3. Negosiasi untuk Mage

3. Negosiasi untuk Mage


CANTIK.

Kata sifat itu adalah kata pertama yang memenuhi benak Arraf ketika melihat sang Mage untuk kali pertama.

Arraf dilanda syok setelah Reim menunjukkan dirinya yang asli. Seorang Mage. Dan lagi, Mage-nya adalah perempuan. Perempuan. Astaga. Kapan terakhir kali ada Mage perempuan di negerinya? Barangkali dua ratus tahun lalu. Jelas Arraf tak berpikir bahwa Mage yang dia buru adalah perempuan. Nama si Mage saja terdengar seperti nama laki-laki, yakni 'Riv'. Mana ada perempuan bernama Riv di negeri ini, batin Arraf. Kejutan kecil ini membuatnya harus segera menyusun strategi baru.

"Mage Riv," panggil Arraf. Tak menyangka situasinya jadi berbalik seperti ini. "Apa Baba Warzikh memberi tahu tentang kemungkinan aku mendatangimu kemari?"

"Baba Warzikh mengirim pesan kepadaku," jawab sang Mage, menyebut nama pimpinan para penyihir Byzantine selama dia mengembara. "Dia berkata aku harus memberi jawaban atas penawaran Putra Mahkota Asy-Syams. Sang pangeran menginginkan gencatan senjata untuk perang melawan kerajaan-kerajaan yang akan menentangnya. Baba Warzikh juga bilang bahwa dia tidak dalam posisi untuk memberikan persetujuan karena dia bukanlah Mage. Jadi, kau pasti mencariku."

"Ah, jadi dia tahu keberadaanmu."

"Tidak, dia tak tahu. Pesan yang dia sampaikan adalah lewat sihir komunikasi, Agha. Aku tak memberi tahu persis di mana lokasiku."

Arraf meraih belati kecil dari besi naga yang tersimpan di belakang ikat pinggang sarung pedangnya. Belati kecil ini terikat di balik ikat pinggang, dan juga tak terpengaruh sihir karena terbuat dari besi naga. "Maaf karena tadi menghunus pedang kepadamu, Mage."

"Ya. Padahal, aku tak berniat melakukan kekerasan kepadamu seperti ini," ujar Riv. "Namun, kau tak memberiku banyak pilihan ketika kau menghunuskan pedang kepadaku."

"Mohon maaf. Aku tak tahu bahwa itu dirimu. Aku hanya menjaga diri."

Riv meninggikan alis, cukup takjub bahwa Putra Mahkota Asy-Syams masih cukup rendah hati untuk meminta maaf kepada penyihir. Dia pun duduk di sebuah kursi menghadap Arraf, lalu menyilangkan kaki yang terbungkus celana katun. "Katakan, Agha-yeh Al-Faridi. Ada gerangan apa kau ingin menemuiku?"

Sebelum menjawab, Arraf sudah berhasil melepas ikatan tali sihir di tangannya. Ketika menatap Riv, Arraf justru mendapati wajah perempuan itu terlihat datar. "Kenapa, Mage? Kau tak terlihat kaget karena aku bisa melepaskan tali sihirmu."

Riv mendesah. "Aku justru akan kaget jika Putra Mahkota Asy-Syams tak mampu melepaskan tali sihir itu."

Seringai bermain di bibir Arraf. Dia meraih belati kecilnya dan melepas ikatan di kakinya. "Agak sulit untuk melepas tali yang sudah disihir. Harus mencari letak selubung sihir yang terlemah pada tali, baru bisa memutus talinya." Arraf melepas ikatan tali di kaki, lalu menyimpan belatinya lagi. "Seperti yang sudah kukatakan, Mage. Aku ingin gencatan senjata antara manusia dan penyihir."

"Terakhir kali manusia dan penyihir berkerja sama, setengah populasi penyihir habis karena dihukum mati oleh pihak kerajaan," ujar Riv, datar. "Apa yang membuatmu berpikir idemu ini takkan berakhir sama seperti yang lama?"

