Pelik - Putih

===

Terkadang, untuk menemukan jawaban yang kau cari, kau hanya harus percaya.

===

Ini tidak bisa dibiarkan. Yah, setidaknya aku harus berbuat sesuatu untuk memecahkan masalah ini.

Kupikir ini lucu. Setiap kali ada masalah yang rumit seperti ini, aku pasti akan langsung teringat pada Profesor Yura—sang kepala sekolah—mengatakan 'Ini tidak bisa dibiarkan!' dalam kepalaku. Seperti saat ini. Sekarang. Seolah gema suara Profesor Yura dalam kepalaku adalah alarm bagiku untuk mulai 'bergerak'.

Dan aku memang harus 'bergerak'. Adalah kewajibanku untuk memecahkan masalah para murid di sekolah ini, di asrama ini.

Masalah para murid. Sudah sejak dua minggu yang lalu aku menerima laporan dari para murid, entah itu dari kalangan junior, menengah, atau senior sekalipun.. Sudah sekitar lima belas orang dari mereka yang datang ke kantorku dan mengeluhkan hal yang aneh namun seragam: bermimpi buruk. Kupikir, mereka hanya bermimpi buruk biasa, tapi ini tidak. Mereka bilang, mimpi buruk itu berlangsung berulang-ulang hingga mereka terbangun bermandikan peluh, bahkan terkadang mereka memimpikan hal yang sama persis di lain hari. Laporan terbaru datang dari Freya, kelas VII. Ia mengatakan bahwa dalam mimpinya ia menyaksikan ayahnya mengalami kecelakaan hingga meninggal. Laporan serupa juga kudengar dari Ryan kelas IX, dan dalam mimpinya ia harus kehilangan adiknya yang diserang penyakit mematikan. Satu hal yang patut disyukuri adalah bahwa pada kenyataannya keluarga mereka—keluarga dari para murid yang kumaksud—masih menjalani kehidupan seperti biasa.

Ini aneh, memang. Selain belum ada benang merah yang dapat kutemukan, tidak ada hal-hal mencurigakan yang merujuk kepada 'siapa' dalang di balik masalah ini. Mistis sama sekali bukan berada dalam ranah ketertarikanku, tapi apapun itu, pasti ada alasan masuk akal di balik ini semua. Dan bila aku tidak segera menangani masalah ini, itu sama saja dengan membiarkan teror terus berlanjut.

Napasku tertahan ketika mendengar suara ketukan pintu. Kupersilakan tamuku untuk masuk tanpa dapat menyingkirkan dugaan bahwa tamuku kali ini juga pasti berhubungan dengan 'masalah' ini.

"Bu Ruby," sapa Pak Theo dengan sopan. "Apa saya mengganggu?"

"Tentu tidak, Pak Theo." jawabku dan segera mempersilakan dia untuk duduk di hadapanku.

Ia menyempatkan diri untuk menarik napas panjang. "Um, apa ada laporan lagi hari ini, Bu?"

Aku mengangguk kecil. Lemah, lebih tepatnya. "Freya kelas tujuh dan Ryan kelas sembilan, Pak." jawabku. "Maaf, apa ada perkembangan, Pak?"

Masih segar di ingatanku ketika Pak Theo datang ke ruanganku dua minggu lalu. Ia bercerita bahwa nilai ulangan fisika Glenn, Syifa, dan Rania hari itu merosot. Ini sangat mengejutkan mengingat mereka termasuk golongan cerdas di kelas VIII-C. Pak Theo pun meminta mereka datang padaku untuk menjelaskan masalah mereka, dan di situlah masalah ini bermula.

Sekarang, semuanya malah semakin rumit, bahkan pelik. Ini bukan pertama kalinya aku merasa gagal sebagai seorang guru Bimbingan Konseling. Bahkan usahaku untuk memberlakukan jam malam serta mengingatkan seluruh murid untuk berdoa sebelum tidur, dan berpatroli keliling asrama (guna meminimalisir masalah ini) terkesan percuma. Aku merasa percuma. Jadi, aku sangat mengharapkan jawaban Pak Theo mengenai perkembangan pemecahan masalah ini.

