D U A P U L U H

___

"Entah mengapa cahaya tiba-tiba menjadi pertanda kematian. Entah mengapa cahaya kini mengundang bahaya."
___

Aku benci ketika waktu berjalan melambat, menghentikan momentum, menghambat lajur pergerakan, dan membuat segala sesuatu menjadi bisu dan memuakkan. Dalam perjalanan pulang yang singkat itu aku seperti dapat merasakan waktu berhenti dan bergerak setiap nanodetiknya, amat melambat, hingga rasanya rumah Xaviere berada sangat jauh dari jangkauan. Lampu jalanan berpendar redup, seakan tahu bahwa Schuraze tidak ingin cahaya yang terlalu menyilaukan untuk perkabungan mereka.

Bahu Xaviere melorot dan langkahnya gontai. Tidak ada kalimat penghiburan yang terucap untuk melumerkan ketegangan. Aku pribadi tidak pernah nyaman mendengarkan penghiburan dalam kehilanganku. Maka aku beranggapan Xaviere juga menginginkan keheningan yang sama.

Kami tiba di muka pintu, membukanya tanpa basa-basi atau drama, hanya satu gerakan engsel untuk menguak ruang depan sempit yang temaram, cahaya merembes dari celah pintu mengisi kegelapan, tetapi cahaya tidak sedikitpun mengurangi rasa takut. Hening, udara malam itu cukup hangat, tidak butuh perapian yang menyala. Maka angus di atas tungku perapian bergumpal serupa momok yang bersembunyi dalam gelap, menunggu waktu untuk menyergap.

“Ibu?” Suara Xaviere menggema di penjuru mata angin, aku kembali dapat merasakan emosi-emosi rapuh yang bertebaran dalam wujud tak tampak, keberadaannya tak berbentuk serupa desah angin yang menyanyikan lantunan nada-nada pilu. Tidak ada suara yang mengimbangi ketakutan Xaviere dalam panggilan itu melainkan pantulan suaranya sendiri yang menyelinap ke dalam bilik-bilik sempit di seluruh rumah.

Aku mendengar erangan lirih dalam imajinasiku, firasat menyampaikan kabar yang tidak pernah ingin kusampaikan pada Xaviere. Ibunya—Renee Alokra—telah tiada. Keberadaannya kini hanya sebatas percikan darah di tegel dan dinding rumah, atau berupa nyanyian angin yang menerbangkan aroma karat yang sarat akan tanda kematian.

Odeya duduk di pojok, di sebelah mesin jahit. Gadis itu pucat pasi dan berlumuran darah. Xaviere masih memanggil-manggil ibunya dalam tekanan yang semakin kuat. Odeya diam, mengawasi kakaknya yang mulai memasuki bilik-bilik sempit. Sementara dalam pikiranku yang paling buruk, aku mencari pendar-pendar dalam bayangan kelabu Odeya. Barangkali gadis cilik itu sudah berubah menjadi hantu penasaran—aku tidak tahu.

Lalu aku memutuskan untuk mencari tahu. “Odeya?”

Dua sosok berlawanan arah memandangku—Odeya dan Xaviere. Lilin di atas meja berkeredap, nyaris mati entah tertiup angin dari mana. Odeya tidak bersuara, wajahnya tertampar cahaya temaram lilin, jarakku lebih dekat dengan keberadaannya, tetapi Xaviere entah bagaimana caranya lebih dulu menjangkau Odeya, memeluk tubuh mungilnya yang tiba-tiba lunglai. “Ibu ....” Suaranya bergetar.

Sudah berapa lama dia bertahan dengan posisi itu?

“Cyra, cari sakelar lampu!” teriak Xaviere kalap, menggendong gadis kecil itu dan tersandung-sandung membawanya ke salah satu kamar.

“Jangan nyalakan lampu, kau akan mengundang mereka,” kata Odeya dalam sisa-sisa kesadarannya.

“Persetan!” Xaviere memekik, membuatku sedikit terlonjak. “Nyalakan lampu!”

Aku mengekori Xaviere, meraba-raba dinding mencari sakelar lampu. Tanpa bertanya sekali lagi kunyalakan lampu, kembali ke ruang depan untuk menutup pintu, lalu menyusul Xaviere dan Odeya dengan pikiran kosong.

Xaviere memberikan Odeya segala hal yang diperlukannya. Setengah jam berlalu tanpa pertanyaan, hanya fokus pada Odeya yang pucat seperti orang mati. Sekejap tadi aku benar-benar menyangka dia roh penasaran.

Lalu setelah Odeya mulai baikan, Xaviere mulai bertanya tentang ibunya.

“Ibu,” lirih Odeya, Xaviere menyodorkan segelas air minum dan menuntut jawaban Odeya melalui ekspresinya. “Ibu keluar, aku lupa sejak kapan. Dia memintaku untuk jangan bergerak sedikitpun kecuali untuk menyalakan lilin.”

“Kau duduk di samping mesin jahit berhari-hari?” Xaviere memerah, aku tahu dia murka, tetapi entah kepada siapa.

“Ibu ingin  melihat ayah, Ibu bilang di luar berbahaya, jangan menyalakan lampu atau mereka akan datang dan membunuhku.”

Mereka siapa?” tanyaku kemudian.

“Orang-orang dari masa depan, orang-orang yang sudah membunuh ayah.”

