5. Seriously?
Kupikir Amyra main-main sewaktu menyuruhku menjadi driver online. Namun, nyatanya tidak. Malam itu juga registrasiku diterima dan keesokan harinya dia menyuruhku mendatangi kantor penyedia jasa di bidang transportasi tersebut untuk melengkapi berkas. Tadinya kupikir janggal lantaran pendaftaran dilakukan malam hari. Mana ada, kan, perusahaan yang beroperasi 24 jam? Memangnya adminnya tidak butuh tidur atau beristirahat? Rupa-rupanya kantor itu milik salah satu kenalannya. Entah itu nasabah atau temannya saat bersekolah, aku tidak peduli. Yang jelas aku bukan lagi pengangguran, seperti kemauannya,
“Cepatan dikit, Mas! Sarapan kamu nasi goreng, bukan batu goreng.” Amyra mendengkus karena aku makan dengan lambat. Sejak semalam aku merasa demam, kepalaku juga nyut-nyutan. Bangun pagi tadi badanku semakin tidak nyaman. “Baru juga seminggu kerja, sudah kendor aja! Semangat, dong, Mas! Ingat, kewajiban cicilan mobil yang harus kamu bayar.”
Aku tidak tahan untuk tidak mencibir. Mobil baru itu, kan, dia yang pakai? Sedangkan aku dapat mobil bekas dia. Lah, kenapa jadi aku yang harus mati-matian memikirkan membayar tagihan? Amyra memang tidak pernah berubah! Penuh perhitungan, jeli melihat peluang, mahir memanfaatkan keadaan, dan akan merasa sangat rugi kalau sampai melewatkan kesempatan.
“Dih, malah melamun!” Amyra melenggang melewatiku. Dia sudah siap dengan pakaian kerjanya. Sapuan makeup tipis mempercantik parasnya. Sayang, hatinya tidak sebaik penampilannya.
Dia perempuan yang kamu nikahi sepuluh tahun lalu! Sebelah hatiku mengingatkan. Sialan! Aku benci mengakui kebenaran.
Ya, tapi … andai dia tidak menejebakku, tidak mungkin pernikahan ini terjadi! Sisi lain hatiku menyahut.
“Papa kenapa?” Rio bertanya. Dia terlihat khawatir.
“Papa nggak enak badan.”
“Papa nggak kenapa-kenapa!”
Ucapanku berbarengan dengan Amyra. Dua detik kami berpandangan, bisa kurasakan tatapan tajamnya yang tidak sedikit pun menyimpan belas kasihan.
“Kalau Papa sakit, harusnya diam di rumah aja, kan, Ma?” Rio memandang sang mama. “Istirahat supaya cepat sembuh.”
Itu anakku! Berbeda sekali dengan watak ibunya.
“Rio sayang, nggak bisa gitu, dong! Papa punya kewajiban besar yang harus dia penuhi. Kalau nggak kerja, nanti mobil yang Mama pakai diambil sama orang,” terang Amyra sambil memandang lekat anak itu, memberi pengertian yang kurasa sangat jauh dari pemahamannya.
“Sehari aja nggak bisa, Ma? Nanti kalau Papa kecelakaan gimana?”
Aku salut pada perhatiannya. Rio berpikir jauh lebih dewasa dari usianya.
Amyra mendengkus. Dia menoleh padaku, mungkin merasa kalah dan tidak punya pilihan lain. Dia pasti menghindari perdebatan dengan anak semata wayang kami. “Kamu pergi dulu pagi ini, terima orderan semampunya aja, Mas. Yang penting ada buat setoran. Kalau badannya dirasa makin nggak enak, Mas Arya boleh pulang.”
Rio bersorak. “Nah, gitu, dong, Ma! Mama terbaik!” serunya senang.
Amyra membelai puncak kepala Rio. Tersenyum lebar walau aku tahu dia menyimpan kekesalan. Bodo amat!
-***-
Satu lagi orderan masuk. Sudah jam dua siang dan kupastikan ini yang terakhir untuk hari ini.
Loh, alamat ini, kan …. Apa ini cara Tuhan membujukku agar kembali mengingat-Nya? Ah, sepertinya tidak. Ini hanya kebetulan!
