D U A P U L U H E M P A T

___

“Kau harus berhenti mengada-ada. Satu kebohongan tidak pernah cukup, selalu akan diikuti oleh kebohongan lain.”
___

Xaviere bergegas, melebur bersama beberapa pemuda lain, timbul dan menghilang dari pengawasanku sewaktu-waktu. Perempuan yang terlibat hanya Lotia dan aku saja. Aku bergerak di belakang semuanya, selain busur, aku tidak punya senjata apa-apa. Barangkali Lotia masih mencurigai aku sebagai mata-mata Erik. Benar, aku datang tanpa motivasi yang jelas. Bepergian bersama Xaviere melintasi distrik terlihat seperti pengalihan perhatian sementara Erik tiba-tiba datang dan mengacak-acak Schuraze.

Barangkali Xaviere juga memutuskan untuk berhenti memercayai kedatanganku yang tanpa motivasi. Orang-orang ini tidak paham betapa rumitnya hukum di masa modern sehingga membuat mesin waktu hanya demi berkeliling dunia lebih terdengar seperti lelucon daripada sebuah alasan yang masuk akal.

“Kau bisa menipu Xaviere, dan aku juga hampir tertipu.” Lotia berbalik tiba-tiba, berjalan bersisian denganku meski tanpa empati yang sama seperti saat pertama kali kami berjalan bersisian menuju gedung dewan.

“Kau boleh tetap percaya pada anggapanmu tentangku. Tetapi kau harus tahu, aku tidak pernah berbohong soal Erik. Dia benar-benar melewati batasannya. Dan sama sepertimu, aku setengah mati membencinya.” Terserah bagaimana jadinya kehidupanku di masa mendatang, aku hanya tidak mau menanggung dosa yang tidak pernah kulakukan.

“Cerita yang mana saja, tak ada bedanya, Aby, Cyra—siapapun kau sebenarnya. Yang paling benar tentang semua ini adalah kau yang menyebabkan Erik datang dan membunuh Argus. Kau yang menyebabkan Erik sampai kemari dan menghancurkan distrikku yang damai. Siapapun yang terlibat dalam pembunuhan Argus, bagiku dia bersalah. Apapun motifnya.”

Aku melihat nyala di dalam bola matanya yang sehitam malam. Semua permasalahan ini memang bermuara pada Erik dan Argus. Aku tidak tahu mengapa sejak awal Lotia selalu terobsesi dengan Argus, tetapi memang kematian Arguslah yang mendorongnya terjerembab ke dalam semua kegilaan ini. Coba lihat, gadis mana yang mau repot-repot membahayakan nyawa demi menaklukkan Erik—yang menjadi momok bagi warga Schuraze? Pemuda maju demi harga dirinya sebagai seorang laki-laki dan tanggung jawab mereka atas keselamatan penduduk. Tetapi Lotia? Apa yang mendorong Lotia untuk mengetuai dan membiayai segala kerumitan ini? Argus, kematian Arguslah yang telah melahirkan dendam dalam dirinya.

Aku tidak sempat bertanya pada Xaviere tentang hubungan Lotia dan Argus. Melihat betapa Lotia sangat menghormati dan sekaligus memuja mendiang Argus, aku yakin bukan hanya kekaguman remaja tanggung terhadap ketua distriknya, aku yakin ada hal-hal lain yang menjadi motifnya. Bahkan, orang awam akan menyangka bahwa Argus adalah Ayah Lotia ketimbang Xaviere. Tetapi keberadaan Lotia justru sangat mengganggu ketenangan Xaviere. Begitu banyak ketidaktahuan yang terlambat untuk kugali. Dan kini aku tidak tahu bagaimana cara mendulang kepercayaan Lotia kembali.

“Siapa kau sebenarnya?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari bibirku. Sebuah kalimat yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang tamu kepada si pemilik rumah. Tetapi aku butuh tahu lebih banyak agar bisa mengambil langkah yang benar. “Maksudku, siapa kau bagi Argus dan Xaviere?”

Pada kalimat pertama, aku menangkap ekspresi penuh tuduhan, seperti seseorang yang tidak sabar ingin memukuli pencuri di rumahnya, tetapi pada kalimat kedua gadis itu membuang muka. “Bukan siapa-siapa.”

“Baiklah, dengar.” Aku masih memperhatikan kepala Xaviere yang berbaur dengan orang-orang di sekitarnya, kukenali dengan baik gaya rambutnya sampai aku yakin aku tidak sedang mengamati orang yang salah. Masih bersisian dengan Lotia, aku terpaksa harus mengatakan semuanya. “Erik mantan kekasihku. Aku menghabiskan hampir seluruh hidupku bersamanya sampai satu tahun terakhir. Mesin waktu adalah ambisiku—ambisi kami. Schuraze di masa depan terisolasi dari dunia luar. Hanya orang terpandang saja yang bisa keluar dari distrik. Tetapi aku dan Erik ingin melihat dunia. Maka segala cara kami lakukan.”

