E M P A T B E L A S
___
“Perpustakaan adalah tempat yang paling erat dengan masa lalu. Buku-buku lembab yang masih bisa diselamatkan dari masalalu, buku-buku itu adalah jendela untuk menatap lampau.”
___
“Apakah kau percaya jika kukatakan aku juga pernah mempelajari dan sangat tertarik tentang penjelajahan waktu?” tanya Xaviere begitu kami meninggalkan bar.
“Mungkin ya, mungkin tidak.” Aku menyadari bahwa selalu ada kemungkinan di balik kemustahilan. Schuraze memang bukan daerah maju bahkan di era kehidupanku yang dikatakan orang-orang sudah serba teknologi. Schuraze bukan distrik berisi labu-labu pengetahuan. Sedikit sekali orang peduli akan hal itu. Orang-orang Schuraze sejak semula memang mempertahankan diri dengan cara hidup sebaik-baiknya, menjalankan hidup sebagaimana adanya, tidak ada rasa penasaran ataupun haus akan pengetahuan, dan aku benci menjadi pengecualian dari setiap keteraturan itu.
“Aku tidak melakukannya seperti yang kau lakukan,” kata Xaviere hati-hati. Aku paham pada nada yang sarat akan keraguan, tetapi apa yang kukatakan padanya adalah apa yang sebenarnya terjadi. “Tetapi aku memang mempelajarinya, dan sedang berusaha meyakininya. Sampai kau datang.”
Semula, aku berpikir bahwa Xaviere mungkin akan mengusirku dengan cara tidak beradab, menuduhku sinting dan berkhayal. Ternyata pikiranku tentangnya sama sekali tidak benar. “Bagaimana kau mempelajarinya?” Adalah kalimat yang akhirnya sanggup kukatakan.
“Mulanya aku membaca beberapa teori yang kutemukan dalam buku di perpustakaan.” Xaviere memperlambat langkahnya sementara malam makin larut. Tetapi aku tidak lagi takut tersesat di antara malam, tak peduli seberapa berlikunya jalan-jalan itu. Sebab sang penakluk malam sedang bercerita di sampingku. “Aku selalu tertarik dengan masa lalu, masa yang berada jauh sebelum bencana besar terjadi. Aku ingin tahu bagaimana bumi sebelum sebagian besar wilayahnya terisolasi seperti sekarang. Meski sudah bertahun-tahun terlewati, aroma belerang dan sampah-sampah bencana masih sering tercium dan tersebar di mana-mana.”
Ya, aku tidak menyangkal itu. Beberapa hari berada di sini membuatku terbiasa dengan aroma menyengat yang tiba-tiba terbawa dari angin laut. Dan aku memang melihat Xaviere selalu tampak tertarik dengan pertanda kecil itu. “Aku ingin mengetahui segala sesuatunya, dan perpustakaan adalah tempat yang paling erat dengan masa lalu. Buku-buku lembab yang masih bisa diselamatkan dari masalalu, buku-buku itu adalah jendela untuk menatap lampau. Lalu masa lalu menjadi semakin jelas sewaktu kutemukan teori tentang perjalanan waktu.”
Aku masih setia mendengarkan setiap kalimatnya, hingga menikmati setiap jeda dan deru napas yang diambilnya. Entah sejak kapan Xaviere menjadi tidak asing lagi. Setiap pagi, suara yang pertama kali kudengar adalah suaranya—acapkali diselingi dengan suara Renee atau Odeya yang membangunkanku. Cerita-cerita yang dibaginya selalu mengalir, hingga aku merasa bahwa aku berada dalam cerita itu, menyertai setiap pengalamannya.
“Masa kecilku dihantui dengan teori-teori tentang perjalanan waktu, peta geografis bumi prabencana, dan segala hal yang tidak pernah bisa kubuktikan kebenarannya. Hingga kemudian aku bertemu Lotia.”
Pembicaraan itu bermuara pada cabang-cabang lain kehidupan Xaviere. Bukan hanya tentang minatnya terhadap sejarah, atau tentang obsesinya pada perpustakaan—sedikit banyak aku melihat perpaduan antara Erik dan aku di dalam sosok Xaviere—tetapi juga tentang orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mula-mula Renee, Odeya, lalu Argus, kemudian Lotia.
“Lotia juga penasaran dengan masa lalu?”
“Tidak,” Xaviere menggeleng, mempertegas pernyataannya.
“Lalu, apa kaitannya Lotia dengan ketertarikanmu pada perjalanan waktu?”
“Karena kemudian dia menjadi sering bertemu denganku, bertanya-tanya tentangku, hampir sepanjang waktu, sehingga ia tahu minat-minatku terhadap pengetahuan dan alam semesta.” Sekilas gambaran dari Xaviere, aku langsung bisa menilai Lotia, tipe-tipe—astaga!
