11. Lelaki Bernama Arga
Dengan lembut, Amyra membelai puncak kepala Rio. "Kamu jangan lari-lari di jalan apalagi sembarangan menyeberang kayak tadi lagi, ya, Rio," pesannya sambil tersenyum hangat. Aku bersyukur, sekalipun ketus padaku, tutur katanya selalu tertata jika bicara dengan Rio. Amyra memang ibu yang baik.
"Maaf, Ma." Rio terdengar sangat menyesal.
Amyra pun menggandeng tangan Rio, menuntun bocah itu berjalan melewatiku menuju warung yang khusus menjual jajanan tradisional khas Bali. Kejadian barusan membuka kesempatan bagi Amyra menang mengikuti egonya. Lagi dan lagi aku dipaksa mengalah.
Sementara itu, lelaki bersneli yang telah menyelamatkan dan menghindarkan Rio dari petaka menghilang entah ke mana. Aku yakin benar Amyra tadi memanggilnya, "Ga". Apa lelaki itu yang istriku mimpikan semalam? Mungkinkah dokter itu yang sudah membuat Amyra kemarin menghilang? Ada hubungan apa mereka sebenarnya?
Lelaki bernama Arga itu membuatku curiga. Dia sama sekali tidak sungkan menunjukkan kekagumannya, bahkan terlalu berani menyanjung Amyra di depanku. Sialnya, binar kekaguman itu juga terpancar jelas dari sorot mata Amyra. Tidak, aku tidak cemburu. Aku hanya tidak suka istriku terlalu dekat dengan lelaki lain.
"Papa, buruan!" Rio berteriak sambil melompat heboh. Minuman gelas berperisa stroberi lagi-lagi diberikan oleh Amyra untuknya. Mungkin untuk mengganti soda-nya yang tadi pecah diganyang ban mobil.
Aku mendengkus, kesal. Sengatan matahari di puncak kepala membuat otakku semakin mengepul. Dengan berat hati aku melangkah memasuki kios berplang Pusat Jajanan Tradisional Bu Elok yang ramai pengunjung. Perutku terlalu lapar untuk sekadar diganjal dengan makanan ringan. Nasi dan lauk dalam porsi besar yang aku inginkan. Namun, apa boleh buat? Berdebat dengan si Ratu Ego yang keras hatinya mengalahkan tempurung kura-kura sama sekali tidak bermanfaat. Sebagai suami, aku dituntut punya kesabaran sedalam Palung Mariana. Perempuan selalu benar, itu poin utama yang tidak boleh terlupa.
"Lambat banget kamu, Mas! Keong aja lebih cepat ngesotnya dibanding kamu. Perut aja, sih, digedein!" Amyra mencibir. Jaje klepon yang legit hilang dalam sekali suap, menyumpal mulutnya yang pedas.
"Papa duduk di sini!" Rio menepuk-nepuk kursi kayu di sebelahnya. "Di sini semua makanannya enak, loh, Pa! Manis!"
"Rio suka?" tanyaku seraya membelai puncak kepalanya. Bocah itu pun mengangguk-angguk dengan wajah semringah.
Aneka kue-selain kelepon-yang tidak kutahu namanya tersaji rapi di atas meja persegi panjang yang kami tempati. Di kursi seberangku, Amyra sudah sibuk melahap jajanan lain yang bentuknya seperti lumpia, tetapi terbungkus daun pisang. Di piring lain, ada potongan-potongan pisang yang sepertinya dibalut dengan adonan tepung lalu dibaluri parutan kelapa. Sayangnya, tidak cukup menggoda untuk membangkitkan selera.
"Makan, Mas!" perintah Amyra dengan mulut penuh. Dia memelototiku lantas mengedikkan dagunya pada piring di atas meja, memberi isyarat agar aku menikmati apa yang terhidang di depan mata tanpa perlu banyak protes. "Kita makan siang di sekitar pantai aja. Dari hasil googling kemarin, aku ketemu rumah makan yang punya sajian aneka masakan sini. Review oke semua, harga juga nggak berat-berat amat."
Aku diam saja. Percuma juga bicara.
"Kamu sudah tangani benar-benar masalah Rio tadi, kan, Mas?"
Aku mengangguk. Selain permintaan biaya reparasi mobilnya yang ringsek, bapak pemilik mobil yang kebetulan warga lokal tidak menuntut apa pun. Syukur, orang baik itu tidak memperpanjang masalah dan menuntut ini itu.
