8. Nikmati Saja Malam Ini

Aku masih tidak habis pikir dengan keputusan Amyra. Berlibur di tengah krisis keuangan yang kami hadapi terasa bagaikan menambah tancapan tombak di punggungku. Beban yang kupikul makin besar seiring pengeluaran yang terus melar. Ada saja keputusannya yang dibuat tanpa berunding dulu denganku. Inilah, itulah. Seolah tidak ada habisnya dan makin di luar nalar saja, membuatku makin sering bertanya gunanya aku apa dalam hidupnya? Tidak ada lagi diskusi, semua diputuskan seorang diri.

Kutarik napas dalam, menghimpun sebanyak-banyaknya oksigen yang menyebar di sekelilingku. Sial! Bukannya merasa lega, dadaku justru terasa makin penuh saja.

“Sabar, Bro!” ucapku pada diri sendiri. “Sementara biarkan dia merasa berkuasa atas segalanya. Suatu hari nanti kamu pasti akan kembali memegang kendali.”

Pintu terbuka tepat saat aku mengakhiri monologku dan memejam berusaha untuk tidur. Derit halus pintu berbahan kayu mahoni itu membuatku yakin Amyra memasuki ruangan meski tanpa mengalihkan pandangan. Lagipula, siapa lagi memangnya kalau bukan dia? Semerbak wangi Coco Mademoiselle menguar mendominasi udara menegaskan dugaanku. Aroma parfum favorit perempuan itu menggelitik indra penciumanku, membuat kepalaku makin pening dan berisik menolak diistirahatkan. 

Sisi di sebelahku bergerak, menandakan Amyra telah mengisi kekosongan di sana. Aku mengintip sedikit dan melihat dia tengah membungkuk menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Damn! Pakaian tipis yang dikenakannya begitu menggoda! 

“Ra,” panggilku pelan, tapi kuyakin dia masih mendengar suaraku. Dia menggumam malas sebagai tanggapan. “Amyra.” Sekali lagi aku membisikkan namanya.

“Apa, sih, Mas? Aku capek banget. Lagi malas ngomong,” sahutnya ketus tanpa berbalik.

Tiba-tiba terlintas di benakku sebuah ide gila. Setelah sekian lama berpuasa, aku ingin melihat sekuat apa dia membentengi diri dari godaan untuk terus menahan hasratnya. Bagaimanapun juga, dia perempuan dewasa yang membutuhkan belai kasih sayang untuk pemenuhan kebutuhan seksualnya.

Aku bergeser sedikit lantas bergabung dengannya di bawah selimut. “I miss you, Ra,” bisikku seraya melingkupi tubuhnya dengan tangan-tangan besarku. 

“Mas!” hardiknya berusaha melepaskan diri. Ada getar keraguan yang tertangkap indra pendengaranku dalam kata itu.

It’s okay kalau kamu masih berkeras nggak mau melayani aku. Tapi, aku pengin kita menghabiskan malam ini dengan berpelukan.” Mungkin juga dengan sedikit cumbuan. Syukur-syukur kalau bisa berbagi kehangatan.

Dia diam beberapa saat sebelum bertanya, “Gunanya buatku apa?” Terkesan waspada. 

“Bukan soal berguna atau nggak, tapi kurasa ini penting sebagai langkah awal memperbaiki hubungan kita.” Aku serius. Ini bukan untuk diriku sendiri. Konon katanya, keintiman bisa merekatkan hubungan yang renggang. Yash, seks maksudku!

Dia diam lagi. Namun, kali ini dia tidak lagi berontak ingin melepaskan diri. Entah apa yang dia rasakan atau pikirkan saat pelukanku mengetat di tubuhnya yang sintal. Yang kutahu dia mendesah tertahan saat dengan sengaja kuembuskan napas di belakang daun telinganya. Tanganku juga mendesak tepat di bawah dadanya.

“Mas,” bisiknya seraya menggeliat. “Jangan macam-macam! Aku nggak akan segan-segan bikin kamu tidur di teras tanpa bantal atau pun alas.” Yang bagiku tidak terdengar seperti ancaman melainkan tantangan. Reaksi tubuhnya jelas bertentangan dengan kata-kata yang berlompatan dari bibir seksinya.