Lotia mengingatkanku pada seseorang yang paling kubenci di dunia ini, dia yang selama ini kulupakan karena kehidupanku di masa lalu ini mulai menjadi terlalu menyenangkan. Jyra, Lotia mengingatkanku pada Jyra. Dan bagaimana orang-orang di sini memanggilku? Ischyra? Cyra? Astaga. Astaga. Astaga.
Bahkan alam bawah sadarku memutuskan sendiri nama yang diinginkannya. Nama itu hanya beda satu huruf dengan nama manusia yang paling kubenci di muka bumi ini. Sialan. Bagaimana jadinya jika Erik mengetahui semua ini? Ah, Erik tidak akan tahu jika aku tidak mengadukan kebodohan ini.
“Cyra? Apa kau masih mendengarkanku?” Xaviere membuatku tersadar dari lamunan. Sungguh, aku menyesal menggunakan nama itu. Tetapi sesungguhnya memang hanya itu yang terlintas di benakku sewaktu melewati alun-alun distrik.
“Apa? Tentu saja.” Xaviere menatapku tajam, menyelidik dari ubun-ubun hingga ujung kaki. “Sumpah,” tambahku kemudian. Barulah ia agak melunak dan meneruskan cerita.
“Lalu Lotia bercerita bahwa pamannya yang tinggal di Lastrada memiliki beberapa laboratorium penelitian dan salah satu objek yang sedang ditelitinya adalah mesin waktu.”
Lastrada merupakan distrik yang berada di bawah wilayah kekuasaan Amethys. Lastrada merupakan distrik paling maju di antara yang lainnya saat itu dan saat ini—bisa dikatakan saudara kandung Schuraze. Tetapi alih-alih diperlakukan sama, Schuraze diperlakukan seperti anak yang terbuang.
“Lalu kau memanfaatkannya?”
“Tidak, aku tidak bermaksud begitu. Tetapi dia dengan sukarela mengantarku ke sana.”
Aku tersenyum sinis. Apakah kodrat akan selalu berjalan seperti itu dari masa ke masa? Apakah akses orang dalam memang selalu menjadi pilihan utama?
“Kau berhasil menjelajah waktu?” tanyaku penasaran.
“Belum, percobaan itu belum ada yang berhasil. Tadinya aku bergabung dalam tim peneliti atas rekomendasi Lotia. Tetapi aku sudah berhenti melakukannya sejak setahun terakhir.”
“Mengapa?”
“Aku tidak bisa terus bersenang-senang. Aku harus mulai menjadi tulang punggung bagi keluargaku, Cyra. Ibu dan Odeya membutuhkanku.”
Aku mengangguk, mencoba memahami bahwa mungkin kerelaan Xaviere untuk melepas obsesinya telah mengundangku ke masa ini.
“Aku mulai melupakan semuanya, mulai meragukan kebenaran teori-teori yang pernah kuyakini, sampai kau datang dan berkata bahwa kau berasal dari masa depan.”
“Aku berharap kau bukan kakek buyutku,” ucapku. Spontanitas yang aku sendiri tidak tahu dari mana asalnya pikiran itu. Memangnya kenapa jika Xaviere ternyata kakek buyutku?
“Aku pun berharap begitu. Tapi siapa tahu?”
Tidak seorangpun di antara kami yang mengetahuinya, dan aku tidak mau mencari tahu. Xaviere terlalu menyenangkan untuk menjadi kakek buyut yang mengantarkan nasibku pada kemalangan hidup. Tetapi jika Xaviere terobsesi pada perjalanan waktu, semua itu tidak menutup kemungkinan. Bagaimana jika obsesi itu telah menjadi warisan dari generasi ke generasi? Hanya ada satu cara untuk mempersempit kemungkinan itu.
“Xaviere, apa nama keluargamu?”
“Alokra. Selalu sama dengan nama keluarga ayah, bukan?”
Barangkali memang begitu. Tetapi aku tidak ingat bahwa kakek buyutku adalah keluarga Alokra. Tetapi mungkin Alokra-alokra di masa depan sudah punah karena generasi setelah Xaviere hanya diwarisi oleh anak perempuan, yang artinya jika anak-anak itu menikah, nama keluarganya akan berganti menjadi nama keluarga suaminya. Memikirkan itu semua, tiba-tiba aku menjadi pusing.
“Aku tidak ingin memikirkan itu.”
“Aku juga tidak.” Xaviere menarik tanganku, lantas mempercepat langkah. Barangkali malam sudah akan berganti pagi jika langkah lamban dan cerita terus dilanjutkan.
Pasca bencana alam besar yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya, sebagian besar negara di bumi menghilang, kota-kota hancur, beberapa tenggelam, beberapa tercemar, beberapa mengalami kerusakan parah. Bencana besar itu menjadi dongeng sebelum tidur yang didengar Xaviere dari kakek neneknya sebelum mereka tiada. Setiap malam, satu kronologi ditanamkan ke dalam kepala Xaviere, untuk kemudian diulanginya padaku.
