T I G A P U L U H
___
"Andai aku bisa bersikap egois, Cyra,"
___
Sudah waktunya kau pulang, Cyra.
Ucapan Lotia terngiang-ngiang dalam kepala, seperti bisikan angin senja yang menghantarkan kantuk. Punggung Xaviere hangat, sehangat perapian yang membara di musim dingin. Langkahnya teratur dalam satu ritme yang tergesa-gesa, aku bersandar sembari menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam.
Selama ini aku serupa bocah yang berkelana mengitari distrik, terjatuh di lumpur, dikejar pemilik kebun karena merusak kebunnya, mencabuti rumput belulang dari celana panjangnya, dijemput pulang oleh sang kakak menjelang senja. Sudah waktunya untukku pulang. Memangnya di mana tempatku pulang selama ini? Mengapa rasanya seperti aku sudah lama pulang, dan menjalani semua ini tidak terasa seperti pulang, tetapi seperti melarikan diri dari rumah.
Xaviere menggendongku di punggungnya, menebas belukar yang menghalangi jalan, seakan-akan itu hal yang sudah biasa ia lakoni. Hutan membisu, seolah sengaja membiarkan kami mendengar detak jantung dan deru napas masing-masing. Detik-detik itu ingin kubekukan selamanya. Aku ingin tinggal bersama Xaviere selamanya.
Aku membayangkan bagaimana Xaviere sanggup meninggalkan rumah peninggalan ibunya, rumah yang menaunginya sejak kecil hingga dewasa, rumah yang sarat akan kenangan manisnya bersama keluarga yang dicintainya. Aku membayangkan bagaimana ia pulang sendirian, menghirup hening yang menyesakkan, kenangan-kenangan yang melintas di setiap bilik rumahnya, bagaimana Xaviere sanggup melakukan itu sendirian?
Meskipun Dariya menerima keberadaan Xaviere di rumahnya, aku ragu Xaviere mau. Keengganan yang dirasakan Xaviere menguar ke mana-mana setiap kali kami mendekati rumah itu, bahkan di hari upacara kematian kedua orang tuanya.
Aku tak sanggup membayangkan kemalangan yang terus mengikuti Xaviere setelah aku tiba-tiba masuk ke dalam lingkaran takdirnya dan pergi meninggalkan lubang menganga begitu saja.
"Xaviere, maukah kau ikut denganku?" Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku, bersumber dari benak tanpa diproses di otak terlebih dulu.
"Andai aku bisa bersikap egois, Cyra," jawabnya. Suara tebasan belukar diiringi langkah kakinya sudah cukup membuatku yakin bahwa pikiranku sebetulnya salah. Bahwa Xaviere pasti akan baik-baik saja. Aku hampir lupa bahwa ada Lotia yang akan menemaninya.
"Odeya, ya?" Aku tahu salah satu hal yang akan menguatkannya, membuatnya terus berjuang untuk hidup. Bagaimanapun juga, Odeya kini berada di daftar pertama prioritasnya.
"Dariya akan mengurus Odeya dengan baik, seperti yang selama ini sudah dilakukannya. Tetapi, rakyat Schuraze membutuhkan pemimpin, Cyra. Aku akan mendampingi Dariya, sampai penerus ayahku dinobatkan. Selama itu, aku tidak bisa lari dari tanggung jawabku."
"Kau tidak ingin terus bersamaku?" Dengan satu sisi wajah masih menempel di punggungnya, aku merengek. Aku tahu kedengarannya memalukan, apalagi Lotia berada dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Dia pasti mendengarkan pembicaraanku dan Xaviere.
"Cyra." Saat itu kami tiba tidak jauh dari sekerumunan orang, yang aku yakin Erik berada di antaranya. Dia menurunkanku pada detik-detik terakhir, Lotia menyerahkan tongkatku sebelum akhirnya bergabung dengan semua orang, meninggalkanku berdua dengan Xaviere. "Sementara menungguku, apa yang akan kau lakukan di sana?"
"Kau akan menyusulku?"
"Kalau aku berhasil merancang mesin waktu juga, aku yakin Lotia mau membantuku. Sementara menunggu pemilihan ketua distrik, aku akan mempersiapkan semuanya."
"Bagaimana kalau kau gagal membuatnya? Atau kutinggalkan saja portalnya di sini?"
Xaviere menggeleng. "Terlalu berisiko, Cyra. Kau tidak mau kan Schurazemu tiba-tiba hancur karena serangan dari masa lalu?"
Aku terdiam, merasa tersindir.
"Tidak sedang menyindirmu, kok," tambahnya. "Aku akan menyusulmu, itu janjiku. Nanti, saat keadaan menjadi lebih tenang."
Entah mengapa rasanya aku tidak yakin saat itu akan tiba. "Kau hanya mau menyenangkanku saja, 'kan?"
"Cyra, aku tidak mau kehilanganmu. Aku bersumpah."
"Kalau begitu, ikut aku!"
Xaviere tersenyum, menyebalkan. Saat ini aku butuh satu anggukan darinya, bukan senyum yang menyebalkan itu. Alih-alih menjawab, dia malah mengacak-acak rambutku, menghadiahkan satu kecupan singkat di dahi. Perlakuannya yang manis itu membuatku ingin menangis. Sekali lagi, aku memeluknya. Kali ini aku yang memeluknya erat, membiarkan lenganku sampai sakit karena terlalu erat memeluknya, membiarkan tangisku tumpah, membiarkan aroma tubuhnya melekat di pakaianku. Hanya untuk berjaga-jaga, jika nanti Xaviere tidak bisa menepati janjinya. Sekaligus untuk menyelamatkan diriku sendiri dari kenyataan. Aku sadar bahwa satu jam ke depan, Xaviere tidak akan pernah bisa kupeluk lagi. Xaviere akan menjadi angan, akan menjadi hantu yang mendatangi setiap mimpi, akan menjadi kenangan yang menyakitkan untuk dikenang.
