6. Harga Tetangga
“Kan, sudah mama bilang, kalau di rumah orang, tuh, yang anteng, nggak boleh pecicilan! Lihat sekarang apa yang sudah kamu buat! Apa yang mama takutkan kejadian, kan?” Suara Amyra melengking menusuk gendang telinga.
Bukannya senyum manis dan ketenangan, justru gelegak amarah si Nenek Sihir yang menyambut kepulanganku. Yang membuatku tidak suka, amarah itu ditujukan pada anak semata wayang kami. Ini seperti bukan Amyra. Perempuan itu hampir tidak pernah marah pada Rio. Sebesar apa kesalahan bocah itu sampai Amyra membentak dan meneriakinya? Tidak kudengar sahutan. Aku yakin saat ini Rio tengah mengerut ketakutan.
“Kamu bisa jawab, nggak, sih? Mama mau dengar suara kamu, Rio! Tadi kamu bisa bawel banget saat ngomongin Tante Baik inilah, Tante Baik itulah. Lantas sekarang kenapa kayak orang gagu?”
Keterlaluan Amyra! Aku mengayun langkah makin cepat menuju sumber suara, kamar Rio di lantai dua.
“Ngomong lebih nyaring lagi, mama nggak dengar!” bentak Amyra. Dari celah pintu yang terbuka cukup lebar kulihat istriku itu tengah berkacak pinggang. Tanpa perlu melihat wajahnya, aku tahu matanya pasti tengah memelotot garang.
“Maaf, Ma. Rio nggak sengaja.” Rio menyahut. Suaranya terdengar serak dan bergetar seperti menahan tangis.
“Kenapa, Ra?” tanyaku, membuat Amyra menoleh dan mengalihkan atensinya kepadaku. Tanpa beranjak, perempuan berambut sebahu itu melipat kedua tangannya di bawah dada.
“Papa ….” ucap Rio di saat bersamaan. Anak itu memandangku dengan mata berkaca-kaca.
“Anakmu, tuh, Mas!” Dia mengedikkan dagu pada Rio yang tertunduk lesu di sudut kamar. “Semenjak kamu yang asuh, jadi makin bertingkah. Suka banget berulah!” Entah apa yang sudah anak itu lakukan hingga membuat mamanya sedemikian membara. Tidak ketinggalan, as always, selalu disangkutpautkan padaku. Apa pun itu.
“Calm down, Ra. Kita bisa bicarakan baik-baik. Nggak perlu kencang urat leher begitu. Rio masih kecil ….”
“Nah, itu!” potong Amyra sinis dan tajam. “Kalimat kayak gitu nggak semestinya terucap dari mulut kamu selaku kepala keluarga! Pemakluman-pemakluman dengan dalih dia masih anak kecil yang bikin Rio jadi melupakan tata krama. Itu yang bikin dia bertindak semaunya.”
Oke, aku salah lagi. Aku menghela napas panjang agar tidak terpancing emosi.
“Rio buat salah apa memangnya?” tanyaku berusaha bicara baik-baik walaupun ekspresi dan nada bicara Amyra sangat tidak baik. Pun tatapannya, tajam membuat aku bergidik.
“Pertama, dia ke luar main sepeda sendirian. Sudah disuruh sabar karena aku masih masak, dia nggak dengarin omonganku. Terus dia jatuh ….”
“Wajar, kan, Ra, namanya juga masih belajar. Jatuh itu ….”
Amyra balas memotong ucapanku. “Masalahnya di luar sepi, Mas! Kalau ada penculik atau dia ditabrak mobil gimana?” Dia memelototiku.
Aku menghela napas. Mau membantah seperti apa? Yang Amyra katakan logis adanya. “Rio?” Maksudku menegur anak itu, mengingatkan agar lain kali kejadian serupa tidak terulang. Penting baginya mendengarkan ucapan sang mama jika tidak mau mendapat masalah.
“Maaf, Pa. Nggak Rio ulangi lagi,” janji anak itu.
“Sudah, kan, Ra?” Aku nyaris tidak punya tenaga, lapar tidak terkira akibat terlalu menahan diri tidak menyentuh seluruh pendapatanku hari ini. Aku tidak mau mendengar keluhan Amyra jika setoranku kurang atau pas-pasan.
“Itu baru satu, Mas! Masih ada yang lain.” Debas keras terdengar dari calah bibir Amyra. “Kedua, dia ngajak aku ke rumah sebelah buat ngucapin terima kasih karena Tante Baik sudah menolong saat dia jatuh tadi.” Ada yang aneh saat dia mengucap Tante Baik, semacam ketidaksukaan. Namun, aku tidak tahu siapa yang dia maksud.
“Tante baik siapa?” tanyaku.
“Asha,” kata Amyra tanpa penjelasan lebih lanjut. Jadi, aku kembali bertanya.
“Siapa Asha?”
Amyra mendengkus. “Kan, tadi sudah kubilang kalau dia tetangga sebelah, Mas!” Telunjuknya mengarah ke sebelah kanan.
