D U A P U L U H L I M A

___

“Dahulu sudah berlalu.”

___

Berlari, menerobos pasukan di mana Xaviere berbaur di antaranya. Tidak sepenuhnya dikatakan berlari karena gerakanku terpincang-pincang. Tetapi, amarah dan dendam membuatku mampu mengejar sepasukan yang dibentuk oleh Lotia, membelah mereka menjadi dua kubu seperti Musa membelah lautan dengan tongkatnya. Aku mendengar Lotia memanggil namaku, mendengar hentakan kaki di belakangku, tidak ada yang kuhiraukan.

Ruangan Argus terasa jauh sekali dalam jangkauan, aku memusatkan diri sepenuhnya pada emosi-emosi negatif tentang Erik dan Jyra semata-mata untuk mengurangi sengatan rasa sakit akibat tembakan Jyra tadi. Denyutannya semakin menjadi, tetapi tidak cukup menyakitkan daripada perlakuan yang kuterima dari Erik selama ini. Aku belum mau mengalah pada rasa sakit yang diakibatkan oleh kecerobohanku sendiri.

Seperti biasa, pintu ruangan itu menganga lebar, seperti lubang hitam yang sengaja membuka diri untuk menghisap dan melenyapkan keberadaanmu dari fana menuju sebuah tempat tak terjamah yang abadi. Sinar matahari menerobos petak-petak kaca buram jendela di sepanjang sisi kanan ruangan, berseberangan dengan pintu dan jejeran lemari arsip, menghantam tegel-tegel berbentuk mozaik abstrak pada derajat empat puluh lima.

Erik, di balik meja kekuasaan yang sebelumnya menjadi tempat yang istimewa untuk Argus, bersinar keemasan, tertimpa cahaya matahari dalam cara yang mengagumkan. Aku akan jatuh cinta berkali-kali padanya, percaya bahwa dia adalah malaikat utusan Tuhan yang memegang kuasa penuh untuk menggerakkan kehidupan di bumi, jika saja dia bukan Erik pasca mengenal Jyra. Aku menolak terpukau pada iris matanya yang berbaur dengan sinar matahari, mata itu akan membunuhku jika aku keras kepala memandanginya.

Dia menatapku sejenak, dalam pandangan datar yang menyebalkan. Gerakan-gerakannya hampir tak terbaca olehku. Tadinya ia duduk, menyatukan jemarinya di depan dagu seraya memandangiku seolah-olah sudah menduga bahwa aku akan kembali ke sana dalam dendam yang menggelegak. Lalu serta merta dia berdiri, dalam gerakan sederhana yang patut dikagumi—ingatlah bahwa laki-laki ini seorang aktor kebanggaan Schuraze, penipu, pandai bersandiwara dan penuh muslihat.

Sebelum perasaanku yang belum sirna ikut campur dalam situasi ini, aku mencabut anak panah dari ransel di punggung, memasangnya pada busur seefisien mungkin, dan tanpa ragu mengarahkan bidikan tepat ke arahnya.

Erik mengangkat tangannya, sedikit terperangah, barangkali. Lalu suaranya yang telah memengaruhi banyak manusia tiba-tiba terdengar serak. “Aby, kau tidak ingin membunuhku.”

“Sangat ingin,” sahutku. Fokus pandanganku bukan lagi ke dalam matanya, menguatkan tekad tidak akan berhasil jika aku tetap melihat wajahnya.

“Aby, aku kemari untuk menjemputmu!”

Selalu.

Dia selalu tahu kapan harus merendahkan diri sebelum menusuk tepat di jantung. Namun, kali ini aku sudah bukan lagi Aby yang bodoh. Ambisi Erik sudah bukan lagi urusanku, tetapi jika dia menghancurkan kehidupanku, kehidupan Xaviere—yang telah menyelamatkan hidupku berkali-kali—demi ambisinya yang gila itu, maka Erik sudah keterlaluan.

“Tidak ada yang menyaksikan kita di sini, Aby.” Erik merentangkan tangannya, seakan menyambut kedatanganku. “Tidakkah kau lelah bersandiwara? Sebentar saja, kau tidak perlu berpura-pura membenciku seperti itu. Kemarilah, bukankah kau merindukanku?”