Aku terus menginjak pedal gas
di tengah lalu lintas siang yang cukup lengang setelah memastikan alamat penjemputan pada calon penumpangku. Perempuan berambut panjang mengenakan setelan serba hitam berlari menghampiri. Pintu mobil terbuka, menampilkan wajah yang tidak asing.
“Candy?” gumamku tanpa kedip memandangnya.
“Eh?” Dia tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. “Kamu ….”
“Hai,” sapaku ramah. Sakitku mendadak hilang.
“Hai,” sahutnya tampak kurang nyaman. “Bisa jalan sekarang?” Dia menunjuk kemudi yang kupegang, memberi isyarat untuk segera melaju.
-***-
Tidak satu pun kata keluar dari mulutnya. Perempuan berbibir tipis nan seksi itu terlihat sangat cantik dan muda—juga menggairahkan—walaupun pakaiannya kali ini sangat sopan. Setelan serba hitamnya panjang dan longgar, menyembunyikan dengan sempurna lekuk tubuh bak biola yang menggairahkan. Beruntung aku pernah melihat—bahkan menikmati—keindahannya.
“Alamat tujuan sudah benar, kan?” tanyaku memecah kesunyian.
“Ya,” sahutnya singkat. Sungguh irit bicara. Tidak hanya itu, dia juga terus menoleh ke samping kanan, seolah pemandangan di luar sana lebih menarik untuk dinikmati. Sayang, aku tidak bisa membaca pikiran. Andai Tuhan menganugerahiku kemampuan itu, aku tidak perlu menerka-nerka apa yang sedang dia pikirkan.
Sementara itu, aku terus melaju tanpa lagi bertanya. Tujuannya sudah sangat jelas. Jalur ini di luar kepala saking seringnya kulalui. Memasuki jalan perumahan yang sepi, aku menanti mulutnya terbuka memberi perintah untuk berhenti. Selama itu pula jantungku berdentam dengan irama tak karuan. Bukan yang ini. Begitu kata hatiku setiap kali melewati rumah dan dia tidak juga buka suara.
“Masih jauh?”
Dia tidak menjawab. Hanya memberi isyarat dengan telunjuknya. Mungkin tidak jauh lagi, sebab sebentar lagi kami berada di penghujung jalan.
“Setop!”
Aku mengerem mendadak. Menoleh padanya yang menunduk menghindari bertatap mata denganku.
“Kamu tinggal di sini?” tanyaku dengan perasaan tak menentu. Saat dia mengangguk, saat itu pula aku kehilangan kemampuan berkata-kata. Seriously? Dibilang kaget, ya, ini sangat mengejutkan! Dibilang kabar baik, pastinya ini membuatku pengin jingkrak sampai kayang saking senangnya. Dibilang sedih, ya, begitu juga. Mengetahui bahwa dia tetangga sebelah rumah di hunian baruku justru membuat pikiranku mendadak kalut. Melihatnya dan bertemu—mungkin—setiap hari, terus memikirkan kesempatan untuk bisa mengulang kembali kenikmatan malam itu, tetapi mendapati ketidakramahannya membuatku cukup berkecil hati.
“Ambil aja kembaliannya,” ucap Candy, keengganannya berinteraksi denganku semakin kental terasa. “Terima kasih.” Dia turun dan berlari cepat menuju rumahnya. Dia berlalu begitu saja, seolah mengungkapkan keinginannya agar kami saling lupa.
.
.
.
Hai, Arya balik lagi! Ketemu Candy, dong, dia 🤭
Tapi, etapi... Candy cuek bebek malah kayak ketakutan begitu. Ada yang bisa menerka gimana kejadian selanjutnya? Kira-kira apa yang akan terjadi kalau Amyra tau tetangga mereka perempuan yang sudah tidur sama suaminya? Muehehe.. Penasaran, kan, gimana kelanjutan ceritanya?
Thanks for reading...
Jangan lupa tinggalkan jejak 💬⭐ yang banyak 🤭 dan mampir juga ke lapaknya kak AhyaBee_ buat baca POV Amyra.
Samarinda, 07 Maret 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top