Gunung-gunung api meletus, tsunami demi tsunami, gempa tektonik, pergeseran lempeng bumi, mencairnya wilayah yang menjadi kutub utara dan selatan di bumi, kebakaran hutan, hujan abu, lalu perlahan-lahan setiap hewan dan tumbuhan mati, manusia juga. Bencana itu tidak serta merta, seperti cerita bersambung yang semakin hari semakin mengerikan, hingga pada klimaksnya, semuanya hancur. Mendung bertahun-tahun. Manusia yang tersisa berusaha bertahan hidup dengan kehampaan dan ketiadaan.
Lalu perlahan-lahan matahari kembali muncul di sela-sela mendung abu, air laut sedikit surut meski tidak pernah kembali seperti sedia kala. Dan manusia mulai melanjutkan hidup dari apa yang tersisa. Tetap bertahan meski trauma. Semua yang kutahu adalah tentang Qnamvis dan apa yang ada di dalamnya. Dua kota besar berdiri berseberangan, terpisah samudera nun jauh membentang: Amethys dan Karnelian. Mungkin masih ada yang tersisa di belahan bumi lain, tetapi aku tidak pernah mendengar ceritanya dari Schuraze, barangkali aku hanya ketinggalan informasi.
Karnelian yang kutahu penuh dengan kemewahan. Dan Jyra adalah salah satu bencana dari kemewahan itu yang memporak-porandakan kedamaianku di Schuraze. Mungkin Karnelian juga terbagi dalam beberapa distrik seperti Amethys, mungkin ada Schuraze yang lainnya di Karnelian yang jauh lebih terasing dibanding kami. Semua pengetahuan itu kudapatkan dari pengalaman menjadi tour guide pendatang-pendatang dari distrik lain dan sekarang ada tambahan sejarah dari Xaviere. Dia terbebas dari peraturan tinta darah. Bukan karena ayahnya seorang kepala distrik, melainkan karena memang peraturan semacam itu belum berlaku.
Amethys terbagi menjadi tujuh distrik, Lastrada dan Schuraze adalah salah duanya, yang paling maju dan paling terbelakang. Jujur saja, aku tidak terlalu penasaran dengan distrik-distrik lain di Amethys. Tetapi aku selalu penasaran dengan Karnelian.
Xaviere menghafal semuanya. Dia sangat handal dalam menghafal peta. Dalam lima menit, visualisasi itu saklek dalam ingatannya. Keterampilannya dalam segala hal membuatku semakin ciut dari hari ke hari. Sementara yang kulakukan hanya bergantung dari keahliannya.
Setelah pembicaraan singkat dengan Argus, dan setelah pengakuanku pada Xaviere di malam-malam sebelumnya, aku mendapatkan informasi-informasi penting tentang perbedaan yang sangat signifikan antara masa lalu dan masa sekarang. Xaviere serius soal menemaniku mengunjungi wilayah lain, Argus juga serius soal memberitahu beberapa kenalannya bahwa Xaviere dan aku akan berkunjung.
Sejak itu, Xaviere benar-benar mempersiapkan keberangkatan kami. Renee tampak tidak rela sewaktu Xaviere menyampaikan rencana kami. Sementara perempuan paruh baya itu melontarkan tatapan membunuh padaku, aku menciut di kursi, berharap udara dapat membuatku tak terlihat oleh mata tajam Renee.
“Bu, bukan Cyra yang memintaku. Aku yang menginginkannya. Aku tidak ingin Argus mencelakai Cyra,” jelas Xaviere sewaktu menangkap aura permusuhan yang dipancarkan Renee tepat kepadaku.
“Argus tidak punya alasan untuk menyakiti Cyra, Xaviere,” balas Renee kemudian, tidak ada nada tertentu dalam suara itu, tetapi aku tahu itu bentuk penyangkalan.
“Aku tidak bermaksud melibatkan Xaviere.” Memang terdengar seperti membela diri, tetapi begitulah kenyataannya.
“Aku tahu. Xaviere memang keras kepala.”
Jika memang dia mengetahui begitulah kehendak anaknya, mengapa ia memasang tampang seperti ingin menelanku hidup-hidup?
“Ibu,” panggil Xaviere lembut. Aku tahu betul usahanya untuk melunakkan hati ibunya akan gagal kali ini. Karena ketakutan Renee sepertinya terjadi, ia takut aku akan merebut anak laki-laki kesayangannya, dan itulah yang terjadi—meski aku tak pernah bermaksud demikian.
“Aku tidak melarangmu, juga tidak marah pada Cyra. Aku tahu dia tidak punya niat jahat pada keluarga kita. Aku hanya tidak mengerti, daya tarik apa yang dimilikinya sehingga kau merasa sangat bertanggung jawab untuk mendampinginya?” Akhirnya Renee mengalihkan pandang, kali ini menatap Xaviere penuh tanya.
Tetapi tidak seorangpun mendengar jawaban Xaviere.
Meski ada sedikit ketidakrelaan, kami akhirnya berkemas dan memulai perjalanan.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top