[4]. Darah yang bernafas Dari balik Daging

Betapa cahaya yang menyinari kegelapan, tidak akan membuat Sang Bintang yang mandiri jadi kesepian, melainkan ia menjadi semakin berani dan bersinar sangat terang. Gemerlap cahaya yang berubah-ubah warnanya, dari kuning ke biru, lalu kombinasinya adalah warna hijau. Sorakan tanpa henti yang bisa saja memekakkan telinga, alangkah indahnya mereka semua hanya berkeinginan untuk menghibur dirinya atas penampilan nyanyian dari venus yang dipuja-puja.

Tak ada yang tahu wajah aslinya, tak ada yang tahu apakah di balik topengnya masih ada topeng untuk melindunginya dari sebuah dunia yang terlalu ingin tahu. Jika ada, maka itu akan segera dilacak dan dihapuskan sampai menjadi abu yang hilang ditiup angin, baunya memang mengusik tetapi kemudian akan dianggap angin lalu saja.

Seolah-olah tak sepadan, atau mungkin saja impas, bisa saja lebih dari cukup. Suka atau tidak, maka harus diakui bahwa sosoknya adalah yang dicita-citakan para gadis, bahkan laki-laki pun tak sedikit yang mungkin bertekuk lutut di hadapannya. Namun, tak perlu sampai berlebihan begitu, karena sebagaimana keadaan konser pada malam ini telah penuh dalam satu tarikan napas.

"Terima kasih sudah datang~! Juga yang di rumah, terima kasih sudah menonton!"

Para penonton tak mungkin sadari sosok sesungguhnya dari ia yang melambai-lambaikan tangannya, tapi wanita muda inilah yang menyadari semuanya dengan sedikit sekali pengecualian. Ia telah dibekali ilmu kehidupan yang berasal dari didikan langsung seseorang yang berpengalaman. Seseorang yang tidak menyia-nyiakan sejumput pengetahuan kecil, meski tidak terlihat ternilai. Walau berdiri di atas kertas yang diasah, asal bisa lebih ringan dari kertas itu maka ia tak akan bisa terjatuh.

Ia membungkuk terima kasih, sejenak mengambil beberapa tarikan napas untuk menstabilkan kondisinya. Sekeras apa usahanya, mustahil ia mengabaikan kesehatannya sendiri, bagaimana juga itu adalah instingnya bertahan hidup. Wajahnya yang tersembunyi atas sebuah topeng dengan warna kuning dan hijau-sama seperti topeng di konser ketiganya-kembali ia angkat bersama senyum yang merekah tanpa adanya keraguan dari tekadnya. Rambutnya itu berganti-ganti warna, bukannya diwarnai tetapi hanyalah sebuah rambut palsu.

"Sebelum kalian pergi, aku hendak mengumumkan sesuatu."

Bayangkan, laut yang indah tetapi tanpa adanya angin asin yang berhembus menerpa pori-pori. Di saat yang bersamaan, lautan merasa ketakutan pada daratan yang membuat hatinya bergidik keras. Kemudian bintang kecil akan gundah gulana pada bintang raksasa yang membara di tengah tata surya. Ledakan yang bisa terjadi karena memiliki perhitungan, lalu perhitungan itu sudah dekat.

"Aku akan lulus menjadi idol, konser selanjutnya akan menjadi yang terakhir."

Tempat yang luas itu seketika hening beberapa waktu, lalu bisik-bisik, kemudian saat sebuah sorakan mulai terdengar maka saut-sautan yang tiada habisnya bermunculan. Tanpa adanya nyanyian Sang Dewi, maka ibu pertiwi ini terdengar bising akan keinginan manusia yang tidak akan ada habisnya sebab manusia tidak pernah merasa puas.