Sayangnya dia menggelengkan kepala. Pak Theo merasa amat bersalah. "Glenn, Syifa, Rania, dan yang lainnya kini masih tengah mencari sebuah petunjuk. Mereka berjanji akan melapor kemari bila mereka menemukannya."

Ada sedikit rasa lega yang kurasakan.

"Saya akan berpatroli lagi malam ini, Bu. Malam ini biar saya saja yang mengurusnya." ujar Pak Theo.

"Terima kasih banyak, Pak. Tapi ini juga kewajiban saya menangani masalah ini."

Tidak. Aku tidak akan membiarkan diriku merasa gagal lagi. Tidak lagi.

===

Jam sepuluh lewat lima belas menit. Ini berarti aku sudah menghabiskan waktu sekitar empat puluh lima menit untuk mengetuk setiap pintu asrama perempuan. Pun belum ada laporan, tanda-tanda, atau perkembangan. Aku semakin cemas. Adakah yang bermimpi buruk lagi malam ini? Korban selanjutnya?

Lagi, aku memandang seluruh daftar nomor asrama perempuan. Semua sudah terabsen dan kini mereka semua berada dalam kamar masing-masing. Untuk asrama laki-laki, kupercayakan semua pada Pak Theo, dan juga para penjaga di sana.

"Bagaimana kalau diadakan semacam... razia, Bu?" usul salah seorang penjaga bernama Gustav yang mendampingiku berpatroli. "Maksud saya, agar siapapun yang menjadi 'korban' malam ini dapat segera dibawa ke UKS dan..."

Aku tidak dapat mendengar perkatan selanjutnya. Razia. Ini berarti aku membutuhkan izin langsung dari Pak Tedy selaku wakil kepala sekolah. Bukan sesuatu yang sulit, tapi entah kenapa kurasa tindakan ini tidak diperlukan. Terlebih, tindakan ini seolah merujuk bahwa sang 'pelaku' di balik masalah ini adalah salah satu murid asrama sekolah Gyarys. Aku tidak bisa membayangkan bila pelakunya adalah salah satu muridku.

Mungkinkah?

"Bu Ruby," kudengar suara Pak Theo dari arah taman. Aku membalikkan badan dan mendapati ia berjalan agak terburu-buru ke arahku.

"Ya, Pak Theo?"

"Ryan hendak bicara pada Anda, Bu." ucapnya serius dan seketika aku tahu ini ada hubungannya dengan masalah yang tengah kuhadapi. Aku pun langsung mengikuti langkah Pak Theo menuju asrama laki-laki.

Kukira Ryan menungguku di asrama, tapi nyatanya ia menungguku di koridor dengan ditemani seorang penjaga. Lega melihat wajahnya yang tidak semurung siang tadi. Betapa kuberharap ia membawakan berita baik untukku.

"Ryan, apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyaku setelah menyempatkan diri untuk duduk di hadapannya di bangku koridor.

"Um, kurasa aku menemukan, um, semacam benang merah. Begini, aku telah bicara dengan Glenn, Syifa, dan juga yang lainnya. Kami hanya menemukan satu benang merah, dan ini berkaitan dengan warna pakaian yang kami pakai sebelum 'kejadian' itu. Ketika itu aku memakai sepatu berwarna putih, Glenn memakai celana putih, dan Syifa memakai rok berwarna putih. Kami yakin di sanalah benang merahnya. Akhirnya kami sepakat untuk menyebarkan imbauan untuk semua murid; tidak memakai busana atau perlengkapan apapun berwarna putih. Awalnya aku hendak memberitahu Ibu dan Pak Theo," ia memandang aku dan Pak Theo secara bergantian. "Tapi berhubung tadi semua guru sedang rapat maka aku dan yang lain. Dan kalau memang dugaan kami benar, tidak akan ada laporan mengenai 'mimpi buruk' lagi."

Refleks, kuturunkan arah pandanganku dan memandang pakaianku. Mantel cokelat, blus hitam, celana krem, sepatu hitam. Memoriku kemudian seolah bergerak dengan sendirinya dan membawaku pada ingatan beberapa saat yang lalu ketika aku mengabsen para siswi di asrama perempuan. Dari kesemuanya—bahkan dalam pakaian tidur pun—tidak ada seorang pun yang memakai pakaian berwarna putih. Kuakui aku sangat terharu mendengar penjelasan Ryan. Aku berharap Ryan benar dan tidak ada lagi laporan mengenai 'mimpi buruk' apapun.