Saat ini aku butuh sesuatu yang lebih daripada busur panah. Aku butuh sesuatu seperti rapier, katana, spatha, atau apa saja yang bisa kugunakan untuk menebas kepala laki-laki sialan itu. Kata-kata yang terlontar dari bibirnya ingin kupenggal bersamaan dengan kepalanya saat itu juga. Atau tombak runcing mana saja yang bisa kugunakan untuk menusuk jantungnya berkali-kali, yang mana saja. Anak panahku mungkin akan mengenainya, tetapi ia punya banyak waktu untuk tetap bicara omong kosong, dan aku sudah muak!

“Aku tidak pernah sekalipun merindukanmu lagi! Kau sudah membunuh Argus dan Renee, sekarang giliranmu.”

“Bukankah kau yang menginginkan kematian Argus? Kau ingin kita menguasai dunia bukan? Tidak di Schuraze kita, tapi di sini. Aku membunuh pemilik ruangan ini untukmu, Sayangku.”

Semakin Erik berkicau, semakin aku tak mengerti apa yang dimaksudkannya. Untuk sejenak aku merasa sia-sia telah membiarkan telingaku mendengar celotehannya yang membingungkan. Kemudian ketika pintu yang setengah tertutup di sampingku membuka lebar dan seseorang terpaku di ambangnya dalam ekspresi yang membingungkan, aku menyadari bahwa sejak tadi Erik tahu persis apa yang diucapkannya bukan hanya untuk mendistraksi niatku, tetapi juga untuk menjebakku dan memenangkan semua pertempuran telak, sebelum dia mengangkat senjata.

Xaviere berdiri di sana, di ambang pintu, sorot matanya seakan mengatakan, “Kau pengkhianat!” Namun, dibanding harus menjelaskan pada Xaviere dan membiarkan Erik bernapas sedikit lebih lama, aku lebih memilih memalingkan muka. Aku bisa menjelaskan semuanya nanti, dan jika Xaviere tidak menerima  penjelasanku, maka biarlah itu kuanggap sebagai hukuman atas bencana yang kusebabkan di hidupnya.

Xaviere melangkah, bak seorang aktor yang tengah menjadi pivot dari panggung yang megah, langkahnya lamat-lamat seakan menunggu sesuatu yang besar terjadi. Pintu di belakangnya setengah tertutup, ia bergerak menuju lemari arsip yang berdebu di ujung terjauh ruangan, mengawasiku, menghindariku, sesuatu yang menyakitkan tengah bergejolak dalam dadaku, memudarkan fokusku terhadap Erik. Begitu aku sadar bahwa fokusku terpecah, aku kembali pada Erik. Entah sejak kapan ia sudah bergerak maju, mempertipis jarak yang sejak tadi melebar. Busur di tanganku terlepas beserta anak panahnya, jatuh dengan mulus ke tegel menimbulkan suara kejatuhan yang halus. Aku membeku.

Tiba-tiba Erik memelukku erat, sesuatu yang terlambat untuk kusadari. Aroma tubuhnya bercampur dengan udara yang kuhirup, menyesakkan dada. Sesuatu mendesak-desak kerongkongan, aku ingin menjerit dalam pelukannya. Aku benci merasa lega dalam pelukannya. Aku benci dia adalah Erik. Akal sehatku memaksa untuk melepaskan diri darinya, maka aku mengabaikan gemuruh dalam dada, mengabaikan ego dalam benak untuk menerima pelukan itu lebih lama, aku memberontak darinya. Namun, semakin keras usahaku untuk melepaskan diri, semakin erat jemarinya mencengkeram punggungku, mengungkungku dalam pelukannya lebih kuat dari sebelumnya. Aku kehabisan napas, air mata jatuh bertemperasan dengan pakaian yang menempel di badannya, aku benci merasakan gejolak yang masih begitu kuat untuknya.

Aku terus meronta meski tahu usahaku sia-sia, hingga akhirnya dia berkata, “Sebentar saja, Aby. Aku ingin memelukmu sebentar saja. Sungguh, aku lelah dengan semua ini, sebentar saja. Seperti dahulu, hanya pelukanmu yang bisa membuatku mampu menenangkan diri.”