Awalnya, teriakan itu terdengar panas, hingga kemudian sorakan yang menenangkan tapi tegas menghentikan kericuhan itu. Dengan raut wajah yang perlahan melemah, kini bergiliran tangis para penonton yang juha bersaut-sautan. Mereka memohon, supaya beringin yang merangkul perut bumi untuk tidak meninggalkan mereka, hanya saja sudah mutlak bahwa segala sesuatu akan datang yang baru lalu yang lama pun pergi.

"Belum saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal, jadi, sampai jumpa di musim gugur!"

Lambaian tangan itu menjadi yang terakhir di konser besarnya yang bertemakan Haru no Kaze wo Kikasete-Biarkan Aku mendengar Angin musim semi, karena waktu di mana konser itu diselenggarakan adalah saat berlangsungnya musim semi dari bulan Maret hingga Mei. Musim di mana festival banyak digelar untuk menebar kebahagiaan, orang-orang pun berkumpul menggelar tikar di bawah pohon bunga sakura melakukan ohanami.

Ia berbalik ke dinding panggung sambil tetap menyajikan senyum penuh kebohongan demi mengabaikan kebenaran nan menyakitkan itu. Konser telah selesai, hatinya tak sabaran untuk segera buru-buru melepas topeng yang telah menempel pada wajahnya selama lima tahun berturut-turut. Mikrofon telah dimatikan, lampu sudah dinyalakan, waktunya para penonton juga sang idol untuk pamit undur diri atas penampilan megah malam ini.

"Otsukaresama (kerja bagus), Rida-chan."

Seorang wanita dewasa dengan perkiraan usia adalah 30 tahun. Wajahnya cerah bagai rembulan, akan tetapi rambutnya sangat gelap seperti matahari terbenam sesudah peperangan sebagai pertanda pertumpahan darah. Orang biasa akan beranggapan ia adalah mantan model karena postur tubuhnya yang di atas rata-rata. Namun yang mengerti akan bisa mengambil keputusan sendiri, bahwa ia merupakan mentor sekaligus manajer dari idol ternama. Setengah benar, setengah terkaan, sisanya salah besar.

"Otsukare, Konaga-san."

越長 Konaga adalah marga yang dibanggakannya, makna di baliknya bukan sembarangan, marga itu berguna untuk melengkapi nama pemberiannya yang lebih sakral. Namun, sebagai bentuk penghormatan maka idol yang dibimbingnya memanggilnya dengan nama marga yang universal, setidaknya saat di depan para staf saja.

Konaga memberikan botol air minum kepada idolnya. "Sangat menyenangkan, konsepmu tidak pernah gagal~!"

Idol bertopeng itu hanya tersenyum seraya menghilangkan keringat yang menggantung di pelipis serta dagunya. Keramaian di atas panggung berpindah ke belakang panggung, yang mana para staf terkejut atas pengumuman kelulusan yang tiba-tiba tersebut. Satu-satunya yang tidak terkejut hanya Konaga, karena pada awal masa penampilan idolnya, ia juga ikut membaca isi kontrak.

"Kamu sungguh akan lulus?" tanya salah satu staf.

"Iya!" Jawabannya penuh nada riang. Alangkah kesedihan cukup dipendam dengan senyum palsu sebagai gantinya.

Sementara Konaga coba untuk menyurutkan ketegangan di sana. "Jangan sedih, masih ada konser-"

Keributan itu berhenti saat seseorang staf menyalakan televisi yang menampilkan berita terkini. "Pemimpin Idol, Rida, setelah konser ke-empatnya hari ini ia mengumumkan kelulusannya!"

Rīdā adalah kata serapan yang memiliki dua arti, leader dan reader. Di mata publik, wujudnya adalah Sang Mentari yang menghendaki bumi agar bisa tetap hidup dengan segala tumbuh-tumbuhan hijaunya. Surya agung yang di setiap kedatangannya akan dipersembahkan sebuah mahkota bunga.

