D U A B E L A S

___

“... dia bukan buku terbuka. Terkunci rapat, terhindar dari debu, belum mampu kusentuh.”
___

Aku merasa bersalah pada sebagian besar keputusan yang telah kubuat. Membohongi Xaviere dan bersembunyi di balik bahunya untuk merasa aman. Keegoisanku tidak pantas bersandar dan meringkuk di dalam rumahnya yang penuh emosi-emosi rapuh. Lelaki itu baru saja pergi ke kawasan pertambangan untuk bekerja. Mulanya aku ingin ikut, tetapi rupanya Odeya ingin aku tetap tinggal. Renee sibuk menjahit pakaian-pakaian rancangannya yang lebih dulu dipesan oleh beberapa orang. Di hari lain, ia akan diam di dapur dan meracik obat-obatan. Seperti itulah, wanita Schuraze di mata Xaviere. Sementara dia menemukanku dalam kondisi memanggul ransel besar dan busur panah.

Mungkin seharusnya aku tidak pernah datang kemari. Atau sesegera mungkin menolak tawaran Xaviere untuk tetap tinggal di rumahnya. Untuk sejenak aku tidak tahu mengapa aku sangat ingin melintasi waktu. Dendamku terhadap Erik membuatku buta, aku hanya berpikir untuk membungkam Erik dengan fakta bahwa aku berhasil dengan percobaanku. Lagipula, aku sebetulnya ingin bertemu ibuku. Di masa lalu, ibuku tidak akan pernah ada.

“Cyra, aku bosan. Ayo jalan-jalan!” Odeya menerobos masuk ke kamarku—yang juga kamarnya. Menarik tanganku dengan satu tangan sementara tangan yang lain memeluk erat mainan. Aku bertanya-tanya mengapa gadis itu tidak pergi ke sekolah atau melakukan sesuatu, tetapi tidak ada kesempatan bagiku untuk menanyakannya.

Tanpa bicara, aku membuntuti gadis itu menyeberangi ruangan. Sejenak rasanya tidak ada yang istimewa dari rumah itu. Tetapi rumah itu penting bagi Xaviere, kekuatan tekadnya menggelora di seluruh sudut ruangan. Odeya masih terus berjalan, melepaskan genggamannya pada tanganku, menjangkau gagang pintu, dan menghilang di baliknya. Samar-samar, aku mencium aroma cokelat pahit yang cukup familiar. Sesuatu yang sepertinya jarang tercium olehku tetapi aku mengenalnya entah dari mana. Entah mengapa aku baru menyadari rumah Xaviere beraroma seperti itu. “Odeya, tunggu!”

Gadis kecil itu sudah berada di ujung jalan. Kaki kecilnya yang beralaskan sandal tipis menapak tanah keras-keras hingga debu di sekitarnya bertebaran. Odeya nyaris berlari, menyongsong timur seakan-akan mengejar matahari pagi yang bersinar hangat. Orang-orang menoleh sewaktu aku berteriak memanggil Odeya. Mungkin mereka berharap aku menyapa atau meminta maaf karena hampir menabrak, mungkin mereka hanya asing terhadapku. Selagi aku memikirkan itu, Odeya semakin jauh.

“Cyra!” Suara Odeya timbul tenggelam dalam kerumunan, entah sejak kapan jarak antara dia dan aku menjadi begitu luas. Aku sulit menjangkaunya, dan kini sulit pula melihat sosok kecilnya di antara penduduk dewasa yang berlalu lalang. Tanpa kusadari—hingga aku melihat Odeya berdiri persis di depan pintunya—Odeya telah mengiringku jauh hingga ke gedung anggota dewan. “Aku harus bicara dengan ayahku, Cyra.”

Aku tidak pernah membayangkan akan mengantarkan diriku sendiri ke hadapan Argus. Tetapi mustahil bagiku untuk lepas tangan dan membiarkan Odeya sendirian. Namun, jika aku membiarkan ini terjadi, Xaviere mungkin akan sangat marah padaku.

“Odeya, aku tidak bisa bertemu ....”

