- EPILOG -
.
.
.
2 tahun kemudian
"Udah masuk nih yee transferan dari Papa Gula lo!" acap Riky pada Kiana yang duduk di jok tengah mobil. "By the way, nih Pak Gunawan ngirimin lo mulu dah, setiap bulan. Mana sekali transfer tuh ya bisa nyekolahin gue sampe dapet gelar profesor, lagi. Pak Gunawan itu siapa, sih?"
"Ini sebentar lagi kita bakalan ketemu sama anak-anaknya."
"Hah?"
Hembusan napas menguat dari sang puan membuat Riky —manager baru Kiana, seketika menggantungkan perkataannya.
"Pak, ke sekolahan dulu ya," ucap wanita tersebut pada Pak Min, sopir Kiana.
"Sekolahan siapa, Mbak?"
"Sekolahan anak saya—"
Riky menyela, "Udah punya anak lo? Ini kalo ketahuan media bisa bahaya, Na!"
"Ck! Terserahlah apa kata media. Bodo amat! Pokoknya gue mau ketemu anak gue, titik."
Pak Min seketika menyergah cepat. "Mbak kasih tau aja jalannya."
"Okey ...."
Selama perjalanan menuju sekolah El dan Tata, tak ada pembicaraan berarti dari ketiga orang tersebut. Jika boleh jujur, diam menjadi perlindungan diri Kiana saat ini karena ia juga sebenarnya ragu untuk bertemu kedua anaknya untuk pertama kali di tubuhnya sendiri. Namun, sepanjang perjalanan dia mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Melewati gerbang utama, mobil Kiana awapnya ingin berhenti tepat di depan halte di mana kedua anaknya terlihat berdiri sembari menunggu jemputan Pak Rafli.
Halte itu jelas saja ramai tak terhingga. Lantas atensi semua warga sekolah tersita ketika Kiana keluar dari mobil dan menyebrang jalan, sebab mobilnya ternyata tidak diperbolehkan parkir di depan halte oleh pihak keamanan sekolah.
"Tanteee!" seru Tata ketika melihat Kiana.
Sontak saja Kiana membuka kedua tangannya untuk meraih si kecil dalam dekapan, sementara El mengekor di belakang.
"Pulangnya sama Tante ya, Nak?" cakap Kiana pada Tata setibanya mereka di samping mobil.
"Tapi, nanti Pak Rafli nyariin kita Tante."
"Tadi di gerbang depan Tante udah ngasih kartu nama Tante ke pak satpam. Jadi, Adek sama Kakak nggak perlu khawatirin Pak Rafli. Ini juga Tante langsung anterin ke kantor Papa, kok—"
"Kenapa harus ke kantor Papa?" El tiba-tiba bersuara membuat Kiana menoleh padanya cepat.
"Memangnya Kakak mau ke mana?" tanya Kiana lembut dengan kernyitan di kening.
El menggeleng. "Nggak mau ke mana-mana, sih."
"Yaudah kalo gitu kita tetap harus ke Papa. Okey?"
Anak lelaki itu tidak menjawab dan lebih memilih untuk masuk ke mobil terlebih dahulu. Gerakannya ini lantas diikuti pula oleh Kiana dan Tata dalam gendongannya.
Perjalanan itu diisi oleh keceriwisan Tata, menceritakan teman-teman TK-nya di pangkuan Kiana. Sedangkan El memilih untuk merapatkan rahang sembari membuang tatapan keluar jendela.
Pandangan anak itu kemudian tertoleh pada Kiana ketika sang hawa mengelus puncak kepala El dengan senyum manisnya. El membalas perlakuan itu dengan menarik kedua sudut bibir ke atas ragu-ragu.
"Sini, Nak. Duduk dekat Mama," pinta Kiana yang langsung disetujui oleh El.
Walaupun kecanggungan terlihat jelas sebab ini pertama kalinya mereka tatap muka, tetapi Kiana mencoba tak peduli. Perempuan itu hanya ingin anak-anak melihatnya sebagai seorang ibu, meskipun itu tidaklah mudah. Sesampainya di kantor Ardian, pandangan para karyawan tak satu pun yang lepas dari Kiana. Satu tangannya menggendong Tata, sedangkan tangan bebas lainnya meraih lengan El.