Dahulu adalah saat di mana Erik babak belur dipukuli ayahnya, biru di pelipis, bengkak di pipi. Lalu ia akan berlari ke rumahku diiringi dengan makian sang ayah,  aku akan dengan senang hati merentangkan tangan hingga emosinya mereda. Berkali-kali bibirnya meracau tentang sesuatu yang akan menyakiti ayahnya, tetapi aku selalu mampu membuatnya menahan diri dari desakan jahat itu. Dahulu adalah saat di mana semua masalah hidup Erik juga adalah masalah hidupku, pun sebaliknya. Dahulu adalah saat di mana kami saling menumpahkan emosi-emosi negatif untuk kemudian membiarkan semuanya hanyut tanpa bekas.

Aku benci menyadari diriku masih selemah itu untuk mampu melawannya. Tetapi aku tahu segala sesuatu tidak bisa kembali seperti dahulu. Aku tahu segala sesuatunya sudah tidak sama, dan aku menyadari bahwa Xaviere, di belakangku, tengah menunggu dengan sabar, memberiku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bukan pengkhianat. Entah mengapa pikiran itu membuatku mampu melepaskan diri dari Erik dengan paksa. “Dahulu sudah berlalu.”

Aku bergerak mundur, meraih busur dan anak panah yang tadinya terlontar tidak jauh dari bawah kakiku. Barangkali Erik memelukku untuk membuatku mengurungkan niat, barangkali dia tidak benar-benar ingin memelukku. Dan dia tidak pernah tahu bahwa aku sudah lama bangkit dari kebodohanku. Aku sudah melepaskan kebodohan itu saat terakhir kali dia menertawakan mesin waktuku, mengataiku gila dan memintaku untuk melupakannya.

“Mundur!” bentakku padanya, meski terdengar melengking dan putus asa, aku serius soal mengulur jarak. Aku bergerak mundur sembari mengarahkan bidikanku padanya. Dia membeku, seluruh wajahnya basah, dan aku baru menyadari rambutku basah saat itu. Erik kembali menjadi bocah yang selalu mendapatkan kekerasan dari ayahnya. Erik kembali menjadi laki-laki rapuh yang dipenuhi gejolak untuk menjadi lebih kuat. Setelah sekian lama, aku kembali melihat Erik menangis.

Dia memandangiku, kali ini tanpa sorot licik seperti yang terakhir kali kuingat. Seakan pasrah dan tunduk pada semua mauku, dia mundur dalam langkah lunglai sembari terus menatapku. “Aku tidak akan membela diri,” katanya.

“Terakhir kali, sebelum kau menghadiahkan anak panah itu pada jantungku—“ Jeda sejenak, sisi lemahku meminta diri untuk mengampuninya. Tetapi dua nyawa tidak akan beristirahat dengan tenang jika kumaafkan laki-laki sialan itu. “—Aby, aku menyesal sudah mencampakkanmu. Aku menyesal sudah menyakitimu. Sewaktu kau tiba-tiba tidak pernah keluar lagi dari kamarmu, tidak pernah mengambil sarapanmu yang kuletakkan di depan pintu, aku berpikir kau mungkin sangat mencintaiku sehingga tak sanggup tetap hidup tanpaku. Aku kira kau memutuskan untuk bunuh diri.”

Xaviere tidak ikut campur sejak awal, betapa aku ingin laki-laki itu membelaku saat ini, mengacungkan senjata yang tadi diperolehnya dari Lotia, berdiri di sampingku dan bersatu untuk membalaskan kematian kedua orangtuanya. Namun, ia berdiam diri, seperti tengah menunggu momentum. Tidak mengambil bagian, sengaja menjadi penonton bisu tanpa sorak sorai yang membakar adrenalin. Kediamannya menyesakkan dada.

