S E M B I L A N

___

"Kau yakin bisa mengatasi semua itu sendirian? Bukankah terlalu berbahaya menjalani ketidakpastian itu sendirian?"
___

Sisa-sisa kepercayaan yang kubawa dari rumah menuju kediaman Erik hari itu telah sepenuhnya tertinggal di belakang punggung. Aku meninggalkan ruangan itu tanpa pernah menoleh kembali, seakan-akan setiap langkah yang kuambil telah memusnahkan setiap bayangan yang tertinggal di belakangku. Seakan sosok Erik dan segala bentuk kehidupannya terurai menjadi debu. Melupakannya adalah sebuah keniscayaan. Sekali pun aku tidak akan pernah menuntut kepulangan darinya. Dan karenanya, aku benar-benar harus melarikan diri dari kenyataan.

Marah telah mengenyahkan rasa lapar yang mendera sejak semalam, sampai kemarahan itu mulai reda dan berganti pada kebencian. Emosiku mereda, yang tergambar di balik benak hanyalah baik, waktunya untuk kembali meneruskan hidup dan menghapuskannya dari gambaran masa depan. Saat sebuah kerelaan mendamaikanku pelan-pelan, rasa lapar tak tertahankan itu kembali menyerang.

Sebetulnya aku sudah cukup terbiasa dengan rasa lapar itu. Namun, kali ini aku harus mengasihani diri sendiri dan harus lebih memanjakannya sebelum kembali memeras tenaga. Maka siang itu aku berjalan menyusuri distrik untuk mendatangi satu-satunya toko makanan paling enak yang ada di dekat persimpangan jalan. Aku hampir tidak pernah berbelanja, bukan karena berkecukupan, justru karena aku lebih sering tidak punya uang dan selalu mendapat kiriman makanan dari Evelyn.

Oleh karenanya, sewaktu melewati pintu ganda toko yang tengah dipadati hampir separuh populasi desa, berpasang-pasang mata mengamati setiap langkah yang kuambil, seakan-akan mereka tengah menyaksikan alien melenggang memasuki daerah kekuasaan mereka.

“Aby!” Ethan-lah yang kemudian menyelamatkanku, pemuda itu tersenyum ramah padaku, meletakkan baki berisi roti-roti yang baru diangkatnya dari pemanggang ke dalam piring-piring di balik etalase kaca transparan. Ia melepas apron dan sarung tangannya sementara aku mendekat ke arahnya.

“Mau mencicipi resep baruku?” Ia mengambil kursi dari pojok paling dekat dengan jangkauannya dan meletakkannya di depanku, “Kau harus mencobanya.”

Aku tidak ingat sejak kapan aku menjadi cukup akrab dengannya. Ia hanya terpaut usia dua tahun dariku, dibanding berbicara akrab di dalam toko milik ayahnya seperti sekarang, aku lebih suka menemuinya di hutan, saat kami akrab dengan tombak dan panah. Oh, jangan salah paham. Kami hanya berbagi kesenangan, bukan berbagi rahasia atau hal-hal krusial lainnya. Dia baik, tetapi hanya sebatas itu.

“Sebenarnya aku memang mau membeli beberapa roti dan meminta sedikit susu, jika boleh.”

“Tentu saja boleh,” balasnya dengan senyum lebar. Ramah adalah nama tengahnya, tetapi hanya itu yang kuketahui tentangnya. Dia belum menyentuh kursinya sejak kedatanganku. Setelah kuutarakan maksudku padanya, ia bergerak menuju etalase dan mengambil beberapa roti secara acak dan memasukkannya ke dalam kantong kertas yang cukup besar. Melihat itu, aku berdiri.

“Ethan, aku tidak akan mampu membayar sebanyak itu.”

“Aku tidak memintamu membayar,” katanya sembari melempar kantong itu ke arahku dengan cekatan, lalu meraih sebotol besar susu di balik lemari pendingin. “Jangan sungkan, bukankah kita teman?”

Aku tersenyum lemah, kembali duduk di tempat semula, lalu Ethan menyapa beberapa pengunjung yang baru datang sembari bercerita bahwa seminggu yang lalu dia berhasil membawa kijang besar dari hutan. Aku tidak tahu mengapa cara bicara Ethan selalu menyenangkan, seperti tidak pernah ada kata sedih dalam kamusnya. Bagaimana reaksinya jika tahu bahwa aku datang bukan hanya untuk membeli roti?

“Sebetulnya, aku kemari bukan hanya sekadar ingin membeli roti.”