Kemudian, apa yang tidak diketahui oleh orang-orang adalah jati dirinya. Cuma segelintir yang tahu, apabila ia bisa sedikit membagikan identitasnya secara tersirat maka bisa sedikit melegakan hasrat. Kadangkala yang ingin dipercaya justru memperdaya, memori yang seperti itu kian menghantui benaknya. Padahal, dunianya sudah berubah, akan tetapi masa lalu masih membuntutinya hingga tujuh tahun yang lambat berlalu.

Seorang pembaca tak punya hak untuk mengatur keinginan penulis, suka atau tidak dengan tulisan yang dibacanya, sehancur apapun ending yang didapatkan pembaca maka mereka cuma bisa terduduk di tempat. Kecuali, jika sang pembaca membelokkan sedikit kehendaknya, sebuah kuasa untuk menciptakan jalan yang baru.

Sayangnya, apa pun yang dilakukannya maka itu tidak bisa diakui secara mutlak, melainkan sebagai alternatif. Demikian, sampai akhirnya bisa merubah jalan kehancuran dunia ini, ditelan oleh badai tengah malam pun bisa rela. Kecuali ia harus berusaha setengah mati untuk bertahan hidup pula keselamatan dunia harus bisa diwujudkan sebelum ia mati.

Tatkala jantungnya itu lemah dan kejiwaannya tidak bisa dibiarkan seorang diri. Psikologisnya bisa melenting kala harus melewati hari-hari yang egois. Bahkan, embun-embun hujan yang dingin tak mungkin peduli pada tanggungan beratnya. Dadanya mendadak mengernyit, sakitnya sampai memaksanya untuk menahan napas selama beberapa saat seraya memijit pelan tempat persemayaman jantungnya. Manajernya yang ada di kursi pengemudi memasang sorot was-was yang terpantul lewat cermin. Setelah sakit di dadanya sudah mulai memudar, ia lalu tersenyum, untuk tidak terlalu mencemaskan keadaannya.

"Hari ini pun mau ke sana lagi?" Suara dewasa Konaga memecah keheningan dengan latar rintik hujan nan temaram.

"Aku sudah mulai hiatus, kan? Aku mau staycation beberapa hari saja. Kirisaki-san temani aku, dong?"

越長切裂 Konaga Kirisaki, adalah nama yang berarti 'potongan memanjang yang jauh membelah'.

"Aku cuma numpang tidur, nih." Kirisaki berucap dengan suara menyenangkan.

"Tidak masalah, asalkan aku tidak sendirian ... karena, belakangan ini aku merasa gusar." Suara yang lemah dan bergetar, rasa sakit di dadanya masih terisa, terlihat peluh keringat di pelipis terus mengucur karena cemas.

"Benar, terlihat jelas di wajahmu."

Tergambar suatu kebimbangan berserta keluh kesah yang tertahankan. Jasmani dan rohani yang lelah sudah tak mau berkata apa-apa mengenai rencana selanjutnya. Setelah semua yang telah dijalani, bukannya ingin menyerah tapi sudah gerah dengan hiruk pikuk lautan manusia dan sebagainya.

Hujan deras malam ini untuk menenangkan diri. Aroma hujan musim semi membangkitkan sekian memorinya beberapa tahun silam. Kebersamaan yang utuh, tak ada perselisihan, hanya akur dan saling memahami. Mereka bersama bermain hujan di musim semi, aroma tanah yang menyeruak beserta wangi bunga di pelataran. Tak mungkin mempermalukan diri sendiri karena usia, yang penting adalah kelegaan menutupi air mata di bawah hujan.

Maka apabila ingin menyembunyikan rasa sakit, tempatnya adalah di dalam kesunyian. Tak ada yang tahu, cuma ada diri sendiri. Sampai sewaktu-waktu hujan berhenti lalu aliran sungai sungai di seberang sana kembali tenang, rasa lelah yang terabaikan datang pelan-pelan lantaran hari sudah sangat larut.

"Aku super penasaran dengan laki-laki yang Kamu tunggu hingga begini."

