S E P U L U H
___
Seperti apa rasanya menjadi normal tanpa dihantui ambisi-ambisi bodoh yang terlahir dari pikiran sendiri?
___
Terkadang, aku penasaran bagaimana manusia biasa mampu menyembuhkan seseorang dari kegilaannya, atau dari kebodohannya, atau dari setiap rasa sakit tak terperi yang acapkali mendera. Seperti Evelyn yang sepertinya mampu menyembuhkan apapun keluhanmu hanya dengan datang kepadanya sembari menatap matanya dan membiarkan tangan halusnya menyentuhmu. Seperti apa rasanya menjadi normal tanpa dihantui ambisi-ambisi bodoh yang terlahir dari pikiran sendiri? Seperti apa rasanya membantu orang lain agar menjadi normal kembali? Seperti apa rasanya bisa mengatasi setiap keterkejutan yang dimiliki orang lain dan bukannya malah tersandung dengan kejutan yang dibuat sendiri. Seperti sekarang, aku menghadapi kejutan-kejutan lain dalam kurun waktu beberapa hari sekaligus, dan lihat bagaimana tubuhku bereaksi terhadapnya.
“Hei, Xaviere, gadis ini sudah bangun!” Aku mendongak dan mendapati perempuan dengan pakaian sederhana, sedang melihat ke arahku seperti baru saja menyaksikan seorang alien terbangun dan siap menyerbu dengan seribu pertanyaan terkait angkasa luar. Secara teknis, aku memang makhluk asing yang tiba-tiba tersesat di belantara, pingsan, lalu terbangun dan mendengar teriakannya alih-alih terbangun di alam baka dan mendengar penghakimanku di hadapan Tuhan yang disaksikan oleh malaikat-malaikatnya.
Benar juga, bukankah tadi aku sudah dijemput malaikat maut? Tapi jika memang aku sudah mati, mengapa aku masih merasakan sakit di sekujur tubuh? Mengapa pula aku merasa jauh lebih gila daripada yang terakhir kali kuingat?
Perempuan itu tidak berbicara sepatah kata pun, hanya memandangiku dengan aneh sepanjang waktu. Kemudian beranjak dari kursinya sewaktu seorang laki-laki mendatangi kami, ia membawa sebuah baki di tangannya, berjalan dengan langkah yang terkesan tegas tanpa suara. Aku menyaksikan wanita itu berpapasan dan mungkin sembari mengatakan sesuatu pada lelaki itu—karena aku melihat si laki-laki mengangguk samar, sebelum sepenuhnya memandang ke arahku.
Begitu ia berada di hadapanku, aku menyadari bahwa ia benar-benar menjulang tinggi dengan pakaian dari serat kasar, juga rompi berwarna cokelat kayu. Aku hampir saja ingat bahwa aku mengenalinya dari rompi itu entah di waktu kapan, ketika ia tiba-tiba berkata, “Ini makan malammu.”
Makan malam katanya?
“Bukankah ini terlalu larut untuk makan malam?”
“Sekarang baru pukul delapan malam. Maaf, aku memakan bekalmu dalam perjalanan kemarin,” katanya. Lalu merogoh-rogoh sesuatu dari saku celananya yang belakangan kuketahui sebagai kantong bekalku.
Sekarang aku ingat. “Kau malaikat maut yang ingin mencabut nyawaku malam ini, bukan?”
“Malaikat maut?” Alis-alis yang membingkai sepasang mata cokelat terang itu menatapku bingung sejenak. Sampai di detik selanjutnya, aku mendengar ia tertawa. Sungguh, renyah sekali kedengarannya tawa itu. “Jelas sekali aku bukan malaikat maut. Aku Xaviere,” katanya.
“Xaviere?” Sulit bagiku untuk menilai bagaimana kepribadian Xaviere karena ia tidak banyak memasang ekspresi. Aku ingin percaya bahwa sebetulnya ia datang menolongku di saat yang tepat, tetapi aku tak bisa mengenyahkan kemungkinan bahwa ia bisa saja seorang penjahat yang berniat memanfaatkan ketidakberdayaanku.
