D U A P U L U H D U A
___
“Kebencian membuat semua kebenaran terasa seperti pembenaran yang memuakkan.”
___
Pelipisku terantuk dinding pembatas, tetapi Lotia tetap berbelok menuruni tangga sembari menarik lenganku. Hantaman demi hantaman terdengar dari lantai yang semula kupijaki. Tidak ada waktu untuk berpikir. Malam yang hening mendadak riuh, terutama gedung dewan. Ledakan demi ledakan menyusul di celah-celah lorong, tangan telanjang Lotia mulai berkeringat, asap mengejar-ngejar jejak yang kami tinggalkan. Aku masih meninggalkan otakku entah di mana, seluruh gerak tubuhku adalah hasil kerja keras Lotia dalam melarikan diri.
Sampai di lantai terbawah, kami tersaruk-saruk menelusuri lorong panjang yang terhubung ke lobi depan. Dalam keadaan normal, lorong temaram itu bisa dilalui sekejap saja dengan berlari. Entah mengapa malam ini lorong itu seakan tiada akhir, pintu-pintu yang berjejer di setiap sisinya menganga, seakan sengaja ditinggalkan buru-buru.
Aku masih tidak tahu apa yang terjadi. Aku ingat pembicaraan terakhirku dengan Erik. Aku ingat bagaimana Lotia mendengar dengan telinganya sendiri Erik memanggilku dengan nama itu. Aku baru akan mencabut anak panah dari punggungku dan berencana membidiknya untuk mengakhiri kemelut itu, tetapi Lotia lebih dulu menarik lenganku, menyebabkan anak panah yang sudah kuambil terpental entah kemana, terantuk tegel yang dilapisi karpet usang dan lenyap. Sewaktu meninggalkan ruangan itu aku melihat Erik yang mematung dengan wajah pucatnya, tetap mematung hingga ia hilang dari pandanganku.
Lotia sudah melepaskan genggamannya dari tanganku, melesat jauh menghampiri pintu masuk utama setibanya di lobi, dan aku berjalan linglung mengikutinya. Seharunya aku mendengarkan apa rencana gadis itu dan pemuda-pemuda yang mengiringinya. Semua kebodohanku membuat segalanya terasa jauh membingungkan. Lotia berusaha membuka pintu utama, tetapi pintu itu bahkan tidak bergeser sedikitpun. Ditendangnya, dipukulnya, didobraknya dengan bahu, bahkan yang terdengar hanyalah bunyi tubuhnya yang menghantam pintu tanpa hasil.
“Ischyra, bantu aku!” teriaknya, menggema dalam lobi yang kosong dan gulita. Aku bergegas, mengumpulkan tenaga dan membiarkan amarah yang sempat terinterupsi oleh kebingungan untuk kembali memuncak. Aku butuh amarah itu untuk menghancurkan Erik, aku butuh kekuatan dari emosi-emosi gila itu. Dan aku berlari, membayangkan Erik berdiri di tengah-tengah pintu, menghalangi Lotia. Kupejamkan mata, semakin mempercepat lari, kalap, kuhantam pintu besar itu sekuat tenaga. Rasanya seluruh tubuhku remuk redam, dan pintu tetap tidak bergerak dari kunciannya.
Aku terhempas, kebingungan, aku mendengar teriakan Lotia yang membahana. Lalu asap membubung tinggi, aku tidak dapat melihatnya, tetapi tenggorokanku terasa seperti terbakar, udara yang kuhirup beraroma mesiu, menusuk hidung. Aku tersedak, telingaku berdenging setelah teriakan Lotia yang diiringi dengan suara keras. Aku tidak bisa memastikan segalanya. Lobi sudah gulita sejak awal. Dan aku tidak ingat salah satu dari kami menutup kembali pintu sebelum naik ke lantai atas.
Seseorang sudah mengincar kami sejak awal. Dan keberadaan Erik dengan pintu ruangan Argus yang terbuka bukanlah sebuah kecerobohan, tetapi kesengajaan. Tentu saja Erik sudah merencanakan itu semua. Kemudian aku berdiri dari kejatuhanku, mencari-cari keberadaan Lotia, aku ingin sekali meneriakkan nama gadis itu, tetapi tidak ada suara yang keluar dari kerongkongan.
