Red Shadow Revenge - Merah
Segerombolan orang melangkah keluar dari tempat pemukimannya masing-masing dengan langkah tergesa-gesa, bersamaan pula dengan suara jerit yang memantul-mantul dari timur hingga barat. Tidak ada yang mengalah ingin tenang, semua seakan kehilangan arah.
Disini langit masih malam, suara hewan disekitar pedalaman tak jauh dari pemukiman warga sedang nyenyak-nyenyaknya untuk tenang, sedangkan semua disini terasa kacau balau.
"Bajingan! Mereka selalu bertindak seenaknya sendiri!" perkataan serapah dari seorang lelaki berbadan tegap yang kini sedang mendekap istrinya dan berusaha menenangkannya terdengar keras.
Suara jeritan tangis dari seorang anak-anak juga tak mau kalah berdengung, bahkan ini seperti gempa yang bersamaan dengan tembakan bom atom. Semua terasa limbung, terasa seperti berubah jungkir balik.
"Semua tidak akan ada yang menghentikan, ini kutukan permanen." Wanita yang tak kalah hancurnya dengan seluruh orang disini bersuara lantang. "Mereka akan terus menyerbu kita hingga menyerah, tidak akan ada yang menghentikan, kita harus merasa ini kewajiban disetiap bulan ini."
Wanita yang tadi bersuara, berdiri dengan tegar—walaupun terlihat kusut—berhenti. Pelan-pelan semua keadaan membaik, lalu kembali memburuk disepersekian detik selanjutnya.
Aku yang kini berdiri mematung ditengah grombolan orang dengan satu tangan berusaha menggendong adik perempuan ku yang tertidur, mulau berlahan belajar mengetahui teka-teki berkabut ini. Semua terasa aneh, kejam, dan bayangan tanpa kepastian.
Dua minggu yang lalu saat aku pindah menuju pulau kecil ditengah lautan tenang, semua terasa berjalan lurus, tidak ada yang berusaha mengganggu, lalu sekarang berubag. Bukankah ini terasa meneki? Semua tidak benar masuk akal. Maksudku, tidak ada yang perlu diakali, ini terasa ganjil.
Sekarang otakku terus aku paksa berpikir terang ditengah kepadatan kegelapan, mataku bergerilya mencari seorang yang bisa aku anggap dia mampu menjelaskan kejadian ini. Aku lihat, seorang tak jauh dari gerombolan manusia sedang berdiri menyendiri, dengan keadaan yang hampa tidak ada yang menemani. Dengan cepat aku berusaha menjumpainya, dengan langkah berhati-hati berusaha tidak mengusik kecemasan setiap orang disini.
"Permisi." Aku berusaha masih mendekat, mencoba menahan diri untuk tidak lemah. "Boleh kita berbicara?"
Dia yang tadi menatap lurus, mulai menatap ku tajam—seolah-olah mengintimidasi.
"Tentang?" dia bertanya masih dengan tataman mengintimidasi.
Ku hembuskan nafas lembut. "Semuanya yang terjadi."
Dia menggerling, dahinya mengkerut. Apakah dia terasa kebingungan? Atau kurang nyaman? Entahlah.
"Penjelasan yang panjang, dan akan berakhir bukan dengan penyelesaian."
"Aku tidak menyerah."
Dia masih terus menatap dalam—dan tentu datar. "Pengetahuan dan keberanian mu tidak akan mengubah sebuah yang menjadi takdir harus terjadi."
"Kau sedang bermain tebak-tebakan atau sedang bermain memeriksa keadaan ku, tuan?"
Pria tadi tersenyum kecil. "Matamu sedang memerintahku untuk segera mengungkapkan, dan dia sedang bercerita tentang semua hal yang kau pendam, gadis."
Udara disekitar kita semakin sengit, enggan sekali aku untuk menyerah sebelum semua terungkap—dan hampir saja aku melupakan bahwa ada balita sedang tertidur dipundakku.
"Aku tidak ingin mencari sebuah permasalahan. Kau camkan itu!"
Dia tertawa sumbang—dan garing. "Semua ini sebuah bentuk kutukan yang tak akan bisa dilepas, semua akan tertanam sampai pulau ini tergenang lautan darah. Bahkan kamu dan adik atau entah anakmu ini, esok atau beberapa detik selanjutnya juga akan menjadi korban."
Selanjutnya pria tadi berjalan menjauh, sebelum aku tersadar atas pencernaan otakku untuk mengelola sebuah kata demi kata yang terekam dalam telingaku.