“Yah, aku sedang berburu sewaktu melihatmu terkapar di tengah hutan. Aku tidak tahu kau siapa, tapi mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian. Jadi, aku membawamu ke rumahku untuk diobati,” jelasnya tanpa kuminta. Aku curiga dia bisa membaca pikiran hanya dengan melirik ke mataku sekejap.
“Oh, oke. Sepertinya aku harus pulang,” ujarku sembari berusaha bangkit dari kasur sederhana itu, menyadari bahwa hampir sekujur tubuhku telah ditempeli sesuatu yang kuduga sebagai daun yang ditumbuk hingga halus. Lalu, selanjutnya aku menyesal telah mengatakan kalimat itu.
“Itu dia. Dari mana asalmu? Mengapa sepertinya kau sangat asing? Kau sudah berada di sini sejak dua malam yang lalu, tetapi tidak seorang pun yang mencarimu.” Oh ya, Xaviere. Aku bahkan tidak tahu ada di mana aku sekarang.
“Aku,” ujarku serak, menutupi separuh adrenalin yang bergejolak sehingga hampir membuat bicaraku gagap. Seharusnya aku bersikap pura-pura linglung sejak awal, tapi mungkinkah belum terlambat bagiku untuk berpura-pura? “Begini, Xaviere. Sejujurnya, aku tidak ingat dari mana aku berasal.”
Aku tidak bisa mengakui hal-hal terkait latar belakangku yang sebenarnya kepada Xaviere. Karena pertama-tama, aku harus tahu dulu apa nama tempat ini, sejauh apa aku mencurangi waktu, apakah aku mendahuluinya, atau apakah aku telah melesat jauh ke belakang.
“Aku tidak tahu kalau terlalu banyak menabrak pohon dan terlilit sulur liar bisa membuat seseorang amnesia.” Perempuan yang sekejap tadi menghilang di balik pintu telah kembali dengan baki berisi gelas-gelas aneh yang perkiraanku terbuat dari tanah liat, sembari membalas ucapanku dengan sarkastis. Sepertinya, aku melakukan kesalahan fatal dengan berbohong. Tetapi mengatakan yang sebenarnya juga tidak akan memberi banyak perbedaan. Aku tidak tahu bagaimana reaksi dua orang ini tentang keberadaanku yang diakibatkan oleh mesin waktu. Dan aku tidak mengerti bagaimana situasinya sehingga aku tak bisa memutuskan tindakan.
“Siapa namamu?” Semula, aku meremehkan keberadaan wanita itu karena penampilannya yang sungguh sederhana dan keibuan. Hampir-hampir seperti perempuan paruh baya yang buta aksara, tampak polos dan menyimpan seribu pengertian di balik paras halusnya, sehingga bisa dengan mudah kukelabui. Tetapi setelah mendengarnya berbicara, aku tahu, sedikit saja salah menjawab pertanyaannya, aku akan dieksekusi mati.
Aku mengingat-ingat sesuatu yang indah tentang nama, atau sesuatu yang tersimpan di dalam tas yang bisa kujadikan rujukan. Seharusnya aku membuat dokumen tiruan terkait identitas, seharusnya aku mempersiapkan segalanya dengan lebih matang. Tetapi aku malah bersikap gegabah seperti biasanya. “Sungguh, aku lupa. Aku akan berusaha mengingatnya.”
Perempuan itu memicingkan mata, dahi-dahinya berkerut kritis. Diam-diam aku meneguk ludah. Lalu perempuan itu berdehem, melirik Xaviere sekilas sebelum kembali bertanya padaku. “Berapa usiamu?”
“Bu,” potong lelaki bernama Xaviere itu. “Jangan sekarang.”