“Sialan!” Di pojok, tidak jauh dari keberadaanku, suara itu terdengar. “Cyra, kau baik-baik saja?” tanyanya. Aku merasakan gerakan seseorang mendekat, dalam buta kau justru lebih pandai merasakan gerakan dan gelombang suara.
“Aku baik-baik saja,” balasku, sekuat tenaga mempertahankan kesadaran.
“Salah satu di antara pemuda itu berkhianat!” kata Lotia geram. Aku masih belum tahu di mana keberadaannya dan kegelapan itu mulai terasa memuakkan.
Aku tidak peduli siapa yang telah berkhianat, dan aku tidak peduli pada semua kekacauan itu, yang jelas aku sudah muak dan ingin segera keluar dari sana, barangkali aku perlu mendiskusikan cara membunuh Erik dengan Xaviere, membicarakannya dengan kepala dingin dan penuh perhitungan. Erik tidak akan kuberikan kesempatan untuk menghancurkanku lagi semudah ini.
“Aby!” Lalu suara itu terdengar, berasal dari lorong koridor. Saat itu Lotia sudah berdiri di dekatku.
“Itukah nama aslimu?”
Aku tidak menjawab. Saat itu yang kupikirkan adalah bagaimana caranya agar bisa keluar dari gedung dewan itu tanpa harus berurusan lagi dengan Erik. Segala cara kulakukan untuk membuka pintu sialan itu, lalu Lotia membantu setelah termenung cukup lama.
“Ada banyak pertanyaan dalam kepalaku,” ujarnya. “Dan aku percaya kau akan memberikan semua jawabannya padaku.”
Aku tidak mengerti mengapa Lotia harus mengucapkan itu, menyatakan kepercayaannya padaku? Atau apa? Jika aku tidak bisa dipercaya ia akan melempariku dengan senyawa kimia yang disimpannya dalam ransel? Oh, sungguh sedetikpun aku tidak lupa siapa Lotia.
Kemudian, sewaktu kami mati-matian mendobrak pintu sementara suara Erik menggema semakin dekat menuju kami, gerakan kaki yang mulai terasa mengganggu, seolah-olah sepasukan manusia tengah mengendap-endap untuk menyerbu kami—pintu tiba-tiba saja menganga lebar.
Malam masih gelap, tetapi lampu jalanan yang temaram cukup untuk membebaskan mata dari kegelapan lobi. Seseorang berdiri di depan pintu, wajahnya tak tampak akibat membelakangi cahaya. Tetapi sewaktu kudengar suaranya, kutarik lengan itu bersama dengan Lotia, tanpa membuang waktu, kami melarikan diri.
Sepanjang jalan pikiranku terasa penuh. Segala hal bercampur aduk, termasuk bagaimana cara menceritakan yang sebenarnya pada Xaviere—dan juga pada Lotia, sebab gadis itu terus saja mengikutiku. Aku yakin sekali Erik tidak membawa pasukan, tetapi masih ada kemungkinan dia bisa merekrut beberapa orang untuk menjaganya dari bahaya. Erik pandai menghipnotis orang lain dan dia sangat cerdas dalam urusan mengelabui orang lain.
Xaviere tidak berbicara sepatah kata pun, dan aku tidak berniat memecah hening yang merebak. Schuraze masih hening setelah kekacauan di dalam gedung dewan. Sesekali aku menoleh kembali asal kedatangan kami untuk memastikan tidak ada orang yang membuntuti. Hingga kemudian rumah Xaviere samar-samar tampak di ujung jalan. Aku menelan ludah. Kepanikan melanda, tetapi satu kebohongan lagi hanya akan menghancurkanku.
