S E B E L A S
___
“Menjadi tidak tahu bukanlah hal yang menyenangkan.“
___
Perpustakaan tidak banyak membantuku hari itu. Barangkali aku terlalu fokus mencari sesuatu yang salah sehingga tidak bisa melihat peluang pengetahuan yang lain. Hari sudah terlalu petang untuk membiarkanku keras kepala, kali ini aku harus mengalah pada waktu. Aku seharusnya memeriksa buku pengunjung untuk tahu tanggal dan tahun, tetapi lelaki tua penjaga perpustakaan secara kebetulan telah menghilangkan buku penting itu.
Kemudian aku memutuskan untuk tetap berlindung di balik punggung Xaviere, meski aku sama sekali tidak mengenalinya. Sewaktu kunyatakan nama Ischyra padanya, ia tersenyum—pertama kalinya aku melihat wajah kaku itu tersenyum, lalu ia menggumamkan sebuah frasa pujian yang tidak sempat kudengar, sebelum akhirnya ia menyatakan bahwa ia mungkin harus menemaniku mendatangi beberapa tempat agar aku bisa mengingat tempat asalku.
“Seseorang mungkin sudah membuatmu tersesat di hutan. Kau mungkin berasal dari distrik sebelah atau distrik lainnya. Tetapi kita perlu mendatangi tempat-tempat itu untuk memicu ingatanmu.”
Benar, memang itulah yang aku inginkan! Melihat distrik lain. “Apakah ada banyak orang yang mengalami kejadian sepertiku?”
Xaviere berhenti sejenak, menoleh ke kanan dan kiri sebelum menarikku bersamanya untuk duduk di antara pohon di tepian jalan. “Tersesat di hutan? Tidak banyak. Lupa ingatan? Aku rasa cuma kau saja. Tetapi memang kasus perdagangan manusia dan perbudakan sering terjadi beberapa tahun terakhir. Penduduk Schuraze, apalagi gadis belia sepertimu, banyak yang hilang tanpa jejak. Bertahun-tahun kemudian, ditemukan mati atau menjadi gila.”
“Mengerikan,” ucapku, mendadak tidak tahu bagaimana harus memberi tanggapan.
“Ya, memang mengerikan. Karena itulah aku merasa perlu menyelamatkanmu. Di luar sana, pasti ada seseorang yang menginginkan kau pulang.”
“Tidak seorang pun yang datang mencariku, ingat?” balasku, berusaha memasang tampang paling jujur di depan Xaviere. Meski aku tahu pasti kali ini tidak ada kebohongan dalam kalimatku. Benar, siapa yang akan repot-repot menyusulku sampai ke tempat ini?
Untuk sejenak Xaviere tampak ragu, entah apa yang tengah berputar dalam benaknya. Kemudian—secara mengejutkan—ia berdiri sembari mengulurkan tangannya padaku. “Kita bisa mencari tahu tentang itu. Ayo!”
Kami meneruskan langkah. Meski aku agak linglung, Xaviere sepertinya tahu pasti ke mana tujuannya. Kali ini tanpa saling membuang pandangan, tanpa mengalihkan perhatian ke muka langit atau ke areal perkebunan yang menghampar, hanya menatap lurus ke depan. Xaviere sepertinya menikmati kediaman itu, tetapi aku kehilangan kesabaran. “Mau ke mana kita sebetulnya?”
“Ke gedung dewan.” Ketegasan yang muncul dari jawaban Xaviere sarat akan keyakinan sekaligus keraguan. Seolah-olah ia tidak ingin mendatangi tempat itu, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Mungkin, ia merasa jawaban tentangku akan ia temukan di sana. Maka, alih-alih bertanya lebih jauh, aku memilih tetap berjalan di belakangnya sembari berlindung dari tamparan senja.
Tubuh Xaviere bermandikan cahaya senja selama kami berjalan menyongsong matahari yang perlahan-lahan tenggelam. Ia berupa siluet jingga yang menjulang dalam dua sisi: sinarnya serupa malaikat, di sisi lain bagai nyala api dalam diri iblis. Aku tak tahu mengapa, tetapi aku merasakan kedua energi itu selagi berjalan di belakangnya. Seolah-olah separuh dirinya berusaha kuat mengenyahkan gejolak dendam yang membara demi membantuku menemukan sesuatu yang sebetulnya tidak akan pernah kutemukan di tempat ini.