“Segala cara? Termasuk membunuh Argus dan merusak apa yang ada di masa lalu?”

“Itu semua di luar rencana. Suatu hari Jyra datang ke distrik kami dan merusak segalanya. Gadis itu berasal dari Karnelian, bangsawan yang akan mewujudkan segala hal yang diinginkan Erik. Kau harus tahu kebencianku pada mereka berdua sama besarnya dengan kebencianmu sekarang. Jika legal membunuh mereka di sini, akan kulakukan.”

Lotia masih bicara dengan nada sinisnya. “Aku tidak akan memercayai omong kosong itu sampai kau benar-benar melawan mereka. Lagipula, mengapa dia bisa punya akses untuk menyusulmu kemari?”

“Aku tahu kau juga mempelajari mesin waktu bersama Xaviere, Lo. Kau tahu teori lubang cacing? Mesin waktuku bekerja seperti itu. Mereka terhubung satu sama lain, sementara mesin itu tertinggal di dalam hutan, mungkin aku lupa menutup portal, dan Erik secara lancang telah mengobrak abrik rumahku dari sisi sana.”

“Kau harus berhenti mengada-ada. Satu kebohongan tidak pernah cukup, selalu akan diikuti oleh kebohongan lain.”

“Malam tadi kau meminta penjelasan, sudah kujelaskan. Percaya atau tidak, itu urusanmu dengan dirimu sendiri. Kita bisa selesaikan semuanya nanti. Sekarang kita harus menghadapi Erik.”

Lotia mengangguk, tidak ada sanggahan. Semua orang memproses informasi yang mereka terima, menyimpannya baik-baik sebelum diolah kembali nanti, kini kami berfokus pada jalanan, para penduduk bersembunyi menghindari terang, berpaling dari mata Erik, mengutuki cakrawala yang membiru bagai samudera—sama sekali tidak merasa iba dengan rasa takut akibat teror yang dialami penduduk Schuraze.

Xaviere dan aku masih belum menemui mendiang Argus dan Renee, sementara semua orang mungkin tengah berkumpul di sana, menanti kami hadir. Tetapi satu hal masih harus dituntaskan. Duka hanya akan melemahkan jiwa, maka kami terus maju, menyalakan api dalam dada, mencegah duka yang akan membuatnya padam.

Di ujung jalan, Xaviere berbelok bersama sekumpulan pemuda yang bergerak tanpa suara, penuh tekad. Sebelum Lotia dan aku tiba di persimpangan, seseorang menghadang langkah.

Seperti yang mungkin melintas dalam benakmu, benar. Jyra-lah yang berdiri di sana. Dan seperti terakhir kali aku melihatnya, keangkuhan melekat erat dalam setiap sikap yang diambilnya.  Aku masih sedemikian membenci gadis itu sehingga hasrat untuk meludahi wajahnya amat besar. Maju selangkah, aku melihat senyumnya yang miring.

“Oh, Aby, senang bertemu lagi denganmu,” katanya. Aku tak mengerti mengapa orang begitu cerdik menyimpan kebenciannya dan bergerak seolah-olah menyukai lawan bicaranya hanya untuk menusuk lebih dalam saat ada kesempatan. Barangkali, karena itulah dia menjadi aktris tersohor.

Aku maju selangkah lagi, memikirkan cara yang bagus untuk merobek bibirnya agar senyum palsu itu tak pernah menghilang dari wajahnya. “Aku sebaliknya,” jawabku. Tanganku bergerak untuk meraih wajahnya, menimbang-nimbang untuk menggunakan busurku dan langsung membidik jantungnya, tetapi tidak akan efektif dalam jarak dekat. Namun, sebelum tanganku sempat merenggut wajah Jyra, Lotia lebih dulu meraih tanganku.

“Kau harus ingat, tidak boleh ada pertumpahan darah selain gedung dewan dan alun-alun,” bisiknya dengan nada peringatan.

Lantas aku mundur kembali, mengabaikan Jyra dan terus melanjutkan perjalanan bersama Lotia. Di lain waktu, Lotia dan Jyra bisa saja bersatu untuk menyerangku sebab keberadaanku mengancam mereka. Tetapi kali ini keinginanku hanya mengembalikan Schuraze pada kedamaian awalnya. Entah bagaimana caranya, tapi aku akan menaklukkan Erik.