"Jangan menangis," katanya, mengusap-usap puncak kepalaku, sekaligus berusaha melepaskan diri dariku perlahan-lahan.
Bahkan untuk melepaskan diri saja aku tidak sanggup, entah mengapa semuanya terasa jauh lebih berat daripada yang pernah kubayangkan. "Aku tidak mau kembali," ujarku akhirnya.
"Cyra, aku akan menyusulmu, aku berjanji."
"Aku tidak mau. Kalau pilihannya mati di pelukanmu atau meninggalkanmu untuk kembali pada kehidupan lamaku, aku lebih memilih mati di pelukanmu."
"Coba pikirkan ini saja," ujar Xaviere, sembari memaksaku agar menatapnya sejenak. "Kita berpisah sementara, terpisah dimensi waktu, atau berpisah selamanya, terpisah antara kehidupan dan kematian. Yang mana pilihan terbaik?"
"Aku tidak mau pergi."
"Kau tidak boleh egois. Aku tidak mau menanggung kesedihan yang lebih daripada ini, Cyra. Aku mohon mengertilah. Aku sungguhan ingin menyusulmu, aku bersumpah akan berusaha sekuat tenagaku untuk mewujudkannya."
"Bagaimana jika kau tersesat? Bagaimana jika kau tidak akan pernah bisa menemukanku lagi?"
"Kau akan temukan sesuatu tentangku di masamu. Kalau aku tidak bisa menemukanmu, kau yang akan menemukanku."
Andai aku bisa memutar waktu, niscaya aku tidak akan pernah memilih jalan ini. Aku akan memilih untuk tidak pernah melibatkan diri lebih jauh dengan kehidupan Xaviere. Sebab, jika aku boleh egois, aku lebih suka tidak mengenalnya sama sekali dibanding harus berusaha melupakan eksistensinya.
Aku menyerah, maka kulepaskan diri darinya, menelan pahit, bergerak tertatih di sampingnya. Semua mata mengarah pada kedatangan kami. Aku tidak pernah menyangka bahwa kepulangan akan terasa sebegitu menyedihkan.
Pertama-tama mayat Jyra beserta peti matinya diangkut, setelah mayat Jyra selesai diangkut, giliran semua orang menatapku. Sekali lagi aku merasa enggan, sekali lagi aku merasa butuh memeluk Xaviere. Maka kulakukan itu, kudekap erat, rasanya tidak pernah bosan kuulangi hal itu berkali-kali. Andai aku punya sesuatu yang lain untuk kubawa pulang yang mengingatkanku pada Xaviere. Tetapi aku hanya bisa mengingat-ingat aroma tubuhnya yang menyegarkan, aku khawatir ingatan itu akan memudar. Aku khawatir akan melupakannya.
Sedang berusaha mengikhlaskan momentum yang akan segera berlalu, seseorang menarik paksa lenganku, menghempaskanku hingga kehilangan keseimbangan dan terjatuh di antara rerumputan. Aku tidak melihat bagaimana persisnya, tetapi kemudian sesuatu yang berkilat-kilat menancap di perut Xaviere, memancarkan cairan pekat seketika. Satu detik aku terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, hingga kemudian aku melihat Erik berbalik dari hadapan Xaviere, menyambar lenganku dan memaksaku mengikutinya.
Detik berikutnya aku meronta, menjerit, dan sekejap mampu melepaskan diri dari cengkeraman Erik sehingga aku bergerak kalap menghampiri Xaviere yang kini mulai dikerumuni semua orang. Erik mengejarku, maka aku sekuat tenaga mempercepat lari, mengabaikan rasa sakit di kakiku yang tiba-tiba menjalar kembali.
Sebelum aku meraih Xaviere, Erik berhasil menangkapku. Lalu tanpa pernah kuduga sebelumnya, lenganku yang terbebas tiba-tiba menyasar rahangnya hingga dia refleks bergerak mundur dan melepaskanku. Saat itu tidak kusia-siakan kesempatan, aku bergerak menembus barikade pasukan Lotia, menyaksikan Xaviere yang kini tergeletak dengan kepala di pangkuan Lotia. Aku sudah tidak terpikir untuk merasa cemburu.
"Tidak apa-apa, Cyra," kata Xavire lirih, terbatuk pelan sebelum akhirnya meringis. "Pulanglah."
"Tidak, kalau kau mati, aku juga mati."
"Kau ini bicara apa?!" bentak Lotia tiba-tiba. "Xaviere akan baik-baik saja. Aku akan mengatasinya."
"Aku harus memastikannya sendiri kalau dia baik-baik saja," balasku keras kepala.
"Sebelum kau bisa memastikan dia baik-baik saja atau tidak, kepalamu sudah akan dipenggal di alun-alun. Kau pergilah, Cyra. Kau tidak mau usaha Xaviere untuk tetap membuatmu hidup menjadi sia-sia, bukan?"
Aku melihat Xaviere mengangguk kecil sembari tersenyum. Aku mulai bertanya-tanya sejak kapan Erik menyimpan pisau kecil itu? Mengapa tidak ada orang yang mengambil benda itu darinya?
Aku ingin bergerak lebih dekat untuk mendengarkan kata-kata Xaviere sekali lagi. Tetapi Erik berhasil membelah barikade pasukan Lotia, membawaku pergi selamanya dari masa lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top