Kami tiba di balai kota hampir gelap, gedung dewan gemerlapan dari balik pepohonan. Sepertinya kesan mendewa itu satu-satunya yang tetap dipertahankan pemerintah Schuraze hingga sekarang—Schuraze tempatku benar-benar lahir dan tumbuh dewasa.
Aku memang tidak melihat langsung ke matanya untuk memahami apa yang sebetulnya dirasakan Xaviere, tapi sewaktu kami menyeberangi balai distrik untuk tiba di depan gedung dewan, kegentaran itu terasa nyata. Sampai-sampai aku tidak tahan untuk tetap membungkam mulutku. “Tidak apa jika kau tidak ingin ke gedung dewan, Xaviere.”
“Aku baik-baik saja,” balasnya, hampir seketika. Saat itu kami sudah memasuki gedung dewan, tak ada sapa menyapa khusus dengan manusia yang berlalu lalang di sepanjang lobi, Xaviere berjalan lurus menuju meja administrasi. Sebelum Xaviere sempat menyapa atau mengatakan sesuatu, perempuan di balik meja administrasi itu tersenyum lebih dulu dengan wajah sumringah yang tulus.
“Halo, Xaviere. Argus sudah pulang sepuluh menit yang lalu.”
Xaviere mengabaikannya. “Aku butuh informasi terbaru dari distrik lain. Surat kabar, atau siaran apa pun akan sangat kuhargai.”
Senyum di wajah perempuan itu sirna. “Aku bisa memberimu akses ruangan jika Argus mengizinkannya.”
“Aku berpapasan dengannya di jalan. Ia sudah memberiku izin untuk itu.” Xaviere berbohong. Kami tidak berbicara dengan siapa pun selama perjalanan menuju tempat ini.
“Oh, baiklah. Aku akan mengantarmu ke sana. Tetapi, siapa perempuan ini?” Akhirnya, aku kira dia sama sekali tidak menyadari keberadaanku karena perempuan itu hanya sibuk menatap Xaviere penuh puja sejak tadi.
“Sepupu jauhku dari pihak ibu. Ayo,” jawab Xaviere sembari melangkah lebih dulu melewati meja administrasi, sehingga perempuan di balik meja itu terpaksa mengikuti kami sambil berlari kecil.
Perjalanan menuju ruangan—yang kuperkirakan sejenis ruang arsip yang dilengkapi dengan beberapa layar untuk menayangkan siaran berita—itu tidak begitu mengesankan. Kami hanya melalui lorong-lorong temaram dengan jejeran pintu coklat klasik yang tertutup, beberapa dinding dihiasi potret orang-orang yang kuyakini adalah para pejabat yang berwenang. Aroma pengap dan lembab begitu pekat, ventilasi udara terlalu jauh untuk melancarkan sirkulasi udara. Tidak heran orang-orang dalam gedung ini selalu memasang ekspresi kaku dengan hidung mengerut seakan terus mencium aroma busuk. Selain itu, karpet coklat bercorak sulur liar seakan membawaku kembali ke belantara. Mungkin, selain sekarang, aku tidak akan pernah mendatangi gedung dewan lagi.
Kami berhenti di ujung lorong. Di kanan dan kiri lorong terdapat tangga spiral, tetapi kami tidak mendaki kedua tangga itu, melainkan membuka pintu yang persis menabrak lorong. Dalam pikiranku, ruangan itu pengap, penuh debu dan beraroma kertas tua, dijaga oleh orang-orang yang lebih membosankan daripada yang pernah kutemui selama perjalanan menuju ruangan ini. Tetapi aku salah.
Sebaliknya, ruangan itu sejuk dan luas. Sekilas mirip perpustakaan, tetapi dilengkapi beberapa layar lebar dan beberapa rak bukan hanya dipadati oleh arsip-arsip berita melainkan kepingan tebal yang kuyakini sebagai disket yang berisi berita penting. Ruangan itu tidak dijaga oleh siapa pun. Tetapi ada dua orang yang tengah duduk di ujung ruangan yang tidak diisi rak, seorang laki-laki berpakaian formal tengah menyilangkan kaki sembari bersandar di sofa dengan lembar surat kabar menutupi seluruh wajahnya dari pandangan kami, yang satunya adalah seorang anak perempuan. Kuperkirakan usianya tujuh atau delapan tahun, ia membolak-balik buku di hadapannya dengan wajah bosan. Pipinya bersemu merah, aku merasa anak itu agak mirip Xaviere.