Perempuan itu menuruti permintaan putranya, tetapi matanya masih menyelidikku dengan tajam. Baki di tangannya tertahan dengan stabil, sementara cawan-cawannya mengeluarkan kepulan uap panas yang beraroma pahit, asam, dan menyegarkan sekaligus. “Nah,” katanya. Kali ini raut wajahnya yang kaku agak mencair. Seulas senyum tipis yang mempertegas kerutan-kerutan di wajahnya mengembang, sepintas lalu aku merasa sedang menatap langsung wajah Evelyn. “Kau harus meminum semua ramuannya dengan cepat selagi hangat. Atau rasanya akan tertinggal lama di lidahmu dan itu akan sangat mengganggu. Kau harus lekas pulih.” Ekspresi keras di wajahnya sirna, berganti dengan wajah seorang ibu yang sebenarnya. Aku curiga perempuan itu punya kepribadian ganda.
Aku tidak berlama-lama membiarkannya menunggu. Kutandaskan semua cairan di gelas-gelas itu tanpa membiarkan rasanya menempel di lidah sedikitpun. Ada kegembiraan aneh yang memancar di wajah perempuan itu sementara ia berdiri dan membawa pergi baki meninggalkan ruangan.
“Dia ibuku, Renee Alokra. Dia memang agak ketus dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi jangan khawatir, dia tidak keberatan kau tinggal di sini bersama kami.”
Aku melongo. Yah, aku sudah tahu dia ibumu. “Terima kasih. Aku berjanji tidak akan berlama-lama di sini, aku juga tidak akan merepotkan kalian.”
“Kau benar-benar tidak ingat namamu?” Rupanya lelaki itu juga tidak bisa menahan diri dari mewawancaraiku.
Ingat, kok. “Tidak, barangkali aku bisa mengingat namaku, nanti.”
“Aku bukannya tidak percaya padamu, tetapi seorang perempuan berada di tengah hutan pada waktu-waktu tidak lazim seperti tengah malam, sama sekali tidak terdengar seperti perempuan Schuraze.”
Mendengar itu dari Xaviere, mendadak aku merasa tercerahkan. Aku memandangi lelaki itu dari atas kepala hingga ujung kaki. Sebagian dari diriku terhina karena ia bilang aku tidak seperti perempuan Schuraze, rasanya aku ingin membeberkan segala kebenaran padanya. Tetapi sebagian yang lain bimbang, apakah aku bisa memercayai laki-laki itu, atau ia malah akan membawaku kembali ke hutan dan membuangku di sana. Namun, di atas segalanya, paling tidak aku sudah mengetahui bahwa tempat ini tetap bernama Schuraze.
Masalahnya, bagaimana aku bisa tahu sekarang tahun berapa dan seberapa jauh distrik sudah berkembang? Aku tidak mungkin menanyakan itu secara terang-terangan kepada Xaviere. Kemudian, mendadak aku merasa ada bohlam yang menyala di dalam kepala.
“Xaviere, apa kau mau membantuku mengingat namaku?”
Lelaki itu tampak tertarik, matanya yang berwarna cokelat terang entah mengapa menjadi amat mengintimidasi. Aku membuang muka, takut kalau-kalau ia akan menangkap kebohonganku. “Tentu saja. Aku akan membantu sebisaku.”
“Kalau begitu,” ujarku ragu, tidak yakin apakah tempat yang ingin kudatangi sudah tepat atau tidak. “Tolong antar aku ke perpustakaan besok pagi.”
Sungguh, aku berharap penuh bahwa aku tidak akan melakukan kesalahan dengan meminta Xaviere mengantarku ke sana. Semoga tempat itu memang sudah ada atau masih ada. Dan semoga perpustakaan merupakan hal yang lazim bagi Xaviere. Aku harus sebisa mungkin meminimalisir kesan alien-ku.
Satu jawaban singkatnya meruntuhkan ketegangan yang menghantui sejak kesadaranku kembali. “Tentu saja.”
Aku tidak ingin menunggu terlalu lama. Renee sebetulnya melarangku meninggalkan kamar sampai beberapa hari lagi. Tetapi aku tetap berkeras dan berhasil meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja. Di luar dugaan, Renee bisa bersikap ketus dan perhatian sekaligus. Tetapi aku tetap berterima kasih atas semua bantuannya. Pagi itu Xaviere tidak terburu-buru menunjukkan jalan menuju ke perpustakaan, dan aku tidak keberatan. Karena selama berjalan memutar dalam beberapa rangkaian jalan yang saling berhubungan satu sama lain, aku merasakan bahwa Schuraze yang ini jauh lebih hijau daripada Schuraze-ku.
