12. Bendera Perang
Padahal sudah seminggu berlalu, tetapi omelan Amyra masih setia bertalu. Pagi, siang, hingga malam yang keluar dari mulutnya hanya tentang liburan yang membuat suasana hatinya justru dipenuhi bermacam-macam beban. Aku sampai pusing memikirkan di mana lagi letak kesalahanku. Tiap kali kutanya, dia hanya mendengkus dan menghindar tanpa memberi penjelasan. Apa dia pikir aku cenayang yang bisa membaca pikiran?
"Pa, Mama kenapa, sih?" tanya Rio. Saat ini aku tengah menemaninya menonton TV di ruang tengah. Tentu saja perhatianku tidak pada layar yang menampilkan kartun favorit anak itu, melainkan game online di ponselku sendiri.
"Memangnya Mama kenapa?" Aku balik bertanya, pura-pura tidak mengerti maksudnya. Selain itu, aku ingin tahu penilaiannya tentang Amyra seminggu belakangan. Mana tahu setelah mendengar dari sudut pandang Rio aku jadi tercerahkan.
Rio mengetuk-ngetuk dagunya, tampak serius berpikir. Beberapa saat kemudian dia menggeser tubuhnya terus duduk menghadapku. Sedikit memajukan tubuhnya, bocah cerdas itu lantas berbisik, "Mama kayak Nenek Gerondong."
Celetukan polosnya hampir membuatku menyemburkan tawa. Berhubung Amyra tengah latihan yoga tak jauh dari kami, aku balas berbisik pada Rio. "Tau dari mana kamu soal Nenek Gerondong?"
"Keyra suka banget ngomong gitu. Katanya, tantenya tukang ngomel, persis Mama. Jadi, berarti Mama juga Nenek Gerondong, kayak tantenya Keyra." Setelah berucap itu, dia cekikikan sendiri.
Gosh! Kalau Amyra mendengar ini, bisa-bisa aku dirajam olehnya karena dikira mengajarkan yang tidak-tidak pada Rio. Dia, kan, begitu! Daripada investigasi, dia lebih suka langsung menghakimi.
"Hush!" Kubekap mulut Rio sebelum tawanya menjadi-jadi. "Nggak boleh ngomong begitu! Durhaka nanti. Nggak mau, kan, jadi kayak Malin Kundang?"
"Maling Udang?"
Aku menepuk kening. "Nggak ingat, ya, cerita yang Papa bacakan sebelum kita berangkat liburan tempo hari?"
Rio menatapku kebingungan. Aish! Ingatannya terkadang memang agak susah diandalkan. Padahal di lain waktu, untuk hal-hal yang sifatnya tidak baik justru membekas dalam. "Itu, loh, yang dikutuk ibunya jadi batu!"
Mata jernih Rio membulat. Dia pun menggeleng cepat. "Sorry," ucapnya penuh sesal. "Habisnya Mama sekarang nggak asyik! Kerjaannya marah-marah terus."
Kuelus puncak kepala Rio agar berhenti cemberut. "Mama lagi banyak pikiran aja. Perempuan kalau stres suka begitu, soalnya."
"Masa, sih, Pa?"
Aku mengangguk. Setidaknya, begitulah yang seringkali kudengar. Hampir semua lelaki yang kukenal mengeluh hal serupa tentang istrinya. Walaupun sebenarnya akalku tidak benar-benar menyetujui usulan itu. Amyra berbeda dari kebanyakan perempuan. Apa saja bisa dengan mudah menyulut kemarahannya. Sejak dulu, makin lelah dia dengan pekerjaannya, makin menjadi juga omelannya. Makin tipis dompetnya, makin maju bibirnya. Makin kurang puas di ranjang, makin ....
"Gosh!" pekikku setelah mendapati titik terang. Rasanya otakku baru saja disengat listrik ribuan volt.
"Apa, Pa?" Rio menatapku dengan kedua alis nyaris bertaut.
"Nggak apa-apa. Papa baru ingat sesuatu," sahutku tidak bisa menyembunyikan senyum.
Benar juga! Selama di Bali, kami tidak ada waktu untuk bulan madu. Tidak pernah ada waktu khusus untuk kami berdua karena Rio selalu menempel padaku. Aku yakin, itulah yang membuatnya uring-uringan. Dia kurang pelepasan, sampai-sampai menjadikanku pelampiasan.
Amyra baru selesai dengan kegiatannya. Wajahnya terlihat lebih cerah. Tuh, dia bahkan berlalu melewatiku dan Rio dengan senyum semringah. Bibir berpoles lipstik merah darah itu tampak merekah indah. Menggugah! Jelas ini undangan buat mengadu desah. Oke, malam nanti adalah waktu yang paling tepat untuk kembali melakukan tes ketahanan perkakas tempur. Wait and see!
-***-
Bolak-balik di ranjang sampai aku penat sendiri, tetapi Amyra belum juga menampakkan diri. Sebenarnya, apa yang perempuan itu lakukan saat ini? Tidak mungkin dia sedang menemani Rio menonton TV karena bocah itu sudah sejak sejam lalu berlayar di alam mimpi. Jadi, apa lagi sebenarnya yang ditunggu? Apa dia berharap dirayu terlebih dahulu?
