___
"Aku tahu tidak ada hal-hal baik yang dicatat dalam sejarah, hanya ada kematian, kehilangan, perang, dan hal-hal yang penuh tragedi. "
___
Melarikan diri sekali lagi, menentang ego dari segala sisi, mempertaruhkan nyawa semua orang, menjual harga diri, melepuh, meranggas, melebur. Dan di sinilah aku sekarang, berakhir di dalam bilik sempit bersama dua makhluk yang paling kubenci di dunia. Lucu, bukan? Aku melarikan diri, berharap menghilang selamanya, mati-matian melupakan, membakar halaman-halaman terdahulu, hanya untuk kembali ke titik di mana terakhir kali aku melepaskan semuanya. Melintasi waktu, hanya untuk kembali ke waktu semula. Sebut saja semua jerih payah itu sebagai sebuah kesia-siaan, menyia-nyiakan nyawa semua orang hanya untuk bergerak berputar-putar. Hingga aku sadari bahwa selama ini aku berkutat di dalam lingkaran setan, tidak ada jalan untuk membebaskan diri.
Erik di belakangku, menunggu lintasan waktu kembali pada putaran normal. Memelukku erat, sehingga napasnya menyapu leherku. Aku sudah tidak peduli. Bahkan dia masih belum menyadari bahwa sebegitu menjijikkannya dia di mataku. Aku sudah terlalu lelah untuk sekadar melawannya. Dan di dalam bilik sempit, sewaktu semua hal bergerak cepat dan memusingkan, tidak ada jalan untuk melarikan diri darinya.
"Cyra." Aku tertegun sejenak mendengar Erik tiba-tiba membisikkan nama itu, dalam kesadaran yang sudah agak oleng dia tertawa kemudian, terbahak-bahak. Tawa itu terdengar mengejek, dan aku benci tidak bisa menutup telingaku darinya. "Sayang," katanya, menyapukan napasnya di telingaku hingga terasa menggelitik. "Jangan pernah melarikan diri lagi."
Biarkan saja, biarkan saja, biarkan dia berbicara sesuka hatinya. Jangan terpancing, jangan bergerak, jangan melawan, kuucapkan berulangkali bagai mantra, untuk meyakinkan diriku sendiri. Aku hanya perlu sabar sebentar lagi. Sebentar lagi aku akan kembali ke rumah, dan semua atmosfer ini akan terpecah. Kutarik napas dalam-dalam, mendengkus keras untuk menghalau gejolak ingin meninju rahang Erik di belakangku.
Lalu suara bising di luar sana tiba-tiba musnah. Seperti tengah malam yang tenang, tanpa hujan, tanpa makhluk malam, hanya ada deru napasmu sendiri dan udara yang berhembus ringan, melenakan setiap makhluk untuk lelap. Aku bangkit seketika, membuka pintu bilik dengan paksa, sinar dari lampu ruangan menyilaukan mata. Aku perlu menaiki anak tangga supaya sampai di kamarku, tiba-tiba aku merasa semuanya asing. Tidak ada Xaviere, tidak ada harapan yang menggerakkan kemauanku, tidak ada Odeya, dan tidak ada siapa-siapa. Hasrat untuk membunuh Erik tiba-tiba kembali merebak.
Tidak cukup hanya melihat Jyra mati. Erik telah merenggut semuanya, membuat segala usahaku sia-sia, jadi kematian Jyra saja tidak cukup baginya. Alih-alih mendaki tangga untuk segera mengakhiri hari yang panjang di tempat tidur, aku bersandar di dinding dekat anak tangga, merosot dan memeluk lututku sendiri. Persetan dunia dan seisinya, aku sudah tidak punya harapan apa-apa. Sesak di dada kian menjadi-jadi, dengan satu tangan kutopang kepala, memijat pelipis yang tiba-tiba pening.
Semua ini tidak sesederhana kembali ke rumah. Ada banyak hal yang harus berusaha kulupakan agar bisa tetap melanjutkan hidup. Hidup tidak lagi menjadi sedemikian menarik. Hancur luluh, dan kini, musim panas telah berlalu. Musim gugur dan kelabu akan menggelayut sepanjang masa, mengantarkan daun-daun pada sudut pembuangan dunia, terlupakan dari tragedi musim semi, kering dan membusuk.
Seperti biasa, aku menunggu Ethan di tepi hutan. Mencuri tombak yang disimpannya di ceruk-ceruk dekat tepian sungai di perbatasan hutan. Menunggu di atas batu besar yang terdampar dari sisa-sisa laut yang pernah pasang bertahun-tahun lalu. Schuraze yang sekarang memang berbeda dari masa-masa pasca bencana. Pemukiman lebih ramai, hutan-hutan menyusut, lebih banyak jalan-jalan lebar dibanding setapak-setapak kecil.