Di muka pintu, Odeya menyambut dengan wajah pucat, keadaannya jauh lebih baik dari sejak pertama kali aku melihatnya. Pakaiannya sudah beganti sehingga jejak darah di tubuhnya sudah menghilang. Kemudian aku teringat cerita Lotia tentangnya. Tahu gadis itu berlari, menghampiri Odeya dan mendorongnya masuk ke dalam rumah. Aku dan Xaviere menyusul di belakangnya.
“Kau tahu tidak seharusnya berdiri di depan pintu seperti tadi. Kau sedang terancam bahaya!” omel Lotia pada Odeya. Sekejap kemudian keduanya masuk ke dalam kamar, meninggalkan Xaviere bersamaku.
Barulah saat itu tatapan Xaviere mengarah padaku. “Sudah bertemu ibuku?”
Aku menggeleng.
“Ingat pesanku tentang jangan berurusan dengan Lotia?”
“Xaviere ....”
“Kau memang tidak pernah mau mendengarkan orang lain. Semuanya selalu saja tentangmu! Aku sudah bilang jangan berurusan dengan Lotia, dia hampir membunuhmu di dalam gedung itu! Aku sudah bilang tinggallah di sini, kita urus besok pagi, kau tetap bersikeras dengan maumu.” Sepanjang mengenalnya, baru kali ini aku melihatnya marah. Tetapi dia sudah salah paham tentang Lotia.
“Lotia justru yang menyelamatkanku dari Erik. Soal ke gedung dewan, iya, memang salahku. Maaf, Xaviere. Aku merasa semua ini terjadi karena salahku.”
Dia mengusap puncak kepalaku secara mengejutkan, menggiringku agar mengambil tempat duduk. “Kau harus tahu betapa mengganggunya harus mencemaskanmu sepanjang malam. Aku harus menunggu Odeya tidur supaya bisa menyusulmu. Tapi sepertinya Odeya tadi pura-pura tidur.”
Ada banyak hal yang harus kubicarakan dengan Xaviere, tetapi entah harus memulainya dari mana. Beberapa detik kami hanya saling menunggu, barangkali sebelum beralih pada topik menyebalkan seperti Erik, atau ke topik sedih tentang kematian kedua orang tuanya, aku harus meluruskan kesalahpahaman Xaviere tentang Lotia.
“Kau tadi bilang Erik? Siapa dia?” Xaviere sudah lebih dulu menemukan suaranya.
“Xaviere, hal yang akan kubicarakan padamu mungkin akan sedikit membingungkan, dan mungkin kau juga akan membenciku setelah ini. Tetapi sebelum itu kau harus tahu bahwa Lotia serius soal menyelamatkanku dari Erik—orang yang sudah membunuh orang tuamu.” Entah mengapa ketiga topik itu malah kujelaskan secara bersamaan.
“Lotia penuh tipu daya.”
“Tidak. Dia menyusuri distrik sepanjang malam untuk ...”
“Untuk apa?”
Xaviere tidak akan mendengarkanku soal itu. Aku sendiri mengerti betapa kebencian membutakan fakta-fakta. Kebenaran terasa seperti pembenaran yang memuakkan. Maka biarlah dia sendiri yang melihat kebaikan Lotia melalui matanya entah kapan. Semoga secepatnya.
“Baiklah, jika kau tidak suka aku membicarakannya.”
“Memang tidak,” balasnya ketus.
“Soal Erik—pembunuh ayahmu, dia memang berasal dari masa depan. Barangkali dia sendiri yang mengaku kepada semua orang bahwa dia berasal dari masa depan. Dan sekarang aku mengerti mengapa aku merasa semua ini adalah tanggung jawabku,” ujarku kemudian. Aku menunggu reaksinya, tetapi dia tidak bertanya. Hanya mendengarkan sembari memperhatikanku. Badanku terasa berdenyut-denyut akibat insiden di gedung dewan tadi, sekarang ditambah pula tatapan Xaviere yang membuatku jadi kurang nyaman.
“Erik datang ke tempat ini karena salahku.”
“Mesin waktumu?” Dia menebak dengan benar.
Aku mengangguk. “Dia menerobos masuk ke rumahku dan menemukan mesin waktuku. Barangkali malam itu aku lupa menonaktifkan mesinnya. Kau tahu, percobaanku memang belum sempurna. Aku hampir melupakan benda itu sejak bertemu denganmu.”
