9. Mama!

Sekali lagi kutengok jam di dinding kamar. Sudah berjam-jam lamanya sejak Amyra pamit mencari udara segar, tapi tak kunjung kembali. Sejak tengah hari sampai tergelincirnya matahari, ke mana sebenarnya perempuan itu pergi?

"Papa! Papa!" seru Rio. Dengan wajah cemberut dia menunjuk-nunjuk ke luar kamar. "Ayo, kita cari mama!" Sejak bangun tidur sejam lalu, anak ini berisik mencari induknya.

"Kalau mama balik terus kita nggak ada, gimana?" tanyaku sambil mengelus puncak kepala Rio. Alasan yang entah sudah berapa kali kulemparkan demi menghindari rengekannya. Nyatanya, kalimat tanya itu cuma mampu menenangkan sesaat, hingga kejadian serupa terjadi berulang kali pun Amyra tidak juga menampakkan batang hidungnya. "Mama nggak bawa kunci kamar. Nanti mama cemberut terus ngambek lagi kalau kita ke luar nggak nungguin mama."

Bibir Rio semakin maju. Sambil mengempaskan tubuh di sofa kulit abu-abu, anak itu menggerutu. "Mama aja jalan-jalan sendiri nggak tungguin aku. Mana lama banget lagi. Apa mungkin mama tersesat? Kata Miss Adel kalau keluyuran sendirian itu bahaya. Bisa tersesat atau diculik orang jahat."

Mana ada yang mau menculik Amyra! Jangankan sampai berjam-jam, lima menit saja bisa-bisa sudah dibebaskan lagi. Cuma aku yang sanggup bertahan sekian tahun lamanya hidup sama dia! Andai benar ada yang khilaf menculik pun, aku ikhlas lahir batin, jiwa raga, dari kepala, pundak, lutut kaki.

"Papa kenapa senyum-senyum sendiri?"

Aku melongo. Masa, sih, aku tadi tersenyum? Ah, untung di sini tidak ada pakar ekspresi. "Kita tunggu sebentar lagi, ya? Kalau 10 menit mama masih juga nggak datang, kita cari sekalian lihat sunset."

"Ngapain lihat-lihat baju kaus kutang? Papa mau beli?"

Aku menepuk kening. "Itu singlet, Rio. Yang papa omongin barusan, tuh, sunset. San ... set!"

Kedua alis tebalnya nyaris bertaut. Dia cengengesan tidak jelas. "Sunset itu merek sabun cuci piring yang iklannya sering aku lihat di TV? Yang suka mama beli di minimarket depan kompleks itu bukan, Pa?"

Apa pula itu? Mana aku tahu merek sabun cuci piring. Kusejajarkan tubuh kami dengan berjongkok di depannya. Rio menatapku dengan rasa ingin tahu yang bulat, sebulat mata jernihnya. Dengan sabar aku menjelaskan, "Sunset itu matahari terbenam, Nak. Di pantai sini, banyak orang berkumpul buat lihat sunset. Pemandangannya bagus banget. Warna oranye kemerahan berpendar sejauh mata memandang. Kamu pasti suka."

Bibir Rio membulat. Seraya mengangguk-angguk, dia mengulum senyum. Wajahnya polos sekali. Pun dengan tatapannya. "Di pantai papa mau lihat sunset atau bule mondar-mandir pakai bikini?"

Aku tersedak ludah sendiri. Dari mana pula dia tahu tentang bule mondar-mandir pakai bikini? Ya Tuhan, Rio ...!

"Papa kenapa batuk?" Rio menepuk-nepuk punggungku. "Aku salah omong, ya, Pa?"

-***-

"Pa, pantainya bagus banget!" jerit Rio senang. Dia melepaskan genggaman tanganku. Dengan riang dia berlari menyasar pantai, merentangkan kedua tangan seperti burung yang tengah terbang.

Ramai sekali orang, dari wisatawan lokal hingga mancanegara. Tidak heran, semua orang ingin memanfaatkan semaksimal mungkin libur panjang kali ini. Empat hari berturut-turut dalam seminggu, kapan lagi bisa selepas ini? Ini momen langka yang belum tentu bisa didapat dalam setahun.

Pantai ini sangat bersih. Tanpa mengkhawatirkan baju dan celana yang akan kotor, aku duduk di pasir tanpa alas apa pun. Tidak jauh dariku Rio bermain. Dia membangun istana—yang sebenarnya hanya berupa gundukan-gundukan—pasir dengan kedua tangan mungilnya. Pasir putih itu berkilauan cantik tertempa cahaya matahari. Sedikit agak jauh, pasir putih itu berubah sedikit kecokelatan kala ombak menyapa. Tidak lama lagi matahari akan tergelincir. Perlahan tapi pasti, warna oranye menggelap berganti hitam.