Ethan datang lima belas menit kemudian, memikul karung goni entah berisi apa. Aku tidak membuat janji apa pun dengan laki-laki itu, aku hanya tahu bahwa setiap hari dia akan melewati tempatku menunggu sekarang.
"Aby! Kau sudah kembali?"
"Sudah," jawabku. Membiarkan dia menurunkan karung dari bahunya, lalu mengambil tempat di sebelahku.
"Hei, sudah lama tidak ada yang mencuri tombakku!" katanya sembari memasang cengiran lebar. Tubuhnya beraroma cokelat pahit, nyaris familiar, seakan-akan aku terbawa kembali pada kenangan yang telah lama terlupakan.
"Aku hanya pinjam, kok," elakku, sembari menyerahkan tombak itu kembali padanya.
"Ayah sedang menungguku—menunggu kayu bakar ini, maksudku. Jadi, ayo kita bicara di toko roti saja."
"Ethan, soal busur panah yang kau berikan padaku tempo hari ...."
"Hilang di suatu tempat? Tidak masalah, aku bisa membuatkanmu yang baru, kalau kau mau," katanya, seakan bisa membaca maksudku. Dia berdiri, meraih karung goni yang ternyata berisi ranting-ranting pohon dari hutan, kembali memikul benda itu dan memberiku isyarat untuk mengikutinya. Sebenarnya, bukan hanya soal busur itu yang membuatku memutuskan untuk menemui Ethan hari ini, tetapi aku juga ingin tahu bagaimana kabar ayahku setelah lama kutinggalkan, kuharap ia baik-baik saja. Barangkali nanti aku harus datang sendiri.
Kami bergerak, melintasi alun-alun kota. Patung Ischyra yang biasanya kulewatkan begitu saja kini menjadi jauh lebih menarik. Pasalnya, aku menggunakan nama patung itu begitu saja sewaktu Xaviere bertanya tentangku. Monumen itu berbentuk patung seorang perempuan, dahulu aku berpikir mungkin dia adalah seorang dewi atau malaikat yang tengah membidik langit dengan busur panahnya sampai kemudian aku benar-benar memperhatikan monumen itu sekarang.
"Ethan," panggilku pada sosok Ethan yang bergerak jauh di depanku. Laki-laki itu berbalik untuk kemudian bergerak menghampiriku.
Seakan langsung mengerti apa yang tengah ada dalam pikiranku, Ethan berkata, "Ya, mirip dengan busur yang kuberikan padamu tempo hari, bukan?"
"Apa maksudmu?"
"Setiap melihat monumen itu sepulang berburu, aku merasa patung itu mirip kau, jadi aku memutuskan untuk membuatkan busur panah yang persis seperti yang dimiliki patung itu. Kau harus melihatnya sewaktu petang menjelang malam atau sewaktu pagi buta menuju fajar, patung itu terlihat sangat mirip denganmu, Aby."
Aku melewati monumen itu ribuan kali sepanjang hidupku, menyadari eksistensinya sewaktu dia tidak kutemukan di alun-alun distrik di masa lalu. Tiba-tiba aku menjadi ingin tahu cerita yang tersimpan di baliknya, apa yang tersembunyi di sana, dan kini aku juga baru menyadari bahwa busur panah yang dipegang patung Ischyra juga pernah kumiliki.
Berbalik, mendahului langkah Ethan, aku bergegas menuju sisi lain alun-alun. Ethan mengikuti, tetapi kemudian aku mengatakan padanya bahwa aku akan menemuinya nanti, aku akan bertanya kabar ayah padanya, nanti. Kini, ada hal penting yang ingin kuketahui kebenarannya.
Di deretan rak arsip perpustakaan distrik, di sudut paling berdebu, satu eksemplar buku disalin dengan tinta emas bersampul cokelat tua, aroma kayu manis melekat kuat di setiap lembar-lembarnya yang kusam kekuningan. Judul pada sampul ditulis dalam huruf-huruf sambung yang indah, tulisan tangan semacam itu sudah jarang ada, di sana tertulis Ischyra, The Legacy. Itu artinya Ischyra adalah sebuah warisan dari masa lalu, sebuah peninggalan tua yang masih dijaga oleh orang-orang distrik dalam kerapuhannya. Lembaran-lembaran itu berisi pemaparan sejarah patung Ischyra diabadikan sekitar seratus tahun yang lalu, ditempa oleh seorang pemahat dari distrik Batlore untuk mengenang sosok perempuan misterius yang sempat mendampingi keluarga ketua distrik sampai kemudian diketahui mati terbunuh dan jasadnya dijatuhkan ke dalam jurang sehingga tidak pernah ditemukan.
