D U A P U L U H S E M B I L A N

___

“Aku tidak pernah takut mati. Namun, jika mati adalah sebuah kata yang memisahkan Xaviere dan aku, jika mati adalah hal yang memisahkan ingatan dari kepalaku, memusnahkan kefanaanku, maka aku mulai membenci kata mati.”
___

Situasi semakin rumit. Desas-desus tentangku menyebar cepat seperti asam sianida. Beberapa orang yang menjadi mata-mata Lotia mengendap-endap mendatangi kami sepanjang malam, menyampaikan berbagai hal yang mereka dengar dari penjuru distrik. Batu-batu masih dilemparkan menyasar rumah Lotia, meski intensitasnya agak berkurang. Kenyataannya mereka memang tidak pernah pandang bulu. Kematian Argus benar-benar membawa pengaruh besar pada keseimbangan distrik.

Aku khawatir yang akan menjadi korban bukan hanya aku atau Erik, tapi juga orang-orang yang berusaha melindungiku. Semua orang-orang ini bisa saja menjadi korban salah sasaran, dan itu semua tidak main-main. Sepanjang malam Xaviere terjaga, aku mengintipnya beberapa kali malam itu dan melihatnya mondar-mandir, mematung, mengacak rambut, menunjukkan berbagai gejala frustrasi yang sekuat tenaga disembunyikannya dari semua orang.

Maka pagi itu sewaktu matahari mulai naik sepenggalah, Xaviere mengemukakan keputusannya. Aku tidak akan hadir di persidangan, demikian juga Erik. Gagasan itu muncul untuk menghindari kemungkinan terburuk. Jikalau keputusan persidangan tidak dapat diganggu gugat, jika yang paling buruk terjadi—Erik dan aku mendapatkan vonis hukuman mati, setidaknya eksekusi tidak akan terlaksana di hari itu juga. Setidaknya masih ada waktu bagiku untuk bernapas, menulis sajak-sajak menyedihkan untuk kutitipkan di masa depan, atau sekadar menyampaikan maafku pada Ayah.

“Mengapa kau tidak ingin Erik dihukum mati?” Xaviere tengah mengikat tali sepatunya, bersisian denganku dan Lotia di sofa sempit seberang perapian sehingga siku kami saling bersentuhan.

“Kau tidak ingin dia mati, bukan?” Aku tidak tahu itu pertanyaan atau jebakan. Aku memilih untuk tidak menjawab. Menyadari tidak akan mendapatkan jawaban, Xaviere melanjutkan, “Dia sudah menyelamatkanmu dari Jyra. Kita semua berutang padanya.”

Aku bertanya-tanya sejak kapan utang nyawaku menjadi tanggung jawab Xaviere dan semua orang yang ada di ruangan itu? “Tetapi dia sudah membuat keluargamu hancur.”

“Jangan khawatir, Cyra. Keluargaku sudah hancur sejak sebelum kau datang kemari. Kematian adalah sebuah kepastian, memang menyakitkan untuk semua orang. Tetapi, kedua orangtuaku sendiri yang memilih mati dengan cara itu. Aku percaya takdir dan perjanjian dengan Tuhan. Jangan membahas hal itu lagi.”

“Apa untungnya bagimu dengan melakukan semua ini? Membahayakan nyawamu, merusak rumah Lotia, semua ini?”

Xaviere selesai mengikat tali sepatu, menepuk-nepukkan tangannya untuk mengenyahkan debu tak tampak, mengacak rambutku pelan, lalu beranjak pergi tanpa memberikan jawaban.

Selepas itu detik serasa bergulir lamban, mondar-mandir di ruangan luas itu dengan bunyi keras tongkat tidak membantu menjernihkan pikiran, tidak juga membuat detik cepat berlalu. Bagaimana jika akhirnya semua ini hanyalah sebuah kesia-siaan? Lagipula, jika dipikir-pikir, usahaku selama ini, segala yang kulakukan di sini, segala usahaku sepanjang hidup hingga mencapai titik ini adalah sebuah bentuk pelarian dari kenyataan. Sekuat tenaga memberontak dari takdir, takdir tetap mengejarku. Sekeras apapun aku berusaha mencurangi waktu, waktu menolak keberadaanku, pada akhirnya tetap mengembalikanku pada garis yang seharusnya kupijaki. Aku sempat berpikir untuk menetap selamanya di masa lalu, melupakan segala sesuatu di masa depan, membuat semua orang melupakan eksistensiku. Tetapi, Erik muncul kemudian, menciptakan kekacauan besar, seolah-olah pengasinganku terjadi sebagaimana mestinya.

Semua itu bukanlah kesalahan Erik, bukan berarti aku menyalahkan waktu. Aku hanya benci bahwa pada akhirnya akulah yang menyebabkan semua kehancuran itu. Akulah yang merusak gelombang waktu, dan barangkali kedatanganku ke tempat ini mengakibatkan kekacauan sejarah. Mungkin, jika aku tidak pernah ada, Argus masih akan terus memimpin Schuraze sampai beberapa dekade ke depan, atau Xaviere akan tetap menjalani hidup normalnya bersama Renee meski tak sempurna tanpa kehadiran ayah di rumah sederhananya.

Tiba-tiba pikiranku menjadi kacau, bertumpang tindih satu sama lain, membingungkan, dan tiba-tiba saja aku benci bahwa Ischyra adalah aku, bahwa Aby juga adalah aku. Kini, setelah semua kekacauan terjadi, aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk bertanggung jawab.

Menjelang petang, Xaviere kembali bersama Lotia. Dia menghambur ke arahku, menarik lenganku sehingga otomatis aku berdiri dari sofa, memelukku erat sehingga napasku nyaris tercekik. Seakan-akan jika tautan itu terlepas, aku akan mati. Napasnya yang memburu menggelitik helai-helai rambutku, aroma tubuhnya melekat dalam oksigen yang kuhirup, menusuk paru-paru, melekat di seluruh pembuluh darah, tertinggal dalam kepala, hingga mati.

