E N A M

___

"Aku memahami bahwa ketakutan itu berasal dari kepalaku sendiri"

___

Aku tidak pernah menyukai gelap. Kegelapan bisa berarti banyak hal, seperti ketidakpastian yang membingungkan, ketakutan-ketakutan semu, makhluk-makhluk hasil ilusi, semua hal yang tidak nyata dan menyesatkan. Segalanya menjadi energi ganjil yang menyesakkan, dan aku membenci setiap sensasi yang menyelubungi diri di tengah kegelapan.

Seumur hidup aku melarikan diri dan menghindar dari hal-hal yang tidak kusukai, menghapus jejak keberadaannya dalam kepalaku hingga terlupa sama sekali. Namun, ada kalanya laci-laci berdebu dalam kepalaku itu terkuak berhamburan akibat terlalu penuh oleh usaha melupakan.

Semua kebencian dan ketakutan itu menjadi terlalu nyata tatkala mereka pelan-pelan berhamburan pecah dari ingatanku, seperti jarum-jarum air yang berjatuhan dari langit kelabu yang kosong.

Lalu aku berusaha membendungnya seorang diri, atau dalam lelah, aku berpasrah dan berlapang dada menerima setiap dera ketakutan yang berlebihan itu, hingga setiap momentumnya berakhir, hingga setiap dera itu membuatku menjadi mati rasa, lalu rasa takut itu berubah menjadi lelucon basi yang sama sekali tidak lucu.

Namun, ketahuilah, bahwa bagian terlucu dari lelucon basi itu akan terungkap jauh sesudah semuanya terlupakan. Bahwa ketakutan-ketakutan itulah yang membawaku pada sebuah klimaks mengejutkan dari setiap babak kejadian yang selama ini kujalani setengah hati. Katakanlah, aku adalah manusia dengan ketakutan yang paling banyak di dunia.

Kepalaku memang sebegitu menyusahkan dan menyebalkan, terlalu banyak kecemasan dan kekhawatiran yang memicu munculnya rasa takut yang tidak masuk akal. Tetapi, karenanya aku mempelajari kehidupan dengan lebih berkesan.

Aku takut sendirian, meski di rumah aku tinggal sendirian, ketakutanku bukan terbatas pada kesendirian secara harfiah, melainkan sepi mencekam yang mengikutinya. Kemudian, sekarang aku berdiri di sebuah padang rumput dekat perbatasan, sendirian, di tengah malam gelap, dan merasa tersesat kendati aku tahu persis di mana diriku berada saat ini. Semua ketakutan yang kumiliki bersatu di hadapanku dan harus dilawan dalam waktu semalam. Pijakanku masih goyah akibat perputaran hebat dari mesin waktu yang berjam-jam lalu masih dalam perbaikan.

Entah bagaimana, kebencianku terhadap Erik dan Jyra yang tumbuh seketika dari kekecewaan dan sakit hati mampu memberikan energi yang sangat besar dan mampu mendorong semua kemampuanku untuk menyempurnakan mesin waktu buatan itu dalam waktu singkat. Yah, tidak banyak yang harus diperbaiki daripada yang sebelumnya, tetapi keberhasilanku tiba di dimensi yang lain adalah suatu hal yang baru. Hal yang tidak pernah berani kucoba sewaktu aku masih bergantung pada tetanggaku, si anak pandai besi dan dokter distrik.

Malam itu masih lengang, meski rembulan tetap bersikukuh menyembunyikan diri dan enggan memanduku menuju pemukiman, aku melanjutkan perjalanan. Pertanyaan-pertanyaan dalam kepala harus kujawab sendiri, satu persatu. Apakah aku sudah melesat jauh ke masa depan, ke masa lalu, atau justru hanya bergerak satu dua hari dari hari yang sebenarnya.

Jalan-jalan setapak itu masih dalam rute yang sama, walau tampaknya jauh lebih lebar daripada yang terakhir kali kuingat, batu-batunya disusun rata dan beberapa celahnya ditumbuhi ilalang. Perbedaannya tidak terlalu kontras, selain pohon akasia yang tadi siang masih dijadikan singgasana oleh Erik, kini menghilang.

Barulah ketika tiba di jalan raya, Schuraze sangat berbeda daripada yang terakhir kali kuingat. Struktur bangunan dan jalan yang jauh di luar kapasitasku untuk mengungkapkannya. Atau mungkin aku sudah tersesat di distrik lain yang tersentuh teknologi? Areal persawahan dan aroma-aroma kuno Schuraze seolah menguap dan hilang. Tetapi debu pekat menyelubungi setiap udara yang terbang dari tanah. Dan aku belum berpapasan dengan siapa pun sejak menelusuri setapak dari sabana menuju jalan raya.