“Apa? Kau ingin membeli toko ayahku? Ingin ikut berburu?” Selintas tadi aku sempat berpikir, seandainya orang yang tidak mau kusebut namanya lagi bersikap menyenangkan juga seperti Ethan, mungkin dia tidak akan menyulitkan hidupku.

“Tidak, bukan. Aku ingin sekali ikut berburu denganmu, tapi bukan itu.”

Sejenak, matanya yang bersorot teduh membeku, mengamatiku dengan raut yang lebih serius. “Kau tidak berencana untuk kabur keluar distrik secara ilegal, ‘kan?”

“Tidak persis begitu, tapi, iya. Aku memang berencana untuk meninggalkan distrik.” Barulah saat itu Ethan berhenti mengawasi pengunjung toko, memusatkan perhatian penuh padaku yang pada waktu yang sama juga sedang menatapnya lurus-lurus. Sebelum ia sempat menyela, aku melanjutkan. “Tidak meninggalkan distrik secara harfiah. Kau ingat tentang lelucon mesin waktu? Aku ingin itu tetap menjadi rahasia kita, Eth. Semalam tadi aku melakukan uji coba pertama, kau tahu hasilnya? Cukup sukses, meski aku tidak bisa mengenali jarak waktu yang kulewati. Aku ingin kau bersumpah untuk menyimpan ceritaku sendirian. Ayah akan menanti kehadiranku setiap tanggal empat di awal bulan, aku mau kau menggantikanku selama aku tidak ada. Eth, aku tidak tahu harus meminta siapa lagi selain kau.”

Kali itu adalah pertamakali aku melihat Ethan bergeming. Lalu aku menyadari bahwa kesalahanku adalah mengucapkan semua kalimat itu tanpa mempertimbangkan apakah ia akan memercayaiku atau sama seperti Erik, ia akan mengolok-olok dan menganggapku gila? Tetapi kemudian yang ia katakan hanyalah, “Kau yakin bisa mengatasi semua itu sendirian? Bukankah terlalu berbahaya menjalani ketidakpastian itu sendirian?”

Semua kekhawatiran dan beban yang semula memberati kepalaku seakan sirna, Ethan berhasil membuatku setidaknya mengulas sebuah senyum tipis. Dia mempercayaiku, atau mungkin mencoba percaya, atas segala sesuatu yang bagi orang lain adalah sebuah kegilaan. “Ya, aku yakin. Lagipula jika tidak mencoba, aku tidak akan tahu hasilnya.”

Ethan bangkit, menyingkirkan gelas-gelas bir yang memenuhi meja bulat di belakang punggungnya. “Aku tidak ingin kau mengambil risiko besar itu, sebetulnya. Tetapi melarangmu tidak ada gunanya, bukan?”

“Tidak, ya, kau tahu jawabanku. Aku sudah memikirkan ini hampir seumur hidupku. Eth, aku harus bergerak, atau akan menyesal selamanya.”

“Ya, kau benar.” Aku mengikuti langkah tangkasnya menuju dapur, gelas-gelas kosong di baki itu berdenting tatkala tangan Ethan memindahkannya ke bak cuci piring. Aku suka sekali mengamatinya bergerak cepat seperti itu, ia berbakat untuk urusan dapur dan berburu, ketangkasannya mengagumkan. “Aku akan berusaha menjaga ayahmu dengan baik, dan membereskan rumahmu sesekali?” Ia berbalik untuk menemukan mataku, lalu kembali membuang pandangannya.

“Oh, tidak perlu repot-repot. Kau mau menjenguk ayahku saja aku sudah senang.”

“Ya, tentu saja akan kulakukan dengan senang hati.” Ethan berlalu dari bak cuci piring, menggiringku melewati lemari penyimpanan, terus melewati gudang, lalu masuk ke area rumahnya yang beraroma cokelat pahit.

Aku nyaris tidak pernah mendatangi rumah Ethan, kami lebih sering berpapasan di jalan, bertemu di festival atau pementasan teater, di toko ayahnya, dan juga di bibir hutan sewaktu kami janjian untuk berburu. Rasanya menyenangkan, kali ini memasuki rumah selain rumahku dan rumah Erik.

Ethan memberiku isyarat untuk menunggu di kursi ruang makan, ia memberiku kesempatan untuk menilai surganya, tetapi bagiku itu lebih dari sekadar surga, tempat itu terlalu rapi bagiku. Sehingga melihatnya terlalu lama membuatku yakin bahwa keberadaanku di situ adalah sebuah konsep yang salah. Tidak seharusnya aku duduk di kursinya yang bersih, hei! Aku belum mandi sejak kemarin.