Satu pertanyaan baru muncul menguasai diriku. Kalau memang semua ini berakhir, masih adakah jalan untuk mengetahui 'siapa' di balik masalah ini?

===

Pak Theo adalah guru Geografi yang baik dan ramah. Ia dikenal sebagai guru yang murah senyum dan tidak pernah marah. Naluri kebapakan sangat melekat pada dirinya, jadi tidak heran ia begitu disegani oleh semua murid.

Tapi tidak untuk kali ini. Itulah mengapa aku menghentikan langkah di koridor ketika Pak Theo terlihat tengah membujuk seorang murid—entah untuk apa—dan siswi itu tampak menolak bujukan Pak Theo secara terang-terangan. Perlahan, aku mendekati mereka.

"Sudah kubilang, aku akan segera baik-baik saja, Pak!" tukas siswi itu pada Pak Theo.

"Oryn?"

Tidak salah lagi. Gadis bermata hazel dan berkulit cokelat itu adalah Oryn, murid kelas VIII-B. Tubuhnya terbilang kurang tinggi untuk ukuran anak seusianya, tapi ia tidak pernah terlihat rapuh. Ia selalu bicara seperlunya dan nyaris selalu menempati ranking tiga besar di kelasnya, dan akan bersosialisasi dengan murid-murid lain seperlunya pula. Bukan penyendiri, tapi juga bukan tipe terbuka. Pemilik rambut ikal panjang itu mematung ketika melihatku berjalan ke arahnya, begitu pula dengan Pak Theo.

"Ada apa, Pak?"

Pak Theo tersenyum dan berkata, "Aku hanya membujuknya untuk ke UKS karena dia sangat terlihat pucat, tapi dia bersikeras bahwa ia baik-baik saja."

Oryn memang terlihat pucat, tapi Oryn adalah Oryn. Agaknya ia benci dianggap lemah. Aku bahkan ragu untuk membujuknya. "Oryn, apa kau merasa lemas atau pusing?"

Oryn menggelengkan kepala.

"Mungkin aku harus er, ke kelas lain." Pak Theo pamit sesaat setelah dering bel tanda pergantian jam pelajaran terdengar. Aku mengangguk sopan padanya.

Kembali aku bicara pada Oryn. "Baiklah. Kalau kau butuh apapun—obat, atau sebagainya—kau tinggal ke ruanganku saja, ya,"

Aku nyaris mematung ketika mata hazelnya menatapku dengan tatapan-tanpa-emosi. "Baik, Bu." Aku pun mempersilakan dia untuk kembali masuk ke kelas.

Aku merasa lega. Lega dalam arti sebenarnya. Lega karena hari ini tidak ada laporan apapun. Lega karena akhirnya aku dapat membujuk Oryn meski aku tidak tahu apa yang aku sediakan untuknya. Hm. Mungkin aku harus ke UKS untuk mengambil obat yang sekiranya Oryn perlukan kalau, hanya kalau, Oryn datang ke ruanganku.

Pukul lima lewat tujuh belas menit. Aku baru saja mengunci pintu ruanganku ketika sudut mataku mendapati sosok yang berdiri di hadapan pintu.

"Astaga!" pekikku. Tak kusangka sosok itu adalah Oryn.

"Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengagetkan Ibu." sesalnya.

Aku tertawa. "Ibu kira siapa. Kau perlu apa, Oryn?"

Sesaat Oryn hanya menundukkan kepala. "Boleh saya ikut bersama Ibu?" pintanya.

Aku paham maksudnya. "Tentu, Oryn."

Aku adalah salah satu guru yang memiliki ruangan dan tempat istirahat yang terpisah di asrama ini. Ruanganku ada di bagian selatan asrama, sedangkan tempat istirahatku ada di bagian sayap barat asrama. Tidak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat. Aku pindah ke ruanganku yang sekarang karena keluhan dari murid-murid angkatan dua tahun lalu yang merasa ruanganku dulu terlalu sulit untuk dijangkau sampai akhirnya dibangunlah ruanganku yang sekarang. Yah, aku selalu ingin yang terbaik untuk para murid.