Ini bukan sebuah permasalahan kecil.
● ● ●
Terik matahari semakin tumbuh menunjukan sebagian badannya. Seluruh orang yang tadinya lemah, kini kembali bersemangat.
Anak-anak juga sudah berlari kesan kemari untuk tersenyum hingga tertawa. Mereka sungguh menggemaskan.
Lelaki yang kemarin—beberapa jam yang lalu—aku temui sudah tak terlihat, bak tertelan bumi.
Dari kaca yang kini sedang menjadi celah antara lapang didepan rumah ku dengan tempat dilator untukku berdiri kini melukis sebuah lelaki mungil berusaha mendekati pintu rumahku, dengan susah payah mengetuk, memanggil nama ku dengan suara khas anak seusianya. Aku segera menghampiri pintu rumahku, membukanya berlahan.
"Sedang mencari, Aidem?" tanyaku yang memang bisa terlihat jika usianya sama dengan adik bungsuku.
Dia menggeleng sebagai bentuk balasannya, lalu menyodorkan sebuah amplop putih. Kala itu aku menerimanya tanpa berpikir panjang, dan lelaki mungil itu segera enyah berlari kecil menuruni tangga-tangga pendek untuk keluar dari pelataran rumahku.
Lalu cepat aku membuka isi surat itu.
Untuk Aleinas.
Aku tahu kamu wanita yang tak kenal sebuah rintangan. Maka, aku ingin kau percaya bahwa diriku bisa mengubah perasaan gusar akan penasaran mu itu dengan sebuah rasa yang baru.
Sekarang diujung pemukiman ini.
Dari tiga dini hari ditempat.
Pertanyaan-pertanyaan tentang sebuah isi surat ini menggetarkan hatiku halus. Apa maksudnya? Siapa pengirim ini? Tiga dini hari, apakah itu pukul jam? Terus aku bertanya, namun tak ada hasil.
Tanpa berpikir panjang segera aku mengikuti aturan didalam surat itu. Perjalanan untuk sampai disana memang cukup sulit, melewati perjalanan bebatuan, hutan yang sepi, dan rumah-rumah kosong yang tak berpenghuni kerap menjadi teman disetiap langkahku. Hingga tempat yang ku tuju sedang berada didepan mata.
Lelaki itu berdiri tepat sesuai janjinya.
"Jika kau ku sodorkan sebuah pilihan antara hidup dan mati, apa yang kau pilih?" lelaki itu bersuara, cukup membuat langkahku berhenti.
"Hidup jika ada kesempatan, dan mati jika untuk kebaikan." Mantap. Aku menjawab sesuai kemantapan hatiku.
"Jika kau ku beri sebuah permintaan untuk mengikhlaskan adikmu atau mengikhlaskan seluruh warga dipulau tersebut, mana yang ingin kau perjuangkan?"
Aku terhenyak, tersadar jika perkataan kami semakin tidak kenal arah. Model pertanyaan macam apa itu?.
"Aku ingin kau saja yang menjawab."
Lelaki itu bergerak masih tenang, lalu menjawab lirih, "aku memilih mengikhlaskan semua yang ku punya demi mereka—warga bahagia."
Jawaban tidak tahu malu memang.
"Kalau kau bagaimana?" dia bertanya kembali.
"Sama dengan mu saja," kata ku walaupun itu ragu.
Lalu sedetik kemudian aku tidak tahu bagaimana kabarku. Semua terasa tak berarti, hancur saat itu pula.
● ● ●
"Perempuan itu memiliki keberanian yang kokoh, kita bisa membunuhnya."
"Dia tidak semengerikan itu, Ser. Dia tulus, lembut, dan bak baja."
Suara dua lelaki sedang beradu ucapan itu terekam saat semua seakan gelap. Aku belum sadar sepenuhnya, masih terasa sakit seluruh anggota badanku. Dengan kekuatan minimum, aku mencoba sadar, kuat melawan kesakitan yang semakin menjadi-jadi.
Erangan lirih berhasil lolos dari bibirku, lalu selanjutnya aku mendengar suara langkah mendekat.
"Ser, dia sadar!" kata lelaki dengan suara lantang kini aku tebak sudah berada didepanku.
Setelah beberapa saat, sekarang kesadaranku kembali terbit. Aku bisa melihat ruangan yang kini sempit, berbau sengit, dan didepan ku sudah ada pria dengan tubuh tegap menjulang tinggi, dan pakaiannya gelap hitam hampir menjuntai membungkus seluruh badannya.