“Yah.” Perempuan di sampingku mengangkat bahu. “Aku berbohong tentang Argus,” katanya.
Xaviere membeku di tempatnya, dia tepat di depanku, rambutnya yang cokelat gelap tampak berkilau di bawah sinar ruangan. Sampai perempuan itu pergi, Xaviere tidak menjawabnya. Mungkin, ia agak malu karena ketahuan sudah berbohong tentang bertemu Argus.
“Siapa Argus?” Kusentuh lengan lelaki itu untuk menyadarkannya.
Xaviere tidak menjawab. Hanya mengambil tanganku dan meremasnya erat sambil membawaku menyeberangi ruangan. Menemui si laki-laki berpakaian formal. “Karena sudah tidak mungkin menghindar, selamat malam, Argus.”
“Xaviere!” Bukan si lelaki, justru anak perempuan itu yang menyapa Xaviere dengan ceria. Seakan-akan kedatangan Xaviere sudah menyelamatkannya dari mati bosan akibat membolak-balik surat kabar.
“Odeya, senang membaca dengan Ayah?” sapa Xaviere. Tetapi matanya tetap memandang si lelaki dengan sinis.
“Aku tidak senang. Tapi lebih baik di sini daripada di rumah ayah, aku merasa sebaiknya aku pulang ke rumah kita ....”
“Odeya, jangan membuat ayah marah.” Si lelaki akhirnya buka suara. Nada bicaranya manis, tetapi tersirat ancaman dalam nada itu. Aku mengenali cara bicara itu, Erik. Seperti cara bicara Erik.
“Tidak, aku juga tidak senang ayah marah,” balas si gadis kecil.
Aku tidak mengerti obrolan macam apa itu. Si lelaki—sepertinya Argus—sama sekali belum menyapa Xaviere. Dan Xaviere, belum menjawab pertanyaanku. Siapa orang-orang ini? Apa pentingnya mereka bagi Xaviere?
“Akhirnya, setelah dua puluh tahun, kau yang datang sendiri ke gedung dewan. Berubah pikiran, Xaviere? Kau menyadari hanya dengan mempercayaiku kau bisa membahagiakan ibumu, bukan?” Lelaki itu akhirnya menatap langsung ke wajah Xaviere. Meski Xaviere masih tetap menghindari tatapannya.
“Bukan. Aku ke sini karena ingin tahu berita dari distrik lain. Sama sekali tidak ingin bertemu denganmu. Socha jelas-jelas mengatakan kau sudah pulang.” Perkiraanku, Socha adalah nama perempuan yang menjaga meja administrasi tadi.
“Ayah, Odeya boleh pulang ke rumah ibu?” gadis kecil itu sekarang berdiri di antara Xaviere dan Argus. Aku memang tak paham bentuk hubungan ketiganya, tetapi Odeya pasti menjadi penghubung yang bisa melerai perdebatan.
“Tentu, Nak.” Argus tersenyum manis kepada sang putri. “Tapi sekarang biarkan ayah bicara dengan kakakmu.”
Yah, aku memang tidak pandai. Tetapi jika Argus adalah ayah Odeya dan Xaviere adalah kakak Odeya, maka, Argus dapat juga berarti ayah bagi Xaviere?
Aku masih menjadi tidak terlihat selama beberapa saat, mengamati perdebatan dari jarak dekat tanpa ada yang menyadari bahwa aku bernapas.
Tetapi sewaktu Odeya kembali duduk dengan patuh setelah mendengar ucapan ayahnya dan Xaviere berkata, “Aku tidak ingin bicara denganmu. Aku ingin mencari informasi tentang orang hilang.”
“Tidak ada berita semacam itu selama beberapa hari terakhir, Xaviere. Dan siapa gadis ini? Kekasihmu?”
Xaviere tampak tidak ingin percaya begitu saja, tetapi aku pun menyadari bahwa tidak ada gunanya berkeras di wilayah kekuasaan orang lain. Dan aku sebenarnya tahu pasti, tidak ada orang yang akan mencariku. Seandainya aku bisa melirik sedikit tanggal yang tertera di surat kabar yang sedang dibaca Argus atau Odeya.