"Takdirnya berwarna putih dengan sejumput guratan hitam."

"Di bawah umur?"

"18 tahun. Di tempat asalku, usia itu sudah dianggap dewasa."

Kedewasaan tak melulu indah. Semakin banyak tanggung jawab, semakin sedikit pilihan, dan terus menerus dipaksa untuk mengambil keputusan yang kadangkala tidak semestinya. Apalagi, untuk seorang yang sebatang kara tanpa punya pembelajaran dunia yang tepat, bumi ini terlalu sesak untuk ditempati.

"Oh, seperti apa rupanya?"

"Harimau yang berbakat untuk merobek apa saja yang disentuhnya."

Sang tokoh utama yang berhasil mengoyak naga hitam walau babak belur. Pemuda yang diburu oleh organisasi besar Amerika, digadang-gadang sebagai kunci untuk sesuatu yang berada di luar nalar orang awam. Sesuatu itu adalah sebuah buku yang terlalu berisiko untuk bisa hadir di dunia ini.

Di samping itu, ada bermacam-macam orang jahat yang menyalahgunakan kemampuannya pun otaknya. Orang jahat yang tak punya hati nurani, orang baik yang menjadi jahat, dan orang jahat yang tidak jelas atau diragukan motivasinya. Intinya, tetap orang jahat. Tak segan-segan mengotori tangannya dengan darah manusia di atas mereka kehilangan atau mengabaikan ada tidaknya sesuatu yang bernama kemanusiaan.

"Menyukai orang jahat itu kelewatan dan berbahaya, lho."

"Tidak akan bahaya, kalau dia tidak tahu."

Malam ini menjadi pujangga, besok menjadi penulis, bulan depan menjadi novelis, tahun depan menjadi sastrawan terkemuka. Impian sesungguhnya yang diidam-idamkan, semata-mata kegiatan idolnya hanya untuk meraup pundi-pundi uang yang pastinya berguna untuk rencana selanjutnya. Atas segala pertimbangan, dengan waktu yang sudah dekat ini maka bisa dibilang masih berjalan lancar.

Kirisaki duduk di ambang jendela, menempelkan dahinya pada kaca. Hingga saat ia mengangkat kepalanya untuk memberi keringanan pada matanya agar bisa fokus pada suatu titik. Kirisaki yang tertawa mengetuk kaca jendela itu dua kali untuk menarik perhatian lawan bicaranya. "Inikah ia yang Kamu tunggu?"

"... Apa?"

Pemandangan aneh, tapi tidak terkejut, meski sedikit gusar juga. Di tengah malam yang gelap dan aura kebiru-biruannya, terdapat kaki manusia yang menyembul ke permukaan dari kedalaman sungai yang terlihat dari tempat mereka berdua menginap. Melihat sekilas saja sudah tidak perlu berpikir dua kali tentang jati diri manusia yang mengapung mengikuti arus sungai dengan tubuh terbaliknya. Sebuah pemandangan ikonik di episode satu.

"Jujur saja, aku tidak tahu harus berkata apa." Tidak disangka-sangka momen itu bisa disaksikan secara langsung olehnya walau dari jarak yang agak jauh.

Kirisaki tersenyum. "Aku ingin Kamu mempertimbangkan perasaanmu, suka atau tidak."

"Sudah. Tidak akan pernah berubah." Kembali kepada puisi setengah jadinya yang berjudul 'Cinta Satu Dimensi' yang terketik di atas monitor laptop.

Puisi cinta yang sangat panjang sampai-sampai tiga halaman banyaknya. Karena mengatakan cinta secara langsung itu sulit. Memendam emosinya akan membuat gila, menyatakannya terlalu cepat juga tidak bagus. Membuat syair yang maknanya bisa berguna secara universal merupakan jalannya. Cinta itu tak berbentuk, sebabnya cinta itu buta. Sosok karangan bahkan bisa dicintai, karena cinta itu jujur, sangat nyata.