Xaviere dan aku saling pandang. Tiba-tiba saja aku teringat mesin waktuku yang tertinggal nun jauh di dalam hutan. Sampai hari ini tiba, aku belum pernah memikirkan benda itu lagi sejak tiba di Schuraze. Dadaku bergemuruh, Xaviere masih melihatku dengan pandangan yang tak bisa kutafsirkan maknanya. Lalu aku berharap semoga semua bencana ini bukan salahku, semoga bukan karena mesin waktuku.

“Aku harus keluar sebentar.” Aku berdiri, membersihkan debu tak tampak, berniat mengambil busur yang tersampir di dinding kamar—busur pemberian Ethan.

“Tidak, Cyra.” Xaviere lekas menarik tanganku sebelum tanganku sempat meraih busur.

“Xaviere, kita harus bergerak. Tidak bisa menunggu besok,” bantahku. Entah mengapa aku merasa bertanggung jawab atas semua kekacauan ini.

“Aku baru saja kehilangan kedua orangtuaku dan aku bahkan belum melihat jasad mereka! Jangan kau juga, Cyra.”

“Aku akan baik-baik saja.”

“Kalau kau pergi aku juga pergi,” putus Xaviere.

“Kau harus merawat Odeya.”

“Kalau begitu kau rawat Odeya, aku yang pergi.”

“Aku tidak tahu apa-apa tentang merawat orang lain, Odeya membutuhkanmu. Aku janji akan pulang sebelum pagi.” Kuhempaskan genggamannya dari tanganku lalu meraih busur panah, memberinya isyarat untuk tidak membuntutiku, lalu menghilang di balik pintu, menyambut gelombang pekat yang mengantarkanku pada ketakutan-ketakutan tak masuk akal.

“Hei!”

Aku menoleh, sekujur tubuhku menegang dalam mekanisme yang tidak aku pahami. Seseorang pasti baru saja memanggilku, entah dari sudut mana—seluruh kota temaram, pandanganku nyaris buta. Dorongan adrenalin membakar paru-paru, tiba-tiba aku merasa kesulitan bernapas. Mereka-kah yang datang?

“Hei, sebelah sini!” Gemerisik semak di sisi jalan memberikan pertanda. Aku tidak menurunkan kadar kewaspadaanku, kutarik anak panah dari tempatnya yang tersampir di bahu. “Kau tidak akan memanah Lotia! Aku Lotia!”

Sosok itu muncul dari balik semak, rambutnya berantakan, tetapi tidak ada yang bisa kutangkap lagi darinya selain itu, malam terlalu gelap. Sekonyong-konyong dia menarik tanganku, melompat dan menghilang di balik semak.

“Jangan berkeliaran sendirian di tengah jalan seperti itu!" Keringat merembes dari telapak tangan Lotia yang masih menarik tanganku.

Dia mengomel sepanjang jalan, meracau tentang apa saja sembari menyingkirkan ranting dan duri yang menghalangi jalan. Tubuhnya luar biasa lentur dalam gerakan yang mengagumkan.

"Darimana saja kau dan Xaviere?" tanyanya, setelah kami berada jauh dari muka jalan besar. Tidak ada cahaya, entah mengapa cahaya tiba-tiba menjadi pertanda kematian. Entah mengapa cahaya kini mengundang bahaya.

"Batlore. Banyak hal terjadi." Dengan beberapa alasan tertentu aku tidak ingin Lotia tahu tujuan kami bepergian.

"Kalian bersenang-senang?"

Aku memandangi gadis itu lekat-lekat. Dalam suasana membingungkan ini dia masih sempat menanyakan tentang kesenangan orang lain?

"Ya, dihakimi di depan seluruh warga distrik dengan luka cambuk di sekujur tubuh atas segala sesuatu yang tidak pernah kami lakukan. Jika kau sebut itu sebagai kesenangan, ya, kami bersenang-senang."

Lotia menggaruk tengkuknya, bergerak lagi. "Distrik sangat kacau bertepatan dengan kepergian kalian," jelasnya.

Aku terengah mengikuti langkahnya yang lebar-lebar. Memikirkan rasa bersalah yang akan ditanggung Xaviere seumur hidupnya karena memutuskan untuk meninggalkan distrik bersamaku.

"Argus melindungi Renee dalam serangan besar mereka. Tetapi aku yakin orang-orang itu membawa senjata yang canggih dari masa depan. Argus tidak berhasil melindungi Renee maupun dirinya sendiri."

Haruskah aku bersyukur karena Xaviere belum mendengar kabar yang sebenarnya? Sementara biarlah Xaviere dan Odeya aman dalam rumah mereka sendiri. Biarlah mereka berpikir Renee sedang bersembunyi di suatu tempat. Sebab aku tidak bisa membayangkan yang lebih buruk lagi dari ini.

"Apakah kita akan menemui mereka?"

"Kau gila? Tentu saja tidak! Kau akan ikut aku bertemu dengan pemuda-pemuda Schuraze, kita akan mengatur siasat."

Aku berjalan mundur, menjauhi Lotia. "Aku akan langsung menyerang orang-orang itu sekarang! Aku tidak butuh siasat apapun."

"Jangan keras kepala! Kau harus memikirkan Xaviere."

"Aku memikirkan kalian semua," jawabku. Aku berlari kembali, menyusuri jejak-jejak jalan yang tadi kami lalui.

"Tidak, Cyra. Kau akan mati sia-sia!"

"Sampai bertemu di gedung dewan, Lotia."

Semoga saja gadis itu mengerti.

Orang-orang dari masa depan sedang memenuhi gedung dewan distrik. Entah siapa. Kuharap bukan seseorang yang kukenal, kuharap bukan orang-orang dari distrik yang sana.

Dan jika Lotia benar-benar berniat membantu, dia akan tiba setelahku.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top