"Aku akan memastikan raja Asy-Syams tidak sebodoh Raja Abrisham."

"Ah, tapi bagaimana jika orang yang akan menentukan calon raja Asy-Syams ternyata sebodoh Raja Abrisham?"

"Dan di sinilah aku membutuhkan bantuan para penyihir...," Arraf menatap Sang Mage, "untuk ikut menyeleksi calon-calon raja selanjutnya."

Mata Riv menyipit, skeptis. "Apa jaminan bahwa kau takkan membuat peraturan yang menekan hak-hak para penyihir?"

Arraf tersenyum, lalu berdiri, mendekati Riv dan memerangkap gadis itu dengan kedua tangannya yang terletak di lengan kursi. Dalam jarak dekat, dia makin terpesona dengan wajah Sang Mage yang cantik. Bola matanya yang jernih merefleksikan Arraf, dan dinaungi dengan bulu mata yang cukup lentik meski tidak tebal. Hidungnya kecil dan cukup proporsional. Bibirnya sewarna Mey yang masih muda, terlihat agak basah, membentuk satu garis lurus.

Arraf mengalihkan mata ke telinga Riv sejenak, menahan diri untuk tidak terus-terusan menatapi bibir gadis itu.

Hingga dia merasakan logam dingin menyentuh lehernya.

Mata Riv menajam, mendekatkan belati ke leher Arraf. "Jangan macam-macam denganku, Agha."

"Tak ada yang berniat macam-macam denganmu, Mage." Arraf menegakkan tubuh. Menarik napas. "Aku berniat untuk melakukan Istawa denganmu."

Riv membeliak. Tak berekspektasi Arraf akan menawarkan Istawa kepadanya.

Istawa adalah perjanjian yang dapat dilakukan dua orang-terlepas dari status, usia, serta apakah dia penyihir atau manusia-dan dapat menyebabkan kutukan jika ada yang berani melanggar atau tak menyanggupi isi perjanjian. Perjanjian ini harus dilakukan di Kastil Urd, tempat tinggal Sah-Narme, sesosok perempuan setengah manusia dan setengah ular yang bijak. Sah-Narme sendiri juga harus menjadi saksi tunggal dari pembuatan Istawa.

"Segenting apa perangmu sampai kau sudi melakukan Istawa dengan penyihir?" tanya Riv. "Kau pasti tahu jika ada salah satu dari kita yang tak mampu menyelesaikan perjanjian, kita akan dikenakan kutukan."

"Aku sangat sadar dengan risikonya," jawab Arraf. "Tapi, begini, Mage." Arraf menyeret kursinya agar dekat dengan Riv. Menatap gadis itu sambil menjelaskan keadaan kerajaannya, "Beberapa tahun belakangan, aku ingin membuat aliansi semua kerajaan untuk perdamaian dan kesejahteraan rakyat-rakyat kami. Aliansi ini dapat menghentikan perang antarkerajaan yang ingin memperluas wilayah kekuasaan mereka. Sehingga, semua kerajaan berdaulat, tetapi tetap harus tunduk pada aturan aliansi untuk menjaga perdamaian. Salah satu aturan dari aliansi itu adalah tidak lagi melarang para penyihir yang ingin memasuki kerajaan, dan penyihir berhak memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan manusia dalam kerajaan. Aku juga ingin menghilangan sistem upeti rakyat kepada penguasa, lalu diganti dengan sistem perpajakan sesuai pendapatan masing-masing orang."

Sejenak, Riv merasa takjub dengan ide Arraf itu. Arraf dapat merasakannya dengan melihat mata Riv yang berbinar-binar. "Woah, Agha. Apakah idemu sudah diketahui pihak kerajaan-kerajaan selain Asy-Syams?"