Sapaan ramah dari orang-orang dibalas Kiana dengan santun membuat siapa saja seketika luluh dan terpesona.
"Papaaa!" panggil Tata ketika mereka bertiga telah masuk di ruangan Ardian.
Pria yang duduk di kursi kebesarannya dan sedang menghadap jendela itu seketika memutar tubuh saat mendengar suara putri kecilnya. Namun, pandangan itu kemudian jatuh pada sosok perempuan di depan sana yang tampil dengan gaun selutut berwarna krem.
"Kiana?" Mata Ardian membelalak.
"Mas?"
Keduanya terdiam untuk sesaat sambil berbagi pandangan satu sama lain. Kedua tatapan itu tidak bermakna apapun, selain hanya keterkejutan akibat pertemuan yang terbilang mendadak ini.
"Silakan duduk—"
Kiana menggeleng perlahan. "Nggak usah, Mas. Kebetulan aku buru-buru. Aku cuma nganterin anak-anak, kok."
Ardian langsung tersenyum kaku. "O-oh gitu ... makasih ya!"
"Aku ehm ... aku juga pengen bilang kalo Mas udah bisa berhenti mengirimkan kewajiban Mas ke aku seperti perjanjian oma waktu itu—"
Sang adam mengerutkan kening. Lantas berjalan menuju depan mejanya. Langkah laki-laki itu terhenti tatkala Tata dan El berlari ke arah sang ayah.
"Kamu udah nemuin pendamping ya?" tanya Ardian yang langsung diberi anggukan ringan dan senyum sumringah oleh Kiana. "Syukurlah kalo seperti itu. Semoga kamu dan pasangan bisa selalu bahagia."
"Terima kasih, Mas. Kalo gitu, aku permisi. Maaf, Mas, aku nggak bisa lama-lama karena aku ada kerjaan. Tapi, aku boleh kan, Mas, ketemu anak-anak lagi?" pinta Kiana.
"Boleh, kok. Kamu bisa ke rumah atau jemput seperti ini. Aku nggak pernah ngelarang."
"Makasih ya, Mas. Kalo gitu aku permisi dulu," Kiana menatap El dan Tata yang memeluk kaki Ardian, "Mama pulang dulu ya, Nak!"
Kiana kemudian berbalik badan hendak meninggalkan Ardian dan kedua anaknya. Namun, langkah itu terhenti ketika ia mendengar suara El memanggilnya untuk pertama kali. Jelas saja ini membuat Kiana membatu seketika dan degup jantung berdetak cepat.
"Mama—"
Puan membalikkan badan dan mendapati El telah berlari ke arahnya. Sontak Kiana memeluk tubuh bocah itu kuat-kuat. Air mata di sela-sela senyum itu tak dapat terhindari lagi.
Ini seperti mimpi!
Sambil menyugar rambut El, Kiana berkata lembut. "Kenapa, Nak?"
Nyatanya air mata yang keluar membuat El tak dapat pula menahan gejolak di dalam dada hingga anak itu ikut pula menangis. Namun, El terlihat bisa mengontrol emosi.
"Mama harus datang ke sekolah kalo ada undangan orang tua. Mama harus hadir di acara ulang tahun Kakak. Mama harus ambilin rapor Kakak. Kalo ada acara Hari Ibu di sekolah, Mama wajib datang. Kakak nggak mau tau, pokoknya Mama harus datang. Janji?" El menaikkan jari kelingkingnya.
Kiana mengangguk penuh keyakinan dan melingkarkan jarinya pada sang putra. "Mama janji, Nak."
"Makasih ya, Mama."
"Iya, Sayang." Kiana lantas memberikan kecupan berulang-ulang di wajah El yang membuat putranya itu tersenyum lebar.
Pandangan Kiana kemudian tertuju pada Tata yang masih setia memeluk kaki Ardian dengan wajah yang ditekuk.
