2.) Pesona Teman Lama
Aku pantas mendapat reward setelah bekerja keras sepanjang hari. Mungkin sepulang kerja nanti aku akan mampir ke kedai kopi. Dengan keadaan rumah yang kurang kondusif, malas sekali pulang. Seandainya aku belum punya Rio pun aku akan berpikir ratusan kali menikahi lelaki tidak berguna itu.
Isi kepalanya hanya seks, seks, dan seks.
Bahkan setelah dia menikahiku sepuluh tahun lamanya, kebiasaan buruk itu tidak juga hilang. Perlukah kupukul kepalanya sampai dia lupa cara menyakiti orang. Mungkin kupotong organ di antara kedua pahanya akan membuatnya jera mendekati gadis-gadis ataupun janda!
Membayangkan melihat Arya yang tiduran dengan memegangi buah pelir terus-menerus membuat dada rasanya sesak. Pecundang yang menjijikkan!
Di setiap pertengkaran kami, dia selalu bilang, "Sejak awal kamu sendiri tahu bahwa aku memang nggak bisa hidup dengan satu wanita saja, kamu ini kenapa?"
Dasar tidak peka!
Kesambet apa aku menikahinya? Kok bisa ada suami berbicara seenteng itu kepada istrinya. Memangnya Arya siapa?
Dia enak-enakan hanya rebahan sementara aku harus memenuhi semua kebutuhan saat ini. Aku tidak akan membiarkannya memakai uangku untuk bermain perempuan. Gonta-ganti sana sini. Kalau dipikir-pikir, apa istimewanya menjadi satu-satunya wanita yang dinikahi Arya?
Apa yang aku dapat selama ini?
Hanya pengkhianatan.
Cukup, aku nggak mau terlihat menyedihkan di mata lelaki itu atau dia akan besar kepala dan merasa berkuasa.
Jika dia bisa bertindak semena-mena, aku pun bisa menunjukkan apa yang bisa aku lakukan. Apalagi dengan keadaan Arya yang sekarang, dia tak punya pemasukan. Aku rasa berhak memberinya sebuah pelajaran yang nggak akan bisa dia lupakan seumur hidup.
Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. Aku menarik napas panjang mengempaskan diri bersandar pada sandaran kursi yang nyaman. Aku nyaris tertidur, sekarang sudah sore, tetapi suara berisik di luar terdengar sampai ke ruanganku. Sialan!
Bahkan di kantor pun aku nggak bisa beristirahat walaupun lima menit. Ya, Tuhan ....
Aku berusaha tenang agar bisa mendengarkan percakapan itu. Menjengkelkan sekali bahkan semesta bersekongkol membuat hariku tidak mudah hari ini.
"Sebenarnya kami sudah mau tutup, Pak." Aku tahu Risma, rekan kerjaku sedang mencoba mengendalikan keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Tapi saya hanya sebentar, saya ingin dapat informasi terkait peminjaman dana untuk pengembangan usaha." Suara rendah seorang laki-laki mengusikku. Sepertinya aku pernah mendengar suara ini sebelumnya. Maksudku, orang ini punya suara rendah yang dimiliki rata-rata laki-laki, tapi ada sesuatu yang berbeda membuatku ingin keluar untuk memastikan suara yang akrab dalam telingaku itu apakah milik seorang teman yang kukenal?
"Maaf, Pak. Kami sudah tutup, Bapak bisa datang lagi besok saat jam kerja."
"Mbak, tolonglah. Saya sulit sekali mendapat waktu luang."
"Sayang sekali, nggak bisa, Pak. Sekarang sudah waktunya tutup."
Aku mengembuskan napas panjang. Di kantor pun aku nggak bisa merasa tenang, wajar saja Risma tidak bisa meng-handle masalah sepele ini. Ada saja masalah yang datang bahkan saat jam kantor sudah berakhir. Namun, customers adalah aset. Toh, baru lewat sepuluh menit dari jam tutup.
Meski sebenarnya ya, sangat menjengkelkan. Mengapa mereka tidak memilih mendatangi bank ketika jam kerja saja. Biasanya masalah seperti ini akan datang dari para customer yang ngeyelan, tidak tahu etika, tidak mau mengerti urusan orang lain, dan selalu merasa kepentingannya teramat penting. Seakan-akan dunia ini milik mereka.
Fasilitas umum pun hanyalah media untuk memenuhi keinginan mereka, aku yang bekerja di dalamnya dianggap layaknya pembantu untuk tipe orang kayak gitu. Aku tahu bagaimana menghadapi orang kayak gini.
Tentu saja aku sama sekali tidak mengira orang itu adalah dia. Orang yang belakangan ini sering muncul secara mendadak dalam pikiranku.
"Oh, hai, Arga," sapaku mencoba seramah mungkin. "Ada yang aku bantu?"