“Mau bercerita padaku, siapa Erik ini bagimu?”
“Tadinya dia adalah seluruh hidupku. Alasan mengapa aku terus berusaha menyempurnakan mesin waktu. Tetapi kemudian dia mencampakkanku karena ada gadis yang lebih baik dariku. Dia juga kebetulan tetanggaku, orangtuanya sudah seperti orangtuaku sendiri—karena kau sendiri tahu betapa hancurnya keluargaku.”
Hening sesaat, aku merasa tidak perlu melanjutkan semua ini. Xaviere pasti sudah sangat membenciku. Tetapi kemudian dia berkata, “Kau masih mencintainya?”
“Tidak!” Aku menjawab terlalu lantang, dan terlalu cepat. Entah mengapa tiba-tiba terasa panik. “Aku sangat membencinya. Setengah mati membencinya, apalagi setelah tahu bahwa dialah yang telah membunuh Ayah dan Ibumu.”
“Ibuku? Apa maksudmu?” Xaviere berdiri, menjauh selangkah dariku dan aku dibuat kebingungan oleh gestur itu.
“Xaviere.” Aku sungguh takut kehilangan seluruh kepercayaannya karena ini, aku takut ia menolak melihat wajahku lagi setelah ini, tetapi kebenaran tetaplah harus diketahui oleh Xaviere cepat atau lambat. Kutelan ludah yang terasa pahit. “Odeya telah berbohong soal ibumu yang pergi keluar rumah.”
“Cyra, aku sudah memercayaimu sebanyak itu, dan kini kau berusaha merusaknya?”
“Tidak, Xaviere. Tidak. Kau ingat saat pertama kali melihat Odeya di sudut ruangan, apa kau melihatnya berlumuran darah?” Aku menunggu, tetapi Xaviere hanya berdiri terpaku. “Argus dan Renee tewas di rumah ini. Bukalah matamu dan kau akan menemukan tanda-tandanya. Aku sudah tahu sejak awal, Xaviere. Bau amis berkarat yang familiar, Odeya yang pucat dan pakaiannya bernoda darah. Maafkan aku, tetapi kau harus tahu kebenarannya.”
“Pertama-tama kau mengatakan bahwa yang membunuh ayahku adalah mantan kekasihmu. Lalu kau juga mengatakan bahwa ibuku sudah mati, dan sekarang kau menuduh Odeya berbohong. Cyra, jangan menguji kesabaranku. Kau tidak bisa membohongiku lebih banyak dari ini.” Wajah Xaviere pias. Dia tidak lagi memandangku dengan cara yang sama. Kekecewaan, kesedihan, entah apalagi. Segalanya tampak dalam raut wajahnya tanpa bisa disembunyikan.
“Kebenaran mungkin pahit, tetapi harus kukatakan meskipun itu membuatmu benci padaku. Erik mengincar Odeya—karena tidak bisa menemukanmu—dia ingin membunuh penerus tahta Argus. Itulah sebabnya Renee meminta Odeya tetap diam di sini dan bersembunyi sampai kau datang untuk menjaganya, Xaviere. Lotia ada di distrik ini dan menyaksikan segalanya.”
“Sudah kukatakan padamu untuk tidak memercayai Lotia.”
“Xaviere ....”
“Entahlah, Cyra. Ada banyak hal yang harus kumengerti. Terlalu banyak rahasia tentangmu.”
“Aku akan membayar semua kekecewaan itu, Xaviere. Bukan hanya kau yang kehilangan Renee dan Argus. Aku juga. Aku akan membunuh Erik untuk menebus nyawa keduanya. Akan kulakukan sekarang.” Aku berdiri, mengejutkan ketika tubuhku justru agak limbung, tetapi aku berhasil menyeimbangkan diri lagi.
Xaviere menarik tanganku. “Tidak malam ini, Cyra.”
“Aku sudah mengacaukan kehidupanmu. Jika menunggu sampai besok, entah hidup siapa lagi yang akan kukacaukan.”