"Sini, Nak!" panggil Kiana membuat Tata berjalan ke arahnya. "Kok Adek mukanya sedih gitu?"
"Adek juga pengen manggil Tante dengan sebutan Mama—"
"Ya nggak papa, Adek tinggal manggil Mama. Sama kayak Kakak."
"Tapi, Adek nggak lahir dari perut Tante."
Baik Kiana dan Ardian langsung tersenyum tipis.
Sambil membelai bahu Tata, Kiana berujar, "Mau Adek lahir dari perut Mama atau nggak, Adek tetap anak Mama Kiana juga. Okey?"
Semula Tata ragu, tetapi ia tetap mengangguk juga dan memeluk Kiana dengan kuat. Ketika jarak itu tercipta, Kiana memberikan ciuman yang sama seperti halnya ke El. Setelah berpamitan, Kiana pun menghilang dari pandangan Ardian, Tata, dan El.
Sebelum menjauh, Kiana sempat mendengar sayup-sayup Ardian bertanya pada El dari mana anak itu tahu jika Kiana adalah ibu kandungnya. Dengan sabar, El mengatakan bahwa Ghea dari dulu selalu menunjuk Kiana yang ada di layar kaca sebagai mamanya. Sejak saat itu El selalu mengingat Kiana.
Dan sepanjang perjalanan Kiana, senyum tak pernah luntur dari wajahnya! [*]
Berpuluh-puluh tahun akhirnya terlewati begitu cepat. Ardian tetap setia dalam kesendiriannya, meskipun Tata dan El selalu membebaskan sang ayah untuk menikah lagi. Akan tetapi, Ardian tidak pernah berpikir demikian. Ketika akhirnya laki-laki itu tiba di penghujung masa, ia ditidurkan tepat di samping rumah Ghea.
Saat kedua matanya terbuka, hal yang pertama kali pria tersebut saksikan adalah ia yang berdiri di tepi sungai dan bunga-bunga sakura berwarna merah muda berjatuhan di sekelilingnya. Sepanjang tepi jalan dipenuhi oleh pepohonan itu membuat Ardian tersenyum.
Netranya seketika terbuka lebar lalu tak lama berubah menjadi teduh ketika melihat seorang wanita mengenakan rok dan pakaian putih-merah muda yang senada bunga tersebut. Nampak begitu indah di pelupuk membuat Ardian menarik kedua sudut bibir ke atas dan matanya menyipit bak bulan sabit.
Sang hawa berdiri tak begitu jauh dari Ardian, hingga ia dapat dengan jelas memperhatikan setiap lekuk tubuh dan ekspresi wajah yang menenangkan nan dirindukan tersebut.
"Mama ngapain berdiri di sana?"
Puan itu sontak membuka kedua tangan lebar-lebar. "Jemput Papa!"
Ardian tergelak kecil.
"Papa kangen Mama," ucap Ardian.
"Mama juga!"
Ardian pun berlari kecil lalu meraih tubuh di depan sana dengan erat. Lantas ia mencium aroma tubuh yang begitu ia dambakan selama ini. Seluruh kerinduan telah terobati dan kesabarannya mendapatkan harga yang pantas.
Ardian Bratadikara kembali pada istri tercintanya, Ghea Aurellia. Sepasang insan itu kemudian berjalan di tepi sungai sambil menautkan lengan, tak akan terpisahkan. Sesekali keduanya terkekeh akibat cerita-cerita Ardian tentang kehidupannya selama ini bersama orang-orang terkasih.
Ya, kedua insan itu akhirnya bertemu kembali dalam masa yang tak memiliki ujung dan waktu. Begitu bahagia hingga di pikiran mereka hanya ada satu sama lain....
.
.
.
.
.
.
Jika teman-teman memiliki kritik, saran, dan lain sebagainya yang ingin disampaikan, silakan dm di sini atau di twitter.
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membaca hingga akhir. Maaf jika banyak kekurangan dalam penulisan, alur, dan sebagainya. Aku akan terus belajar untuk memperbaiki kesalahan dan menjadi lebih baik lagi.
Sekali lagi, terima kasih 💚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top