"Siap—" suara ku tiba-tiba terputus, saat disusul dengan suara dobrakan pintu terbanting. Seketika tubuhku mengang, pikiranku terasa berputar.
"Jangan kasihani sesiapapun yang akan menjadi hak ku!" kembali dengan suara lantang—menurutku suara ini lebih terkesan memerintah.
Dua lelaki yang aku lihat tadi berada dalam sisiku sekarang seperti melebur. Wajahnya menyerupai sebuah kabut kelemahan yang dalam. Aku disini yang baru saja sadar akan apa yang terjadi hanya diam, mencoba mencerna segalanya.
Kembali dengan suara dobrakan—kali ini lebih kencang. Derap langkah seseorang menggema, selanjutnya aku kembali melihat seseorang berjalan semakin mendekati ruangan yang aku tempati, mereka bertubuh lebih besar, dan pastinya menggunakan pakaian lebih mirip dengan dua orang yang tadi menjaganya selama daya tahan tubuhku mati sejenak.
Semakin mendekat, aku tahu jarak mereka berapa meter dari tempatku, karena bayangan-bayangan mereka juga semakin membesar, menandakan memang semakin mendekatiku.
Bingkaian wajah tegap, rahang keras, beserta otot yang menempel kokoh, membingkai diantara barisan-barisan orang disana. Rupanya mereka yang tadi mendobrak, dan membuat dua lelaki tadi sempat lemas.
Selanjutnya, dari kejauhan aku melihat gadis tinggi dengan tongkat dikiri tubuhnya, dan pakaian terang melekat ditubuhnya. Dari pencernaan mataku dan pikiranku yang berputar-putar, aku sedikit menangkap hawa persahabatan diantara kami.
Terania
Aku mendengar bisikan lembut menyebut nama sosok yang lama—hampir—tlah hilang.
Lalu segerombolan seorang berotot menyingkir, disitulah aku dapat melihat seorang perempuan yang tadi menggunakan pakaian terang. Dia berjalan pelan, namun tetap tegap, raut wajahnya tegas, menampilkan sebuah perlawanan. Aku kenal wajah itu, ekspresi itu, dan segala bentuk yang terpahat dalam tubuhnya. Sungguh aku kenal.
"Terania," panggilku reflek. Seketika itu aku melihat dia berhenti melangkah melewati seseorang berotot, kepalanya menegak.
Tatapan kami saat itupula beradu, saling bercerita, dan saling menumpahkan kepedihan terdalam. Aku ingat segala bentuk perbedaan dalam matanya yang cerah lalu redup.
"Bawa dia di penjara api, habiskan sehabis-habisnya, aku tidak mau melihatnya bernafas tenang!!!"
Kali ini benar aku terkesima, dia sahabatku, dan rela membuangku.
"Tera, kau ingat aku?" suara ku tertahan, serak namun ku paksa keluar.
"Tidak!" sahutnya lalu berbalik arah menuju jalan yang tadi ia lewati menuju ruangan ini.
Tanpa aba-aba aku berdiri, tidak ku hiraukan kekuatan yang lemah sekarang. "Tunggu aku, Ter!" mereka terus berlari.
Seketika saat aku bisa menyentuh selendang yang tersandar dibahunya, seketika itu aku merasa terlempar ke dinding. Kekuatan keras itu membantingku tiba-tiba, bahkan sebelum aku mengambil ancang-ancang.
"Enyahkan dia!" perempuan yang ku kenali merubah ekspresinya saat menatapku.
Seketika aku merasa badanku terangkat, cepat aku memberontak.
"Tera, aku teman mu 12 tahun lamanya! Mana mungkin kamu lupa!" tak menyerah, aku terus berusaha.
Seketika itu badanku kembali terasa terlembar jauh lebih keras lagi.
"Kamu merusakku, Le. kamu yang membuatku seperti ini! Aku lapar darah mu, Le!" tongkat yang tadi berada disisinya kini terangkat, lalu mengarah kearah ku, blum suara itu berhasil membuatku kembali terlembar.
Aku tak berdaya kali ini.
"Keluargamu sangat keji! Ayahmu membiarkan ku mengandung benihnya, dan ibumu membiarkan ku kelaparan!"
Blam
Suara itu kembali ku dengar, lalu aku merasakan seperti pisau sedang menusuk bagaian dada ku.
"Maaf." Hanya kata itu yang aku keluarkan.
