T I G A
___
“Lalu kami saling berbagi mimpi dan berusaha memetakan mimpi-mimpi itu dalam satu visi agar kami menjadi sejalan.”
___
Pertemuan pertamaku dengan Erik tidaklah istimewa. Kami sudah hidup bertetangga sejak dulu. Maka secara harfiah, perkenalan kami telah berlangsung jauh sebelum kami mengetahui bahwa sebenarnya kami sudah saling kenal: sejak kami dalam kandungan ibu masing-masing. Namun, ingatan pertamaku tentang Erik adalah siluet dirinya yang berdiri di hadapanku, digdaya selayaknya seorang anak laki-laki terhadap anak perempuan, alis tebalnya membingkai sepasang mata cokelat gelap bersorot tajam, tetapi kali itu tidak tampak menyeramkan karena dilengkapi dengan seulas senyum tulus. Waktu itu aku sedang menangis karena terjatuh dari tangga rumahku yang menghadap langsung ke trotoar.
Kedua tangannya terulur hendak meraih tanganku, berniat membantuku berdiri. Namun, kehadirannya membuat tangisku mereda seketika. Bagaimana mungkin seorang anak berusia empat tahun memiliki gengsi sedemikian tinggi? Bukannya menerima uluran tangan itu, aku buru-buru bangkit dan kembali meniti tangga untuk bersembunyi dari tatapan Erik. Dalam kepalaku yang berusia empat tahun, terjatuh di hadapan anak lain adalah hal yang memalukan. Maka hari-hari selanjutnya aku selalu berusaha menghindari pertemuan dengan Erik. Sampai akhirnya ibuku mengetahui hal itu dan menceritakan hal-hal paling detail dan tidak penting mengenai seberapa sering Erik bermain berdua denganku selama dua tahun pertama kehadiranku di dunia.
Setahun sebelumnya, Erik dibawa ibunya menyeberangi perbatasan untuk tinggal di sana dan merawat neneknya yang sedang sakit, saat itu, hukum tentang tinta darah untuk melintasi perbatasan belum berlaku. Masa itu adalah puncaknya eksploitasi sumber daya dan pencurian bahan mentah, pemerintah masih gencar menangkap para pencuri dan belum sempat mengatur hukum-hukum kejam untuk membuat para pelaku jera. Itulah sebabnya ingatanku tentang Erik tidak begitu nyata. Lalu tiba-tiba ia muncul begitu saja di hadapanku, menyaksikan diriku jatuh berguling-guling dari pintu rumahku menuju trotoar, bagiku itulah pertemuan pertama kami.
Lalu entah bagaimana caranya hingga aku menjadi sedemikian tergantung pada Erik. Agak berlebihan jika kukatakan tiada hari tanpa Erik. Sebab pada kondisi-kondisi tertentu kami masih sering bertengkar dan tidak saling bicara. Namun posisinya sama seperti kakak yang tidak pernah kupunya sebelumnya. Dan canduku akan Erik semakin membuncah di usiaku yang ke sepuluh, di mana saat itu ibuku tersayang memutuskan untuk berpisah dengan ayah dan berpindah domisili secara permanen.
Sejak saat itu, waktu demi waktu kuhabiskan dengan mendekam di sudut paling gelap perpustakaan, mempelajari peta, meraup sebanyak-banyaknya informasi, mengabaikan ayahku yang mulai menjadi terlalu frustrasi untuk mengingat siapa dia sebetulnya, menjadi guide turis dadakan dengan imbalan informasi apa pun tentang dunia selain Schuraze yang bisa memberiku petunjuk tentang ibu. Selama proses itu berlangsung, Erik terus berusaha mendampingiku. Lalu kami saling berbagi mimpi dan berusaha memetakan mimpi-mimpi itu dalam satu visi agar kami menjadi sejalan. Sesederhana itu.
Suatu hari aku mulai penasaran dengan ruang kerja ayahku yang tertutup rapat setiap waktu. Sepanjang masa kecilku, aku muak mendengar perseteruan orangtuaku tentang ambisi ayah dan teori relativitas Einstein. Yang belakangan kuketahui sebagai teori kuno yang hingga kini belum ada publikasi resmi mengenai bukti kebenarannya. Ayah dan ibuku adalah sepasang ilmuwan yang cukup terkenal di Schuraze, salah satu alasannya ialah karena mereka merupakan satu-satunya pasangan ilmuwan yang hidup bersama hingga mempunyai seorang anak—aku—yang sama sekali tidak mewarisi minat mereka.