Benar saja, dia mendesah lagi saat kususupkan jemariku melewati atasan setipis tisu—daripada penutup badan, kain berpotongan minim berenda itu lebih pantas disebut undangan bercocok tanam di mataku—dan membelai perutnya. Kali ini suaranya terdengar jelas tak tertahan. 

“Mas Arya… kamu jangan … macam-macam ….” Kalimatnya putus-putus. Napasnya terdengar berat dan terengah. 

“Nggak macam-macam, cuma satu macam,” bisikku sambil menciumi lekuk lehernya. Menghujani area itu dengan cumbuan yang dulu selalu menjadi bagian favoritnya sebelum kami bercinta.

“Aku ….” Tidak kuizinkan dia menyelesaikan apa pun kalimatnya. Cukup main-mainnya! Kubalik tubuhnya dan kukecup bibirnya rakus. Aku sangat haus. Terlalu lama berpuasa membuatku lapar dan dahaga. Jelas tubuh moleknya yang kuinginkan sebagai menu makanku.

“Mas,” bisiknya seraya meremas rambutku. Dia melenguh di antara cumbuan yang semakin gencar kulancarkan. Kupikir dia tidak akan mudah terpengaruh, tapi sekarang kuyakin dia pun merasakan gejolak yang sama seperti yang kurasakan. Hanya saja, gengsi dan rasa kecewa telah membuatnya meredam hasrat itu sekian bulan lamanya.

“Aku pengin kamu, Ra,” bisikku. “Mendesahlah dengan keras, seperti dulu. Aku rindu.” Tidak ada kebohongan dalam pengakuanku. Itu dari relung hati terdalam.

“Mas ….” Dia belingsatan.

"Nggak perlu mikir terlalu banyak. Nikmati aja malam ini, Ra."

Oke, mari kita selesaikan!

-***-

Amyra memberengut dan terus menghujani dadaku dengan cubitan kecil. Dia jelas kesal. Sayangnya terlambat! 

“Pssst,” bisikku tak mengindahkan penolakannya. Sudah orgasme tiga kali masih juga mengambek?

“Bukan berarti aku berhenti marah, ya, sama kamu, Mas!” Dia mendengkus, sekali lagi mencubit dadaku. Lebih perih dari sebelum-sebelumnya, tapi tidak masalah. Yang penting hasratku sudah tertuntaskan. Lebih baik menyebutnya strategi cerdik daripada trik licik. Baru kusadar, terkadang dalam berumah tangga pun diperlukan sedikit taktik yang membuat hubungan hangat dan sedikit menggelitik. 

“Kalau sampai besok kita terlambat, kamu tanggung jawab!”

Aku menggumam seraya menariknya ke dalam pelukan. Kukecupi puncak kepalanya, menikmati semerbak aroma bunga.

Tidak puas dengan tanggapanku, dia kembali mengancam, “Kamu harus ganti tiga kali lipat dari harga tiket dan penginapan yang sudah kukeluarkan untuk liburan ini.”

Aku menggumam malas. Mengiakan tuntutannya adalah jalan ninja menghindari perdebatan. Tenagaku sudah terkuras setelah dua ronde yang terbilang cukup panjang dan saat ini mataku terasa sangat berat.

“Sekali lagi aku tegaskan, aktivitas kita barusan bukan berarti aku sudah maafin kamu, Mas!” 

Aku menguap lebar sebelum menyahut, “Tidur, Ra. Kamu sendiri tadi yang bilang nggak mau terlambat.”

“Huh, nyebelin banget kamu, Mas!” Dia merapatkan diri, menempelkan dadanya yang tidak terlapisi kain apa pun ke dadaku. Telapak tangannya juga diletakkan di dadaku, tepat di samping hidungnya. “Nggak tau kenapa aku bisa nikah sama orang kayak kamu.”

Takdir, Ra! Kamu sendiri yang awalnya menjejalkan diri dan memaksa mengikatku dalam pernikahan ini. Jadi, nikmatilah keadaan. Aku tidak bisa berjanji menjadi suami yang sempurna seperti keinginanmu, tapi aku selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Semua berproses, seperti aku yang masih belajar menumbuhkan cinta—bukan sekadar gairah bercinta—kepadamu.
.
.
.
Mohon maaf atas keterlambatannya 🥺🙏🏻
Samarinda, 7 April 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top