"Tempatku berantakan, Oryn. Kuharap kamu tidak keberatan." ucapku sambil membuka pintu tempat istirahatku dan kemudian mempersilakan Oryn untuk masuk.

"Jangan khawatir, Bu." ucapnya.

"Jadi, kau mau teh atau sirup? Mau kubawakan obat juga?" tanyaku.

"Teh saja, Bu."

"Baiklah." jawabku sembari menyediakan semua yang kami perlukan. "Apa kamu merasa pusing, Oryn?"

"Sedikit," jawabnya.

"Kamu boleh tidur di sini kalau mau, Oryn."

"Boleh, Bu?"

Aku cukup terkejut dengan perkataan Oryn. Bukankah itu artinya Oryn akan beristirahat di sini?

"Baiklah. Aku akan membangunkanmu begitu aku akan berangkat patroli—seperti kemarin. Bagaimana?"

Oryn tidak mengatakan apapun. Aku penasaran untuk membalikkan badan dan aku pun melakukannya. Oryn tetap menundukkan kepala.

"Um, apa Ibu keberatan kalau... Oryn tidur di... sini?" tanyanya ragu. "Aku tidak bisa tidur di kamarku sejak kemarin-kemarin. Semalam saja, Bu. Boleh?"

Jalan pikirku serasa terhenti. Tenang, Ruby. Oryn mengatakan 'tidak bisa tidur' dan bukannya 'tidak tidur'. Berhenti menghubung-hubungkan semua hal dengan masalah yang tengah kau hadapi, aku mengingatkan diri sendiri.

"Ah, tentu. Ya. Kutebak kau membutuhkan semacam suasana baru, mungkin?" gurauku. "Kurasa itu hal wajar yang dialami anak kelas delapan sepertimu."

"Mungkin," jawabnya canggung. Tidak ada percakapan berarti setelah itu dan aku pun mempersilakan Oryn untuk tidur di kamarku.

Entah kenapa aku tidak bisa berhenti untuk menatap Oryn yang tengah tertidur. Dalam keadaan seperti ini, ia tampak seperti anak sembilan tahun. Aku bukanlah seorang ibu, tapi naluriku untuk berada di sisinya dan menyanyikan lagu ninabobo untuknya amat tak bisa kutampik. Aku bahkan terkesan ketika dia menanyakan di mana aku akan tidur, tapi kemudian aku menjawab bahwa aku akan tidur bersamanya meski nyatanya aku akan tidur di sofa.

Satu hal mengenai Oryn adalah, ia datang dari keluarga yang kurang mampu. Beasiswalah yang membawanya dapat bersekolah di sini. Terlebih, ia juga anak yatim piatu yang hidup dengan kakeknya. Bisa kubayangkan ketegaran sekaligus kerapuhan seorang Oryn. Sesaat aku membiarkan empati menguasai diriku hingga aku melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul setengah delapan malam.

Tadi pagi di pukul yang sama. Aku mendengar sang penjaga mengetuk pintu ruanganku. Ia datang bersama Glenn dan Alex. Glenn ketika itu yakin bahwa Alex adalah pelakunya; Alex adalah orang di balik mimpi buruk yang dialami beberapa siswa, khususnya Glenn. Alasannya hanya satu: karena Alex gemar berpakaian serba hitam dan menurut Glenn Alex membenci warna putih. Aku berusaha tenang namun cermat untuk menginterogasi Alex, tapi semakin aku berusaha untuk cermat, semakin aku merasa itu semua sia-sia. Alex adalah anak yang gemar berpakaian hitam karena hitam adalah warna kesukaannya dan di luar asrama ia hidup bahagia bersama keluarganya.

Sulit bagiku untuk menentukan prioritas: menemukan si pelaku, atau menghentikan semua ini? Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kurasa aku harus istirahat saja.

Aku tidak tahu aku berada di mana, yang kutahu di sekelilingku ada banyak sekali anak-anak. Aku sangat suka dengan anak-anak. Sebagian dari mereka berlari-larian, sebagian lain saling bercanda, dan sebagian lain sedang memakan makanan kesukaan mereka.