Sepanjang yang orang tahu, ilmuwan adalah manusia yang bercinta dengan buku, pengetahuan dan percobaan-percobaan. Tidak ada waktu bagi keluarga, tidak ada waktu bagi cinta. Aku yakin kedua orangtuaku berniat mematahkan kepercayaan itu, meskipun akhirnya gagal. Mereka hanya sanggup berpura-pura selama lima belas tahun, di mana sepuluh tahun terakhir aku terlahir. Kehadiranku pun tidak banyak membuktikan adanya cinta di antara mereka yang melebihi cinta mereka pada pengetahuan. Ibu berhenti mencintai ayah, karena menurutnya ayah sudah berubah menjadi sinting. Ibu melarikan diri entah ke mana, bertahun-tahun aku mencari tahu tentangnya dalam keterbatasanku, hingga akhirnya aku tahu ia menetap di Karnelian dan menempuh pendidikan kedokteran untuk sukses menjadi dokter bedah di sana. Ibu menua menjadi diri yang ia inginkan, ibu menua dengan luapan penuh akan cinta atas dirinya sendiri. Sukses menggali hampa di tengah-tengah rumah tangga yang ia tinggalkan. Kekosonganku, dan ayah yang tidak pernah menjadi lebih waras dari sebelumnya. Sudah sepantasnya aku membenci ibu karena dialah penyebab kehancuran ini. Namun, jika benang kusut kehancuran ini kembali diurai, maka ayahlah yang menjadi akarnya. Jika saja ayah mau menyisihkan sedikit hati dan waktunya untuk kami, ibu tidak akan lari, dan aku tidak akan tumbuh seorang diri.
Tetapi sebesar apapun kebencianku untuk mereka berdua, takada hal yang bisa diubah dan diperbaiki kembali. Sekuat apapun keinginanku untuk menyalahkan salah satu atau keduanya, tetap saja keluarga kami sudah hancur lebur. Hanya rumah tempatku tinggal yang tersisa sebagai bukti mati bahwa keluarga kami pernah ada dan tinggal di Schuraze. Lalu mengapa kemudian aku mati-matian ingin mencari tahu keberadaan ibu? Aku tak tahu. Hari demi hari aku belajar melupakan ibu, hanya saja semakin aku memaksakan diri untuk melupakan ibu, semakin kuat pula kehendak hatiku untuk merasakan kembali kehadirannya. Rindu yang kupunya kian melampaui nalar, dan entah sejak kapan, ibu menjadi obsesi di duniaku.
Kemudian aku sadar, aku hanyalah bocah yang hidup seorang diri, tidak memperoleh hak apapun untuk melintasi batas distrik dan bertemu ibu. Aku hampir menyerah dengan mimpi tanpa dasar itu, hingga kemudian Erik sekonyong-konyong menyatakan apa mimpi terbesarnya padaku, di suatu hari di bawah terpaan badai.
“Aku ingin berlayar di tengah samudera, mengelilingi dunia.” Kala itu wajah Erik bersinar-sinar karena bara api di ruang kerja ayahnya menyala, menghangatkan ruangan dan tubuh kami yang sebelumnya terjebak di tengah badai. Ayahnya serta merta merangkul kami dengan tangan kasarnya yang kapalan menghalau badai menyentuh kami, membawa kami ke ruang peleburan besi. Rowane Lamaze, ayah Erik merupakan seorang pandai besi yang terkenal karena kehandalannya dalam menempa besi dan seorang pemabuk berat. Saat menghangatkan kami di ruang kerjanya, ia dalam keadaan tidak mabuk. Keluarga Erik cukup berantakan saat ayahnya mabuk, tapi Evelyn Lamaze yang merupakan seorang dokter kebanggaan distrik memiliki kesabaran ekstra untuk mempertahankan rumah tangganya. Evelyn tidak pernah menyerah dengan keadaan itu seperti ibuku.