Benar-benar tidak masuk di akal.
Kuselipkan buku itu di balik baju, mengendap-endap keluar dari perpustakaan distrik tanpa menyapa penjaga perpustakaan, aku tahu buku itu bukan jenis buku yang bisa dipinjam dan dibawa pulang, tetapi aku merasa harus segera mendiskusikannya dengan Ethan.
Kali ini aku tidak bisa bergerak dengan bebas, tidak bisa melepaskan perhatian dari seluruh penjuru jalanan sebab Erik masih berotasi di sekitarku. Sejak kematian Jyra, Erik telah kehilangan seluruh popularitasnya, dipecat dari theater, dan dihujat dari segala sisi. Keberadaan mesin waktu tersimpan rapat, semua orang hanya tahu Erik dan Jyra menerobos rumahku dan Erik tanpa sengaja membuat Jyra meminum sesuatu dari laboratorium kimiaku, sehingga dia dinyatakan tewas. Tidak ada yang mempertanyakan luka tembak di dadanya, entah bagaimana detail penting itu dilewatkan oleh tim penyidik.
Seluruh penjuru distrik masih berbicara di belakang punggungku, bertanya-tanya mengenai kepergianku, beberapa di antara mereka menuduh di balik dinding-dinding tembok tentang pembunuhan terencana yang kulakukan. Tetapi entah mengapa tidak ada orang yang terang-terangan menudingku di jalanan terbuka. Selama mereka tidak menggangguku, aku tidak cemas. Satu-satunya orang yang ingin kuhindari saat itu adalah Erik.
Kemudian sesampainya di toko roti Ethan, aku melihat laki-laki itu bergerak di halaman samping toko rotinya, gerakannya tangkas, penuh perhitungan, dan tampak tangguh, mengingatkanku pada seseorang yang sebelumnya tidak pernah kusadari. Ethan melihatku, segera berhenti dari aktivitasnya dan menyeretku memasuki toko rotinya, bergerak langsung melintasi ruangan menuju rumahnya.
Tiba-tiba aku teringat mengapa aku merasa familiar dengan aroma cokelat pahit di rumah Xaviere sewaktu pertama kali tiba di sana. Aroma itu menghubungkan sebuah ingatan terakhirku tentang Schuraze yang lebih muda daripada Schuraze pasca bencana. Ethan bergerak menuju dapur, sebelum menghenyakkanku di kursi sofa ruang keluarganya. Menghidu setiap udara yang bergerak di rumah itu semakin lama semakin menyesakkan, dadaku dipenuhi beban-beban tak tampak yang menyebalkan.
Begitu Ethan kembali dari dapur, menyuguhkan beberapa makanan ringan dan secangkir teh, aku memandangnya lekat-lekat, berusaha mengamati detail wajahnya yang mungkin terlewatkan, tetapi wajah Ethan tidak terasa familiar.
Aku meneguk ludah, meraih buku yang terselip di dalam pakaianku dan menunjukkannya pada Ethan. Mulanya dia mengerutkan dahi, meraih buku itu dari tanganku, dan setelah membaca tulisan di sampul buku tua itu matanya melebar. "Aku tidak tahu kau sebegitu tertarik dengan patung yang nyaris terlupakan itu. Aby, kau tahu kan aku terinspirasi dari patung itu, jadi masa lalu patung itu tidak ada urusannya dengan kita."
Sayangnya, Ethan, aku tidak berpikir demikian.
"Kau belajar sejarah bertahun-tahun, Ethan. Kau mungkin tahu sesuatu tentang ini."
Ethan menggeleng-gelengkan kepala dramatis. "Tidak banyak cerita tentang Ischyra, Aby. Kecuali fakta bahwa dia pernah dituduh terlibat dalam pembunuhan ketua distrik yang sangat menyayanginya. Asal usulnya juga tidak pernah dituliskan di manapun. Dia seperti tiba-tiba muncul di hadapan semua orang, terlibat dalam kekacauan besar di masa lalu. Monumen itu dibuat atas permintaan kedua anak dari ketua distrik. Perempuan bernama Ischyra ini dikabarkan menghilang-menurut cerita putra ketua distrik, perempuan ini dibunuh seseorang yang juga telah membunuh ketua distrik, jasadnya dibuang ke jurang nun jauh di dalam hutan persis sebelum dia dieksekusi mati karena keterlibatannya dalam pembunuhan ketua distrik. Sebagian orang tidak percaya cerita itu, banyak orang yang lebih percaya bahwa dia sengaja melarikan diri bersama pembunuh ketua distrik. Lalu, seperti kedatangannya, dia menghilang begitu saja."