“Xaviere tidak akan memarahimu. Aku akan bicara sebentar, dan kita tidak akan ketahuan.”

Aku tidak tahu mengapa. Tetapi Odeya punya aura aneh yang membuatku tidak bisa membantah perkataannya. Gadis cilik itu mewarisi bakat murni ayahnya untuk memimpin dan memerintah siapa saja yang dikehendakinya. Aku menggeleng samar, tetapi Odeya mengabaikanku.

Meski tidak menolak, aku tidak bisa menyetujuinya. Maka, alih-alih membuntuti Odeya masuk ke dalam gedung dewan, aku memilih menunggu di depan pintu, di antara undakan-undakan batu pualam lebar.

Kalau dipikir-pikir, Xaviere masih tidak tahu apa-apa tentangku. Ischyra adalah sebuah nama yang kulontarkan karena merasa ia perlu menyebutku dengan sesuatu. Bukan karena benar-benar aku menginginkan nama itu. Tetapi setelah segala hal yang Xaviere lakukan untukku, merelakan sebagian besar waktunya untuk membantuku mencari sesuatu—yang sebetulnya hanya terbatas  pada rasa ingin tahuku tentang seberapa fatal kemunduran yang kulakukan. Persisnya, tahun berapa sekarang?

Aku masih belum tahu. Seharusnya seseorang menuliskan dengan gamblang tahun-tahun yang terlewati melalui surat kabar, atau siaran televisi lokal, atau di buku tamu. Yang mungkin akan kutemukan jika ...

Undakan tangga terasa jauh sekali dari pintu sewaktu menyadari aku harusnya tidak melewatkan momentum. Odeya menggiringku ke tempat yang benar. Aku hanya perlu menurutinya, dan menyambar salah satu dokumen. Aku mendorong pintu besar dan masuk ke lobi.

Odeya masih duduk diam di dekat petugas administrasi yang kemarin—aku sudah tidak ingat namanya. Bibirnya dicebikkan, tanda bahwa seseorang sudah membuat suasana hatinya buruk.

“Ada apa?” Aku duduk di sampingnya, tanpa basa-basi.

“Ayah sedang keluar kota, tak bisa ditemui.”

“Kenapa tidak segera keluar? Aku menunggumu, ‘kan?”

“Aku menunggu majalah bulananku, sedang diambil oleh seorang staf.”

Aku sumringah bukan kepalang. Tidak perlu bertanya pada orang dewasa, aku bisa melihatnya sendiri di majalah favorit Odeya. “Kau akan membawa majalahnya pulang?”

“Tentu saja, Cyra. Itu milikku.”

Seratus tahun yang lalu. Aku terlempar seratus tahun lebih jauh di belakang daripada masaku sekarang. Bumi benar-benar baru kembali hidup pasca bencana besar puluhan tahun sebelumnya. Tidak heran aku melihat segala bentuk kehidupan yang jauh lebih primitif daripada Schuraze-ku yang juga primitif.  Segala sesuatunya jauh dari teknologi, segala makhluknya berusaha bernapas seadanya, sampah-sampah pasca bencana masih sering terdampar di pesisir. Bencana besar yang jauh lebih dahsyat daripada perang dunia ketiga.

Usia Xaviere baru dua puluh tahun—aku melihat-lihat kamarnya dan menemukan dokumen pribadinya. Dan mungkin ia tidak pernah mengalami bencana itu. Tetapi semua makhluk yang sekarang mendiami Schuraze dan banyak distrik lainnya di luar sana adalah mereka yang berhasil bertahan dari bencana, kemudian membangun hidup kembali. Beranak pinak kembali, berkeluarga dan berkoloni kembali.

Mungkin baru dua generasi setelah bencana yang kini mendiami bumi. Mungkin kakek dan nenek Xaviere merupakan penyintas bencana, mungkin ayah ibunya sewaktu kecil juga penyintas. Aku ingin bertanya, namun pertanyaan itu aneh, sebab aku seharusnya tidak sebuta itu tentang bencana—jika aku bukan penjelajah waktu.