“Kau tidak curiga mengapa aku mengajakmu kemari?” Aku menoleh seketika sewaktu mendengar suaranya terlalu dekat mampir di telinga kananku. Mataku menangkap langsung sorot matanya, lalu baik dirinya maupun aku sesegera mungkin memalingkan muka.

Aku mengangkat bahu. “Seperti dihipnotis, entah mengapa aku tidak berminat melakukan perlawanan.”

“Aku bukan Erik,” balasnya agak sedikit ketus.  

“Aku tidak bilang begitu.”

“Memang tidak. Tapi hanya dia yang memiliki kemampuan itu di Schuraze.”

“Baiklah, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud begitu, oke?”

Ethan menunjukkan sepasang tangannya yang sejak tadi ia sembunyikan di belakang punggungnya kepadaku. Tangan kanannya menggenggam sebuah busur panah dan tangan kirinya menggenggam sekantong penuh anak panah. “Aku berencana memberikannya padamu di perburuan selanjutnya, tapi aku yakin itu akan sangat lama. Aku takut berubah pikiran, jadi kuberikan sekarang saja. Siapa tahu kau butuh senjata dalam perjalanan waktumu.”

“Kau membuatnya untukku?”

“Aku menemukan kayu yang bagus untuk dibuat busur di hutan minggu lalu, jadi apa salahnya kalau kubuatkan satu untukmu? Aku tahu kau suka memanah.”

Aku sendiri tidak sadar bahwa selagi menemani Ethan berburu, saat ia menitipkan busur panahnya padaku sementara ia berfokus pada tombak di tangannya, aku sering mencoba menggunakan busur panahnya, mempelajari apa yang biasa Ethan lakukan, lalu merasa bangga karena berhasil memanah sarang lebah atau batang pohon. Aku nyaris tidak bisa memanah, tetapi suatu hari Ethan berkata bahwa aku memiliki bakat itu dan hanya perlu sedikit latihan untuk mahir menggunakan panah.

“Aku masih belum mahir menggunakannya, tapi terima kasih. Aku akan membawanya malam ini.”

“Kau akan pergi malam ini?”

“Kenapa?”

“Tidak, hanya saja menurutku itu terlalu mendadak.”

“Eth ....”

“Ya, kalau begitu hati-hati. Serahkan sisanya padaku,” potongnya, sebelum aku sempat melancarkan pembelaan.

“Eth, aku akan menemui ayah. Mau ikut denganku?”

“Sebetulnya, iya. Tapi aku harus menjaga toko hari ini.” Ethan tidak sedang berpura-pura, ekspresi wajahnya sejalan dengan apa yang ia katakan.

“Kalau begitu, aku pamit. Terimakasih, Eth, untuk semuanya.”

Lalu Ethan kembali memimpin jalanku, membawaku kembali pada keramaian toko. Tak lupa membawa segenap kebaikan yang diberikan Ethan padaku: Sekantong roti, sebotol susu, dan sebuah busur panah. Ethan yang  baik, Ethan yang baik.

Ayah, bagaimana percobaan mesin waktu pertamamu? Apa yang kau lihat?” Lelaki itu duduk di birai jendela kamarnya, dia akan jatuh jika saja tidak ada terali yang menjaganya dari kejatuhan.

Kehancuran,” katanya kala itu. Aku masih ingat dengan jelas suaranya yang begitu jernih, nuraniku menyangkal bahwa sesungguhnya lelaki yang kusebut ayahku itu adalah orang sinting. Juga tidak menutup kemungkinan bahwa jawaban yang dilontarkannya adalah bagian dari kesintingan itu, tetapi entah mengapa, kala itu aku hanya ingin percaya padanya.

Lalu aku terjerembab, tersandung sulur liar yang melintang di semak yang kulalui. Kepalaku menghantam sesuatu yang keras—batu, mungkin? Sebetulnya aku sangat ingin duduk sebentar di antara semak itu, jika saja pikiran buruk tidak menyerang akal sehatku seperti bagaimana jika di balik kakimu ada ular besar? Bagaimana jika di balik semak itu ada lumpur hisap? Lari! Teruslah lari! Aku bangkit kemudian, terseok-seok, mengeratkan pegangan di ranselku, memperbaiki posisi busur panah yang diberikan Ethan tadi siang. Lalu berlari terbirit-birit, tanpa pernah tahu aku sedang melarikan diri dari apa atau dari siapa.

