapat apa yang kubutuhkan di sini."

"Sungguh?" Lyanth membeliak, menatap celingukan untuk memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka, baru berbisik, "Kau tahu di mana buruanmu itu?"

Arraf tersenyum, menenggak Mey-nya yang masih tersisa, lalu berkata, "Bukan hanya itu, Lyanth. Aku juga tahu di mana tempat seorang wanita cantik tinggal. Ayo kita pulang dan bicarakan ini lagi di penginapan nanti."

[ ].



[1] Khanoom: Nona

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top