Tanpa bicara, Xaviere berbalik dan menyeretku meninggalkan ruangan. Di muka pintu, ia berbalik untuk memanggil Odeya. Tetapi Argus berkata, “Aku yang akan mengantarnya.”
“Aku yakin sudah bertanya padamu dengan siapa kau tinggal,” kataku. Segera sesudah kami meninggalkan gedung dewan. Aku masih mengikuti langkah Xaviere, dan yakin betul kami belum akan pulang sebelum jam makan malam.
Ia masih tetap berjalan di depanku. Seakan-akan di manapun aku dan bersama lelaki manapun, aku akan tetap berjalan di belakang mereka. Baik Xaviere, atau Erik. “Aku yakin sudah menjawabnya dengan benar,” jawab Xaviere sambil terus berjalan menyusuri setapak.
“Aku yakin baru saja bertemu ayah dan adikmu?” Tidak, aku mengatakannya dengan ragu, bukan dengan keyakinan seperti yang kukatakan.
Kali ini Xaviere tampak gusar, aku lebih merasakan daripada melihat. Langkahnya semakin cepat, menunjukkan bahwa ia sebetulnya agak tidak nyaman dengan pembicaraan itu, tetapi ia tetap menjawab. “Memang. Tapi keduanya tidak tinggal bersamaku. Kecuali Odeya akan memutuskan untuk menginap kapan saja di rumah kami atau di rumah Argus.”
“Kau harus mulai memberitahuku tentang keluargamu, Xaviere.”
Kami berjalan memutar, semua setapak bagiku sama, dan sepertinya kami sudah melintasi dua kali jalan yang sama. Tetapi aku tidak ingin membicarakan itu untuk menyinggung Xaviere. Jika ia ingin mengulur waktu, maka biarlah ia melakukannya. Bagaimanapun, dia lebih tahu daripada aku.
“Kenapa?”
Benar. Kenapa aku harus tahu? Memangnya apa urusanku? Tetapi menjadi tidak tahu bukanlah hal yang menyenangkan. Mengetahui segala hal mungkin membuatmu menjadi pusing, tapi lebih baik daripada menjadi bingung karena tidak tahu apa-apa. “Tidak tahu. Aku hanya merasa harus mengenali keluargamu karena aku tinggal di rumahmu.”
“Yah, Odeya adik kandungku satu-satunya. Usianya baru delapan, tetapi kadang ia jauh lebih dewasa dari usianya.”
“Ayahmu?”
“Bukan ayahku,” balas Xaviere cepat, terdengar agak marah. “Bukan lagi ayahku sejak ia menjadi kepala dewan.”
“Apa salahnya menjadi kepala dewan?”
“Menjadi kepala dewan bukanlah kesalahan terbesarnya.”
“Lalu?” tanyaku tidak sabaran. Aku nyaris akan meneriakinya sebagai laki-laki egois sewaktu Xaviere mengatakan hal mengejutkan tentang menjadi kepala dewan.
“Untuk menjadi kepala dewan, Argus harus menikahi perempuan keturunan dari kepala distrik sebelumnya, yang berarti ia harus meninggalkan ibuku.”
“Maaf,” balasku, akhirnya.
Xaviere mengangguk. Lalu entah bagaimana kami sepakat untuk tidak membicarakan apa pun lagi. Kali ini benar-benar pulang ke rumah Xaviere. Dia punya pilihan untuk hidup mewah sebagai putra ketua distrik, tetapi ia memilih menempa dirinya sendiri, bekerja keras untuk ibunya. Aku melihat tekad sebagai mesin geraknya, dan aku melihat dendam sebagai bahan bakar dalam diri Xaviere, terus menyala. Tersembunyi di balik wajahnya yang kaku.
Setelah memperoleh fakta, aku jadi mengerti mengapa Renee tidak berhenti memandangku curiga saat kami pertama kali bertatap mata. Seorang perempuan pernah merebut suaminya, dan Renee tidak ingin perempuan lain merebut putranya. Barangkali, aku perlu meyakinkan Renee bahwa aku tidak akan pernah mencuri Xaviere darinya. Aku hanya ingin melihat dunia yang lebih luas daripada Schuraze, bahkan dari masa lalu.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top