Jelas Xaviere mengarang cerita kematianku. Entah bagaimana dia berpikir untuk menyebarkan berita yang demikian, mungkin untuk membuat segalanya menjadi lebih masuk akal daripada cerita tentang kembali ke masa depan.
Aku ingin tahu mengapa semua ini menjadi amat memusingkan. Takdir macam apa yang telah Tuhan rangkai dan jalin sehingga sesuatu dari masa depan telah bergerak ke masa lalu dan telah lama menjadi penyebab dari sebuah sejarah.
"Ethan, bagaimana dengan anak-anak dari ketua distrik itu?"
"Ada cerita soal putra ketua distrik, tetapi aku tidak tahu cerita itu valid atau hanya karangan seseorang. Tidak banyak yang tahu keberadaannya bertahun-tahun setelah insiden itu, seperti menghilangnya Ischyra, dia juga menghilang."
Xaviere, menghilang?
Ethan menatapku, sehingga aku melemparkan tatapan apa? padanya. Sesaat kemudian ia sampai di halaman terakhir buku tua itu, aku rasa dia hanya membolak-balik buku tua itu sekilas. Sampai di halaman terakhir aku melihat sekilas ekspresi terkejut di wajahnya. Kemudian seakan baru tersadar dari sebuah lamunan dia menutup buku tua itu dengan bunyi yang keras. "Aku harus menunjukkan sesuatu padamu, Aby."
Dia berdiri dari kursi, bergerak menuju rak-rak di sudut ruang keluarga, membongkar laci-laci, mengintip di sudut-sudut almari. Aku mengikuti langkahnya yang terburu-buru tanpa tahu apa yang sedang dicarinya. Ketika akhirnya dia berteriak, "Ini dia!" hingga aku terlonjak, barulah aku tahu dia tengah mencari sesuatu yang berhubungan dengan sejarah.
"Ayah bilang lembar silsilah ini terus diperbarui, ada beberapa lembar, tetapi ini lembar paling baru." Ethan menyerahkan secarik kertas yang dilapisi serat sintetis tahan api. Dibanding lembar-lembaran yang lain, kertas itu tampak lebih baru. "Itu silsilah keluargaku. Ini agak aneh, aku sebelumnya tidak pernah peduli dengan silsilah keluargaku, terlebih karena tahu Erik berada dalam salah satu pohon silsilah itu, moyangku bersaudara dengan moyangnya. Astaga, nama Ischyra bahkan ada di sini! Mengapa aku tidak memperhatikan ini sebelumnya?"
Aku menggaruk kepala, memijat pelipis yang semakin terasa pening. Inilah titik di mana semesta menertawakanku terbahak-bahak. Inilah titik di mana semua yang kuyakini sebagai kenyataan menjadi terbolak-balik dan bercampur aduk. Membingungkan. Aku penasaran apakah keluarga Erik juga menyimpan pohon silsilah semacam itu, tetapi aku tidak ingin tahu lebih jauh.
"Aku melihat nama Odeya Alokra di buku yang kau tunjukkan itu, aku merasa familiar dengan nama itu, berpikir keras dan teringat bahwa nama itu ada di pohon silsilahku."
Itu berarti Xaviere menghilang di suatu tempat, sehingga Odeya harus berjuang hidup sendirian—bersyukurnya karena Dariya dan Dena masih ada di sampingnya, kuharap Odeya baik-baik saja.
Aku ingat janji Xaviere kemarin, aku ingat jelas bagaimana dia berjanji. "Aku akan menyusulmu, Cyra."
Dan dia tidak pernah dicatat mati dalam sejarah. Aku tahu tidak ada hal-hal baik yang dicatat dalam sejarah, hanya ada kematian, kehilangan, perang, dan hal-hal yang penuh tragedi. Tetapi setidaknya Xaviere tidak pernah dikabarkan tewas. Entah bagaimana aku tahu dia sedang mengelana melintasi waktu, tersesat di suatu tempat.
Itu berarti aku harus berusaha menemukannya.
Ps: Silsilah keluarga Alokra.
(Aku baru nyadar kayak ada yg ilang. Itu yang ilang, Archer Lamaze, Rowane Lamaze, Odeya Alokra, Lawrence Wards, mohon maaf ga bisa maksimal bikin anunya wkwk, nanti kalo sempet aku benerin lagi ya.)
Beberapa memang sengaja tidak dipaparkan, silakan jawab sendiri. Atau mungkin nanti akan dijawab di buku selanjutnya. Untuk sedikit bocoran, di buku kedua bakal lebih banyak membahas gimana effort Aby dalam mencari mamanya yang hilang. Terima kasih sudah membaca Ischyra sampai sini.
Sampai ketemu di buku kedua!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top