Jyra terus mengejar, meski tidak mengejar secara harfiah. Dia berjalan, terang-terangan membuntuti kami melewati jalanan sempit, bahkan ketika kami mengambil jalan yang berputar-putar, dia tetap berada di belakang kami.

“Kapan aku boleh membidik jantungnya?” tanyaku gemas.

“Sebentar, sebentar lagi. Kita usahakan untuk masuk ke dalam gedung dulu.”

Alun-alun mulai tampak di ujung jalan. Distrik lengang, hampir mati. Pengaruh Erik memang sebesar itu, padahal kemampuan satu-satunya yang ia miliki hanyalah menghipnotis orang lain. Aku tahu laki-laki itu tidak pandai memegang senjata sama sekali. Sehingga aku mulai bertanya-tanya, bagaimana dia membunuh Argus?

“Kau tahu,” ujarku pada Lotia, gadis itu mengamatiku sekejap sebelum bergegas menuju alun-alun—kami semakin dekat. “Aku mulai berpikir bahwa mungkin yang benar-benar membunuh Argus adalah Jyra.”

“Oh, jangan mengasihani mantan kekasihmu. Mereka tidak ada bedanya.”

“Yah, memang. Hanya merasa perlu untuk membidik perempuan itu sekarang!” Aku mencabut anak panah dari ransel di punggungku, melepas busur dari pundak sembari berbalik, menghadap langsung pada sosok Jyra di belakang sana. Masih sekitar dua menit jarak tempuh sebelum kami tiba di alun-alun kota, tetapi aku sudah muak.

“Cyra, jangan!”

Aku mengabaikan teriakan itu. Dalam satu bidikan, kulepaskan anak panah itu menyasar dadanya. Tetapi dia masih punya cukup waktu untuk mengelak. Satu kali lagi, teriakan Lotia menggema, aku tidak mendengarkan.

Sekonyong-konyong Jyra berlari, kali ini benar-benar mengejar kami. Lotia berlari di sampingku sembari memaki-maki. “Sudah kubilang, sabar! Tunggu momentumnya!”

Napasku terengah, terbakar adrenalin. Sungguh, aku ingin membuat perempuan itu terkapar dan mati untuk mempertanggungjawabkan semua kesalahannya. Satu suara tembakan mengudara, aku berhenti berlari. Lotia terus maju, mengejar gedung dewan yang hanya tinggal sepenggalah, menyeberangi alun-alun, tetapi aku mematung. Aku berbalik untuk melihat Jyra yang tengah berlari sembari mengacungkan senjata api.

Aku membeku dan terpaku pada rasa sakit tak tertahankan yang tiba-tiba menjalar di kakiku sebelah kiri. Dalam sekejap rasa sakit itu berubah menjadi dendam. Aku mengumpat, memasang anak panah pada busurnya, tertatih mundur, mencoba memperlambat gerakannya, tetapi anak panahku sama sekali tidak menyentuhnya. Menyerangnya sama sekali tak berguna, gerakanku melambat sementara ia terus mengejar, maka aku berbalik sekali lagi, letusan senjata membuatku bergidik, insting menggerakkanku agar bergerak zigzag, mengaburkan fokus Jyra pada tubuhku.

Aku ingat bagaimana akhirnya aku sanggup mengejar Lotia, sekali lagi, mengizinkan gadis itu menyeret-nyeretku pada rencananya. Menyerahkan diri sepenuhnya, hingga pintu terbanting menutup di belakang kami.

Satu peluru menembus pintu, aku ingin berhenti sejenak, tetapi khawatir rasa sakit akan membuatku terhenti lebih lama, maka ketika Lotia menawarkanku untuk bersembunyi di salah satu ruangan untuk mengambil napas, aku menggeleng pelan. Aku harus ikut membunuh Jyra meskipun akhirnya aku yang akan terbunuh dalam peristiwa itu.

Notes:

Maap ya belakangan ini jadi sering nulis catatan kaki:")

Tadi ada yang tanya ini kapan selesai dan bakal selesai di bab berapa. Bentar lagi bakal aku rampungin kok, karena abis ini aku mau kejar skripsi, Tryst sama satu proyek baru buat Monpara 2 #MontaksDeathMatch uyee tag sayang akoh dulu MontaseAksara

Ischyra ini proyek Monpara tahun lalu, terus belom kelar-kelar😫 Makanya bakal kuusahain selesai sebelum pertengahan April. Doakan yaa supaya enggak mageran lagi😭

Soal pertanyaan kelar di bab berapa, aku belom bisa pastiin ya. Soalnya aku bikin kerangka di awal cuma 22 bab, tapi ternyata banyak yg harus kukembangkan. Mungkin bakal kelar di bab 30-an, gaktau juga😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top