Beberapa gubuk kecil tampak berdiri kokoh dalam jarak yang berjauhan. Aku yakin penduduknya juga tidak sebanyak penduduk Schuraze-ku. Aku tidak tahu apakah ini awal peradaban, atau justru jumlah penduduk menyusut drastis karena di ujung peradaban? Aku akan segera tahu begitu sampai di perpustakaan.
“Xaviere, berapa jumlah penduduk di sini?” Setelah beberapa lama kami berjalan bersisian sembari membuang pandangan satu sama lain sementara yang lain menendang-nendang kerikil atau berpura-pura sibuk mengagumi langit, aku memutuskan untuk bertanya.
“Aku tidak tahu pasti berapa jumlah penduduk di sini. Mungkin kau akan mengetahuinya setelah ke perpustakaan atau menemui salah satu dewan,” jawab Xaviere cepat. Mungkin sebelumnya ia sudah menyiapkan jawaban itu kalau-kalau aku bertanya.
“Pasti sangat sedikit,” ujarku, tidak kepada siapa-siapa.
“Pasti.” Xaviere berhenti sebentar untuk memperbaiki tali sepatunya. “Yah, tidak banyak manusia yang berhasil selamat dari bencana, bukan?” lanjutnya.
Aku berhenti berbicara dan berpikir bahwa seharusnya aku berpura-pura amnesia sejak awal. Maksudku, benar-benar amnesia dan lupa segala sesuatunya. Xaviere memandangku dengan raut wajah aneh. Bagaimana bisa aku mempertanyakan jumlah penduduk dan menganggap ini seperti perjalanan wisata antar distrik biasa? Tetapi setidaknya aku tahu, pasti sekarang tidak terlalu lama setelah bencana terjadi. Bencana besar yang menghilangkan hampir seluruh daratan dan peradaban di dunia.
“Aku melupakan banyak hal, ingat?” Akhirnya aku berhasil memberikan alasan yang agak masuk akal.
“Ya, karena itulah kita harus pergi ke perpustakaan.”
“Apa kau hanya tinggal dengan Renee?” Aku tahu sebaiknya aku tidak banyak berbicara agar tidak terjebak dalam perkataanku sendiri. Tetapi aku tak ingin mendapatkan kejutan lain, misalkan suatu saat ada seorang perempuan lain yang akan tidur di ranjangku—yang mungkin adalah saudara Xaviere.
“Ya, hanya bersama Ibuku.”
Aku ingin bertanya lebih banyak tentang kehidupannya, tetapi lebih baik menahan diri sekarang. Aku yakin akan ada banyak waktu bagiku untuk mengenalnya dengan baik. Sekarang, aku hanya perlu tahu sejauh apa aku melompati waktu. Lalu ketika melewati pusat desa, di mana semua orang memadati area untuk sekadar menikmati hari, bertemu seseorang sebelum bekerja, aku menyadari ada satu kekosongan di sana. Aku ingat ada sesuatu yang seharusnya menjadi pusat dari pusat Schuraze. Aku mengingatnya dengan jelas, bagaimana bentuknya, bagaimana ukirannya. Lalu tiba-tiba aku menarik lengan Xaviere agar ia berhenti.
“Aku ingat,” ucapku sembari menatap sesuatu yang semestinya ada di sana, sesuatu yang tidak dimiliki oleh tempat ini sehingga aku yakin ini memang bukan rumahku. Aku sudah memutuskan namaku. “Namaku, Xaviere. Aku ingat namaku.”
Meski Xaviere tidak mengatakan apa-apa, tetapi matanya seolah mendesakku, ingin tahu. Aku menunggunya mengucapkan sesuatu, tetapi ia tetap berdiri diam menungguku berbicara.
“Kau tidak akan bertanya?” ujarku akhirnya.
“Aku tidak akan mengganggumu, kau pasti berusaha keras untuk mengingat namamu. Jadi, siapa namamu?”
“Ischyra.”[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top