“Jangan ngawur,” sahut ayahnya saat itu. Sementara Erik dan aku hanya bertukar senyuman penuh rahasia.
Perpustakaan sepuluh kali lipat menjadi lebih menarik daripada sebelumnya. Aku—kini bersama Erik, semakin gencar mempelajari peta-peta geografi, kali ini ditambah dengan buku-buku tentang samudera dan benua di masa lampau untuk mempelajari daerah-daerah terisolasi. Kami pun lebih sering menghabiskan waktu di dermaga hanya untuk mengamati para pelaut membongkar-bongkar muatan mereka, atau mengintip daerah perbatasan dari sabana dan berpura-pura merumput agar tidak dicurigai para penjaga perbatasan.
Lambat laun, ambisi kami bukan hanya sekadar mempelajari dunia luar melalui buku, kami semakin nekat dan semakin buta, aku lupa, Erik pun lupa, bahwa kami hanyalah rakyat jelata yang disuratkan untuk menghuni Schuraze seumur hidup. Di usiaku yang ketiga belas, kami nekat memanjat tembok perbatasan dari sisi yang jauh dari jalan raya, setelah melintasi sabana hingga tengah hari. Dengan tubuh berbasah peluh dan tanpa alat pelindung. Baru separuh memanjat, Erik dan aku malah tanpa sengaja menginjak besi yang dialiri listrik. Kami gagal dan sedikit tersengat listrik, untung saja tidak sampai mati.
Kami biarkan hal itu menjadi rahasia selamanya. Meski setelahnya kami tidak pernah secara terang-terangan membahas keinginan melintasi perbatasan, tapi tetap saja kami berusaha mencari jalan keluar diam-diam. Erik mulai bergabung di teater distrik dengan tujuan mendapatkan kesempatan keluar dari perbatasan untuk melakukan pertunjukan teater, dan aku mulai tertarik menyelidiki penelitian-penelitian ayahku tentang teleportasi dan perjalanan waktu.
Dalam waktu singkat, Erik berhasil menjadi bintang utama teater. Namun, bukannya diundang untuk mengadakan pertunjukan di distrik lain, justru orang-orang dari luar yang semakin gencar mendatangi Schuraze untuk menonton pertujukan Erik. Dan aku, setelah menghabiskan waktu di perpustakaan milik ayah, mengumpulkan teori-teori yang relevan, akhirnya memutuskan untuk mencoba membuat mesin waktu versiku sendiri. Catatan ayah tentang percobaan-percobaannya juga cukup membantu, meski semua hasilnya memiliki cacat, seperti meledak dalam sekali pakai, tidak mampu mengembalikan objek ke lingkaran waktu yang semula, atau hanya bisa menuju ke satu urutan waktu masa lalu atau hanya masa depan saja. Teleportasi sendiri tidak cukup efektif karena jika petugas mengetahui kita ada di distrik tetangga tanpa surat, hukumannya akan jauh lebih berat.
Entah berapa lama aku dan Erik sibuk sendiri-sendiri. Sesekali Erik mengunjungi rumahku untuk melihat kemajuan percobaan yang kulakukan, kemudian di lain waktu aku menonton pertunjukan Erik, tetapi kami sudah jarang menghabiskan waktu bersama. Hingga tanpa kusadari, Jyra berhasil mengisi celah kosong di antara kami.
Entah bagaimana, entah berapa lama Erik memikirkan segalanya hingga sampai di tahap yang tidak kuinginkan: mengakhiri semua hubungan baik yang selama ini sudah kami bangun bersama-sama. Erik punya orang lain selain diriku, maksudku, ayah ibunya, Letty—adik kandungnya, teman-temannya di teater, dan Jyra. Tetapi aku hanya punya dia. Ayahku dipaksa oleh dewan pemerintahan distrik untuk tinggal di panti orangtua karena kondisinya mulai mengkhawatirkan sementara aku belum cukup umur untuk bisa bertanggungjawab atasnya. Aku tidak mengenal siapapun dengan baik seperti aku mengenal Erik. Itulah sebabnya, perkataannya petang tadi meluluhlantakkan duniaku. Dia adalah duniaku, dan kini, ia sepenuhnya menghilang.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top