Candy? Ah, namanya Asha! Tanpa sadar aku mengangguk-angguk. Senang karena satu hal penting tentang perempuan muda nan menggairahkan itu kudapatkan tanpa perlu berusaha payah.
“Ngapain kamu senyum-senyum, Mas?” Amyra membuyarkan lamunanku.
Damn!
“Jangan bilang kalau ….”
Sebelum dia melanjutkan kata-katanya dengan kecurigaan, segera kusela. “Kalian ke sana buat ngucapin terima kasih sama tetangga kita. Lalu masalahnya di mana?”
Amyra menghela napas panjang sebelum menerangkan. “Rio mecahin pajangan di rumah Asha. Waktu aku tanya buat ganti rugi, dia nggak jawab berapa harganya. Tapi lihat dari ekspresinya, kurasa cukup menguras isi dompet.”
“Ratusan ribu?” Aku sangsi. Mengingat merek pakaian yang Asha kenakan malam itu, aku yakin dia punya selera yang bagus dan pastinya tidak murah.
“Jutaan, Mas!” sahut Amyra melengking. Dia menoleh, kembali memandang Rio dengan tatapan tajam. “Aku pernah lihat yang model begitu waktu kita jalan-jalan ke Belanda. Harganya bikin pengin jual ginjal. Saat kita masih hidup enak aja, aku mikir seribu kali buat beli dan berakhir bikin aku harus berpuas diri cuma dengan mandangin aja. Eh, sekarang kita malah punya kewajiban buat ganti itu barang. Duit dari mana? Nyabutin bulu ketek kamu, heh?!” Dia kembali menatapku. Sorot mata dan nada bicaranya menunjukkan bahwa dia frustrasi.
-***-
Amyra mendesakku untuk putar otak agar kami bisa segera mempertanggungjawabkan kesalahan Rio. Yang dia maksud tentu saja aku harus lebih giat lagi mencari orderan dan lebih kuat lagi mengencangkan ikat pinggang.
Hari ini dia membangunkanku lebih pagi dan langsung mendesakku untuk segera meluncur ke jalan mengejar rezeki. Aku turuti semua perintahnya agar Rio terbebas menjadi bulan-bulanannya.
Sudah lewat tengah hari, saatnya aku pulang. Hanya untuk mengisi perut dan beristirahat barang sebentar, meluruskan pinggang yang terasa tegang.
“Satu orderan lagi, lah,” ucapku pada diri sendiri sambil mengotak-atik layar ponsel. Baru saja terdengar denting notifikasi dari aplikasi SafeJack.
Entah mengapa semesta kembali menggiringku bertemu dengan Asha.
“Alamat sesuai titik, ya, Kak?” tanyaku begitu dia menutup pintu dan duduk nyaman di kursi penumpang belakang. Dia mengangguk setelah sebelumnya mengernyitkan kening mendengarku memanggilnya “kak”.
Lidahku terasa gatal ingin mengajaknya bicara, tetapi kutahan sekuat hati. Gengsi. Juga sadar diri.
“Sorry,” ucapnya tiba-tiba.
“Sorry?” tanyaku menegaskan maksud ucapannya.
“Sikapku waktu itu nggak sopan,” terangnya lirih. Dari spion dalam kulihat dia tersenyum tipis.
“It’s okay. Aku paham.”
Asha mengangguk-angguk. Dia tidak lagi bicara, lantas melemparkan pandangan pada tepi
jalan, sedangkan aku berusaha kembali memusatkan pikiran pada lalu lintas yang terbilang lengang. Teriknya matahari mungkin membuat orang-orang berpikir berulang-ulang kali jika hendak beraktivitas di luar ruangan. Tanpa terasa kami sudah hampir sampai. Gerbang kompleks tanpa penjaga baru saja dilewati.
“Mas ….”
“Hm?”
Asha termangu menatapku.
“Ada apa?”
“Kita belum berkenalan dengan layak.” Asha meringis. “Aku Asha,” ucapnya memperkenalkan diri.
Aku tertawa kecil. “Asha … nama yang cantik,” pujiku dan dia tersenyum makin lebar. “Aku Arya.”
Dia mengangguk-angguk lagi.
“Sampai.” Aku memberitahu.
“Ah, ya!” Seolah baru sadar, dengan gelagapan dia merogoh tas jinjing di pangkuannya dan mengangsurkan selembar uang berwarna merah kepadaku. “Ambil kembaliannya,” bisiknya.
“Ini terlalu banyak,” tolakku basa-basi.
“Harga tetangga.” Asha mengerling penuh arti.
.
.
.
Maaf, telat banget aku update-nya. Jaringanku kemarin-kemarin bermasalah. WiFi sudah dibayar di awal bulan malah diblok pas jatuh tempo dan dibilang belum bayar 😭 Mana bukti pembayaran udah dibuang.
Happy baca, ya, kalian.. jangan lupa tinggalkan jejak yang banyak 💬⭐
Samarinda, 16 Maret 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top