S A T U

___

"Membuang muka adalah caranya menghindari kenyataan."
___

Jarum jam bergerak mundur tanpa detik-detik ringkih yang mengikutinya. Hening, tanpa tik-tok konstan yang menandakan bahwa dunia masih berotasi pada tempatnya. Aku memaku diri sejenak, menyesuaikan situasi. Udara terasa semakin kosong, sewaktu aku menyadari bahwa di sekelilingku, malam telah merambat menuju pekat. Bulan sabit di atas kepala menyembunyikan diri di balik selimut awan. Dan di bawah kakiku, ada setapak becek dengan semak rerumputan di sisi kanan dan kirinya. Aroma tempat itu lembab dan menyegarkan, hanya saja diselingi dengan hening mematikan, sehingga aku khawatir mengembuskan napas terlalu keras akan menyebabkan makhluk apa pun yang tersembunyi di baliknya menjadi terbangun dan marah.

Sekitar empat jam yang lalu, aku juga ada di tempat ini. Persisnya, duduk memeluk lutut di bawah satu-satunya pohon akasia yang tumbuh tidak jauh dari jalanan. Tentu saja dalam dimensi yang berbeda dan dalam tatanan emosi yang kacau balau. Seseorang duduk pula di sampingku, menegakkan punggung. Dia adalah laki-laki tanpa belas kasihan yang mati-matian kupertahankan, dan dia mati-matian ingin meninggalkanku. Kala itu, sepatu kanvasku yang berwarna putih gading telah sepenuhnya pekat oleh lumpur dari jalan setapak yang becek. Aku masih tertawa-tawa sewaktu mencuci sepatu di siring tak jauh dari pohon akasia tempatku berteduh sebelumnya. Tapi tawa itu menghilang seketika sesudah aku menjemur sepasang sepatu basah itu di tengah rerumputan, di bawah terik matahari.

"Sekaranglah saatnya, Aby. Kau tak bisa mengulur waktu lagi." Aku menoleh sewaktu suaranya membuatku terhenyak dan terpanggang bersama sepatu basah di tengah sabana. Dataran luas itu menggaungkan suaranya hingga tiba di telingaku terlalu keras. Aku mematung. Dia masih duduk di bawah pohon akasia, tatapannya tajam-tetapi memabukkan. Meskipun sebagian besar penduduk distrik kami tidak menyukainya dan cenderung takut dengan tatapan itu, tetapi itulah yang kusukai darinya. Itulah yang menyebabkanku jatuh lagi dan lagi. Wajahnya adalah pahatan Tuhan yang paling sempurna di mataku.

Namun, lidahnya adalah belati paling tajam yang melukaiku berkali-kali. Tikamannya tepat di jantung, tapi hatiku adalah seonggok monster imortal yang akan terus hidup untuknya. Yang terus mengutuhkan diri pasca hunjaman yang ditujukannya padaku. Aku masih jua mematung, memandang kosong ke arahnya. Tak peduli matahari masih kalap menguarkan panasnya untuk membakarku. Lagipula, aku sedang terbakar habis oleh pemberontakan dalam jiwa yang menghancurkan warasku, panas matahari bukanlah hal yang bisa membuatku cemas saat ini.

"Aby ...." Sosoknya berdiri, menghampiriku. Oh, tidak-tidak. Jangan menghampiriku, atau aku akan meledak!

Tapi Erik akan menghampiriku, ia akan membuaiku dalam puji-pujian memabukkan sebelum meninggalkanku sementara aku lelap. Erik Lamaze akan selalu seperti itu. Bibirnya semanis madu, tapi apa yang tersembunyi di baliknya adalah racun yang mampu merasuki aliran darahmu secepat kilat untuk membunuhmu seketika. Aku terlalu lambat bereaksi sewaktu ia tiba di depanku, sehingga seakan-akan aku sedang berlutut di hadapannya. Lalu dengan murah hati ia berjongkok di depanku, menyingkirkan anak rambut yang menutupi pandanganku, menyentuh seluruh wajahku, menjamahnya mulai dari ubun-ubun hingga ke ujung dagu. Seakan-akan ia tengah menakar, seberapa banyak kasih sayangnya tersisa untukku.

"Aku kira takada rasa apa pun yang tersisa untukmu selain rasa kasihan," katanya. Ah, tidak ada yang tersisa.

"Jangan salah paham," sambungnya cepat. Ia tak membutuhkan peranku sebagai lawan bicara. Dalam momennya mengasihani orang lain, orang lain itu hanya perlu mendengarkan tanpa penyangkalan. Dan lihat, aku terlalu mengenalnya untuk memahami apa yang ingin ia sampaikan selanjutnya: puji-pujian.

"Aby, kau adalah gadis paling sempurna yang telah menempati hatiku. Aku sungguh-sungguh mencintaimu, sampai kau menjadi cukup gila untuk layak kucintai. Kelak, aku akan mencintaimu lagi. Jika pikiranmu sudah lebih waras dari ini, dan jika kau mau melupakan semua ide gilamu tentang perjalanan waktu."

Oh, ya, dia menganggapku menjadi gila karena obsesiku. Inikah alasannya? Kurasa tidak.

"Karena aku tidak waras?" ulangku tak percaya. Aku tahu ia tak ingin aku bicara, tapi aku harus.