Entah mengapa aku merasa itu adalah ingatan terakhirku tentangnya.

Gaun putih, altar, cincin perak, rumpun bunga liar yang dipetik dari sabana, ciuman singkat di kening, dan Xaviere, perlahan-lahan sirna dari angan. Di detik itu segala impian yang terkembang mendadak layu, mati, musnah. Nada-nada mayor yang menyenangkan dalam kepala mendadak terbuang begitu saja. Denting piano mengalunkan nada-nada berat dan sedih, menyesakkan dada. Aku sudah tahu bagaimana hasil persidangan.

Xaviere tidak akan memelukku seerat itu, tidak akan menangis, tidak akan membisu, jika hasil persidangan sesuai dengan harapanku—mungkin harapan Xaviere juga. Aku tidak pernah takut mati. Namun, jika mati adalah sebuah kata yang memisahkan Xaviere dan aku, jika mati adalah hal yang memisahkan ingatan dari kepalaku, memusnahkan kefanaanku, maka aku mulai membenci kata mati.

“Xaviere, kita harus bergerak cepat.” Lotia membuyarkan semua kecamuk yang kusut dalam kepala. Menggiringku kembali pada dunia nyata. Xaviere melepaskan diri dariku, tidak menatapku, sehingga aku memutuskan untuk tidak bertanya.

“Lo, bawakan tongkatnya, aku akan menggendongnya,” kata Xaviere. Kata –nya seakan-akan melemparkanku pada dunia asing yang tak mengenal bahasa, aku tiba-tiba saja menjadi tak bernama, tak terjamah, tak berarti.

“Aku bisa bergerak sendiri,” sahutku cepat. Harga diriku sudah terlanjur terluka.

“Kita harus bergerak cepat, Cyra. Eksekusimu akan dilangsungkan malam ini juga, kita harus tiba sebelum itu.” Lotia meraih tongkat di lengan sofa lebih cepat daripadaku.

Oh, tentu saja. Jadi aku benar-benar dihukum mati.

Aku bergerak mundur, terbanting sebab kakiku membentur meja, tahu-tahu aku sudah terduduk di lantai. Xaviere tampak terkejut, berusaha meraih tanganku, aku bergerak mundur, menolaknya. “Apa yang kau katakan di persidangan?” Tiba-tiba aku merasa marah atas semua ketidaktahuanku. Bodohnya aku mempercayakan semuanya pada dua orang asing itu. Barangkali semua memang sudah terencana. Mereka memang menginginkan vonis itu untukku, berpura-pura menyelamatkanku dan membuatku memercayai mereka.

“Cyra,” Lotia menjawab. Xaviere masih membisu, berusaha meraihku. Namun, setiap kali dia berusaha meraih tanganku, aku menepisnya. “Xaviere sudah berusaha semampunya.”

“Kau berusaha membunuhku?” Aku memandang Xaviere, menantangnya. Tetapi dia tetap membisu. “Kau mengantarkanku menuju altar kematian, agar semua orang menganggapmu pahlawan? Tidak. Aku akan berjalan menuju kematianku sendiri dan membawa semua harga diriku yang tersisa.”

“Cyra, dia bukan Argus yang bisa membuat keputusan yang disetujui semua orang. Semua orang berpikir kau sudah memperdayanya sehingga apapun yang ia katakan terdengar seperti kebohongan di telinga semua orang.”

“Aku tidak bicara denganmu!” teriakku pada Lotia. Setiap ucapannnya seakan menegaskan bahwa dia lebih tahu banyak hal tentang Xaviere daripadaku dan aku benci itu.

“Dia bahkan menawarkan diri untuk menggantikanmu di tiang eksekusi.”

“Lotia!” Xaviere membentak. Melemparkan tatapan tajam pada Lotia. Untuk pertama kalinya aku melihat Xaviere semarah itu.

“Teman-teman Lotia sudah menjemput Erik, mereka akan tiba di hutan sebentar lagi. Kita harus menyusul mereka.” Satu persatu airmata kembali berjatuhan di pipinya, semakin dia berusaha menyingkirkannya, semakin deras airmata itu mengalir. “Demi Tuhan, aku tidak ingin kau mati, Cyra.”

Situasi terasa membingungkan. Atau sejak tadi akulah yang membuat semua benang menjadi lebih kusut daripada sebelumnya?

“Mereka tidak mendengarkanku,” lirihnya. Kali ini sembari berjongkok di depanku. “Percayalah, aku tidak ingin kau meninggalkanku, tetapi aku lebih tidak ingin melihatmu mati. Kau harus percaya padaku, ini adalah cara terakhir untuk menyelamatkanmu, menyelamatkan Erik juga.”

“Tora juga sudah membawa mayat Jyra. Mungkin sudah waktunya kau pulang, Cyra. Jangan keras kepala, atau kau akan menghancurkan hidup Xaviere dengan kematianmu.” Lagi-lagi Lotia membuka suara. Namun, kali ini aku tidak keberatan.

Sejak tadi aku berprasangka buruk. Menyalahkan Xaviere dan membuang-buang waktu. Gagasan tentang mesin waktu sudah jauh tersingkir dalam kepalaku. Mengapa tidak sejak dahulu? Mengapa aku tidak mengirim Erik dan Jyra kembali sebelum terlambat?

Aku meraih tangan Xaviere, membiarkannnya membawaku naik ke punggungnya untuk terakhir kali. Menembus senja yang langitnya diselimuti cahaya magis dari surga, menembus temaram menuju kedalaman hutan, kembali melarikan diri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top