"Kata maaf tidak mewakili seluruh apa yang aku alami ini. Dan kepuasan terakhirku saat aku bisa merasakan darah mu, setelah seluruh keluargamu aku rasakan darahnya." Dia tertawa. "Mereka sangat manis! Aku penasaran apa rasa darahmu ini, Le."
Aku terkesima kali ini. Terus ku coba bangkit, dengan sisa tenaga yang ada. Saat tongkat itu menunjuk keaah ku, cepat aku menghindar, dan detik itu pula lembaran kekuatan cahaya terang memantul dari dinding menuju kesalah satu seseorang berotot tadi.
"Bajingan tak terima hidup kau!" katanya.
Aku berusaha lari, menghindar dari kekuatan yang ada dalam tongkat tersebut. Saat aku lari menghindar, ku dengar suara dobrakan pintu terlepas. Saat itu pula aku melihat lelaki yang ku temui sebelum menuju ke ruangan ini, dia menggunakan jubbah gelap, dan di tangannya ada pedang panjang.
"Lepaskan dia, Mutah."
Mutah? Panggilan macam apa itu.
"Oh, jadi kau lelaki yang selama ini berkata menyembahku namun nyatanya mengkhianati ku? Kau sama dengan perempuan tersebut, Del!"
"Lari, Le! lari sekarang!"
Saat aku terdengar ada nada perintah disuara lelaki itu, segera aku berlari. Amun saat itu pula gerakan ku terhenti, karena lelaki tadi berhasil mematahkan satu tangan Tera yang bebas menjuntai tidak memegang tongkatnya.
"Dasar pengkhianat sialan!" desis Tera marah.
Seseorang berotot tersebut, beberapa saat sudah berhasil mengepungku. Bahkan dua lelaki yang aku katakana sebagai penolong kini juga ikut membantu Tera menghadapi lelaki yang ku kenal itu.
Aku marah besar kali ini. Dengan satu tangan ku, aku menghempaskan seseorang berotot tersebut, saying saat mereka kembali mundur, ada cahaya terang yang aku lansir berasal dari tongkat Tera, memantul mengenal beberapa seseorang berotot tersebut. Kali ini aku terkesiap kaget.
Mataku mencari keberadaan Tera kali ini, rupanya dia sedang dipojok ruangan ini, dan lelaki yang ku kenal kemarin juga sedang berusaha melawan Tera.
Saat tanganku tercekal oleh seorang yang ada dibelakangku, langsung aku dorong dia, dan memang dia begitu lemah rupanya.
Cepat, tak buang waktu lama, aku berlari menghampiri Tera, berusaha melindunginya dari siksaan bertubi-tubi lelaki yang sebagai musuhnya itu.
"Hentikan!" aku berteriak keras.
"Kau yang merusak Pulau Merah itu! Kau yang membunuh seluruh anak-anak di Pulau Merah itu!" suara lelaki itu menggema.
"Semua aku lakukan agar tidak ada yang menjelma sebagai penerus dunia, dan menyaingi kekuatan ku untuk terus menghancurkan apa yang sudah menghancurkan ku!"
"Keluarga Ale tidak bersalah semuanya, Ra. Dan kau tidak seharusnya membalas dendam dengan ilmu hitam ini!"
Saat aku melihat pedang tajam mengayun kearah Tera, saat itu pula aku mendorong Tera kebelakang, dan saat itu aku mencium bau amis mengalir dari atas punggung ku.
"Hentikan!" aku berusara serak.
"Ale, berhenti membela musuh mu ini!" lelaki itu berteriak. Kini aku baru sadar, anak buah Tera yang mungkin memang nyata anak buah dia, sudah tak bernyawa, bahkan ada yang terpenggal kepalanya.
"Ale, semua akan berakhir. Pulau Merah tempat tinggalmu akan berakhir. Kutukan itu akan berakhir."
Saat Tera mengucapkan sebuah kalimat panjang tersebut, aku hanya memandang wajahnya yang semakin meremang. Tubuhku terasa remuk kali ini, dan baru ku sadari, rupanya badan Tera sudah tercetak banyak bekar luka.
Saat aku saling bercerita melalui pandangan bersama Tera, saat itu aku merasakan punggungku terhunus, dan itu menembus perutku hingga menusuk kembali kedalam perut Tera. Kini posisi kami sedang berpelukan terlentang, dan takdir kami memang tak bisa ditantang.
Misteri itu sudah pecah. Ini sebuah pembalas dendaman yang abadi. Dan kutukan yang kata warna Pulau Merah, semua akan berakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top