“Aku menerobos kamarmu, dan menemukan mesin waktu milikmu yang selama ini kuanggap omong kosong. Aku menyesal tidak percaya padamu. Lalu aku kemari dan tidak menemukanmu. Aku tidak tahu Jyra menyusulku, dia tiba-tiba berkata padaku bahwa kau mungkin dibunuh oleh pemimpin distrik karena sudah menjadi penyusup. Maka aku menemui Argus dan bertanya padanya, tetapi dia mengatakan bahwa dia tidak mengenalmu. Aku mengejarnya, aku tahu dia berbohong karena kutemukan potongan pakaianmu di salah satu rumah yang dikunjunginya. Aku masuk ke sana dan tidak menemukanmu. Aku membunuh mereka, karena …”

Erik mengusap wajah frustrasi, airmata masih menggenang sesekali dan segera dihapusnya dengan kasar. “Jyra mengatakan padaku bahwa aku harus membalaskan kematianmu dengan menguasai tempat ini, aku harus menjadi penguasa di sini, aku harus menyiksa siapa saja yang sudah membunuh Aby-ku.”

“Omong kosong. Kau tidak bisa menipuku dengan skenario buatanmu, aku tahu kau siapa, Erik.”

“Demi Tuhan, Aby. Aku lega melihatmu di ruanganku malam itu.”

“Ruangan Argus,” ralatku.

“Aku lega melihatmu masih hidup. Namun, jika aku memelukmu malam itu dan menjelaskan alasanku, aku tahu kau akan menyalahkan dirimu sendiri untuk itu. Maka aku memutuskan untuk tetap menjadi Erik yang terakhir kau ingat, Erik yang jahat.”

Kedatangannya ke Schuraze saja sudah berhasil membuatku menyalahkan diri sendiri. Dan sekarang lengkap sudah. Argus dan Renee pun mati karena menyelamatkan hidupku. Sesudah ini, aku tidak lagi sanggup menampakkan wajah di hadapan Xaviere.

Kegaduhan di luar ruangan semakin membesar, aku bisa mendengarnya sayup-sayup dari  celah-celah pintu yang terbuka. Langkah kaki tergesa, sesuatu membentur dinding, suara kejatuhan, lalu suara pintu terbanting di sampingku. Wajah Jyra-lah yang pertama kali tampak di sana. Ia merangsek ke dalam ruangan, menyerangku, membanting busurku hingga terdengar bunyi patahan yang mampu membuat emosi memuncak. Aku terlalu terkejut untuk menghalau serangannya, tahu-tahu ia sudah memukuli, mencakar, dan melakukan segala cara untuk mencegahku dari meraih Erik.

Sewaktu memastikan aku tidak lagi bisa melawannya, dia duduk di atasku, mengurungku di antara kakinya, pandanganku kabur akibat serangan bertubi-tubi yang terlambat kusadari, tetapi aku bisa melihatnya mengacungkan pistol yang digunakannya untuk menembak kakiku di alun-alun distrik beberapa saat yang lalu. Lalu suara ledakan terdengar. Dalam kepala aku bisa membayangkan bagaimana proyektil peluru itu menembus kulit, merobek pembuluh darah, kemudian terbelah dan melebar seperti bunga yang mekar, kemudian anak peluru akan tertinggal di suatu tempat di dalam sana, mengantarkanku pada istirahat panjang yang abadi.

Darah membasahi tubuh, memercik di wajah, kakiku berdenyut-denyut menyakitkan, baru kali itu aku merasakan betapa tak tertahankannya sebuah rasa sakit jika yang kita rasakan hanya sakitnya saja. Aku melihat pemakamanku, jasadku yang abadi tertinggal di masa lalu, Ayahku yang malang akan tinggal sendirian hingga akhir hayatnya, dianggap gila selamanya.

Sampai Jyra tiba-tiba tumbang, menghantamku dengan keras sehingga rasa sakit itu semakin nyata. Tubuhnya hangat, menggelepar di atasku, darah masih memercik dan membasahi tubuhku hingga aroma karatnya menusuk indra penciuman. Aku tergugu dalam momentum mengejutkan itu, aku tidak mati. Seseorang membebaskanku dari tubuh Jyra yang masih setengah sadar, mati-matian berusaha membuka suara. Tetapi aku terpaku. Kubiarkan seseorang mengambil alih diriku, membawaku dalam dekapan erat.

Erik berdiri agak jauh di depanku, tampak terkejut dengan segala yang terjadi. Pandangannya kosong, dan setengah kesadaranku yang tersisa masih bisa melihat sisa-sisa asap yang keluar dari moncong pistol yang digenggamnya erat.


Gais,
Erik X Aby
atau,
Xaviere X Cyra?

Ayo komen ayo komen😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top