Mungkin aku memang harus jujur—setidaknya kepada Xaviere—tentang siapa diriku, darimana asalku, dan mengapa aku terjebak di peradaban kuno. Jika dia mempercayai aku tanpa menyelidiki lebih jauh tentangku, maka aku harus percaya pula bahwa dia akan menerima kejujuranku.

Maka hari itu aku duduk menunggu di muka pintu, menemani Odeya. Atau lebih tepatnya, Odeya yang menemaniku. Gadis itu bicara tegas seperti ibunya, sorot matanya tajam dan kuat seperti ayahnya. Dan seperti kata Xaviere, terkadang Odeya tampak lebih dewasa daripada yang seharusnya. Maka alih-alih mengobrol tentang kucing peliharaan atau berbicara dengan boneka di tangannya seperti layaknya bocah, Odeya berbicara padaku tentang politik dan cuaca, bukan seperti teman—ia seperti ibu-ibu pejabat.

Menjelang sore Xaviere pulang. Aku menyambutnya di halaman sembari mengangkat pakaian-pakaian kering milik kami. Odeya sedang belajar menyulam dengan ibunya. Tubuh Xaviere beraroma matahari dan besi tempa. Rambutnya masih basah oleh keringat. Ia tampak lusuh dan mengagumkan di saat bersamaan.

“Mau kopi atau teh?”

“Teh, terima kasih.”

“Ya.” Aku membawa masuk pakaian kering, bergegas mengantarkan handuk kering kepada Xaviere lalu menjerang air panas di dapur sebelum membuatkan teh selagi Xaviere duduk mengistirahatkan diri sebelum mandi.

Aku bisa merasakan Renee mengawasi setiap gerakan yang kuambil. Saat itu aku tahu, tidak aman mengatakan kejujuran di rumah ini. Maka sewaktu teh sudah kubuat, aku mengantarkannya dengan nampan. Sambil membungkuk menyerahkan teh kepada Xaviere, aku menghindari tatapan Renee dan berkata kepada Xaviere, “Bisakah kau menemaniku ke alun-alun malam ini? Ada yang ingin kusampaikan padamu, berdua.”

Dan Xaviere, seperti biasanya, tidak pernah sekalipun mengatakan kalimat selain, “Tentu saja.”

Sebelum ini, aku tidak pernah melihat Schuraze di malam hari. Di hari kedatanganku, aku juga tidak sempat melihat-lihat karena telah lebih dulu pingsan di hutan. Maka untuk pertamakalinya aku terpana melihat gemerlap distrik. Langit begitu jernih, tanpa awan. Aku tidak pernah melihat itu di distrikku—lebih karena aku jarang memerhatikan sekitar sebab terlalu terfokus pada Erik sialan.

Alun-alun ramai, mungkin aku mengajak Xaviere di waktu yang tepat. Beberapa kedai minuman dipadati penduduk. Atau mungkin Schuraze memang selalu hidup setiap waktu, terjaga kalau-kalau bencana kembali datang.

Aku serupa kunang-kunang yang mencolok dalam gelap. Atau mungkin orang-orang hanya memperhatikan Xaviere. Dia berdiri di sebelahku, persis. Tanpa mendahului atau mengekor sedikitpun. Tubuhnya menjulang tinggi, atau mungkin aku yang terlalu kerdil. Yang mampu kulihat dari wajahnya hanyalah hidungnya yang mancung dan rahangnya. Tidak seorangpun yang melewati kami tanpa memandangnya. Mungkin Argus membuatnya menjadi terkenal, atau mungkin dia memang istimewa.

Sekejap kemudian ia mengajakku masuk ke bar yang paling terpencil dan memilih tempat duduk paling pojok untuk menghindari telinga-telinga penasaran. Setelah kukatakan padanya bahwa yang akan kusampaikan adalah rahasia, ia benar-benar mengajakku pergi dari rumah sambil mengendap-endap dan tak bertanya apa pun.

“Jadi, katakan apa saja yang ingin kau sampaikan,” katanya. Sewaktu pelayan bar meninggalkan kami dengan sebotol minuman yang aku sendiri tidak tahu apa. Ada dua seloki—aku yakin cangkir kecil itu namanya seloki—yang diletakkan di samping botol itu.