"Oh, Aby, kau masih cukup waras untuk mengerti kata-kataku?" Erik benar-benar menatap sepasang mataku sekarang. Harus kuakui, hatiku masih bergetar sewaktu anugerah itu masih menjadi milikku. Sejenak, aku hampir punya keyakinan bahwa ia masih sedikit mencintaiku. Tapi tidak, dia adalah Erik, sang aktor ulung kebanggaan rakyat Schuraze. Aku tidak akan tertipu dan berakhir menyedihkan.

"Tentu saja aku masih waras!" semburku geram. "Aku hampir selesai dengan teoriku, kau akan menyesal karena mencemoohku di detik-detik keberhasilanku!"

"Kalaupun kau berhasil, siapa orang bodoh yang ingin mati dalam percobaan konyolmu itu?"

Aku tahu bukan karena itu Erik memutuskan untuk meninggalkanku. Keinginan Erik untuk keluar dari kungkungan imaji sama besarnya dengan keinginanku. Sejauh ini ia selalu mendukung pekerjaanku. Aku tahu pasti bukan karena itu.

"Erik," kutarik tangannya agar lebih mendekat. "Kau adalah orang bodoh yang ingin mati dalam perjalanan waktu. Kau tahu bahwa aku mengenalmu dengan baik, Erik. Kau tahu itu."

Lelaki itu membuang muka. Wajahnya mulai basah oleh keringat, tapi itu tak membuatku berpikir untuk mencari tempat lebih teduh atau apa. Membuang muka adalah cara Erik menghindari kenyataan.

"Kau tak perlu repot-repot mencela pekerjaan yang telah kita lakukan bertahun-tahun," sindirku. "Aku tahu kau bukan orang yang bisa tiba-tiba berubah pikiran."

"Kau tidak mengenaliku sejauh itu, Aby. Jangan lancang."

"Kecuali ada orang yang bisa mencuri perhatianmu lebih daripadaku," sambungku kemudian, tak memedulikan nada suaranya yang semakin rendah. "Jyra, kau bertemu Jyra di belakangku, bukan?"

Erik tak menjawab. Dia tahu aku tak menginginkan jawabannya.

"Dia menjanjikan perlintasan tanpa tinta darah?" Kubayangkan mata Jyra menyorot licik seraya menyunggingkan senyum menawan yang mengandung bisa itu, menggoda Erik dan menyuguhinya semua ketidakmungkinan yang bisa diwujudkan oleh ayahnya yang merupakan salah satu orang berpengaruh di dunia, bangsawan Karnelian.

Erik tetap dengan bungkamnya. Dia tahu bahwa aku mengetahui segalanya. Erik adalah buku terbuka yang sempat menjadi favoritku, meski kini sudah lusuh termakan dusta. Aku tahu ambisi Erik sama besarnya denganku. Kami tumbuh dewasa bersama, menjalani segalanya bersama, saling menguatkan, sampai hari ini tiba. Semua ini bukan tentang kegilaanku akan perjalanan waktu, semua ini bukan karena percobaan sintingku. Semua ini tentang Jyra.

"Erik, kau benar-benar lebih mencintai Jyra? Atau kau telah silau dengan kekuasaan ayahnya?"

"Kau tidak perlu tahu. Kau sudah tak memiliki hak untuk tahu tentangku, Aby."

Bisa saja Jyra telah mempelajari mantra pemikat untuk merebut Erik dariku. Maksudku, setelah bertahun-tahun Erik bersamaku, tanpa pernah tergoda sejak kehadiran Jyra, mengapa tiba-tiba ia ingin mengakhirinya? Andai aku punya mantra pemikat itu pula. Maksudku, mantra seperti, "aku bisa membawamu ke Karnelian dengan kapal pesiarku, sementara kau jadi nahkodanya."

Sial! Ayahku bukan seorang bangsawan. Dia hanya profesor yang berubah menjadi sinting karena percobaannya yang gagal. Dia tak mewariskan hal-hal materiil semacam itu, melainkan sebuah rumah penuh labu kaca dan perpustakaan penuh buku usang. Rumahku adalah perpaduan sempurna laboratorium dan perpustakaan tua. Potensiku memang jauh lebih buruk dibanding Jyra, aktris teater yang jelita, memesona, dan bergelimang harta.

"Tapi kau sudah janji akan ke Karnelian dan menjelajah dunia bersamaku." Aku menyadari bahwa suaraku sudah terdengar amat putus asa. Aby yang bodoh.

"Dulu, sewaktu aku percaya kau cukup cerdas untuk merancang mesin waktu. Itu pun tidak pasti. Siapa yang tahu apa yang tersimpan di balik masa lalu atau masa depan? Aku tidak akan munafik, Aby. Jyra punya akses, dan punya kapal pesiar, oh, jangan lupakan mansion besar di pusat kota Karnelian."

Aby yang bodoh.

Kali ini aku yang membuang muka, menyambar sepasang sepatuku yang masih basah, dan melesat kembali ke rumah. Membuang muka adalah caraku pula untuk menghindari kenyataan. Aku yang bodoh, dan Erik yang tamak.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana buruknya suasana hatiku saat itu, Schuraze yang biasanya seperti surga, saat itu terasa seramai neraka bagiku. Memuakkan. Andai saja Erik mau sedikit lebih bersabar, aku sudah sampai sekarang. Entah di masa lalu, atau di masa depan. Aku akan segera tahu.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top