L I M A
___
“Mudah membaca air muka seseorang jika kau sudah hidup bersamanya selama bertahun-tahun.”
___
Sepatu Erik berkecipak di antara tanah becek menuju sabana. Tidak banyak yang tersisa dari masa kecil kami yang menyenangkan. Namun, hari itu kami masih berusaha melakukan rutinitas menjelajahi padang rumput yang sudah menjadi terlalu familiar bagi indera. Padang rumput itu terasa seperti rumah kendati beratap langit dan berdinding udara.
Meskipun rumput-rumput itu suka berbisik, setidaknya mereka tidak punya telinga untuk menguping pembicaraan atau lidah untuk mencibir. Di sana, kami merasa aman mendiskusikan segala hal—walau segala hal ini tidak berarti apa-apa.
Erik selalu berjalan di depanku, langkahnya tegas dan tak pernah ragu. Sementara aku selalu berjingkat-jingkat menghindari lumpur, Erik menghantamnya tanpa basa-basi. Sudah hal lumrah menyaksikan Erik dikejar-kejar ibunya sepanjang pemukiman karena ibunya ingin mencuci sepatu dekil itu sementara Erik tidak suka sepatunya menjadi bersih seperti sepatu anak perempuan, katanya.
“Aby.” Aku mendongak dan berhenti melangkah sewaktu menyaksikan dirinya sudah berdiri dengan posisi menghadapku. Ekspresinya sarat akan kewaspadaan tingkat tinggi. Mudah membaca air muka seseorang jika kau sudah hidup bersamanya selama bertahun-tahun. Terlebih jika kau mendekam di dekat tungku penuh bara bersamanya selama belasan musim dingin dan berlarian di sebuah padang rumput bersamanya selama bertahun-tahun. “Aku akan menceritakan sebuah rahasia,” ungkapnya kala itu, sembari kembali memunggungiku, menarik lenganku agar turut bersamanya dengan lekas.
Lalu kami tertatih-tatih menuju pohon pertama yang tampak pertama kali di antara padang rumput, berebut oksigen, membaringkan diri dan membiarkan rerumputan menguarkan aroma segar khasnya demi menjernihkan pikiran kami. Dan momen hening itu akan diakhiri dengan berpalingnya muka dari birunya langit menuju ke kelamnya sepasang netra Erik yang berwarna cokelat gelap. Atau versi yang sering kudengar dari Erik, “Aku lebih suka biru matamu dibanding birunya langit,”
Kami beradu pandang sejenak untuk menegaskan bahwa kami adalah nyata, bukannya sosok ilusi satu sama lain. Momen semacam itu sering berulang seperti de javu, yang menurutku lebih mirip ke ritual khas Erik dan Aby. Hanya saja, kala itu Erik menceritakan rahasianya yang jika aku boleh memilih, aku tak ingin mendengarnya.
“Aku berhasil menghipnotis Hugo Cenakia.”
Tidak ada yang kulakukan segera setelah mendengar rahasia besar itu. Separuh kesadaranku ternganga karena sikap lancangnya terhadap pejabat dunia itu, sementara separuh dari diriku yang lain mengernyit keheranan, apa gunanya melakukan itu pada Ayah Jyra? Dan akhirnya bungkamku berakhir dengan satu kata klise. “Mengapa?”
“Aku ingin kita menyeberangi samudera dengan kapal pesiarnya yang sedang dilabuhkan di dermaga. Kau sudah lihat kapal itu, bukan?”
Nada bicaranya terlalu antusias sehingga aku tak tega untuk mengajukan keberatan. Aku tahu semua ambisi itu membuat kami gila. Kuakui bahwa semua yang kami lakukan beberapa tahun terakhir adalah bagian dari kegilaan itu. Namun, menghipnotis seorang Hugo Cenakia adalah hal paling gila dari yang tergila. “Kau merampoknya?”
“Aku meminjam kapalnya.” Senyum Erik menggelora. Saat itu, aku yakin Erik merasa dunia ada di genggamannya. Tetapi jika sampai hal konyol itu diketahui oleh Jyra, yang notabene putri Hugo yang amat dicintai rakyat di seluruh bumi, maka saat itu juga dunia kami tamat.
“Aku tidak setuju. Aku ingin bertemu ibu dengan caraku sendiri. Dan kau bisa mengarung samudera dengan caramu sendiri atau kau mau ikut caraku, terserah padamu.”
“Mengapa bukan kau saja yang ikut denganku?”
Aku bangkit segera dari sisi Erik, meninggalkan jejak tubuhku di rumput yang kini patah. “Aku tidak bisa mewujudkan keinginanku dengan cara yang kotor.”
Ada jeda panjang, Erik tidak mendebatku. Tapi dia juga tidak menyatakan mengalah atau berniat mengurungkan rencananya. Kemudian ia hanya berkata, “Aku akan pergi besok, jika kau ingin ikut, datang saja ke dermaga sebelum fajar.”
