13. Nasihat Asha
"Tanggal pernikahan kita sudah di depan mata. Tapi ... satu-satunya alasan di balik pernikahan ini sudah nggak ada." Amyra menatapku dengan mata berkaca-kaca. Perasaannya pasti masih sangat kacau. Dia baru saja keluar rumah sakit setelah sebelumnya menjalani perawatan selama 3 hari akibat perdarahan hebat. "Kamu bakal pergi ninggalin aku, kan, Mas?"
Aku diam, termangu memandang wajah pucat Amyra yang tampak sendu. Dinding rumah kontrakan bercat biru cerah di belakangnya amat kontras dengan tatapan sayu perempuan di depanku.
Amyra mulai terisak. Rintihannya terdengar pilu menyayat kalbu. Seharusnya aku tidak perlu ambil pusing lagi tentang keadaannya. Kini, aku bisa bernapas lega karena janin yang dikandungnya sudah tiada. Ikhlas tidak ikhlas, kuyakin memang inilah jalan terbaik. Namun, hati ini menolak segala macam usulan setan yang membisiki untuk mengucapkan salam perpisahan.
"Kamu bakal ninggalin aku, nggak peduli persiapan pernikahan kita sudah nyaris sempurna. Kamu bakal pergi dan membiarkan hidupku hancur karena nggak sanggup menanggung cibiran. Iya, kan, Mas?" tanyanya menuntut seraya mencengkeram lengan kemejaku.
"Aku ...." Lidahku mendadak kelu, tidak pernah terbayang menyaksikan Amyra histeris berurai air mata. Tubuhnya gemetar sementara cairan bening itu terus luruh membasahi pipi tirusnya. Bibir ranum kemerahan meski tanpa lapisan gincu itu bergetar.
Saat beberapa bulan lalu mendatangiku untuk menuntut pertanggungjawaban atas kehamilannya, tadinya aku menolak. Buat apa? Kami sepasang orang dewasa yang melakukan perbuatan tabu itu atas dasar suka sama suka. Namun, nyatanya Amyra tidak selugu kelihatannya. Dia mengancam akan membeberkan rahasiaku. Dasar licik!
Entah bagaimana Amyra bisa tahu bahkan memiliki bukti-bukti atas hubungan terlarangku dengan Widya, istri CEO di perusahaan tempatku bekerja. Meski sudah beberapa bulan berlalu dan affair itu resmi berakhir karena Widya tidak terima saat tahu aku menjalin hubungan dengan Amyra di waktu yang sama, tetap saja perselingkuhan itu bak secangkir tuba. Lelaki mana yang bisa menerima begitu saja fakta bahwa istrinya pernah berbagi kehangatan dengan lelaki lain? Terlebih lelaki itu berkuasa dan memiliki koneksi di mana-mana. Aku yang bukan siapa-siapa jelas bukan tandingannya.
Tidak ada pilihan lain. Aku yang tercekik, terpaksa menyanggupi untuk menikahi Amyra. Kehancuran karier yang sudah susah payah kubangun membayang di pelupuk mata. Satu-satunya cara agar dia tidak buka suara hanya dengan menuruti kemauannya.
Siapa sangka, di tengah perjalanan jerat yang melilit leherku telah putus. Jabang bayi yang Amyra gunakan untuk menekanku telah berpulang sebelum sempat menyapa dunia. Bukankah aku bebas sekarang? Sayangnya, melihat perempuan di depanku rapuh dan merana justru membuatku jatuh iba. Dia sebatang kara. Kalau aku tidak ada, dia tidak punya siapa-siapa.
Menit demi menit berlalu. Aku terus menunggui Amyra, berharap dia segera tenang. Keheningan ini memberiku waktu membiarkan ego sebagai lelaki yang masih belum puas meneguk kebebasan dan hati nuraniku berperang.
"Pergi dari sini!" usir Amyra putus asa, entah di menit ke berapa. Dia berpaling langsung sibuk menghapus air mata yang rupanya masih setia membanjiri pipinya. "Aku nggak sudi dikasihani! Akan kubuktikan hidupku baik-baik aja walaupun kamu memilih pergi." Perempuan itu beranjak meninggalkanku.
Tiga atau mungkin empat langkah Amyra berlalu, aku memanggilnya. "Ra!"
Amyra berhenti. Dia tidak berpaling saat bertanya, "Mau apa lagi, Mas?"
"Kita tetap menikah." Aku meneguk liur yang terasa bagai gerombolan ngengat yang melewati tenggorokan. Dalam hati kecilku tebersit harapan, menikahi Amyra tetaplah keputusan yang tepat. Mungkin ini langkah awal yang harus kuambil untuk mengakhiri semua kegilaan masa mudaku. Suka tidak suka, aku sadar memerlukan tali kekang untuk meredam hasrat bertualangku.