“Tidak ada basa-basi, apakah harimu menyenangkan?” tanyaku, setengah bercanda.

Xaviere nyengir. “Maaf, aku tidak terbiasa bicara panjang lebar dengan perempuan. Semua perempuan sebayaku tidak ada yang mau menatap, apalagi mengajak bicara.”

“Yah, anggap saja aku teman lelakimu. Atau rekanmu berburu, atau apapun. Tapi jika tidak ada basi-basi ....”

“Apakah harimu menyenangkan, Cyra?” potongnya tiba-tiba. Canggung, tapi cara bicaranya menyenangkan.

“Tentu saja, tetapi aku sempat berpikir mungkin lebih baik aku ikut ke pertambangan tadi pagi.”

“Bekerja di pertambangan tidak menyenangkan, Cyra. Kau bisa terkubur dalam tanah kapan pun semesta menghendakinya.”

“Yah, kau harus berhenti menganggap aku lemah. Itu agak menyebalkan.”

“Ya, baiklah.”

Pembicaraan terhenti. Xaviere menuangkan minuman ke dalam dua seloki dan mendorong salah satunya padaku. Aku menyesap minuman itu, pelan-pelan, ketakutan—mungkin pelayan itu salah memberi kami minuman keras. Tapi kemudian, cairan itu meluncur melewati tenggorokanku dengan mulus. Tanpa rasa pahit, hanya manis asam yang agak menggigit dan sedikit soda.

Tidak ada basa-basi lagi. Aku seharusnya bertanya padanya apa yang ia lalui seharian ini. Apakah ia siap mendengarkan ceritaku, tetapi aku merasa tidak punya banyak waktu. Maka kukatakan padanya, “Aku tidak pernah lupa ingatan.”

Lelaki itu diam, masih khidmat menyesap minumannya, menandaskan semuanya sekaligus. “Kau mau mengaku kalau kau perampok bayaran? Lalu menyadari tidak ada yang bisa dirampok dari rumahku?”

“Bukan!” Aku marah. Rendah sekali aku di matanya. Atau barangkali aku saja yang terlalu pemarah. “Aku penjelajah waktu. Berasal dari masa depan.”

Xaviere ternganga, termangu, ekspresinya campuran antara bingung, kaget, dan penasaran. “Tidak mungkin,” katanya.

Penyangkalan yang sudah bisa kutebak sebelumnya. “Sungguh. Malam itu, sewaktu kau menemukanku, aku baru keluar dari mesin waktu ciptaanku. Sejak itu aku mencari-cari jejak tanggalan, tahun atau petunjuk apapun tentang kemunduran waktu yang kualami. Aku menemukannya di majalah Odeya siang ini.”

“Cyra, kau?” Tak sampai hati aku mengatakan padanya bahwa namaku bukan Ischyra. Tetapi aku tak bisa membiarkannya lebih murka daripada ini. Maka aku diam saja.

“Aku terpaksa menemani Odeya ke gedung dewan, tapi jangan khawatir. Tak ada Argus.”

“Astaga, Cyra!”

Aku siap menerima pengusiran paling biadab dari Xaviere. Mungkin atas kebohonganku, atau justru ia menyangka aku sedang bergurau sekarang.

“Xaviere, maaf, aku terpaksa harus menyembunyikan identitasku dari semua orang. Kau orang pertama yang mengetahuinya.”

“Cyra, kau cucuku di masa depan atau apa?”

Aku melongo. “Secara teknis, aku lebih muda seratus dua tahun darimu.”

Xaviere membisu. Ketar ketir dia berdiri dari duduknya, merogoh saku celananya dan membayar minuman ke meja kasir. Lalu menyeretku kembali menyusuri jalan-jalan temaram Schuraze.

Aku tidak bisa membaca Xaviere, dia bukan buku terbuka. Terkunci rapat, terhindar dari debu, belum mampu kusentuh. Maka aku tidak tahu nasib apa yang menungguku setelah pengakuan ini.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top