S E M B I L A N B E L A S

___

"Kau boleh menangis, jika mau. Berhentilah menahan diri. Menahan diri itu memuakkan."
___

Oriana menyambut di muka pagar rumah sakit. Algojo-algojonya tidak lagi tampak di mana-mana. Nenek buyutku tampak cantik dalam jubahnya, mata birunya kali ini sekelam samudera, bara yang kulihat sewaktu ia membawa-bawa cemeti sudah sepenuhnya padam. Rambutnya yang kelabu tergelung ketat tanpa menyisakan sedikitpun helai. Cekung di pipinya adalah satu-satunya hal yang menandakan betapa rapuh usianya.

“Ischyra.” Suaranya serak dan dalam, sementara aku tersetrum dalam sentuhannya, dia menyusuri wajahku dengan jari-jemarinya yang lentik. “Aku merasa sangat mengenalmu, tetapi sepertinya aku salah.”

“Kau hanya merasa bersalah telah melukainya.” Xaviere memotong ucapannya dengan nada angkuh. Bekas luka tidak menghilangkan karismanya, dia seperti singa yang telah pulih dari perang besar.

Aku belum menceritakan apapun pada Xaviere tentang keluarga Acasha, itu karena aku tidak tahu harus mulai membongkar kebohonganku dari mana. Karena itulah dia sepertinya sangsi bahwa yang dikatakan Oriana adalah kesungguhan alih-alih perasaan bersalah.

Oriana memandangi kami silih berganti, ekspresinya sukar ditebak. Tetapi aku paham betul betapa ia sekuat tenaga menahan diri untuk meminta maaf pada dua bocah ingusan di hadapannya. Sebagai ganti dari kalimat yang sulit terucap, ia memaksa kami pulang ke Schuraze dengan menumpang kendaraan pribadinya sembari mengutus seseorang untuk menjemput suaminya—James.

Maka begitu fajar merekah, kami meninggalkan Batlore dalam senyap yang menyejukkan. Xaviere dan aku memalingkan muka ke arah jendela kami masing-masing, melongok keluar dan menikmati keindahan Batlore yang sempat terlewatkan. Matahari masih redup untuk menggambarkan Batlore yang sebenarnya, tetapi bias keemasan yang menelusup melalui celah-celah bangunan membentuk mozaik alamiah yang memanjakan mata. Samar-samar pikiranku tentang Batlore mengelana menembus lingkaran waktu. Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang tidak akan pernah kudapatkan jawabannya meluncur bebas dari benak. Seperti apakah aku terlahir di Batlore, atau apakah ayah dan ibuku sempat tinggal di Batlore, atau apakah kami memang tidak pernah menginjakkan kaki di tanah nenek moyang kami sendiri. Lagipula, aku belum pernah mendengar Batlore—kemungkinan lain adalah distrik-distrik ini bisa saja berganti nama seiring dengan perubahan waktu. Apakah hanya Schuraze saja yang tidak pernah berubah?

“Cyra,” panggil Xaviere kemudian. Saat itu sinar matahari mulai menghangat, gedung-gedung pencakar langit sedikit demi sedikit mulai menyusut menjadi rumah-rumah sederhana, kedai-kedai kecil yang buka dua puluh empat jam di perbatasan distrik, hingga tanah kosong yang menghampar ribuan kilometer. Aku mengalihkan pandang dari jendela kecil di samping muka menuju wajah Xaviere. Lebam-lebamnya mulai memudar, tetapi bekas luka akan terus bertahan sepanjang hidupnya.

“Tidakkah kau ingin lari saja dan pulang ke asalmu?” tanyanya kemudian. Wajahnya pias, seakan terlalu lama duduk membuat area wajahnya kehilangan darah. Aku tahu ketakutan-ketakutan yang tersembunyi di baliknya. Dia bukanlah pemuda yang ekspresif. Acapkali dia bersembunyi dalam bayangannya sendiri sampai suasana hatinya stabil, atau diam-diam terjaga dan membatin kepada cuaca, aku tidak pernah tahu. Tidak ada yang pernah tahu kebenarannya.