Aku termangu. Sudah berapa lama aku tidak pernah ke pantai? Kapan kali terakhir aku berlibur bersama Rio dan Amyra? Baru kusadari, kesibukan merenggut sedemikian banyak waktu dan banyak hal berharga lainnya. Tidak hanya dari diriku sendiri, tapi juga keluargaku. Pantas Amyra sering mengeluh.

Dulu aku sibuk bekerja dan mengejar dunia. Tidak jarang menjadikan kesibukan itu sebagai kedok untuk memuaskan diri sendiri. Di antara waktu-waktu itu aku menyisipkan kenakalan demi kenakalan masa muda. Mengejar kebebasan yang tidak lagi kupunya semenjak melepas status bujangan. Menghilangkan penat dengan bersenang-senang bersama perempuan-perempuan jalang. Begitu mudahnya aku menghamburkan uang. Tanpa sadar, aku telah membangun kehancuranku sendiri.

Sekian lama aku melalaikan kewajibanku sebagai kepala rumah tangga. Aku lupa akan tanggung jawabku sebagai seorang suami bagi istri yang memerlukan perhatian dan kasih sayang. Tanggung jawab sebagai seorang ayah bagi anak yang membutuhkan kehangatan dan pengajaran. Aku ... lalai!

"Papa, mau es kelapa muda!" rengek Rio. Tangan kotornya dilap menggunakan baju yang dia kenakan. Pasir-pasir itu pun berhamburan, tetapi di antaranya ada yang tertinggal dan betah menempel di sana.

"Boleh, tapi bagi dua sama papa." Aku mengajukan persyaratan. Bocah itu berpikir sejenak. "Kenapa harus bagi-bagi? Papa nggak punya duit, ya, beli dua?"

Bocah ini nyablaknya kenapa makin mirip mamanya, sih? Untung anak sendiri. Kalau anak orang, sudah kusentil bibirnya.

"Kalau kebanyakan, nanti Rio nggak habis. Sayang kalau mubazir."

Dia diam, tampaknya berpikir lagi.

"Aku janji, es kelapanya bakal dihabiskan."

Aku menggeleng. "No!" bantahku. "Kalau kebanyakan minum kelapa muda, perutnya bisa begah. Nanti malam kamu mesti susah makan karena perutnya nggak nyaman."

"Kalau aku nggak mau makan, nanti mama bakalan marah."

Nah, itu tahu!

Sambil mengacak-acak rambutnya, aku memuji, "Pintar anak papa!" Akhirnya dia pun mengangguk setuju.

"Papa pergi sebentar. Kamu main di sini jangan ke mana-mana!" pesanku dan langsung diamininya dengan anggukan cepat. "Jangan mau ikut orang nggak dikenal. Meskipun dibujuk mau dikasih permen, duit—"

"Tau, Pa!" potongnya. "Miss Andin pernah ngajarin di sekolah."

Aku menghela napas. "Kalau ada yang macam-macam, teriak yang nyaring."

Rio mengangguk.

"Kalau mulut kamu dibekap, gigit telapak tangannya," imbuhku.

Dia mengangguk lagi.

"Kalau—"

"Papa kebanyakan ceramahnya. Nanti kelapanya keburu jadi pohon." Rio cemberut.

Hadeeeh! Benar-benar anak ini ....

Aku bergegas memutar badan dan berlari menuju stan minuman dan makanan ringan tidak jauh dari tempat aku meninggalkan Rio. Saat akan membayar pesanan, tiba-tiba Rio menghampiriku. "Pa, itu mama! Itu mama!" pekiknya riang.

"Mana?" tanyaku mengikuti arah telunjuknya, tetapi tidak menemukan sosok Amyra. Aku mengedarkan pandang ke sekitar dan tetap tidak menemukan keberadaan perempuan itu. Di mana pun!

"Di sana, Pa! Itu mama!" serunya lagi lantas berlari meninggalkanku.

"Rio!" panggilku. Si penjual yang paham kebimbanganku menyuruhku cepat menyusul Rio. Takut keburu jauh, begitu katanya.

"Mama!" seru Rio terus berlari membelah keramaian.

"Rio!" panggilku di belakangnya.

"Mama!" teriaknya sekali lagi. Tangannya menggapai-gapai angin senja yang dingin. "Mama!" Rio terjatuh karena menabrak seseorang.

"Rio!" Aku lega. Anakku dibantu bangun oleh orang yang ditabraknya. Setelah menerima permintaan maafku, lelaki itu mengayun langkah pergi.

Ke mana kamu sebenarnya, Ra? Liburan macam inikah yang kamu mau?
.
.
.
Kebangetan, kan, Amyra? Anak sama suami ditinggal di penginapan, sementara dia kelayapan. Cape, deh!
Btw, terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak ⭐💬
Samarinda, 06 Juni 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top