Hanya ada aku dan anak-anak. Salah seorang dari mereka menarik-narik tanganku dan mengajakku bermain. Ia memintaku untuk mendorong ayunan sekuat mungkin. Dengan senang hati aku menyanggupinya. Selesai dengan ayunan, datang seorang anak lain yang memintaku untuk bercerita. Jadi aku menceritakan sebuah kisah pada mereka semua, dan mereka terlihat terhibur dengan kisah yang kukarang sendiri. Mereka tertawa, dan memintaku lagi untuk bercerita. Mereka tidak bosan. Mereka terus dan terus ingin mendengar cerita yang sama. Mereka tidak bosan. Aku tidak bosan. Kami bahagia bersama-sama.

Ketika aku membuka mata dan berkedip, kulihat Oryn baru saja membalikkan badan dan bahunya terlihat naik turun.

"Oryn?" tanyaku seraya mencerna semua ini. "Oryn?" kudekati dia dan duduk di hadapannya. Wajahnya terhalang selimutku sehingga aku tak bisa melihat wajahnya.

"Oryn..." Aku mendengar isakan Oryn semakin keras.

Oryn akhirnya bersuara setelah menurunkan selimut yang menutupi wajah. "Maafkan aku, Ibuuu," isaknya.

"Oryn," aku mengusap-usap lengannya yang berada di balik selimut. "Menangislah sepuasmu, Oryn." dustaku. Pikiranku berkelana, mulai menghubungkan mimpiku dengan sikap Oryn. Sebagian besar dalam diriku yakin Oryn-lah yang baru saja mengendalikan mimpiku. Hanya saja, mimpiku itu berkaitan dengan cita-citaku untuk mendirikan sekolah anak-anak. Indah.

Sebuah pemahaman menghantamku. Mungkinkah Oryn...

Kulihat Oryn beranjak dari tidurnya dan duduk menghadapku. Sekarang, kulihat dengan jelas bahwa ia sedang menangis. Benar-benar menangis. "Maafkan aku, Ibu." isaknya. "Aku terpaksa melakukan semua ini. Aku sangat menyesal, Bu."

Aku tetap mengusap-usap lengan Oryn.

"Akulah pelakunya, Bu. Akulah yang membuat mereka ber...mimpi...buruk,"

Aku tak sanggup angkat bicara.

Oryn mulai menjelaskan semuanya. "Aku sangat terpukul ketika nenekku meninggal. Aku sangat terpukul ketika tahu bahwa nenekku bisa saja diselamatkan dengan segera oleh para dokter. Aku...aku..." ia menutup wajah dengan kedua tangan.

Seingatku, itu terjadi saat liburan beberapa bulan yang lalu. Bagaimana aku tahu? Aku pun mencoba mengingat-ingat.

"Aku benci mereka. Aku benci para dokter yang mengabaikan keselamatan nenekku hanya karena keluargaku tidak punya uang banyak. Aku benci mereka! Aku akan dengan senang hati membuat mereka bermimpi buruk setiap kali mereka tertidur, tapi aku harus kembali ke asrama ini. Jadi... jadi aku mulai mencari alasan untuk melakukannya terhadap teman-temanku di sini. Aku mencari mereka yang ada hubungannya dengan para dokter...berpakaian serba putih...mempunyai perlengkapan serba putih..."

Oh, Oryn. Entah kenapa aku justru memeluknya dalam dekapanku. "Tapi kau tidak melakukan itu padaku. Kau membuatku bermimpi indah. Kenapa?" tanyaku.

"Karena aku merasa bersalah. Aku ingin membuat Ibu tidak cemas lagi. Aku merasa...selama ini...aku bukan diriku. Kau...kau memiliki sifat yang sangat mirip dengan nenekku, Bu." dan Oryn kembali menangis dalam pelukanku. Aku dapat melihat kesungguhan dalam nada suara dan mata hazelnya.

Aku memandang Oryn lekat-lekat meski mataku berkaca-kaca. "Oryn... bolehkah aku meminta sesuatu? Berjanji untuk tidak mendatangkan mimpi buruk pada siapapun?"

Oryn mengangguk mantap. Kini ia bertanya dengan suara yang parau. "Bu, bolehkah aku mendatangkan mimpi indah untukmu? Kumohon, Bu,"

Aku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. "Tentu, Oryn. Dan kalau kau ingin mendatangkan mimpi buruk, datangkanlah padaku, Oryn. Jangan pada orang lain."

===

To be continued

===



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top