"Ya, Asy-Syams mendukung, dan aku sudah membicarakannya saat mengumpulkan perwakilan semua kerajaan di negeri ini. Sebagian dari mereka menyetujui, sebagian lagi masih memikirkan, dan sebagian lagi menolak mentah-mentah."

Riv mengerjap. Matanya masih berbinar seperti anak kecil yang baru diberikan permen. "Idemu sungguh hebat, Agha! Aku pernah memikirkan bahwa suatu aliansi pasti bisa dilakukan untuk perdamaian, tetapi aku jelas tak punya kuasa untuk melakukannya karena aku bukan manusia. Aku takjub kau berani mengangkat ide ini di hadapan semua kerajaan. Kau hebat sekali."

Membisu, Arraf mengalihkan mata, merasa pipinya menghangat. Dia terbiasa dengan pujian. Seharusnya dia tak perlu malu karena dipuji demikian. Namun, Arraf yakin dia merasa tersanjung karena pujian ini datang dari seorang Mage di momen dia justru tak mengekspektasikannya.

Arraf berdeham. "Terima kasih."

"Sama-sama." Kali ini, Riv memberi senyum tulus.

Arraf memilih mengabaikan debaran jantungnya yang sedikit lebih kencang. Sedikit. "Yang jadi masalah," lanjut Arraf, "sebagian penguasa dari kerajaan lain tak suka dengan ide ini, karena itu akan membuat mereka harus membayar pajak lebih banyak. Mereka juga tak suka jika sistem yang mewajibkan pemberian upeti rakyat kepada penguasa dihilangkan. Informanku sudah memberi kabar bahwa besar kemungkinan para penguasa yang tak menyukai ide ini akan saling bekerja sama untuk menyerangku. Jika hampir setengah kerajaan yang ada di negeri ini berkomplot untuk menyerang Asy-Syams, apa kau bisa membayangkan bagaimana kami harus memenangkan perang ini?"

Riv menipiskan bibir. Dia mulai paham situasinya sekarang. "Apa kau sudah membicarakan hal ini dengan Baba Warzikh?"

"Ya. Aku juga sudah mengatakannya dengan anggota Konselor Penyihir."

"Bagaimana pendapat mereka?"

"Mereka mengharuskanmu untuk memutuskan." Arraf tersenyum. "Tapi... sebagian besar anggota konselor cenderung akan menyetujui hal ini jika aku menempatkan Magi pada posisi tak tergoyahkan dalam kerajaan. Posisi yang setara atau minimal memiliki hak untuk membuat kebijakan tanpa harus diberi izin olehku."

Satu alis Riv meninggi. "Seperti Konselor Kerajaan?"

"Ya. Seorang Mage bisa jadi pimpinannya."

"Posisi itu tetap tak setara dengan raja, Agha. Kau harus membuat posisi baru untuk pemimpin para penyihir Asy-Syams, di mana kebijakannya tak bisa kau ganggu-gugat. Posisi itu setara dengan raja."

"Apa ini pertanda kau berniat untuk menerima penawaranku?"

Riv terdiam. "Aku sedang memberi kesempatan bagimu untuk meyakinkanku bahwa penawaran ini bukan omong kosong."

"Kuyakinkan bahwa ini bukan omong kosong," ujar Arraf dengan yakin, penuh percaya diri. "Tak perlu ada posisi baru untuk para penyihir. Sedari dulu di Kerajaan Asy-Syams, sudah ada posisi setara raja, bisa mengeluarkan kebijakan yang tak bisa diganggu gugat siapa pun."

"Oh? Posisi apa?"

Tangan Arraf terulur ke arah Riv. Dia menatap Riv dalam-dalam untuk meyakinkan. "Ratu." Dia tersenyum. "Aku akan menjadikanmu istriku, sekaligus ratu untuk Kerajaan Asy-Syams."

[ ].

A/N

Selamat datang di cerita pernikahan politik versi Crowdstroia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top