Angin yang berembus kencang dari penyejuk ruangan membuatku hampir menggigil. Aku bahkan sudah bersin dua kali. Terlalu lama membuang waktu jika terus menanti. Maka, kuputuskan segera bangkit untuk mencari.
"Ra ...!" panggilku. Tidak dengan nada tinggi, tetapi pastinya cukup keras di tengah malam yang sunyi. "Amyra?" Aku terus melangkah di tengah temaram karena tidak kunjung mendapat sahutan. Semua lampu entah sejak kapan dimatikan. Satu-satunya pencahayaan hanyalah dari lampu taman.
Sekali lagi aku memanggil, "Raaa."
"Apa, sih, Mas? Kamu berisik banget, tau nggak, sih?" ketus Amyra. Setengah kepala perempuan itu muncul dari balik punggung sofa tinggi di ruang tengah.
"Ngapain kamu di sini?"
Amyra kembali duduk. Sosoknya menghilang tertutupi sandaran sofa. Aku berjalan cepat mendatanginya.
"Tadi aku habis chat-an sama Arga. Kamu ingat, kan, sama teman aku yang dokter itu?"
Aku mengangguk enggan. Buat apa mereka saling berkirim pesan malam-malam begini? "Terus?" tanyaku setengah hati demi memanjangkan obrolan. Setelah perang dingin, tidak ada salahnya sedikit basa-basi untuk mencairkan suasana.
"Aku ngundang dia ke sini buat makan malam besok."
"What?" Aku benar-benar terkejut dengan keputusannya. Bukannya harusnya dia berunding dulu denganku jika ingin mengundang lelaki lain mampir ke rumah kami?
"Nggak ingat, ya, Arga sudah nolongin Rio? Kalau dia nggak datang di waktu yang tepat, Rio mungkin sudah ...."
"Oke, tapi kenapa nggak ngomongin ini dulu ke aku, sih?"
"Kamu keberatan, Mas?" Nada bicara Amyra meninggi.
Aku mendesah tertahan. "Ya, nggak gitu, Ra. Maksudku—"
"Udah, deh, Mas! Malas banget aku ngomong sama orang yang nggak tau terima kasih kayak kamu!" Amyra mendengkus lantas mengakhiri obrolan dengan kembali menekuri layar ponselnya.
"Chat-an sama dia sudah, kan?"
Amyra cuma berdeham.
"Sekarang kamu lagi apa?" tanyaku menahan dongkol yang mulai merangkak naik.
"Cuci mata sama merelekskan otak." Dia menunjukkan layar ponsel yang menampilkan aktor bermata sipit dan bibir merah menyerupai perempuan. Cih! Apa bagusnya?
"Kamu nggak ngantuk apa?"
"Nanggung, ini ...."
"Ra ...."
Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Dia tampaknya ....
"Kenapa kamu suka banget bikin mood aku anjlok, sih, Mas?" Amyra mendengkus. "Terus, ngapain juga kamu pakai acara nyaris telanjang gitu? Lagi latihan jadi gelandangan, ya?" tanyanya tajam.
"Ini ...." Aku menundukkan pandang, perut yang sedikit menggunung menyapa dengan riang. "Aku nungguin kamu dari tadi."
"Heh?" Dia terdengar kaget. "Mau apa, Maaas?"
"Selama kita liburan kita nggak ada waktu berdua. Dan selama seminggu belakangan ini juga kamu kayak emak singa. Aku pikir—"
Sambil menepuk jidat, Amyra menyela, "Udah, nggak usah diterusin! Aku tau pikiran kamu pasti nggak akan jauh-jauh dari urusan selangkangan. Otakmu itu, makin lama makin tumpul, ya, Mas? Menyedihkan banget!" Dia berdecih.
"Tapi, Ra—"
"Apalagi lihat tampilanmu gitu, nggak ada seksi-seksinya! Buncit udah kayak emak-emak hamil lima bulan, pede banget keliaran keliling rumah cuma pakai celana dalam!" Amyra terkikik seolah ucapannya lucu dan tidak berpotensi menyinggungku. "Mas pikir rumah ini hutan? Halooo, Tarzan!" Tangannya yang gemulai menari di kedua sisi wajahnya, mengejekku.
Sepanjang usia pernikahan kami, ini kali pertama aku benar-benar sakit hati dengan ucapannya. Selama ini ucapannya memang pedas, tapi kali ini telah melampaui batas. Jika Amyra memang berniat mengibarkan bendera perang, aku tidak takut menerima tantangan. Lihat saja, siapa di antara kita yang akan jadi pemenang!
.
.
.
Saat ego dibiarkan terus berkuasa, kira-kira bagaimana nasib rumah tangga Amyra dan Arya di masa depan? Apa mereka akan memutuskan berpisah saja atau melihat baik Arga maupun Asha hanyalah batu sandungan yang menguji keteguhan janji suci pernikahan? Mungkinkah Rio terus menjadi alasan bagi keduanya untuk tetap bertahan?
Thanks for reading 🥰
Samarinda, 19 Juli 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top