“Tidak, Cyra. Tolong jangan ulangi lagi kesalahanmu sebelumnya. Aku sudah mengatakannya padamu. Besok, apapun yang ingin kau lakukan, lakukan besok. Kita harus berpikir jernih. Aku harus mencerna banyak hal, Cyra. Tolong mengertilah.” Tangannya masih mencengkeram erat pergelangan tanganku. Jika boleh, aku ingin memeluknya selagi dia berpikir. Karena aku tahu, kapan saja aku bisa kehilangan kepercayaan darinya.
Aku menurut saja sewaktu dia membawaku masuk ke kamar tidur di mana Odeya dan Lotia berada. Odeya sudah tertidur lelap, sementara Lotia berdiri di ambang pintu—menyaksikan kami sejak tadi.
“Kau berhutang penjelasan padaku, Aby.” Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. Ucapannya mengejutkanku, mungkin Xaviere juga. “Dia bukan saudaramu, Xaviere? Apakah kau tahu bahwa perempuan ini telah menipumu? Menipu kita semua?”
“Lotia,” tegur Xaviere. Suaranya penuh tekanan yang mengindikasikan sebuah peringatan.
“Sejak awal dia sudah bersekongkol dengan pembunuh itu, mereka datang untuk menghancurkan dunia kita!” Lotia meledak, nyaris menjambak rambutku jika saja tak dicegah oleh Xaviere.
“Kau harus memikirkan siapa yang sudah menebarkan bubuk mesiu di lobi gedung untuk menjebak kita, Lotia. Kau juga harus mempertimbangkan orang itu, dia hampir membunuh kita. Jika aku bersekongkol dengan Erik, aku tidak akan mengalami semua ini!” Aku kehilangan kendali. Sejak awal aku tidak pernah berpikiran buruk tentang Lotia. Tetapi semua tuduhannya terhadapku benar-benar menyakitkan.
“Cukup.” Xaviere memasang badan di antara kami berdua. “Lotia, kau harus pulang sekarang. Kami bisa mengurus segala sesuatunya berdua,” lanjutnya.
“Kau tidak seharusnya membiarkan dia di sini, Xaviere. Dia akan mengantarkanmu pada Erik, dia juga akan membunuh Odeya.” Lotia kembali meraihku tetapi Xaviere tetap berhasil melawannya.
“Aku tidak akan membunuh Odeya,” bantahku. Mana mungkin aku melakukan itu.
“Kau juga harus memikirkan berapa banyak bubuk mesiu dari pamanmu yang akan kau gunakan untuk menghancurkan Schuraze, Lotia. Argus tidak menyukai kekerasan. Dia tidak akan setuju dengan keputusanmu. Kau harus memikirkan kesalahanmu. Cyra juga akan memikirkan kesalahannya. Aku pun begitu. Jadi kau harus pulang malam ini, mengerti?” Entah bagaimana caranya Xaviere selalu tahu letak cacat orang yang sedang dihadapinya. Dia tahu bagaimana caranya untuk membuat orang lain menyerah dan menurut padanya: Dengan membeberkan kesalahan lawan.
Lotia melangkah pergi, aku percaya dia masih mengumpat sewaktu membanting pintu depan dan menghilang. Xaviere yang kemudian mengunci pintu, masuk ke kamarnya sendiri hingga pagi menjelang.
Barulah setelah berbaring di samping Odeya, seluruh tubuhku menjadi ngilu luar biasa. Aku bahkan sudah terlalu letih untuk sekadar membersihkan diri. Malam itu, kubawa semua luka-luka dan rasa lelah luar biasa ke dalam tidur.
Malam sudah berakhir, sudah berakhir.[]
Notes:
Semakin ke sini aku sebetulnya semakin takut update. Semakin takut sama komen-komen yang bilang suka sama cerita ini. Karena aku takut banget kalo akhirnya cerita ini gak sesuai sama ekspektasi kalian semua. Aku takut gak sesuai harapan kalian. Takut bikin kalian kecewa:")
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top