“Erik,” kuucapkan ini sebagai usaha terakhirku untuk mengubah haluan pikirannya, “Mimpi membuatmu mengusahakan yang terbaik untuk hidupmu, tetapi mimpi tidak bisa merebut kewarasanmu. Kau bisa melewati banyak jalan, tetapi bukan memaksakan diri untuk menciptakan sebuah jalan. Erik, ini salah.”
“Jika kau tidak mau ikut, aku akan pergi bersama Jyra.” Sebuah klimaks yang cukup menyakitkan untuk kudengar. Lalu benakku bertanya-tanya, sejak kapan dia bersedia menghabiskan waktu dengan Jyra?
“Mungkin lebih baik begitu,” balasku datar. Kendati akal sehatku menyangkal ide gila itu dengan hebat. Hatiku berteriak dan meronta-ronta menuntut sebuah keadilan, tetapi tidak. Aku tidak bisa menahan sesuatu atau seseorang yang ingin pergi. Sebab mereka memang telah memiliki takdirnya sendiri. Jika kelak semua keikhlasan ini salah, biarlah aku menyesali semuanya sendirian. “Lebih aman bepergian dengan anak pemilik kapal itu. Tidak akan ada yang mempertanyakan izinmu.”
Dan di sanalah persisnya, sebuah dinding terbangun dengan kokoh di antara kami berdua. Perseteruan itu terus berlanjut hingga suatu petang, Erik menyatakan keinginannya dengan gamblang untuk meninggalkanku. Padahal petang itu harapanku baru saja tersirami dengan keyakinan, tidak ada yang salah dengan pertemuan itu. Aku tidak melakukan kesalahan. Aku hampir saja mengungkapkan hasil percobaanku padanya. Aku hampir saja menunjukkan padanya bahwa mimpi kami tidak mustahil meskipun tanpa bantuan orang penting. Namun, Erik sudah mengatakannya. Erik sudah memutuskan pilihannya.
Dia tidak pernah benar-benar menaiki kapal pesiar itu, sebab Jyra melarangnya melakukan itu sebelum Erik dengan tegas memutuskan untuk tidak pernah berhubungan denganku lagi. Satu-satunya kabar yang ingin kudengar dari perpisahan itu ialah Erik perlu memikirkan keputusannya selama lebih kurang satu tahun dan itu memberiku cukup waktu untuk menyelesaikan semua percobaanku. Senang mengetahui bahwa Erik membutuhkan waktu cukup lama untuk melepaskanku. Meskipun akhirnya ia memutuskan untuk pergi.
Atau mungkin saja Erik mengulur waktu bukan karena berat melepaskanku, melainkan ia ingin aku membiasakan diri sebelum dia benar-benar pergi. Dia tahu aku tak berhubungan baik dengan orang lain selain dirinya. Entah itu bisa dikatakan cukup baik hati, atau justru kejam. Satu tahun tanpa pembicaraan menyenangkan sebetulnya hanya memperparah luka. Aku tak sempat bertanya mengapa, karena Erik selalu berbicara ketus. Muka tebalku tak mampu melembutkan hatinya.
Aku tak sempat tahu apakah Hugo masih dalam pengaruh hipnotisnya atau justru kini Erik yang berada dalam mantra rahasia Jyra. Tidak ada yang tahu apa yang bisa dilakukannya, Jyra datang dari distrik yang lebih maju dari Schuraze, Jyra adalah bidadari di antara kerumunan makhluk jelata. Tak ada yang mengetahui apa yang ada di balik paras sempurna itu.
Erik tenggelam di bawah kekuasaan Jyra, terseret arus mimpinya sendiri. Kehadiran Jyra adalah air terjun yang menyimpan sejuta kemungkinan, entah Erik terlempar lebih dalam ke kubangan mimpi, atau justru ada kuda terbang yang akan menyambutnya di antara kejatuhan itu, tak ada yang tahu.
Padang rumput yang hijau itu mulai lengang, sejak satu-satunya manusia yang hadir di sana tanpa absen hanyalah aku. Satu tahun terakhir adalah kekosongan yang menyeruak di antara rerimbunannya. Setiap kali terduduk di bawah pohon dan nyalang memandang sekitar, aku bisa merasakan Erik berlarian di benakku, mendominasi semua suara. Hingga akhirnya dia bukanlah ilusi, terakhir kali itu, dia datang dengan senyum mematikan. Senyum yang kukatakan begitu menawan, namun menyimpan racun. Senyum yang menyembunyikan kekuatan matanya setiap kali memperdaya orang lain. Senyum yang menegaskan betapa mata itu mampu menenggelamkan seluruh negeri. Senyum itu membawa perpisahan dan kekalahan telak bagiku. Hari itu, aku kalah dari Jyra. Tetapi aku menang akan mimpi-mimpi yang kuciptakan menahun bersama Erik.
Bukan Erik. Tetapi aku yang akan membuat Erik menyesali keputusannya. Bertahun-tahun hidup dengannya, membuatku memahami sisi terlemah seorang Erik. Dan kini, aku siap menghabiskan sisa hidupku dengan melawannya.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top