Aku juga,” balasku singkat. Entah pembicaraan macam apa itu. Aku dan ayahku sedang membicarakan sesuatu yang dianggap orang lain gila. Bahkan petugas yang mengawasiku dengan ayah hari itu memandangku aneh. “Ayah, aku harus pergi malam ini. Jika nanti aku tidak kembali, aku sudah minta Ethan untuk menjagamu.”

Kepalaku berputar-putar, aku kembali tersandung sulur liar, tapi tidak sampai terjerembab seperti orang bodoh. Panik menguasai separuh kesadaranku, separuhnya mengingat kembali kata-kata ayah sore tadi. “Jangan pernah mencoba mencurangi waktu, atau orang akan bilang kau gila sepertiku.”

Aku sudah melihat ibu pulang.” Aku tahu membicarakan ibu dengannya saat ini akan sangat menyakiti hatinya, tetapi aku harus jujur agar ayah bisa membantuku.

Ibumu akan pulang sewaktu aku mati,” balasnya, datar. Tidak ada riak yang berarti di wajahnya. Aku tak tahu berapa lama waktu yang ayah butuhkan untuk mengeraskan hati jika kembali mendengar sesuatu tentang ibu.

Ayah, maaf karena aku tidak pernah mencoba memahamimu.”

Tidak, aku yang tidak pernah benar-benar menjadi ayah bagimu. Aku seharusnya lebih memerhatikan keluargaku. Tapi syukurlah, kau masih ada di sini untuk melihat kenyataan.” Kepalaku pening. Busur di bahuku melorot, mengingat-ingat ucapan ayah di waktu genting seperti ini membuatku kehilangan setengah kewarasan. Aku ingin menangis dan tertawa di saat yang bersamaan, tetapi tidak memiliki cukup energi untuk melakukannya.

Ah! Rerimbunan semak ini seakan tidak berujung. Kali ini aku menabrak pohon karena pandanganku mulai mengabur. Apa yang sedang kulakukan? Untuk pertamakalinya aku melihat ayah dari sisi lain. Ayahku tidak sinting, aku keterlaluan. Aku mengulangi apa yang dikatakan oleh orang lain sebagai suatu kegilaan. Terakhir sebelum pamit, aku memahami kedamaiannya dengan jelas. Tanda tanya besar mengenai teori Enstein masih berputar-putar di benaknya, tetapi ia menikmati hidupnya di tempat rehabilitasi. Dia sudah menemukan kebahagiaannya, melepaskan diri dari tuduhan masyarakat, melepaskan diri dari kegilaannya, dan aku yakin, merasa lega karena tidak harus selalu ingat tentang ibu.

Nyatanya aku tidak mendengarkan nasihat ayah. Aku tetap mencurangi waktu, melarikan diri dari setiap keterasinganku. Lalu kini aku benar-benar berada di tempat asing. Seperti sebelumnya, tidak tahu persis keberadaanku di mana. Dan yang lebih buruk, aku tersesat di antara hijaunya belantara, nyaris di tengah malam. Aku tidak lupa membawa bekal juga busur panah, tetapi mengapa aku terus menerus melupakan arloji?

Hingga akhirnya, aku merasa muak dan letih. Aku yakin seluruh tubuhku dipenuhi memar dan akan membengkak esok paginya akibat terus menerus tersandung, terjatuh dan menabrak pohon. Tapi kini terlalu gelap untuk terus memaksakan diri. Menyebalkan, setiap kali aku harus menyerah karena tubuhku tidak kuat menahan tekanan.

Apa yang dikatakan ayah tentang waktu? Ah ya, jangan pernah mencurangi waktu. Aku mungkin sedang menggali makamku sendiri saat ini, merusak silsilah, atau mungkin menghapus beberapa kronologi penting dalam sejarah. Kehadiranku mungkin telah mendistorsi gelombang waktu, atau aku, yang sejatinya telah terdistorsi oleh putaran waktu.

Aku tak tahu, sebab selanjutnya adalah gelap. Benar, aku tahu aku terjerembab lagi, tetapi aku tidak lagi mampu bangkit untuk kembali melarikan diri. Sebelum benar-benar menyerah, aku melihat malaikat maut memegangi busur panah yang kusam, tampak kuno. Tunggu sebentar! Malaikat maut itu akan mencabut nyawaku dengan panah? Aku akan tertawa jika masih sanggup, mempertanyakan sosok itu, benarkah ia malaikat maut atau sebetulnya dia adalah cupid? Mungkin kegilaanku telah menjelma menjadi delusi. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top