"Yuhuuu!" Sayup-sayup suara yang familier di runguku menyapa. "Hallooo!" Tepukan di pundakku seperti hantaman yang melecutku menuju kesadaran penuh.
"Asha?" Aku mengerjap-ngerjap dungu menyambut kehadirannya.
"Melamunnya syahdu banget, sih, Mas!" Asha mengempaskan bokong seksinya di sofa sampingku. Tas besar yang kutahu berisi pakaian senam diletakkan di tengah kami. "Sampai dipanggil berulang-ulang nggak dengar," keluhnya dengan bibir mengerucut.
"Sorry," ucapku sambil meringis. Ingatan tentang masa lalu itu datang secara tiba-tiba, tanpa permisi membuatku linglung.
Asha mengeluarkan tumbler bergambar kaktus dari dalam tasnya. Gesit jemari lentiknya bergerak membuka penutup botol. Tiga tegukan dia berhenti minum. "Kelamaan nungguin aku, ya, Mas? Jadinya bosan terus melamun gitu?"
Aku tersenyum kering. Sudah nyaris dua bulan ini aku mengantar-jemput Asha ke mana dia hendak bepergian. Seperti malam ini, dia memintaku menjemputnya di Gym langganannya. Jadi, sebisa mungkin aku mengikuti jadwal atau alur kegiatannya. Selain bisa diibaratkan cuci mata atau refreshing tipis-tipis, tetapi bayaran yang lumayan menggiurkan tetaplah menjadi alasan utama. "Nggak, kok! Tadi itu ...."
Asha mengedikkan dagu. "Tadi itu ... apa? Mas kenapa?"
Aku menghela napas panjang. Bayangan Amyra masih enggan hengkang dari ingatan.
Asha menggenggam tanganku. "Mas lagi ada masalah, ya?" Tatapannya membuat hatiku dibanjiri kehangatan. Dia memberikan perhatian yang sejak lama tidak kurasakan. Dia memberikan perasaan tenteram yang telah Amyra musnahkan dengan penuh keangkuhan. "Ada masalah di rumah?" tanyanya lembut. Tatapannya menyorotku kian dalam.
Kami bertatapan cukup lama. Senyum yang merekah di bibir merahnya meyakinkanku untuk bicara. Aku memang memerlukan tempat untuk menumpahkan. Namun ....
"Masalah kalau dipendam cuma bikin kepala makin pening. Mending sharing. Semisal aku nggak bisa bantu dengan kasih solusi, paling nggak beban hati Mas bakal lebih ringan. Dengan begitu, hidup juga akan lebih nyaman."
Tanpa bermaksud membuka aib diri sendiri apalagi Amyra, mengalirlah ceritaku. Selama aku membuka selapis demi selapis tabir yang menyelimuti rumah tanggaku, Asha memasang telinga dengan saksama. Kadang dia berdecak, tersenyum kecut, hingga geleng kepala, tetapi tidak sedikit pun menyela. Dia pendengar yang baik, yang memberikan seluruh waktunya hanya untuk mendengarkan aku berkeluh kesah menumpahkan segala resah.
"Sudah sejauh itu, separah itu hubungan kalian, apa Mas sama sekali nggak terpikir buat mengakhiri saja pernikahan kalian?" Asha menatapku tak berkedip. "Hubungan suami istri yang berantakan itu nggak baik, loh, buat tumbuh kembang anak. Kasihan Rio," cetusnya serius.
Aku mengedikkan bahu lesu. "Lebih kasihan kalau Rio melihat mama papanya pisah. Dia—"
Asha menyela, "Sebenarnya broken home itu nggak semata akibat perceraian orang tua, loh, Mas! Orang tua yang bertahan dalam ikatan pernikahan, tapi terus-menerus bertengkar, bermusuhan secara terang-terangan di depan anak pun bisa dikatakan broken home. Dan, ini bahaya banget! Bahaya yang tanpa disadari menggerogoti kepercayaan diri anak saat mereka kecil, juga mengikis kepercayaan mereka pada sebuah ikatan sakral bernama pernikahan saat mereka telah memasuki usia dewasa."
Aku melongo, mencerna ucapannya yang terdengar mengandung emosi.
"Aku ini produk broken home. Jadi, aku tau benar apa yang aku omongkan ke kamu, Mas. Kalau alasan Mas Arya bertahan sama Mbak Amyra cuma karena Rio, mending pikirkan baik-baik, deh!" Asha tampak menerawang. Dengan ucapan yang lebih lembut dia menegaskan, "Hidupku terasa lebih bahagia dan berwarna setelah orang tuaku mengambil keputusan untuk berpisah. Lebih baik begitu, daripada mereka saling tikam dan bergantian menebar racun padahal hidup serumah."
.
.
.
Thanks for reading 🥰
Samarinda, 15 Agustus 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top