"Iya, sebenarnya aku ingin menanyakan beberapa hal terkait peminjaman dana. Bisakan?"
Ya, ampun ... matanya.
"Bisakan?"
Aku terperanjat, seketika sadar aku telah melamun. Memalukan!
"Kamu tahu sendiri pekerjaanku apa dan aku sangat kesulitan sekali menemukan waktu luang, jadi aku datang sekarang. Sayangnya mereka bersikeras tutup nggak kasih aku kesempatan sama sekali. Jadi apa kamu bisa membantuku?"
"Ah, ya. Tentu saja. Maafkan Risma, ya. Dia pegawai baru di sini. Mari, silakan duduk." Aku mengangguk memahami. "Ya, sebenarnya kami memang waktunya tutup, tapi kalau kamu mau membicarakan hal ini, aku bisa menjawab pertanyaan pertanyaanmu itu di kafe."
"Apa itu nggak ganggu waktu kamu?"
Aku tertawa saat berkata, "Kamu nggak pernah berubah, ya, Arga. Lucu banget tahu nggak, sih."
Kulirik arloji sebelum mengambil tas selempang. "Kalau bakal ganggu ngapain aku nawarin?"
"Jadi kapan kita pergi?"
"Sekarang, dong."
Arga memang lucu, salah satu yang membuatku tidak bisa melupakannya. Kebetulan sekali ada di tempat ini, aku jadi ada teman ngopi.
"Mau ngopi di mana, nih?"
"Di ujung? Ada kafe di sana," tawarnya.
"Gimana kalau di luar area ini aja? Macet banget, males nanti pas pulangnya."
"Boleh, tapi kamu nggak apa-apa, nih kejauhan perginya?"
"Nggak jauh, lah. Gimana kalau ke Rins Bakery aja. Di sana tempatnya enak banget, loh."
"Aku juga sering ke sana, sih. Oh, iya. ngomong-ngomong, suami kamu nggak apa-apa kita pergi bareng gini?"
"Kenapa memangnya, kamu kan temenku, lagian kita kan nggak ngapa-ngapain cuma bahas kerjaan aja."
"Iya, bener. Kita akan bahas kerjaan aja."
"Kamu kenapa, Ga? Agak aneh gitu."
"Ah, nggak. Aku cuma mikir mendingan kita berangkat sekarang daripada kemaleman."
Aku senang sekali bisa keluar malam ini. Rasanya, sejak menikah, bekerja, aku nggak punya lagi kehidupan sosial. Bersama Arga, aku bisa merasakan kembali asyiknya jadi ekstrover yang bisa ke mana-mana sama temen kuliah. Nongkrong di mal, belanja, makan-makan. Seandainya Mas Arya mau sekali aja ajak jalan.
Jadwalku dan dia sangat padat, kami hanya bertemu ketika malam tiba. Namun, sejak perekonomian kami jatuh, hubungan yang ada terasa seperti neraka. Arya tak pernah pulang tepat waktu, sering mabuk, aku yakin dia terus bermain wanita di belakangku. Jadi, tidak ada salahnya aku menghabiskan waktu sebentar bersama rekan lama.
"Lama nggak ketemu, ya. Kamu tetap cantik."
"Iya, nggak kerasa ya, Ga. Udah selama itu," jawabku sembari mengaitkan rambut ke telinga. Pipiku terasa panas. Jantungku berdebar kencang. "Ngomong-ngomong, Ga. Apa kamu lagi kesulitan sampai harus mengajukan peminjaman kredit?"
"Hm, sebenarnya kami ingin membuka usaha. Kami sudah menabung cukup lama dan ya, kami kekurangan modal."
Aku mengangguk. "Kamu bilang kami? Apa ini usaha bersama sekelompok orang atau gimana?"
"Enggak, enggak, kok. Ini aku dan rekanku buka usaha bersama. Kami membuka sebuah kafe. Eh, tapi tenang aja. Aku yang bertanggungjawab penuh atas pengajuan peminjaman ini, jadi nggak usah khawatir."
"Aku percaya, kok. Kamu beneran nggak berubah, ya Ga. Masih Arga yang dulu. Bertanggung jawab."
"Amyra juga sepertinya nggak berubah ya?"
Astagaaa ....
Ketika mengatakan itu, dia menoleh ke arahku dan melempar senyum termanis yang pernah kulihat. Perasaan aneh macam apa ini hatiku seakan melompat-lompat kegirangan. Pujian sederhana itu sangat menyenangkan saat Arga yang mengucapkannya.
Seandainya waktu bisa kuputar kembali.
***
Ahaayyy akhirnya up bab 2
Fresh from oven agak nganu banget bahasanya. Gak apa ya draf pertama suka ngaco emang :v
Have fun~
Purbalingga, 12 Feb 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top