"Andaikan aku bisa memberikanmu buku-buku yang aku baca, Kamu tidak akan meragukanku."

"Aku tidak meragukanmu, tapi khawatir. Dia orang yang paling ditakuti di organisasi."

Kagum dan ketakutan hampir tidak ada bedanya, sebenarnya. Bedanya adalah ketika kekejaman datang di atas seseorang yang dicintai, cinta yang pekat akan merubah ketakutan menjadi kekaguman. Namun, cobalah untuk menyangkal. Ubah kata-kata itu menjadi 'segan' dan 'hormat' maka maknanya pasti berubah total.

"Aku tahu, kok."

"Astaga, Kamu ini bebal sekali, ya!"

Mimpi buruk tidak punya keraguan. Kemalangan datang dengan segala bencananya. Bajingan datang untuk merusak apa yang telah ditata, dengan alibinya untuk menata ulang dunia yang kotor menjadi lebih baik. Mana mungkin bisa begitu, kan? Siang akan menjadi pelita panas, malam akan menyelimuti dengan kekerasan, sementara senja adalah peralihan dari keduanya.

"Takdir dunia ini berporos pada Agensi Detektif Bersenjata. Dan aku akan mengubah takdir itu."

"Aku sungguh tidak bisa apa-apa kalau tekadmu sekeras ini."

"Maaf karena merepotkanmu. Aku sangat termotivasi untuk melakukan perubahan."

Perubahan sudah direncanakan. Pasti bisa terlaksana, hanya perlu menunggu waktu saja seperti yang sedang ia lakukan. Namun, ia masih terpikirkan oleh sesuatu yang berada di luar dugaannya. Apakah karena orang dari dunia luar memasuki dunia ini, maka dari itu nasib salah satu karakter yang dikenalnya bisa berubah tanpa ia ketahui?

"Sebenarnya ini semua karena aku takut. Aku takut melihat kehancuran yang membuat kepalaku sakit dan jantungku pun berdebar tiada henti."

"[Y/N], aku sudah mengajarimu semua yang aku tahu. Kamu kuat karena tekad dan pengetahuanmu yang berbeda tentang dunia ini, juga sudah dewasa untuk membuat keputusan sendiri."

Di setiap rencana yang diperkirakan bisa sukses besar, justru tidak disangka-sangka bisa gagal. Rencana berat di atas kertas tipis, apakah tintanya akan menembus lapisan kertas hingga jatuh ke tanah?

"Lalu, bagaimana dengan hatiku?"

"Selama Kamu tidak menyerah, hatimu pun akan semakin kuat."

⋇⋆✦⋆⋇

Gambar di atas berasal dari lirik lagu Mahoutsukai no Yome Opening 1 di Spotify. Yang menurutku cocok untuk mendeskripsikan chapter kali ini.

Lagi-lagi kebablasan ngetik banyak, hahahahaaa....

Oiya, aku lupa jelasin sama perubahan nama karakter. Barangkali kalian bingung.

'Ohari' di IRMW aku ganti menjadi 'Suzukai'. Suzukai juga gak sembarangan artinya, 涼海 berarti laut yang sejuk. Kemudian, ada karakter yang namanya 'Shiza'. Dia ini yang menjadi pengganti Shiyu (IRMW) yang aslinya perempuan, tapi di sini (IROW) aku ganti jadi laki-laki.

Sisanya, gak ada masalah. Untuk yang gak penting banget pasti aku buang, aku optimis batasan 200 bab bisa cukup buat IROW (gak tau harus seneng atau sedih).

Dua minggu lagi S4 nih, gak kerasa sebentar banget padahal bentar lagi tahun depan. Ada yang udah liburan? Tolong semangatin aku buat jungkir balik sama P5 sialan kurang ajar nambah-nambahin beban kehidupan!

Senin, 19 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top