“Melarikan diri setelah semua kekacauan ini? Sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.” Lagi-lagi aku kacau dan tenggelam dalam benakku sendiri. Setelah semua kebaikan dan pengorbanan keluargamu, setelah semua ini, Xaviere? Aku bahkan akan melawan siapa saja yang telah membunuh Argus Alokra.

“Tapi kau sudah tidak punya kesempatan untuk menikmati alam dan mengelilingi dunia karena semua ini.”

“Jangan berpikir sepicik itu tentangku,” balasku ketus. Tidak bermaksud demikian, tapi aku tidak pernah memungkiri bahwa anggapannya terhadapku memang sangat meremehkan.

“Jangan salah paham. Aku hanya tidak mau kau melibatkan diri lebih jauh.”

Kemudian hening.

Aku tidak tahu jawaban macam apa yang bisa kukatakan untuk bisa mencairkan suasana. Segalanya terasa membeku sekarang, tak peduli sinar jingga perlahan berubah menjadi kuning dan hangat.

Barangkali kami memang butuh waktu untuk memahami diri satu sama lain. Aku berpikir demikian sampai Xaviere tiba-tiba berkata, "Luka-luka itu akan tetap di tubuhmu meski kau melintasi waktu, Cyra. Aku tak ingin kau tetap tinggal di sini dan mati konyol."

Aku ingin memahami semua ini dengan baik, menghadapinya tanpa pernah melarikan diri. Karena terakhir kali aku melarikan diri, penyesalan terlahir dan mendominasi kehidupanku. Tidak akan ada pengulangan untuk satu kebodohan yang sama.

Aku menahan diri sekuat tenaga agar ucapanku tidak membuatnya tersinggung atau terluka. Bukan wewenangku untuk memberinya pemahaman. Entah mengapa aku hanya ingin tahu apa yang sedang terjadi di Schuraze.

"Entahlah, Xaviere. Jika kembali ke Schuraze-mu bisa kusebut pulang, aku akan dengan senang hati menetap selamanya."

Dua kali terlelap, terjaga pada waktu matahari bersinar terik untuk menjejalkan makan siang ke mulutku secara paksa, dan sewaktu bulan sabit menyipit di ujung cakrawala.

Sejak awal aku memang tidak banyak berbicara dengan Xaviere. Entah bagaimana menyadari dia ada di sampingku saja sudah lebih dari cukup untuk memastikan kami tetap baik-baik saja.

Kali ini hutan distrik mulai tampak, pepohonan berjejer membentuk tameng bumi nun jauh di sana, tampak seperti sekumpulan penyihir tua berjubah malam yang sedang bersembunyi, siap menerkam dalam kegelapan.

Xaviere bersandar di atas kepalaku, satu tangan memegang jeruji jendela, satunya lagi menjagaku dari kejatuhan.

Aku bertanya-tanya apakah waktu memang berjalan lambat selama kedatangannya amat ditunggu-tunggu? Khayalku menayangkan aroma dupa-dupa yang dibakar untuk merayakan kematian, padahal tugu yang menandai ketibaan kami di Schuraze belum tampak.

Aku bertanya-tanya tentang perasaan Xaviere sekarang. Tidak sabar memeluk erat Odeya dan belajar kebijaksanaan dari kepolosannya. Atau mendengarkan omelan Renee yang penuh kerinduan, menangisi kepergian Argus, yang mana saja.

Langkah tegas Argus menggema dalam kepalaku seiring roda-roda rapuh mendecit melintasi jalanan distrik. Debu-debu menelusup dari jendela, mencuri dengar dan bercumbu dengan debu-debu halus dari Batlore. Betapa asmara beda kasta itu benar-benar kentara bahkan dalam bayanganku. Wajah Argus dan rambutnya yang kelabu menggentayang acapkali aku menutup mata.

Aku bertanya-tanya apa yang membuat sosok tangguhnya ambruk dan takluk oleh maut? Akankah kutemui lubang di tengah-tengah dahinya yang berkerut, atau akankah kutemukan irisan jantung di balik saku jasnya? Bagaimana--bagaimana pemimpin setangguh dia mati terbunuh bahkan hanya dalam waktu singkat?