Schuraze terlalu hening sehingga aku mungkin saja berpikir telingaku menjadi tuli jika saja langkah kaki dan detak jantungku tak bersuara. Schuraze diam di tempatnya, kecuali debu-debu yang kulewati, terbang untuk kembali meranap dengan tanah.

Jika saja ada orang lain yang bisa kuajak berbicara, tapi aku masih belum berpapasan dengan makhluk hidup lainnya. Aku memahami bahwa ketakutan itu berasal dari kepalaku sendiri. Tetapi karena melintasi distrik ini sendirian, aku tak bisa meyakinkan diri bahwa aku akan baik-baik saja.

Mengapa pula makhluk penakut sepertiku memiliki ambisi sedemikian besar? Aku tak tahu. Dan aku tak punya pilihan selain terus berjalan dan memastikan apakah mesin waktu yang kuciptakan selama hampir seumur hidupku bisa berfungsi dengan baik, atau hanya akan berakhir dengan kegagalan. Akankah aku melampaui keterbatasanku, atau justru aku akan menjadi ayahku yang kehilangan segalanya.

Semakin jauh memasuki distrik, semakin aku tidak mengenali setiap sudutnya, segalanya tampak jauh berbeda. Seperti beberapa gedung tua telah dipugar, perpustakaan di sudut distrik sengaja diruntuhkan, atau runtuh akibat insiden-aku masih belum tahu. Yang kulihat, beberapa bangunan tampak berantakan, dan beberapa bangunan lainnya didesain dengan gaya yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Ada banyak kemungkinan. Bisa saja aku berada di masa sebelum bencana, bisa saja ini bukan Schuraze-atau saat ini namanya belum Schuraze, atau aku sedang melihat kehancuran Schuraze di masa depan.

Aku ingin memastikan satu hal, maka aku berjalan menuju tempat yang paling kukenali di seluruh distrik. Suara tiktok konstan dari mesin waktu di sudut sabana masih menghantuiku, kendati sesungguhnya aku merasa waktu tak banyak berjalan sebagaimana mestinya. Aku kesal karena harus menghadapi semua ini sendirian, padahal sebelumnya aku masih bisa mengandalkan orang lain.

Atau mungkin aku tidak berjalan di masa lalu atau di masa depan. Mungkin aku tengah berjalan di sisi lain Schuraze, sisi yang ditinggali orang-orang mati, sehingga waktu dan setiap momentum seakan membeku. Walau udara berembus dingin, aku berkeringat. Seluruh aliran darahku dipenuhi adrenalin, pikiran-pikiran jahat berkecamuk dalam kepala, inilah hal yang paling kubenci dari kesendirian dan kegelapan. Separuh kewarasanku dikuasai oleh makhluk keji yang bersemayam dalam kepala. Semua hal yang di luar nalar menjadi serba masuk akal ketika aku sendirian dan tak ada yang menyadarkanku.

Menghalau semua kecamuk menyebalkan itu, aku meneruskan langkah. Semua mekanisme pertahanan diri kupasang untuk menjaga separuh kewarasanku yang tersisa. Makhluk apapun yang akan datang, datanglah. Aku lebih memerlukan kepastian ketimbang merasa takut untuk mati. Lalu setiap detiknya terasa menjadi lebih berat setiap kali aku bergegas, detak jantungku memukul-mukul gendang telinga dengan begitu keras sehingga aku tak bisa mendengar suara apa pun selain detak jantung itu, membuat suasana menjadi lebih mencekam dari yang pernah kubayangkan.

Aku sedang menuju ke suatu tempat, dan berharap bisa menemukan seseorang di sana. Bahkan yang paling tidak masuk akal dari segalanya, aku berharap Erik akan menyambutku di sana. Entah sendirian atau bersama Jyra, aku tak peduli. Aku hanya ingin meyakinkan diri bahwa di sini, aku tidaklah sendirian.

Aku mengharapkan banyak hal, mungkin aku menemukan cicitku di masa depan, atau menemukan nenek moyangku meringkuk di sudut perapian, menekuri buku-buku dari masa lalu. Tetapi setibanya di tempat itu, yang kulihat hanyalah puing-puing sisa ledakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top