"Kenapa tadi nggak diikuti ke bengkel, sih? Kita nggak tau dia jujur atau-"
"Aku sudah kasih kartu namaku ke bapak itu. Kemungkinan biaya perbaikan juga nggak begitu besar. Kamu nggak perlu mengurusi detailnya apa aja. Lagian, aku yang bayar ganti ruginya, nggak pakai uang kamu. Soal dia jujur atau nggak, itu urusan dia. Jadi, nggak perlu berisik, deh, Ra!" selaku. Dongkol.
Senyum masam Amyra terulas. "Coba kamu nggak bawel dan ngotot makan nasi, Rio nggak bakal lepas kayak tadi."
"Mulai, deh!" celetuk Rio seraya menepuk jidatnya. "Beranteeem terus! Terusin aja berantemnya." Bocah itu pun menyembunyikan wajah di atas lipatan tangan di atas meja.
Aku dan Amyra kompak menghentikan niat berdebat. Secara bersamaan pula kami membuang muka. Tidak jauh dari kami, seorang content creator yang juga terkenal sebagai food vlogger sedang melakukan rekaman tidak jauh dari kami. Meskipun terkenal nyinyir, tapi aku cukup menyukai ulasannya yang blak-blakan. Mungkin, 90% dari unggahannya pernah kutonton karena memang seliweran di dunia maya.
Jangi Janger, sengsenge sengseng janger,
Sengsenge sengseng janger.
Serere nyomane nyore.
Kelap kelap ngalap bunga
Langsing lanjar pamulune nyandat gading
Jalan jani mejangeran
Seledet enyorina tiyang
Nyanyian merdu yang mengalun dari pelantang suara di pojok ruangan menarik atensiku. Meski liriknya tidak kupahami, tetapi cukup efektif meredakan emosi yang tadi menggebu.
"Ma, Ma, Ma!" Rio mulai heboh lagi. Aksi gencatan senjataku dengan Amyra rupanya berhasil membuat keceriaannya pulih dalam waktu singkat. "Om yang tadi nolongin aku siapa, ya, namanya? Aku lupa!" tanyanya penuh rasa ingin tahu.
"Namanya Om Arga. Dokter Argantara."
Rio ber-oh panjang. Meski tidak melihat langsung, aku merasa dia tersenyum mendengar penjelasan ibunya. Penjelasan yang sebenarnya tidak penting, tetapi entah mengapa mengundang rasa penasaranku.
"Rio kalau sudah besar, mau nggak jadi kayak Om Arga?"
"Jadi kayak Om Arga? Berarti aku jadi Om Arga gitu?"
"Bukan, bukan! Maksud mama, tuh, Rio jadi dokter kayak Om Arga," ralat Amyra sambil tertawa. "Jadi dokter, kan, hebat! Nolongin banyak orang. Dibutuhkan banyak orang. Disenangi banyak orang juga."
Nada bicara Amyra saat menerangkan profesi Arga membuat telingaku berdenging dan hatiku terbakar. Namun, sekali lagi kutegaskan, aku tidak cemburu! Aku hanya tidak suka jika istriku dekat-dan menyimpan rasa bangga untuk-lelaki lain. Kusambar botol air mineral yang tersedia lalu menenggak isinya banyak-banyak berharap api di dalam dada padam sebelum menyala-nyala.
"Mau, kan, jadi dokter kayak Om Arga?" desak Amyra.
Rio masih belum menjawab, mungkin sedang berpikir. Aku berpura-pura tak acuh, tetapi diam-diam menyimak obrolan ibu anak ini.Sambil menunggu jawaban Rio, aku menyumpal mulutku dengan jajanan legit demi membunuh waktu sekalian mengganjal perutku.
"Aku maunya kayak Papa aja!"
"Hah?" Amyra terdengar kecewa, sementara dadaku mengembang jemawa. "Kenapa mesti kayak papa, sih? Nggak ada keren-kerennya!" cibir perempuan itu.
"Karena Om Arga bukan papa aku!" sahut Rio polos. Aku yakin benar, senyum dan binar di mata Amyra langsung padam. Siapa suruh jadi perempuan kegatalan begitu? Kecewanya, sih, mungkin tidak seberapa, tapi malunya itu yang luar biasa. Mam to the pus. Mampus!
.
.
.
Thanks for reading... 🥰
Samarinda, 27 Juni 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top