Apakah kekuatannya memang terletak pada keberadaan Xaviere?

Jalanan masih kosong seolah-olah seluruh makhluk tengah bersembunyi dari wabah.

Biasanya aku suka dengan keheningan, tetapi entah mengapa yang ini terasa menakutkan.

Rengkuhan lengan Xaviere di bahuku semakin erat, aku masih belum berlari dari sandarannya. Mungkin dia berpikir aku masih terlelap sewaktu airmatanya berjatuhan ke pipiku.

Aku belum berani bergerak. Aku hanya menunggu dalam gelap. Jika mataku terbuka lebar pun dia tak akan tahu. Aku hanya menunggu, barangkali sesuatu yang menghantam dadanya akan terkuak jika dia merasa sendirian.

Tetapi kemudian hanya isakan tertahan sesaat, sebelum nada kembali pada nol.

"Cyra," panggilnya. Sekali lagi, dia selalu memanggilku dalam nada yang sama. Entah mengapa aku merasa dia sudah memanggilku berkali-kali selama kutinggalkan tidur.

"Ya?" Kuputuskan untuk berhenti pura-pura masih tidur. Aku menangkap kejut singkat sewaktu suaraku mengudara.

Diam berdeham kemudian, barangkali khawatir aku dapat menangkap suara seraknya. Tetapi aku sudah merasakannya menangis. "Kita sudah sampai," katanya, dalam nada ringan. Jauh lebih ringan daripada sebelumnya.

Saat itu juga aku berharap bahwa aku bukanlah perempuan asing yang tiba-tiba muncul di kehidupannya. Tiba-tiba saja aku ingin mengenalnya jauh lebih lama dan ingin tahu semua tentangnya. Betapa aku ingin membacanya seperti buku terbuka. Betapa aku haus pada pengetahuan tentang kepribadiannya.

Aku menyadari bahwa begitu banyak yang mampu ia sembunyikan dariku bahkan setelah berbulan-bulan menghadapi segalanya berdua saja.

Tiba-tiba saja aku ingin memahami Xaviere lebih dari apapun juga. Terlebih setelah kematian Argus, lengkaplah sudah kehancuran semu rumah tangga keluarganya.

Pendar-pendar lampu jalanan mulai menelusup di antara jendela. Bulan sabit tertutup awan sehingga keberadaannya menjadi sama sekali tidak membantu. Kami mulai memasuki area distrik.

Tetapi perbedaannya tampak jelas. Jika dulu semua jendela masih terbuka sebelum jam tidur, anak-anak berlarian, penduduk berkumpul di bar atau menggosip di bangku-bangku panjang halaman tetangga, kini semua jendela tertutup rapat. Sunyi. Manusia menutup rapat keberadaannya dari entah apa.

Barangkali itulah cara penduduk Schuraze berkabung di masa lalu.

Aku meraih tangan Xaviere dan mengapitnya di antara dua tanganku. "Kau boleh menangis, jika mau. Berhentilah menahan diri. Menahan diri itu memuakkan."

"Aku baik-baik saja, Cyra. Sekarang kita harus ke rumah dulu." Kedua tanganku terlepas darinya, ia mengetuk kaca penghubung kursi penumpang dengan kursi depan dan mengisyaratkan untuk minta berhenti.

Aku tidak memerhatikan debat kecilnya dengan pengemudi karena yang kulihat hanyalah tengkuknya. Pikiranku kosong tiba-tiba. Terlalu banyak ketidaktahuan yang membuatku jadi tampak bodoh.

Aku tidak tahu apa-apa tentang Xaviere atau perasaannya. Dan baru saja aku dengan lancang memutuskan sendiri apa yang mungkin dia rasakan. Barangkali sekejap yang lalu ia hanya berkeringat. Barangkali dia memang sekuat apa yang ditampakkannya.

Lalu kami turun, meniti jalanan lengang, tertinggal di belakang dari kendaraan khas Batlore yang sebelumnya membawa kami. Berjalan menuju arah lain selain gedung pemerintahan: Rumah Xaviere.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top